Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 14 Juni 2019

TEORI-TEORI KEBENARAN DAN BAHASANNYA

Teori-teori Kebenaran

Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan ten­tang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian dite­ruskan oleh Aristoteles. Plato melalui rnetode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. 

Sejak itulah teori pengetahuan berkembang te­rus untuk mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan sampai kini. Sebagaimana dikemukakan seorang filsuf abad XX Jaspers sebagaimana yang dikutip oleh Hamersma (1985) mengemuka­kan bahwa sebenarnya para pemikir sekarang ini hanya meleng­kapi dan menyempurnakan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles.

 Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang di­bangunnya. Teori-teori kebenaran[1] yang telah terlembaga itu an­tara lain adalah:
a.    Teori Kebenaran Korespondensi
b.    Teori Kebenaran Koherensi
c.    Teori Kebenaran Pragmatis
d.   Teori Kebenaran Sintaksis
e.    Teori Kebenaran Semantis
f.     Teori Kebenaran Non-Deskripsi
g.    Teori Kebenaran Logis yang berlebihan

  1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran tradi­sional (White, 1978), atau teori yang paling tua, hal ini sebagai­mana dikemukakan oleh Hornie (1952) dalam bukunya Studies in Philosophy menyatakan "The Correspondence theory is an old one". Teori ini menyatakan bahwa "that it is true that p if and only if p" Hal ini sesungguhnya mengacu pada pendapat Aristoteles sebagaimana diterangkan oleh White (1978) yang menyatakan "to say of what is that it is or of what is not that it is not, is true". 

Sehingga, menurut teori korespondensi ini sebagaimana dikemu­kakan oleh Moore yang dikuti oleh Alan R. White "since p is true if and only it p, then when what is said e.g. p is true". atau dengan kata lain sebagaimana dikemukakan oleh Hornie (1952) bahwa "it affirms that our thoughts or ideas are true or false according asthey agree (correspond), or do not agree, with a fact such as I think  it to be". Hal yang demikian juga sesuai dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa "Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-­sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan fakta-fak­tanya.

Oleh karena uraian-uraian di atas itulah, maka dapat disim­pulkan bahwa teori kebenaran korespondensi adalah teori kebe­naran yang paling awal dan paling tua yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan segala sesuatu yang ki­ta ketahui adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenya­taan yang dikenal oleh subjek (Ackerman, 1965). 

Atau dengan ka­ta yang lain adalah suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan ke­nyataan yang diketahuinya, Atau sebagaimana dikemukakan oleh Randal dan Buchler dalam bukunya Philosophy an Introduction menyatakan bahwa "A belief is called "true" if it "agrees" with a fact".

  1. Teori Kebenaran Koherensi
Teori kebenaran lain yang dikenal tradisional juga adalah teori kebenaran koherensi. Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rationalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Teori koherensi sebagaimana dikemukakan oleh White (1978) yaitu:

"to say that what is said (usually called a judment, belief, or proposition) is true or false is to say that it coheres or fails to cohere with a system of other things which are said; that it is a member of a system whose elements are related to each other by ties of logical implication as the elements in a system of pure mathematics are related" (White, 1978).

Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philo­sophy
"... suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-propo­sisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya da­lam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita".

Dengan memperhatikan dua kutipan yang bernada sama maka dapat diungkapkan dengan bahasa yang lebih sederhana bahwa teori kebenaran koherensi atau teori kebenaran saling berhubungan yaitu suatu proposisi itu atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang ber­nilai benar. Sebagai contoh kita sebagai bangsa Indonesia pasti memiliki pengetahuan bahwa Indonesia diproklamirkan kemer­dekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari Jumat tanggal 17 Ramadhan. 

Jika seseorang hendak membukti­kannya tidak dapat langsung melalui kenyataan dalam objektiva­nya, karena kenyataan itu telah berlangsung 50 tahun yang lalu. Untuk membuktikannya, maka harus melalui ungkapan-ungkapan tentang fakta itu yaitu melalui sejarah atau dapat diafirmasikan kepada orang-orang yang mengalami dan mengetahui kejadiaan itu. 

Dengan demikian kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau juga pembuktian proposisi itu melalui hubungan logis jika pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya berkaitan dengan pernyataan-pernyataan logis atau matematis.

  1. Teori Kebenaran Pragmatis
White (1978) dalam bukunya Truth; Problem in Philoso­phy, menyatakan teori kebenaran tardisional lainya adalah teori kebenaran pragmatik. Paham pragmatik sesungguhnya merupa­kan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru ber­kembang pada ahir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filsuf Amerika yaitu C.S. Pierce, William James, dan John Dewey. Me­nurut paham ini White lebih lanjut menyatakan bahwa:

"... an idea --a term used loosely by these philosophers to cover any "opinion, belief, statement, or what not"-- is an instrument with a particular function. A true ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one does not."

Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran prag­matis ini yaitu bahwa penganut pragmatisme meletakan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman, pernyataan itu adalah benar.

Jadi menurut pandangan teori ini bahwa suatu proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai konsekuensi-konse­kuesi praktis seperti yang terdapat secara inheren dalam pernya­taan itu sendiri. 

Karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal­-hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sen­diri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. 

Hal itu karena dalam prak­teknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja da­pat dimanfaatkan secara praktis.

  1. Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata-bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar bila pernyataan itu mengi­kuti aturan-aturan sintaksis yang baku. 

Atau dengan kata lain apa­bila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara para flsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Friederich Schleiermacher (1768-1834).

Menurut Schleiermacher sebagaimana dikutip oleh Poespo­projo (1987), pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekpresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali ke suasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut diungkapkan. Di sini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.

  1. Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran semantik dianut oleh faham filsafat anali­tika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Manurut teori kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. 

Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai pengacu (referent) yang jelas. Oleh karena itu teori ini memiliki tugas untuk menguak kesyahan proposisi dalam referensinya itu.

Teori Kebenaran semantis, sebenarnya berpangkal atau me­ngacu pada pendapat Aristoteles sebagaimana yang digambarkan oleh White (1978) yaitu "To say of what is that it is or of what is not, is true", atau bahkan mengacu pada teori tradisional kores­pondensi yang mengatakan "... that truth consists in correspon­dence of what is said and what is fact".

Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukkan makna yang sesung­guhnya dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat definitif (arti yang jelas dengan menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada).

Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu mernpunyai arti yang esoterik, arbitrer, atau hanya mempunyai arti sejauh dihubungkan dengan nilai praktis dari subjek yang menggunakannya. Sikap-­sikap yang terdapat dalam teori ini antara lain adalah pertama, sikap epistemologis skeplik, maksudnya ialah suatu sikap ke­bimbangan taktis atau sikap keragu-raguan untuk menghilangkan rasa ragu dalam memperoleh pengetahuan. 

Dengan sikap yang demikian dimaksudkan untuk mencapai suatu makna yang eso­terik yaitu makna yang benar-benar pasti yang dikandung oleh suatu pernyataan. Kedua, sikap epistemologik yakin dan ideo­logik, artinya adalah bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer (sewenang-wenang) atau kabur, dan tidak me­miliki sifat pasti.

Jika mencapai kepastian, maka kepastiannya itu hanyalah berdasar pada kepercayaan yang ada pada dirinya sen­diri. Ketiga, sikap epistemologik pragmatik, yaitu makna dari suatu pernyataan yang amat tergantung pada dan berdasar pada nilai guna dan nilai praktis dari pemakai proposisi, Akibat seman­tisnya adalah kepastian yang terletak pada subjek yang meng­gunakan proposisi itu.

  1. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh penga­nut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat ter­gantung peran dan fungsi pernyataan itu. White (1978) meng­gambarkan tentang kebenaran sebagaimana dikemukakannya bahwa pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis da­lam kehidupan sehari-hari. 

Pernyataan itu juga merupakan kese­pakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehi­dupan sehari-hari. Oleh karena itulah White (1978) lebih lanjut menjelaskan: "The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of "true" and "false", but not an analysis of their meaning".

  1. Teori Kebenaran Logik-yang-berlebihan (Logical-Superfluity Theory of Truth).
Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa --pernyataan-- yang hendak dibuktikan kebe­narannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. 

Dengan demikian, sesungguhnya setiap pro­posisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. 

Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah rnemiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984). 

Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya ling­karan adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat


[1] Ibid. Tim Dosen. Hlm. 138-145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar