Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 14 Juni 2019

KEBENARAN ILMIAH, KORESPONDENSI, PRAGMATIS, PERFORMATIF, PROPOSISI DAN BAHASANNYA


A. Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah maksudnya adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif, di dalamnya terkandung sejurnlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[1]

Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manu­sia (subjek yang mengetahui) mengenai objek. jadi, kebenaran itu ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.

Dalam kaitan dengan filsafat, kebenaran menurut Maufur merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan. Kebenaran memiliki anggapan dasar (asumsi) bahwa kebenaran itu berlaku atau diakui, karena ia memang menggambarkan atau menyatakan realitas yang sesungguhnya. Lantas, apa yang dimaksud dengan kebenaran itu? Inilah pertanyaan yang lebih lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu.[2]

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Purwadarminta menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah:
a.       Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya), misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan
b.      Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian adanya, dan sebagainya), misalnya kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama
c.       Kejujuran, kelurusan hati; misalnya tidak ada seorang pun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu
d.      Selalu izin, perkenanan, misalnya dengan kebenaran yang dipertuan
e.       Jalan kebetulan, misalnya penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.
Sejalan dengan beragamnya makna kebenaran sebagaimana dikemukakan oleh Poerwadarminta di atas, ada beberapa rumusan tentang kebenaran yang dikemukakan Michael Williams. Menurutnya ada lima teori kebenaran[3], yaitu
a.       Kebenaran koherensi
b.      Kebenaran korespondensi
c.       Kebenaran pragmatis
d.      Kebenaran performatif
e.       Kebenaran proporsi
a.       Kebenaran Koherensi

Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan tersebut koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Jadi suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. 

Dengan kata lain, suatu proposisi itu benar jika mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada dan benar adanya. Sebagai contoh, bila kita beranggapan bahwa semua manusia pasti akan mati adalah pernyataan yang selama ini memenag benar adanya. Jika Ahmad adalah manusia, maka pernyatann bahwa Ahmad pasti akan mati, merupakan pernyataan yang benar pula. Sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.

B. Kebenaran Korespondensi
Menurut teori ini, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Pernyataan itu benar karena ada kesatuan yang intrinsik, intensional terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek. Jadi kebenaran itu adalah kesesuaian dengan fakta, keselarasan dengan realitas, dan keserasian dengan situasi aktual. 

Sebagai contoh, jika seorang menyatakan bahwa “Kuala Lumpur adalah Ibu Kota Negara Malaysia”, pernyataan itu benar karena pernyataan tersebut berkoresponden dengan objek yang bersifat faktual, yakni Kuala Lumpur memang menjadi Ibu Kota Negara Malaysia. Sekiranya ada orang menyatakan bahwa “Ibu Kota Negara Malaysia adalah Kelatan”, maka pernyataan itu tidak benar, karena objeknya tidak berkoresponden dengan pernyataan tersebut.

C. Kebenaran Pragmatis
Menurut teori ini, suatu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan menggunakan kriteria fungsional. Suatu pernyataan benar, jika pernyataan tersebut memiliki fungsi atau kegunaan dalam kehidupan praktis. Jadi, kebenaran menurut paham ini bukan kebenaran yang dilihat dari segi atik baik buruk, tetapi kebenaran yang didasarkan pada kegunaannya.

D. Kebenaran Performatif
Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/menerima/membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan. Dengan demikian, tindakan performatif tidak berhubungan dengan deskripsi benar atau salah dari sebuah keadaan faktual. Jadi, sesuatu itu dianggap benar jika memang dapat diaktualisasikan dalam tindakan.

E. Kebenaran Proposisi
Menurut teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Dalam sumber lain, ada juga yang menambahkan dengan bentuk kebenaran lain yang disebut dengan kebenaran sintaksis. Kebenaran sintaksis adalah kebenaran yang mengacu pada keteraturan sintaksi atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dalam paham kebenaran sintaksis ini suatu pernyataan dianggap benar apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang dipersyaratkan maka proposisi tersebut tidak memiliki arti.

Jadi, kebenaran sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki makna yang beragam dan kompleks, sehingga dalam memaknai kebenaran ini akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia memengaruhi kepemilikan epistemo tentang kebenaran. Sehingga wajar kalau AMW. Pranaka (1987) kemudian mengelompokkan kebenaran ini ke dalam tiga jenis kebenaran[4], yaitu; l) kebenaran epistemo­logikal, 2) kebenaran ontologikal, dan 3) kebenaran semantikal.

Kebenaran epistemologikal adalah pengertian kebenaran yang berhu­bungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Adapun kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa, yang sering disebut dengan istilah sintaksis.

Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata ben­da yang konkret maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Apabila subjek menya­takan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai. Hal yang de­mikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.[5]

Adanya berbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yeng amat berbeda satu dengan lainnya.

Kebenaran, pertama-tama berkaitan dengan kualitas pe­ngetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pe­ngetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa (1) pengetahuan biasa atau biasa disebut juga knowledge of the man in the street atau ordinary knowledge atau juga common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Dengan demikian, pengetahuan tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.[6]

Pengetahuan jenis kedua (2) adalah pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepa­katan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang pa­ling akhir dan mendapatkan persetujuan adanya agreement da­lam suatu konvensi para ilmuwan sejenis.

Pengetahuan jenis ketiga (3) adalah pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh de­ngan model pemikian yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat ke­benaran yang terkandung dalam pengetahuan filsafati adalah ab­solut-intersubjektif. Maksudnya ialah nilai kebenaran yang terkan­dung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. 

Jika penda­pat filsafat itu ditinjau dari sisi lain artinya dengan pendekatan fil­safat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya akan berbeda atau bahkan bertentangan atau menghilangkan sama sekali. Suatu contoh filsafat matematika/geometri dari Phytagoras sampai kini masih tetap seperti waktu Phytagoras itu pertama kali memun­culkan pendapatnya itu abad VI Sebelum Masehi

Kebenaran jenis pengetahuan keempat (4) adalah kebenar­an pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pe­ngetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan da­lam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah ter­tentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memilki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang di­gunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.

Kebenaran yang kedua dikaitkan dengan sifat atau karak­teristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya de­ngan penginderaan atau sense experience, atau akal pikir atau ratio, intuisi, atau keyakinan. Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan mengaki­batkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan itu akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya, artinya jika seseorang membangunnya melalui indera atau sense expe­rience maka pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan itu harus melalui indera pula, begitu juga dengan cara yang lain. 

Seseorang tidak dapat membuktikan kandungan kebenaran yang dibangun oleh cara intuitif dibuktikannya dengan dengan cara lain cara inderawi misalnya. Jenis pengetahuan menurut kriteria karak­teristiknya dibedakan dalam jenis pengetahuan (1) pengetahuan indrawi; (2) pengetahuan akal budi; (3) pengetahuan intuitif; (4) pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif; dan penge­tahuan-pengetahuan yang lainnya. Sehingga implikasi nilai kebe­narannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.

Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pe­ngetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun pe­ngetahuan itu, subjekkah atau objek. Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandunganya itu amat tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam atau ilmu-ilmu alam.[7]



[1] Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Aksara, 2013). Cet. 3. Hlm. 85
[2] Ibid. Susanto. Hlm. 86
[3] Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Aksara, 2013). Cet. 3. Hlm. 86-89
[4] Ibid. Susanto.Hlm. 88
[5] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2010). Hlm. 135
[6] Ibid. Tim Dosen Filsafat. Hlm. 136
[7] Ibid. Tim Dosen. Hlm. 137-138
[8] Ibid. Tim Dosen. Hlm. 138-145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar