TAKDIR:
MUBRAM DAN MUALLAQ
Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi
dengan kehendak Allah. Apa bila Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada
seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan menimpanya, sekalipun orang
tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sanak
kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa
yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan
kebaikan bentuk apapun. Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:
Yang artinya :
“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla
kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).
Qadla di dalam hadits di atas adalah Qadlā
Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa Qadla
terbagi kepada dua bagian: Qadlā Mubram dan Qadlā Mu’allaq.
Pertama:
Qadlā Mubram, ialah ketentuan Allah
yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu
Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti
ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqāwah), dan mati dalam keadaan
beriman (asSa’ādah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang
telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang
akan terjadi baginya, tidak akan pernah berubah. Sebaliknya, seorang yang telah
ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan kufur maka pasti itulah pula
yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada perbuatan
apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman:
Yang artinya “Allah menyesatkan terhadap orang yang Dia
kehendaki, dan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl:
93).
Kedua,
Qadlā Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah
yang berada pada lambaran-lembaran para Malaikat, yang telah mereka kutip dari
al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia berdoa maka ia akan berumur
seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan mendapatkan
kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau
tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan
mendapatkan rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan.
Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ Mu’allaq
atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada
lebaranlembaran para Malaikat. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak
dapat merubah ketentuan (Taqdīr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya,
karena mustahil sifat Allah bergantung kepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa
hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu
apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha mengetahui perbuatan manakah
yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi padanya sesuai yang
telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh.
Namun demikian doa adalah sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
Yang artinya :
“Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu
(Wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam
pengertian jarak), Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon
kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman
kepada-Ku, semoga mereka mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186).
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang yang
berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti akan mendapatkan salah satu dari
tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya yang dikabulkan, atau
mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari kelak. Semua
dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya.
Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para
hamba pasti dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula
yang tidak dikabulkan. Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh
seorang hamba kepada Allah adalah sebagai kebaikan bagi dirinya sendiri,
artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka.
Dalam keadaan apapun, seorang yang berdoa paling
tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita sebutkan di
atas. Pada nisfyu Sya’ban, dari dulu tradisi Islam Nusantara juga mengajukan
tiga permintaan kepada Allah SWT. Bagaimana memahami semua pengertian itu di
tengah tuntutan keimanan pada takdir? Dari semua itu kemudian tradisi Islam
Nusantara beranggapan bahwa doa bermanfaat bagi putusan atau takdir Allah yang
masih menggantung di Lauh Mahfuzh.
Terkait ini, selanjutnya dikenal dengan
istilah takdir mubram dan takdir muallaq di kalangan tradisi Islam Nusantara.
Doa atau permintaan masyarakat dalam nisfu Syaban atau melalui bentuk sedekah
dipercaya oleh tradisi Islam Nusantara dapat “mengubah” bala yang ditakdirkan
Allah SWT akan menimpa mereka, terutama takdir muallaq yang realisasinya sangat
berkaitan erat dengan doa.
“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan
apa yang belum datang (dari langit). Bala pun akan datang dan bertemu dengan
doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa ‘berperang’ hingga hari qiamat. Doa
bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq),
maka tidak mustahil menghilangkan apa (putusan) yang penghilangannya
digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa (putusan) yang
penghadirannya digantungkan pada doa.”
Situasi takdir muallaq berlainan dengan
takdir mubram. Doa tidak dapat mengubah kenyataan yang digariskan dalam takdir
mubram. Meskipun demikian, doa dipercaya dapat meminimalisir dampak bala yang
timbul karena takdir mubram.
“Adapun
perihal pertama (qadha mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat menghilangkan
bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa. Misalnya,
ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa
tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan
Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi remuk
berkeping-keping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang
jatuh menimpanya.”
Meskipun takdir terbagi dua, muallaq dan
mubram, kita sebagai manusia tidak mengetahui mana takdir muallaq dan takdir
mubram. Oleh karena itu, ahlusunnah wal jamaah memandang doa sebagai ikhtiar
manusiawi yang tidak boleh ditinggalkan sebagaimana pada umumnya aliran
ahlusunnah wal jamaah memandang perlunya ikhtiar dalam segala hal, bukan
menyerah begitu saja pada putusan takdir. Dari sini, kita dapat memahami tiga
permintaan atau doa yang lazim diamalkan masyarakat Indonesia di malam nisfu
Syaban sebagai bentuk ikhtiar dalam menolak bala dan ikhtiar dalam mendatangkan
kemaslahatan.
“Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq
itu tampak pada Lauh Mahfuzh. Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu
bersifat mubram karena ketika Allah mengetahui datangnya putusan muallaq, maka
hasillah muallaq tersebut, dan tidak boleh tidak ketika Allah mengetahui
ketiadaan putusan muallaq, maka tiadalah muallaq tersebut. Tetapi manusia tiada
jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan doa hanya karena bersandar pada
putusan qadha tersebut sebagaimana larangan seseorang untuk meinggalkan makan
karena bersandar pada putusan Allah perihal kenyang.”
Sementara aliran muktazilah tidak mempercayai
peran dan manfaat doa karena kata ‘doa’ dalam Al-Quran itu adalah ibadah secara
umum. “Siapa saja yang beribadah, niscaya Allah akan menerimanya,” menurut
mereka. Mereka tidak mengartikan ayat itu demikian, “Siapa saja yang berdoa,
niscaya Allah akan mengabulkannya.”
“Bagi kalangan Muktazilah, doa tidak
memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh dalam kekufuran dengan pandangan
demikian karena mereka tidak mendustakan AlQuran perihal ini seperti ayat
‘Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka menakwil kata ‘seruan’ dengan
ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala.”
Meskipun demikian, kelompok ahlusunnah wal
jamaah Asy’ariyah tidak menempatkan aliran muktazilah ke dalam aliran kufur
karena mereka masih meyakini Al-Quran sebagai wahyu Allah. Semua pengertian
yang diangkat oleh pendukung kelompok ahlusunnah wal jamaah Asy’ariyah ini
dimaksudkan agar umat Islam tidak salah paham menempatkan signifikansi doa,
peran ikhtiar manusia, dan dapat meningkatkan keimanan terhadap takdir di
tengah peran atau ikhtiar manusiawi. Semua ini dijelaskan oleh pendukung
kelompok ahlusunnah wal jamaah asy’ariyah agar masyarakat sunni tidak bersikap
su'ul adab dan su'uzzhan kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar