1.
Pengertian Teori Kontingensi
Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan
adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan
pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan
tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya
yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, seseorang menjadi
pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena
berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.
Jadi, Kontingensi / Situasional
merupakan Suatu pendekatan terhadap kepemimpinan
yang menganjurkan pemimpin untuk memahami perilaku bawahannya dan situasi
sebelum menggunakan gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini menghendaki
pemimpin untuk memiliki kemampuan diagnosa dalam hubungan antara manusia..
Menurut Fledler sebagaimana
dikutip Baharuddin bahwa teori kontingensi adalah teori kemungkinan
variabel-variabel yang berhubungan dengan kepemimpinan dalam pencapaian tugas
merupakan suatu yang sangat menentukan pada gerak akselerasi pencapaian tujuan
organisasi. Dalam memunculkan teori ini, perhatian Fledler adalah pada
perbedaan gaya motivasional dari pemimpin.[1]
Teori kemungkinan dalam
kepemimpinan membicarakan tentang variabel kemungkinan sebagai variabel yang
memengaruhi hubungan antara gaya kepemimpinan dan respon anak buah kepada gaya
kepemimpinan.
Menurut model kepemimpinan ini, terdapat tiga variabel utama yang
cenderung menentukan apakah situasi menguntungkan bagi pemimpin atau tidak.
Ketiga variabel utama tersubut adalah sebagai berikut :
a.
Hubungan pribadi pemimpin
dengan para anggota kelompok (hubungan pemimpin dan anggota).
b.
Kadar struktur tugas yang
ditugaskan keapada kelompok untuk dilaksnakan (struktur tugas).
c.
Kekuasaan dan kewenangan
posisi yang dimiliki (kuasa posisi).[2]
Teori kontingensi adalah
sebuah teori yang menggantungkan pada situasi yang dihadapi atau bersifat
situasional. pesan pokok pada teori kontingensi
ini adalah bahwa tidak ada satupun cara terbaik dalam
perorganisasian (there is no best way to organize).
Menurut teori kontingensi, ciri-ciri
lingkungan mempengaruhi kemampuan satu organisasi untuk mencapai sumber-sumber
daya dan untuk memperbesar kemungkinan mendapatkan sumber-sumber daya maka para
manager harus mengijinkan departemen-departemennya untuk mengorganisasi dan
mengendalikan kegiatan-kegiatan mereka dengan cara sedemikian rupa hingga
memungkinkan mereka mencapai sumber daya dalam batas-batas kendala-kendala yang
ada pada lingkungan dimana mereka berada.
2. Aplikasi Teori Kontingensi Dalam Kepemimpinan Pendidikan Islam
Jika dikaitkan dengan teori kontingensi kepemimpinan, sebagaimana yang
disimpulkan oleh Fledler, bahwa pemimpin yang mempunyai motivasi kerja umumnya
menunjukkan kinerja terbaik dalam kondisi yang paling baik, baik dalam kondisi
dimana kekuasaan, kontrol dan pengaruhnya sangat tinggi, ataupun dalam kondisi yang tak
menentu, dimana kontrol, kekuasaan dan pengaruh yang rendah.
Pemimpin yang mempunyai motivasi hubungan
cenderung menunjukkan kondisi terbaik ketika dia mempunyai kekuasaan, kontrol
dan pengaruh yang cukup baik. Ini artinya para pemimpin yang berorientasi pada
tugas cenderung berprstasi baik dalam situasi kelompok yang menguntungkan
maupun tidak menguntungkan sekalipun.[3]
Salah satu cara mengaplikasikan teori kontingensi dalam Islam ialah
dengan cara Memilih pemimpin yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Mengutip
firman Allah SWT surat al-Maidah ayat 55 yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah)”.[4]
Sesuai dengan ayat di atas ada beberapa kriteria seseorang bisa dipilih
menjadi pemimpin, antara lain :
a)
Beriman kepada Allah SWT. karena ulil amri adalah penerus
kepemimpinan Rosulullah SAW. Sedangkan rosulullah adalah pelaksana kepemimpinan
Alla SWT. Maka yang pertama kali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan
beliau adalah keimanan (kepada Allah, Rosulnya dan rukun iman yang lainnya).
Tanpa keimanan kepada Allah dan Rasulnya bagaimana mungkin ia dapat diharapkan
memimpin umat menempuh jalan Allah dipermukaan bumi ini.
b)
Mendirikan shalat. Shalat adalah ibadah vertikal kepada
Allah SWT. Seorang pemipin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan
yang baik dengan Allah SWT. Diharapkan nilai-nilai kemulyaan dan kebaikan dalam
shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran. Apa
wudlu seorang imam shalat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan
mengundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar dia tidak
berhak lagi menjadi iman.
c)
Membayar zakat. Zakat adalah ibadah mahdhah yang
merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat
ditetapkan diharapkan selalu berusaha menyucikan hati dan hartanya. Ia tidak
akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal. Lebih dari itu ia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum
dhuafa’ dan kaum mustadhafin. Ia akan menjadi pembela orang-orang lemah.
d)
Selalu tunduk patuh kepada Allah SWT. Dalam ayat di atas
juga disebutkan pemimpin itu haruslah orang yang ruku’ (wahum rooki’un). Ruku’ adalah simbol
kepatuhan kepada Allah dan Rasul Nya yang secara yang secara konkrit
dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah (totalitas)
baik dalam aspek akidah, ibadah, akhlaq maupun muamalah.[5]
Dalam Islam kepemimpinan begitu penting sehingga mendapat perhatian yang
sangat besar. Begitu pentingnya kepemimpinan ini, mengharuskan setiap
perkumpulan untuk memiliki pemimpin, bahkan perkumpulan dalam kecil sekalipun.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. Yang
artinya “dari Abu Said dari Abu Hurairah bahwa keduanya berkata Rasulullah bersabda, Apabila tiga orang keluar bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu
menjadi pemimpin”. (HR. Abu Dawud).
Kepemipinan dalan hadits di atas, masih bersifat general bisa kepemimpinan
negara, organisasi sosial, organisasi politik, perusahaan, perkatoran, maupun
pendidikan. Mahdi sebagaimana dikutip mujamil Qomar menjelaskan bahwa
kepemimpinan yang palin spesifik adalah kepemimpinan pendidikan (qiyadah
tarbawiyah atau educative leadership), karena kesuksesan mendidik generasi,
membina umat, dan berusaha membangkitkannya terkait erat dengan dengan
pemenuhan kepemimpinan pendidikan yang benar.[6]
Ali Muhammad sebagaimana dikutip Mujamil Qomar, menjelaskan macam sifat
kondusif yang harus dimiliki oleh pemimpin berikut ini:
1)
Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk
mengendalikan perusahaan atau organisasinya.
2)
Menertibkan semua urusan dan membulatkan tekad untuk
bertawakkal kepada Allah. (QS. Ali Imran : 159).
3)
Membangun kesadaran akan adanya pengawasan dari Allah (muraqabah)
sehingga terbina sikap ikhlas dimanapun kita berada, kendati tidak ada yang
mengawasi kecuali Allah.
4)
Memberikan santunan sosial ( tafakul ijtima’) kepada
para anggota, sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial yang menimbulkan rasa
dengki dan perbedaan strata sosial yang merusak. (QS. Al Hajj:41).
5)
Mempunyai power dan pengaruh yang dapat memerintah
serta mencegah karena seorang pemimpin harus melakukan kontrol pengawasan atas
pekerjaan anggota, meluruskan kekeliruan, serta mengajak mereka untuk berbuat
kebaikan mencegah kemungkaran. (QS. Al Hajj:41).
6)
Tidak membuat kerusakan di muka bumi, serta tidak merusak
ladang, keturunan dan lingkungan (QS. Al Baqarah : 205).
7)
Bersedia mendengar nasehat dan tidak sombong, karena
nasehat dari orang yang ikhlas, jarang sekali kita peroleh (QS. Al Baqarah :
205).[7]
[1]
Baharuddin, Kepemimpinan
Pendidikan Islam Antara teori dan Praktik (Yogjakarta, Arruz Media, 2012)
hlm . 63.
[2]
Baharuddin, Kepemimpinan
Pendidikan Islam Antara teori dan Praktik, (Yogyakarta: Arruz Media,
2012). hlm. 64
[3]
Baharuddin, Kepemimpinan
Pendidikan Islam Antara teori dan Praktik, (Yogyakarta: Arruz Media
2012). hlm . 64.
[4] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman
Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 455
[5] Rivai, Veithzal ,. Islamic
Leadership, (jakarta:
Bumi Aksara 2009), hlm 12.
[6] Mujamil, Qomar,. Manajemen
Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga 2007), hlm .270
[7] Mujamil, Qomar., Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga 2007), hlm .278.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar