Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Selasa, 02 Juli 2019

ANTARA KEBEBASAN MANUSIA DAN TAKDIR



KEBEBASAN MANUSIA DAN TAKDIR

Hampir setiap orang menginginkan kemauannya terwujud baik itu kemauan baik maupun kemauan buruk. Hanya saja ada kemauan tertentu yang dapat terwujud dengan syaratsyarat tertentu. Di sini hukum kausalitas berlaku. Tetapi ada juga kemauan orang-orang tertentu yang terwujud tanpa bergantung pada syarat apapun. Meski demikian, kemauan yang terwujud itu tak mungkin bersalahan dengan takdir Allah SWT sebagai tampak pada hikmah berikut ini.

“Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir.”

Kalau mau dipetakan, menurut Syekh Zarruq kemauan manusia terdiri atas tiga macam. Pertama, ada kemauan yang tinggal kemauan tanpa upaya dan tanpa hasil. Kemauan seperti ini kerap kali kita dapati melekat pada banyak orang di sekitar kita terutama pada kebaikan sehingga kita sering mendengar orang mengatakan, ‘Saya sebenarnya ingin sekali menghadiri majelis taklim, menuntut ilmu,’ tanpa ada upaya riil. Kedua, kemauan kuat yang diiringi usaha nyata dengan atau tanpa hasil. Ini kita temukan pada pegawai kantoran, petani, nelayan, pemulung, pengusaha, dan seterusnya. Ketiga, kemauan kuat tanpa upaya, tetapi membawa hasil. Kemauan seperti ini jarang kita temukan karena kemauan seperti ini hanya dimiliki oleh para rasul, wali Allah, dan para wali setan seperti penyihir dan lain sebagainya.
 
“Menurut Syekh Zarruq, kemauan keras itu dapat terjadi sesuai ke mana takdir itu berpihak. Hal ini ditunjukkan oleh dalil aqli dan naqli seperti firman Allah, ‘Allah menentukan segala sesuatu,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Segala sesuatu itu sesuai dengan putusan dan takdir termasuk kelemahan dan kecerdasan.’ Kemauan terbagi tiga. Pertama, kemauan lemah, yaitu hasrat yang menghadirkan tekad dan keteguhan tanpa upaya nyata dan pengaruh konkret (hasil). Kedua, kemauan standar, yaitu hasrat yang melahirkan upaya nyata di samping tekad, dan totalitas di samping keteguhan baik berhasil atau tidak atas upaya dan tekadnya. Ketiga, kemauan keras, yaitu hasrat berupa kekuatan jiwa yang berpengaruh dalam dunia nyata tanpa tergantung pada sebab seperti ahli hipnotis dengan mata, penyihir berdasar simpul-simpul peraga, mereka yang melatih konsentrasinya dengan memfokuskan pikiran, atau seorang wali berdasarkan keyakinannya. Pengaruh dari kemauan keras mereka atas sesuatu dapat nyata terjadi tanpa didasarkan pada gerak (upaya). Tetapi semua itu terjadi berdasarkan putusan dan takdir Allah. Allah berfirman mengenai para penyihir pada Surat Al-Baqarah ayat 102, ‘Mereka tidak bisa memberi mudharat pada apapun selain dengan izin Allah.” 

Kemauan keras atau kemauan pada kategori ketiga dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, kemauan untuk tujuan baik (kemauan mulia) seperti mencari ridha Allah, kemakrifatan, dan seterusnya. Kedua, kemauan untuk tujuan buruk (kemauan tercela) seperti kesenangan duniawi dan seterusnya. Tetapi sekuat apapun kemauan keras itu, putusan dan takdir Allah tetap mengatasinya sehingga para rasul, para wali Allah, dan hali makrifat lainnya– ketika kemauan kerasnya tak terwujud–tetap menjaga adab waktu.
“Ketika kemauan keras seorang sufi yang tajrid (sebuah maqam di mana kebutuhannya tersedia tanpa usaha) tak pernah meleset karena sabda Rasulullah SAW ‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila bersumpah atas nama-Nya niscaya Allah akan mewujudkannya,’ kata guru kami, ‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila menginginkan sesuatu niscaya terjadi berkat izin-Nya,’ dan sabda Rasulullah, ‘Takutlah kepada firasat orang beriman karena ia melihat dengan cahaya Allah,’ Syekh Ibnu Athaillah khawatir seseorang mengira bahwa kemauan keras (himmah) mereka dapat menerobos pagar takdir dan bergerak di luar ketentuan putusan dan takdir Allah. Karenanya Syekh Ibnu Athaillah mengangkat hikmah, ‘Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir...’ Kemauan (himmah) adalah kekuatan hati yang tergugah dalam menuntut sesuatu dan memikirkannya. Bila sesuatu itu mulia, yaitu makrifatullah dan pengharapan atas ridha-Nya, maka kemauan itu disebut himmah ‘aliyah. Tetapi jika sesuatu itu nista, yaitu mengejar dunia dan bagian-bagian dari duniawi, maka kemauan itu disebut himmah daniyyah. ‘Sawabiqul himam’ merupakan pelekatan diterangkan (D) pada menerangkan (M). Maksud dari ‘Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir’ adalah bila seorang arifin dan murid memikirkan sesuatu dan berkemauan keras, niscaya Allah mewujudkannya seketika dengan kuasaNya hingga semua urusannya menjadi urusan Allah. Kemauan al-arif billah mengarah pada sesuatu. Jika sesuai dengan putusan Allah, maka kemauan itu akan terwujud dengan izin-Nya. Tetapi bila pagar takdir tertutup, maka keinginan itu tak bisa menerobosnya tetapi justru ia menyesuaikan dengan adab yang seharusnya dalam kondisi demikian terhadap Allah dan keinginan itu kembali pada sifatnya, yaitu penghambaan tanpa penyesalan dan kesedihan. Bahkan ia menjadi senang karena keinginan itu kembali pada tempatnya dan sesuai pada sifat aslinya. Guru dari guru kami, Syekh Ali RA berkata, ‘Kami bila ingin sesuatu dan mengatakannya, lalu terwujud, kami sekali senang. Tetapi bila keinginan kami tak terwujud, maka kami sepuluh kali lipat senangnya.’ Hal ini terjadi karena kesejatian makrifatullah orang tersebut. Ketika ditanya, ‘Dengan apa kau kenal Tuhanmu?’ Seorang ulama menjawab, ‘Dengan pembatalan kemauan dan hasrat (kami).’ Kemauan kuat dapat terwujud sekalipun orang yang menginginkannya tidak sempurna seperti mereka yang mengandalkan kekuatan mata dan penyihir atau sebuah benda yang Allah berikan keistimewaan padanya. Ketika keduanya memandang sesuatu dengan tujuan tertentu, maka sesuatu yang dipandang itu akan berubah sesuai kemauan mereka berdua dengan izin Allah. Semua itu juga takkan dapat menerobos pagar takdir. Itu terjadi hanya karena kehendak Allah yang maha esa dan kuasa sesuai firman Allah, ‘Mereka tidak bisa mencelakai seorang pun kecuali dengan izin Allah,’ ‘Sungguh, kami menciptakan sesuatu dengan takdir,’ ‘Tidaklah kalian berkehendak kecuali Allah menghendaki,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Setiap sesuatu mesti sesuai putusan dan takdir termasuk lemah dan kecerdasan (maksudnya semangat bergerak).’ Hikmah ini menyatakan secara tersirat bahwa kemauan yang kendur dan lemah tidak membekas apapun dalam kehidupan nyata sekalipun itu berupa kebaikan maupun keburukan. Kata ‘menerobos’ dan ‘pagar’ mengisyaratkan kekuatan di kedua pihak. Tetapi dinding yang memagari itu begitu perkasa sehingga tiada artinya kekuatan seorang hamba yang serba terbatas. Kalau sebuah kemauan keras saja (dalam pengertian Syekh Zarruq) tidak bisa menerobos pagar takdir, apa artinya gagasan yang masih dalam rencana dan upaya sebagai diisyaratkan dalam hikmah Ibnu Athaillah berikutnya, ‘Rihatkan dirimu dari rencana-rencana. Apa yang dilakukan oleh selainmu (Allah) untukmu, jangan lagi kau melakukannya.” 

Meskipun semua terjadi berdasarkan kehendak Allah, kita tetap harus mempertimbangkan hukum kausalitas, hukum alam sebagai ketetapan Allah. Pasalnya, hukum kausalitas dan hokum alam sebagai sunatullah cukup kuat dan kuasa. Syekh M Said Ramadhan Al-Buthi menjelaskan bahwa:

“Jawabannya dapat diringkas bahwa sikap kita terhadap Allah harus sesuai dengan perintah-Nya. Sedangkan sikap kita terhadap sunatullah harus sesuai dengan hukumhukum alam yang ditetapkan oleh-Nya sebagai asas keteraturan alam. Allah memerintahkan kita untuk makan bila lapar, minum bila haus, mencari obat bila sakit, dan menjaga kesehatan serta waspada terhadap segala yang menyebabkan kita celaka dan sakit. Kemudian Allah juga memerintahkan kita untuk mengetahui dengan ilmul yakin bahwa tidak ada satupun yang berbuat sesuatu selain Allah, tiada sesuatu berpengaruh selain dengan sunatullah. Kita juga diperintahkan untuk meyakini bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan memerintahkan segala sesuatu di alam ini untuk menjalankan tugas sesuai amanah yang dititipkan padanya sebagai firman Allah pada Surat Al-Araf ayat 54, ‘Ketahuilah, di hanya milik-Nya segenap makhluk dan segenap urusan.” 

Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menempatkan takdir dengan menyarankan untuk memperhatikan hukum kausalitas dan hukum alam. Meskipun sakit dan sehat adalah kehendak Allah, kita sebagai manusia–menurutnya–harus tetap berupaya untuk menjaga kesehatan dan berupaya hidup sehat. Di tangan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, takdir mengajarkan kita menjadi manusia secara wajar dan fithri. Jangan sekali-kali tidak tertib lalu lintas.

Jangan berdiam diri tanpa mencari obat ketika sakit meski kesembuhan ada di tangan Allah. Jangan coba-coba berdiam diri tidak belajar, tidak sekolah, tidak ngaji, tidak mondok. Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan. Namun demikian ada beberapa faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini dengan mengutip beberapa ayat yang sering disalahpahami oleh mereka, di antaranya, mereka mengutip firman Allah:

Yang artinya :

“Dengan kekuasaan-Mu segala kebaikan”. (QS. Ali ‘Imran: 26).

Dalam ayat di atas, terkesan Allah hanya menyebutkan kata “al-Khayr” (kebaikan) saja, tidak menyebutkan al-Syarr (keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya menciptakan kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Nya. Kata al-Syarr (keburukan) tidak disandingkan dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa Allah bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’; yaitu meninggalkan penyebutan suatu kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam ini di dalam al-Qur’an firman Allah:

    Yang artinya :

“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari dari panas”. (QS. an-Nahl: 81).

Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan pemahaman firman Allah: “Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti Allah khusus menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala kebaikan dan juga segala keburukan. Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an Allah berfirman:

Yang artinya : “Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).

Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala apapun selain Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:

Yang artinya : “Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki”. (QS. Ali ‘Imran: 26).

Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah pula yang memberikan kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain. Adapun firman Allah:

Yang artinya :

Ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan Allah, sementara keburukan sebagai ciptaan manusia. Pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan kekufuran. Makna yang benar ialah, sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama, bahwa kata “Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya musibah atau bala (bencana).

Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala apapun dari nikmat yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala apapun dari musibah dan bencana yang menimpamu adalah balasan dari kesalahanmu”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan oleh seorang manusia akan dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala. Dalam hukum kausalitas, ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain.

Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah. Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi. Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:

Yang artinya :

“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).

Sabda Rasulullah dalam hadits di atas, “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh.

Tentunya apa bila obat bisa memberikan kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptakan kesembuhan.

Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat. Salah satu tanda orang mukmin sejati adalah memiliki sikap tawakal kepada Allah subhānahu wa ta‘ālā. Tawakal merupakan bagian dari buah tauhid. Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risālatul Mu‘āwanah wal Mudhāharah wal Muwāzarah menjelaskan tentang tiga tanda orang yang benar-benar bertawakal sebagai berikut:
  
“Ada tiga tanda bagi orang yang bertawakal dengan sebenarnya, yakni:

Pertama, tidak berharap kecuali kepada Allah sekaligus tidak takut kecuali kepada-Nya. Hal itu ditandai dengan keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar di hadapan seseorang yang umumnya orang memiliki harapan sekaligus merasa takut kepadanya seperti para amir dan raja.”  Tanda pertama ini berkiatan erat dengan apa yang diucapkan seorang Muslim dalam setiap menunaikan shalatnya, yakni pada saat membaca surah Al-Fatihah, ayat 5: 

Yang artinya :

“Hanya kepada Engulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” 

Wujud menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah tentu saja tidak hanya berupa shalat, tetapi juga dalam bertawakal kepada-Nya dalam seluruh urusan hidup dan mati. Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak merasa takut untuk berkata benar di depan para penguasa maupun orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja.

Demikian pula mereka tidak takut berkata “tidak” ketika suatu persoalan bertentangan dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah meskipun mendapat ancaman atau hukuman dari para penguasa maupun dari orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja. Jadi orang yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan menyerahkan seluruh urusannya kepada Yang Maha Satu semata sehingga tidak ada yang mereka takuti kecuali Allah.

Kedua, tidak pernah merisaukan masalah rezeki disebabkan merasa yakin akan adanya jaminan Allah sehingga hatinya tetap tenang dan tentram di kala suatu keuntungan luput darinya, sama seperti di kala ia memperolehnya.” Tanda kedua ini berkaitan erat dengan jaminan Allah tentang rezeki sebagaimana termaktub dalam surah Al-An’am, ayat 151:  
    Yang artinya :

“Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu dan kepada mereka.”  Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak menujukkan kekhawatiran dan ketakutannya berkaitan dengan rezeki bagi dirinya maupun bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Hal ini disebabkan mereka meyakini kebenaran surah AlAn’am, ayat 151 di atas. Allahlah yang memberi rezeki kepada setiap makhluk yang diciptakannya. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tetap merasa tenang ketika kesulitan ekonomi sedang melanda baik dalam sekala terbatas mapun luas sebagaimana ketika ekonomi sedang dalam puncak kesuksesan. Seorang karyawan perusahaan yang terkena PHK karena sesuatu hal sedangkan ia benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang karena meyakini “Bos Besar” tidak pernah mem-PHK siapapun. Dialah – dan bukan bos kecil - yang memberinya rezeki lewat pintu mana saja yang Dia kehendaki. 

Ketiga, tidak pernah hatinya terguncang pada saat diperkirakan akan datangnya suatu bahaya disebabkan ia yakin sepenuhnya bahwa tak satu pun ditetapkan ia terhindari darinya, akan tetap menimpanya; dan tak satu pun ditetapkan akan menimpanya, akan terhindar dari dirinya.”  Tanda ketiga ini berkaitan dengan keyakinan akan ketetapan Allah. Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang menghadapi segala keadaan yang mungkin terjadi disebabkan keridhaannya atas apa yang telah ditetapkan-Nya.

Ancaman bahaya sebesar apapun tidak akan mengguncangkan jiwa mereka. Mereka meyakini apa yang akan terjadi kepada mereka hanyalah apa yang telah ditetapkan-Nya. Singkatnya, orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah akan terlihat tanda-tandanya dari tiga hal. Pertama, mereka mandiri dan berani dalam mengatakan kebenaran tanpa rasa takut akan hukuman dari orang-orang berkuasa dan berpengaruh. Kedua, mereka tidak merisaukan soal rejeki karena meyakini Allah telah menjamin rezeki bagi semua yang diciptakan-Nya. Ketiga, mereka bersikap tenang terhadap musibah yang akan menimpa atau tidak akan menimpa mereka karena mengimani takdir dan iradat Allah.  



@menzour_id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar