KEBEBASAN
MANUSIA DAN TAKDIR
Hampir setiap orang menginginkan kemauannya
terwujud baik itu kemauan baik maupun kemauan buruk. Hanya saja ada kemauan
tertentu yang dapat terwujud dengan syaratsyarat tertentu. Di sini hukum
kausalitas berlaku. Tetapi ada juga kemauan orang-orang tertentu yang terwujud
tanpa bergantung pada syarat apapun. Meski demikian, kemauan yang terwujud itu
tak mungkin bersalahan dengan takdir Allah SWT sebagai tampak pada hikmah
berikut ini.
“Kemauan
keras tak bisa menerobos pagar takdir.”
Kalau mau dipetakan, menurut Syekh Zarruq
kemauan manusia terdiri atas tiga macam. Pertama, ada kemauan yang tinggal
kemauan tanpa upaya dan tanpa hasil. Kemauan seperti ini kerap kali kita dapati
melekat pada banyak orang di sekitar kita terutama pada kebaikan sehingga kita
sering mendengar orang mengatakan, ‘Saya sebenarnya ingin sekali menghadiri
majelis taklim, menuntut ilmu,’ tanpa ada upaya riil. Kedua, kemauan kuat yang
diiringi usaha nyata dengan atau tanpa hasil. Ini kita temukan pada pegawai
kantoran, petani, nelayan, pemulung, pengusaha, dan seterusnya. Ketiga, kemauan
kuat tanpa upaya, tetapi membawa hasil. Kemauan seperti ini jarang kita temukan
karena kemauan seperti ini hanya dimiliki oleh para rasul, wali Allah, dan para
wali setan seperti penyihir dan lain sebagainya.
“Menurut Syekh Zarruq, kemauan keras itu
dapat terjadi sesuai ke mana takdir itu berpihak. Hal ini ditunjukkan oleh
dalil aqli dan naqli seperti firman Allah, ‘Allah menentukan segala sesuatu,’
dan sabda Rasulullah SAW, ‘Segala sesuatu itu sesuai dengan putusan dan takdir
termasuk kelemahan dan kecerdasan.’ Kemauan terbagi tiga. Pertama, kemauan
lemah, yaitu hasrat yang menghadirkan tekad dan keteguhan tanpa upaya nyata dan
pengaruh konkret (hasil). Kedua, kemauan standar, yaitu hasrat yang melahirkan
upaya nyata di samping tekad, dan totalitas di samping keteguhan baik berhasil
atau tidak atas upaya dan tekadnya. Ketiga, kemauan keras, yaitu hasrat berupa
kekuatan jiwa yang berpengaruh dalam dunia nyata tanpa tergantung pada sebab
seperti ahli hipnotis dengan mata, penyihir berdasar simpul-simpul peraga,
mereka yang melatih konsentrasinya dengan memfokuskan pikiran, atau seorang
wali berdasarkan keyakinannya. Pengaruh dari kemauan keras mereka atas sesuatu
dapat nyata terjadi tanpa didasarkan pada gerak (upaya). Tetapi semua itu
terjadi berdasarkan putusan dan takdir Allah. Allah berfirman mengenai para
penyihir pada Surat Al-Baqarah ayat 102, ‘Mereka tidak bisa memberi mudharat
pada apapun selain dengan izin Allah.”
Kemauan keras atau kemauan pada kategori
ketiga dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, kemauan untuk tujuan baik
(kemauan mulia) seperti mencari ridha Allah, kemakrifatan, dan seterusnya.
Kedua, kemauan untuk tujuan buruk (kemauan tercela) seperti kesenangan duniawi
dan seterusnya. Tetapi sekuat apapun kemauan keras itu, putusan dan takdir
Allah tetap mengatasinya sehingga para rasul, para wali Allah, dan hali
makrifat lainnya– ketika kemauan kerasnya tak terwujud–tetap menjaga adab
waktu.
“Ketika kemauan keras seorang sufi yang
tajrid (sebuah maqam di mana kebutuhannya tersedia
tanpa usaha) tak pernah meleset karena sabda Rasulullah SAW ‘Allah mempunyai
sejumlah hamba yang bila bersumpah atas nama-Nya niscaya Allah akan
mewujudkannya,’ kata guru kami, ‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila
menginginkan sesuatu niscaya terjadi berkat izin-Nya,’ dan sabda Rasulullah,
‘Takutlah kepada firasat orang beriman karena ia melihat dengan cahaya Allah,’
Syekh Ibnu Athaillah khawatir seseorang mengira bahwa kemauan keras (himmah) mereka
dapat menerobos pagar takdir dan bergerak di luar ketentuan putusan dan takdir
Allah. Karenanya Syekh Ibnu Athaillah mengangkat hikmah, ‘Kemauan keras tak
bisa menerobos pagar takdir...’ Kemauan (himmah) adalah kekuatan hati yang
tergugah dalam menuntut sesuatu dan memikirkannya. Bila sesuatu itu mulia,
yaitu makrifatullah dan pengharapan atas ridha-Nya, maka kemauan itu disebut
himmah ‘aliyah. Tetapi jika sesuatu itu nista, yaitu mengejar dunia dan
bagian-bagian dari duniawi, maka kemauan itu disebut himmah daniyyah.
‘Sawabiqul himam’ merupakan pelekatan diterangkan (D) pada menerangkan (M).
Maksud dari ‘Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir’ adalah bila seorang
arifin dan murid memikirkan sesuatu dan berkemauan keras, niscaya Allah mewujudkannya
seketika dengan kuasaNya hingga semua urusannya menjadi urusan Allah. Kemauan
al-arif billah mengarah pada sesuatu. Jika sesuai dengan putusan Allah, maka
kemauan itu akan terwujud dengan izin-Nya. Tetapi bila pagar takdir tertutup,
maka keinginan itu tak bisa menerobosnya tetapi justru ia menyesuaikan dengan
adab yang seharusnya dalam kondisi demikian terhadap Allah dan keinginan itu
kembali pada sifatnya, yaitu penghambaan tanpa penyesalan dan kesedihan. Bahkan
ia menjadi senang karena keinginan itu kembali pada tempatnya dan sesuai pada
sifat aslinya. Guru dari guru kami, Syekh Ali RA berkata, ‘Kami bila ingin
sesuatu dan mengatakannya, lalu terwujud, kami sekali senang. Tetapi bila
keinginan kami tak terwujud, maka kami sepuluh kali lipat senangnya.’ Hal ini
terjadi karena kesejatian makrifatullah orang tersebut. Ketika ditanya, ‘Dengan
apa kau kenal Tuhanmu?’ Seorang ulama menjawab, ‘Dengan pembatalan kemauan dan
hasrat (kami).’ Kemauan kuat dapat terwujud sekalipun orang yang
menginginkannya tidak sempurna seperti mereka yang mengandalkan kekuatan mata
dan penyihir atau sebuah benda yang Allah berikan keistimewaan padanya. Ketika
keduanya memandang sesuatu dengan tujuan tertentu, maka sesuatu yang dipandang
itu akan berubah sesuai kemauan mereka berdua dengan izin Allah. Semua itu juga
takkan dapat menerobos pagar takdir. Itu terjadi hanya karena kehendak Allah
yang maha esa dan kuasa sesuai firman Allah, ‘Mereka tidak bisa mencelakai
seorang pun kecuali dengan izin Allah,’ ‘Sungguh, kami menciptakan sesuatu
dengan takdir,’ ‘Tidaklah kalian berkehendak kecuali Allah menghendaki,’ dan
sabda Rasulullah SAW, ‘Setiap sesuatu mesti sesuai putusan dan takdir termasuk
lemah dan kecerdasan (maksudnya semangat bergerak).’ Hikmah ini menyatakan
secara tersirat bahwa kemauan yang kendur dan lemah tidak membekas apapun dalam
kehidupan nyata sekalipun itu berupa kebaikan maupun keburukan. Kata
‘menerobos’ dan ‘pagar’ mengisyaratkan kekuatan di kedua pihak. Tetapi dinding
yang memagari itu begitu perkasa sehingga tiada artinya kekuatan seorang hamba
yang serba terbatas. Kalau sebuah kemauan keras saja (dalam pengertian Syekh
Zarruq) tidak bisa menerobos pagar takdir, apa artinya gagasan yang masih dalam
rencana dan upaya sebagai diisyaratkan dalam hikmah Ibnu Athaillah berikutnya,
‘Rihatkan dirimu dari rencana-rencana. Apa yang dilakukan oleh selainmu (Allah)
untukmu, jangan lagi kau melakukannya.”
Meskipun semua terjadi berdasarkan kehendak
Allah, kita tetap harus mempertimbangkan hukum kausalitas, hukum alam sebagai
ketetapan Allah. Pasalnya, hukum kausalitas dan hokum alam sebagai sunatullah
cukup kuat dan kuasa. Syekh M Said Ramadhan Al-Buthi menjelaskan bahwa:
“Jawabannya dapat diringkas bahwa sikap kita
terhadap Allah harus sesuai dengan perintah-Nya. Sedangkan sikap kita terhadap
sunatullah harus sesuai dengan hukumhukum alam yang ditetapkan oleh-Nya sebagai
asas keteraturan alam. Allah memerintahkan kita untuk makan bila lapar, minum
bila haus, mencari obat bila sakit, dan menjaga kesehatan serta waspada
terhadap segala yang menyebabkan kita celaka dan sakit. Kemudian Allah juga
memerintahkan kita untuk mengetahui dengan ilmul yakin bahwa tidak ada satupun
yang berbuat sesuatu selain Allah, tiada sesuatu berpengaruh selain dengan
sunatullah. Kita juga diperintahkan untuk meyakini bahwa Allah menciptakan
segala sesuatu dan memerintahkan segala sesuatu di alam ini untuk menjalankan
tugas sesuai amanah yang dititipkan padanya sebagai firman Allah pada Surat
Al-Araf ayat 54, ‘Ketahuilah, di hanya milik-Nya segenap makhluk dan segenap
urusan.”
Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menempatkan
takdir dengan menyarankan untuk memperhatikan hukum kausalitas dan hukum alam.
Meskipun sakit dan sehat adalah kehendak Allah, kita sebagai
manusia–menurutnya–harus tetap berupaya untuk menjaga kesehatan dan berupaya
hidup sehat. Di tangan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, takdir mengajarkan kita
menjadi manusia secara wajar dan fithri. Jangan sekali-kali tidak tertib lalu
lintas.
Jangan berdiam diri tanpa mencari obat ketika
sakit meski kesembuhan ada di tangan Allah. Jangan coba-coba berdiam diri tidak
belajar, tidak sekolah, tidak ngaji, tidak mondok. Aqidah Ahlussunnah
menetapkan bahwa Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan. Namun demikian
ada beberapa faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini dengan mengutip
beberapa ayat yang sering disalahpahami oleh mereka, di antaranya, mereka mengutip
firman Allah:
Yang artinya :
“Dengan kekuasaan-Mu segala kebaikan”. (QS.
Ali ‘Imran: 26).
Dalam ayat di atas, terkesan Allah hanya
menyebutkan kata “al-Khayr” (kebaikan) saja, tidak menyebutkan al-Syarr
(keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya menciptakan kebaikan saja, adapun
keburukan bukan ciptaan-Nya. Kata al-Syarr (keburukan) tidak disandingkan
dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa Allah
bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah
satu cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’; yaitu meninggalkan
penyebutan suatu kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam
ini di dalam al-Qur’an firman Allah:
Yang artinya :
“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian
pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari dari panas”. (QS. an-Nahl: 81).
Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang
memelihara kalian dari panas, dan juga dari dingin. Artinya, tidak khusus
memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan pemahaman firman Allah:
“Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti Allah khusus
menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala
kebaikan dan juga segala keburukan. Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain
dalam al-Qur’an Allah berfirman:
Yang artinya : “Dan Dia Allah yang telah
menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).
Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna
“sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala suatu apapun selain Allah. Mencakup
segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala perbuatan manusia, juga
termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala apapun selain
Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:
Yang artinya : “Katakanlah (Wahai
Muhammad), Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang
Engkau kehendaki”. (QS. Ali ‘Imran: 26).
Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya
Allah) berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami
bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan keburukan. Allah yang memberikan
kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah pula yang memberikan
kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain. Adapun firman Allah:
Yang artinya :
Ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan
Allah, sementara keburukan sebagai ciptaan manusia. Pemaknaan
seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan kekufuran. Makna yang
benar ialah, sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama, bahwa kata
“Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya
musibah atau bala (bencana).
Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala
apapun dari nikmat yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala
apapun dari musibah dan bencana yang menimpamu adalah balasan dari
kesalahanmu”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan oleh seorang manusia akan
dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala. Dalam hukum kausalitas, ada sesuatu
yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai
sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi akibat kebakaran, makan
sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain.
Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa
sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya.
Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing.
Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan
Allah. Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah,
api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala
akibat jika tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak
akan pernah terjadi. Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:
Yang artinya :
“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala
obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka
sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).
Sabda Rasulullah dalam hadits di atas, “…
maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat
memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena ini nyata dalam kehidupan
kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam
penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas
penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang
sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh.
Tentunya apa bila obat bisa memberikan
kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat
tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud
sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”. Dengan demikian dapat
kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula
adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan
ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptakan kesembuhan.
Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya,
semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib
berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang
menciptakan segala sebab dan segala akibat. Salah satu tanda orang mukmin
sejati adalah memiliki sikap tawakal kepada Allah subhānahu wa ta‘ālā. Tawakal
merupakan bagian dari buah tauhid. Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad
dalam kitabnya berjudul Risālatul Mu‘āwanah wal Mudhāharah wal Muwāzarah
menjelaskan tentang tiga tanda orang yang benar-benar bertawakal sebagai
berikut:
“Ada tiga tanda bagi orang yang bertawakal
dengan sebenarnya, yakni:
Pertama,
tidak berharap kecuali kepada Allah sekaligus tidak takut kecuali kepada-Nya.
Hal itu ditandai dengan keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar di hadapan
seseorang yang umumnya orang memiliki harapan sekaligus merasa takut kepadanya
seperti para amir dan raja.” Tanda
pertama ini berkiatan erat dengan apa yang diucapkan seorang Muslim dalam
setiap menunaikan shalatnya, yakni pada saat membaca surah Al-Fatihah, ayat
5:
Yang
artinya :
“Hanya kepada Engulah kami menyembah dan
hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”
Wujud menyembah dan memohon pertolongan hanya
kepada Allah tentu saja tidak hanya berupa shalat, tetapi juga dalam bertawakal
kepada-Nya dalam seluruh urusan hidup dan mati. Orang-orang yang benar-benar
bertawakal kepada Allah tidak merasa takut untuk berkata benar di depan para
penguasa maupun orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja.
Demikian pula mereka tidak takut berkata
“tidak” ketika suatu persoalan bertentangan dengan apa yang telah disyariatkan
oleh Allah meskipun mendapat ancaman atau hukuman dari para penguasa maupun
dari orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja. Jadi orang yang
bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan menyerahkan seluruh
urusannya kepada Yang Maha Satu semata sehingga tidak ada yang mereka takuti
kecuali Allah.
“Kedua, tidak
pernah merisaukan masalah rezeki disebabkan merasa yakin akan adanya jaminan
Allah sehingga hatinya tetap tenang dan tentram di kala suatu keuntungan luput
darinya, sama seperti di kala ia memperolehnya.” Tanda kedua ini berkaitan erat
dengan jaminan Allah tentang rezeki sebagaimana termaktub dalam surah Al-An’am,
ayat 151:
Yang artinya :
“Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu dan
kepada mereka.” Orang-orang yang benar-benar
bertawakal kepada Allah tidak menujukkan kekhawatiran dan ketakutannya
berkaitan dengan rezeki bagi dirinya maupun bagi orang-orang yang menjadi
tanggungannya. Hal ini disebabkan mereka meyakini kebenaran surah AlAn’am, ayat
151 di atas. Allahlah yang memberi rezeki kepada setiap makhluk yang
diciptakannya. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada
Allah tetap merasa tenang ketika kesulitan ekonomi sedang melanda baik dalam
sekala terbatas mapun luas sebagaimana ketika ekonomi sedang dalam puncak
kesuksesan. Seorang karyawan perusahaan yang terkena PHK karena sesuatu hal
sedangkan ia benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang karena
meyakini “Bos Besar” tidak pernah mem-PHK siapapun. Dialah – dan bukan bos
kecil - yang memberinya rezeki lewat pintu mana saja yang Dia kehendaki.
“Ketiga,
tidak pernah hatinya terguncang pada saat diperkirakan akan datangnya suatu bahaya
disebabkan ia yakin sepenuhnya bahwa tak satu pun ditetapkan ia terhindari
darinya, akan tetap menimpanya; dan tak satu pun ditetapkan akan menimpanya,
akan terhindar dari dirinya.” Tanda
ketiga ini berkaitan dengan keyakinan akan ketetapan Allah. Orang-orang yang
benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang menghadapi segala
keadaan yang mungkin terjadi disebabkan keridhaannya atas apa yang telah
ditetapkan-Nya.
Ancaman bahaya sebesar apapun tidak akan mengguncangkan
jiwa mereka. Mereka meyakini apa yang akan terjadi kepada mereka hanyalah apa
yang telah ditetapkan-Nya. Singkatnya, orang-orang yang benar-benar bertawakal
kepada Allah akan terlihat tanda-tandanya dari tiga hal. Pertama, mereka
mandiri dan berani dalam mengatakan kebenaran tanpa rasa takut akan hukuman
dari orang-orang berkuasa dan berpengaruh. Kedua, mereka tidak merisaukan soal
rejeki karena meyakini Allah telah menjamin rezeki bagi semua yang
diciptakan-Nya. Ketiga, mereka bersikap tenang terhadap musibah yang akan menimpa
atau tidak akan menimpa mereka karena mengimani takdir dan iradat Allah.
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar