Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 24 Juli 2019

HUKUM TRANSAKSI MODERN DALAM ISLAM



Jenis-jenis Transaksi Modern

           1.   Jual Beli Online

Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya system penukaran barang hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara  penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan kabul).

Namun dengan kemudahan fasilitas dan  semakin canggihnya teknologi, proses jualbeli yang tadinya mengharuskan cara manual biasa saja dilakukan via internet. Jual-beli merupakan salah satu kegiatan sosial di masyarakat, baik di desa maupun kota. Transaksi jual-beli hamper setiap waktu dapat kita jumpai. Pertanyaannya, dengan perkembangan zaman yang memungkinkan kita bertransaksi lewat internet, bagaimana hokum jual beli online menurut Islam? Apakah transaksi online memenuhi syarat ijab kabul yang ditentuka ndalam Islam? Menurut kitab FathulMu’in, Ijab dan qabul dalam transaksi ekonomi adalah:



Ijab adalah bukti yang menunjukan atas penyerahan dengan bukti yang jelas (dapat dipertanggungjawabkan), sedangkan Kabul adalah bukti yang menunjukan atas penerimaan. Adapun pandangan mayoritas mazhab Syafii menyarankan agar barang yang akan dijual belikan harus terlihat terlebih dahulu secara kasat mata. Namun, ini merupakan bentuk ihtiyath (kehati-hatian) agar tidak terjadi penipuan sebagaimana hadis Nabi Saw.:



Artinya : “Rasulullah melarang jualbeli dengan lemparan batu dan penipuan” (HR Muslim)

Berdasarkan kebiasaan, sebelum transaksi pembeli biasanya telah melihat  mabi’ (barang yang dijual) dan telah dijelaskan sifat dan jenis barang tersebut (salam) serta memenuhi syarat dan rukun jual beli yang lainnya oleh penjual melalui situs online yang dimiliknya.

Selainitu, bila sudah cocok atas barang yang dideskripsikan oleh penjual, pembeli mentransfer biaya yang ditentukan penjual, dan menunjukkan struk pembelian. Setelah itu, penjual melakukan proses pembelian. Bila praktik jual beli online seperti ini sudah dilakukan dan tidak ada yang dirugikan, maka hokum jual beli online menjadi sah. Hal tersebut sebagaimana difatwakan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri dalam karyanya syarah Al-Yaqut an-Nafis:

 والعبرة فى العقود لمعانيها لا لصور الالفاظوعن البيع و الشراء بواسطة التيلفون والتلكس والبرقيات كل هذه  الوسائل وامثلها معتمد اليوم وعليها العمل 

Yang dipandang dalam transaksi adalah kontennya bukan bentuk lafalnya. Transaksi  jual beli dengan menggunakan alat informasi seperti telepun, tekx dan telegram yang digunakan sekarang boleh dipakai 

          2.   Nikah Online

Pernikahan dalam Islam memiliki beberapa rukun dan syarat. Rukun dan syarat nikah memengaruhi sah atau tidaknya pernikahan menurut Islam. Rukun nikah yang disepakati oleh mayoritas ulama terdiridari lima rukun; ada mempelai pria, ada mempelai wanita, adawali nikah, adanya dua orang saksi, dan ada ijabkabul.

Seiring majunya teknologi, ada beberapa rukun nikah yang dilaksanakan secara jarak jauh dengan bantuan teknologi. Beberapa yang kerap ditemui adalah mempelai pria mengucapkan kabul di tempat yang jauh dari mempelai wanita, wali, dan duasaksi. Fasilitas telepon atau video call dipakai untuk mengucapkan akad nikah jarakjauh. Lalu, apakah akad nikah seperti ini diperbolehkan? Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan, ulama fikih berpendapat jika ijab dan kabul dipandang sah apabila telah memenuhi beberapa persyaratan.

Ijab kabul sendiri memiliki empat syarat yang harus diperhatikan;
a.        Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis. 
b.        Kesesuaian antara ijab dan kabul. Misalnya wali mengatakan, "Saya nikahkan anda dengan putri saya A...", kemudian calon suami menjawab, "Saya terima nikahnya B...", maka nikahnya tidak sah, karena antara ijab dan kabul tidak sesuai.
c.        yang melaksanakan ijab (wali) tidak menarik kembali ijabnya sebelum kabul dari calon suami.
d.        Berlaku seketika. Maksudnya, nikah tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang. Jika wali mengatakan, "Saya nikahkan anda dengan putri saya besok atau besok lusa," maka ijab dan kabul seperti ini tidak sah.

Pengertian ijab dan Kabul dalam satu majelis ini tidak semua ulama sepakat soal penjelasannya. Ada yang mengartikan harus dalam satu tempat, ada pula yang mengartikan tak harus dalam satu tempat. Imam Syafi'I lebih cenderung memandangnya dalam arti fisik. Wali dan calon suami harus berada dalam satu ruangan sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua pihak saling mendengar dan Memahami secara jelas ijab dan kabul yang mereka ucapkan. Sehingga ijab dan Kabul benar-benar sejalan dan bersambung.

Menurut Imam Syafi'i, dua orang saksi juga harus melihat secara langsung dua orang yang berakad.  Dua orang saksi tidak cukup hanya mendengar ucapan ijab dan kabul yang diucapkan oleh mereka. Kepastian itu diperoleh saksi melalui penglihatan dan pendengaran yang sempurna. Meskipun keabsahan suatu ucapan atau perkataan dapat dipastikan dengan pendengaran yang jelas, namun kepastian itu harus diperoleh dengan melihat secara langsung wali dan calon suami.

Apabila wali berteriak keras mengucapkan ijab dari satu tempat, kemudian disambut oleh Kabul calon suami dengan suara keras pula dari tempat lain, dan masing-masing pihak saling mendengar ucapan yang lain, maka aka nikah seperti itu tidak sah. Karena, kedua saksi tidak dapat melihat dua orang yang melakukan ijab dan kabul dalam satu ruangan. Dengan demikian, menurut Imam Syafi'i, akad nikah jarak jauh melalui telepon tidak dapat dipandang sah karena syarat tersebut di atas tidak terpenuhi. Sementara pendapat berbeda diungkapkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dalam kumpulan fatwanya. Menurut Majelis Tarjih, yang dimaksud dengan ijab kabul dilakukan dalam satu majelis adalah ijab dan kabul terjadi dalam satu waktu. Yang lebih dipentingkan adalah kesinambungan waktu bukan tempat.
 
          3.   Kloning

Kata kloning ini berasal dari kata “clone” kata dalam bahasa inggris yang berarti potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman, kloning ini pertama kali muncul dari usulan Herbert Webber pada tahun 1903 dalam mengistilahkan sekelompok individu makhluk hidup yang dilahirkan dari satu induk tanpa proses seksual.

Secara definisi dan pengertian, cloning adalah suatu upaya tindakan untuk memproduksi atau menggandakan sejumlah individu yang hasilnya secara genetik samapersis (identik) berasal dari induk yang sama, mempunyai susunan (jumlah dan gen) yang sama. Sedangkan cloning adalah sejumlah organisme hewan maupun tumbuhan yang terbentuk melalui hasil reproduksi seksual dan berasal dari satu induk yang sama. Setiap bagian dari klon tersebut memiliki susunan dan jumlah gen yang sama dan kemungkinan besar fenotipnya juga akan sama. Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian).

Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer. Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari ayat berikut:






Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …” (QS. 22/al-Hajj: 5).

Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa ayat tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia mencegah tindakantindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.

Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi ilmiah atas kloning manusia, apakah akan merusak keimanan kepada AllahSwt sebagai Pencipta? Abul Fadl menyatakan “tidak”, berdasarkan pada pernyataan al-Qur’an bahwa AllahSwt telah menciptakan Nabi Adam As. tanpa ayah dan ibu, dan Nabi  Isa As. tanpa ayah, sebagai berikut: )59 :




“Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran: 59). Pada surat yang sama juga dikemukakan:








“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya al-Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara orang-orang yang saleh. Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”. Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran: 45-47).

Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah. Namun, kendati Allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualianpengecualian bagi sistem umum tersebut, seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan Isa As. Jika kloning manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak AllahSwt. Semua itu, jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak mengurangi keimanan kita kepada AllahSwt sebagai Pencipta, karena bahan-bahan utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda ciptaan AllahSwt.

Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan suami-isteri dan hubungan anak-orang tua, dan akan berujung pada kehancuran institusi keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum Islam tentang waris yang didasarkan pada pertalian darah.

Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz Sachedina dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan mengandung ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan hancurnya lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang Tuhan, dengan bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum. M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta juga berpendapat teknik kloning diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan institusi pernikahan yang mulia (misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak), juga akan menghancurkan manusia sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai dengan environment-nya yang dapat hidup).

Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut masalah hak waris dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning hanya mempunyai DNA dari donor nucleus saja, sehingga walaupun nukleus berasal dari suami (ayah si anak), maka DNA yang ada dalam tubuh anak tidak membawa DNA ibunya. Dia seperti bukan anak ibunya (tak ada hubungan darah, hanya sebagai anak susuan) dan persis bapaknya (haram menikah dengan saudara sepupunya, terlebih saudara sepupunya hasil kloning juga). Selain itu, menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa beberapa kelakuan abnormal seperti kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan kelainan kromosan.

Demikian pula masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh single parent, barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari suami dan yang mengandung bukan ibunya.

Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan alasan sebagai berikut:
a.   Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami agama.
b.   Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu 
c.   Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia ketahui (lihat QS. 96/al-‘Alaq).
d.   Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah (lihat ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).

Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari takdir (kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap kemajuan teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam. Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan ataupun membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan di dalamnya. Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:

Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih bersifat tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang mempunyai implikasi sosial praktis sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di laboratorium baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran dan logika tersendiri pula.

Dalam mencari batas “keseimbangan” antara kemajuan IPTEK dan Doktrin Agama, pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejuh mana para ilmuan, budayawan dan agamawan dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi dan orientasi tersebut? Menekankan satu sisi dengan melupakan atau menganggap tidak adanya sisi yang lain, cepat atau lambat, akan membuat orang “tertipu” dan “kecewa”. Dari situ barangkali perlu dipikirkan format kajian dan telaah yang lebih seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan memahami kedua sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak zamannya sekarang, jika seseorang ingin menelaah persoalan kloning secara utuh, tetapi tidak memperhatikan kedua sisi tersebut secara sekaligus.

Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka kloning itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita cegah agar tidak menimbulkan bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.

Untuk menentukan apakah syari’at membenarkan pengambilan manfaat terapeutik dari kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a vis mudharat dari praktek ini. Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini, maka manfaat dan mudharat terapeutik dari kloning manusia dapat diuraikan sebagai berikut:

1)       Mengobati penyakit.
Teknologi kloning kelak dapat membantu manusia dalam menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang, lemak, jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan. Sekedar melakukan riset kloning manusia dalam rangka menemukan obat atau menyingkap misteri-misteri penyakit yang hingga kini dianggap tidak dapat disembuhkan adalah boleh, bahkan dapat dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset seperti ini karena ada sebuah hadits yang menyebutkan: “Untuk setiap penyakit ada obatnya”. Namun, perlu ditegaskan bahwa pengujian tentang ada tidaknya penyakit keturunan pada janin-janin hasil kloning guna menghancurkan janin yang terdeteksi mengandung penyakit tesebut dapat melanggar hak hidup manusia.

2)       Infertilitas.
Kloning manusia memang dapat memecahkan problem ketidaksuburan, tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Ian Wilmut, A.E. Schieneke, J. Mc. Whir, A.J. Kind, dan K.H.S. Campbell harus melakukan 277 kali percobaan sebelum akhirnya berhasil mengkloning “Dolly”. Kloning manusia tentu akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit. Pada eksperimen awal untuk menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan hidup akan terjadi banyak sekali keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari sekian banyak embrio yang dihasilkan hanya satu embrio, yang akhirnya ditanam ke rahim wanita pengandung sehingga embrio-embrio lainnya akan dibuang atau dihancurkan. Hal ini tentu akan menimbulkan problem serius, karena nenurut syari’at pengancuran embrio adalah sebuah kejahatan. Selain itu, teknologi kloning melanggar sunnatullah dalam proses normal penciptaan manusia, yaitu bereproduksi tanpa pasangan seks, dan hal ini akan meruntuhkan institusi perkawinan. Produksi manusia-manusia kloning juga sebagaimana dikemukakan di atas, akan berdampak negatif pada hukum waris Islam (al-mirâts).

3)       Organ-organ untuk transplantasi.
Ada kemungkinan bahwa kelak manusia dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh manusia hasil kloning. Manipulasi teknologi untuk mengambil manfaat dari manusia hasil kloning ini dipandang sebagai kejahatan oleh hukum Islam, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hidup manusia Namun, jika penumbuhan kembali organ tubuh manusia benar-benar dapat dilakukan, maka syari’at tidak dapat menolak pelaksanaan prosedur ini dalam rangka menumbuhkan kembali organ yang hilang dari tubuh seseorang, misalnya pada korban kecelakaan kerja di pertambangan atau kecelakaan-kecelakaan lainnya. Tetapi, akan muncul pertanyaan mengenai kebolehan menumbuhkan kembali organ tubuh seseorang yang dipotong akibat kejahatan yang pernah dilakukan.

4)       Menghambat Proses Penuaan.
Ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning. Namun hal ini bertentangan dengan hadits yang menceritakan peristiwa berikut: Orang-orang Badui datang kepada NabiSaw, dan berkata: “Hai Rasulallah, haruskah kita mengobati diri kita sendiri? NabiSaw menjawab: “Ya, wahai hambahamba Allah, kalian harus mengobati (diri kalian sendiri) karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa menyediakan obatnya, kecuali satu macam penyakit”. Mereka bertanya: “Apa itu?” Nabi Saw menjawab: “Penuaan”.

5)       Jual beli embrio dan sel.
Sebuah riset bisa saja mucul untuk memperjual-belikan embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi semacam ini dianggap bâthil (tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbanganSeseorang tidak boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya. Sebuah hadits menyatakan: “Di antara orang-orang yang akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Akhir adalah orang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasilnya”. Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi kloning manusia jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya, dan karenanya umat Islam tidak dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari kloning manusia.

SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar