Tafsir
Menurut bahasa kata tafsir diambil dari
kata fassara-yufassiru- tafsiir yang berarti menjelaskan. Pengertian tafsir
menurut bahasa juga bermakna al-idhah (menjelaskan),albayan(menerangkan),
al-kasyf (mengungkapkan). Sedangkan secara terminology terdapat beberapa
pendapat, salah satunya menurut Dr. Shubhis Shaleh yang mendifinisikan tafsir
sebagai berikut :
Yang artinya: Sebuah disiplin yang
digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan
menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmahhikmahnya.
Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh Ali al-Shabuniy bahwa tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap
maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Pendapat lain senada disampaikan oleh
al-Kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan
menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau
tujuannya.
Demikian juga menurut Syekh al-Jazairi
tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh
pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya,
atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz tersebut.
Al Qur’an diturunkan adalah sebagai
petunjuk dari Allah Swt sebagai pencipta bagi segenap manusia; petunjuk hidup
di dunia dan petunjuk untuk mendapat keselamatan dan kebahagiaan di akherat.
Petunjuk tersebut penting dipahami dan dijelaskan kepada manusia. Untuk
menjelaskan isi kandungan al Qur’an dibutuhkan sebuah alat yang disebut ilmu
tafsir, di mana merupakan perangkat yang diperlukan dalam memahami ayat-ayat
pada setiap surat dalam al-Qur’an.
Dalam melakukan penafsiran al Qur’an
seorang mufassir dituntut untuk
menjelaskan maksud yang terkandung dari suatu ayat atau beberapa ayat atau
surat di dalam al Qur’an. Maksud dari suatu ayat atau surat tersebut dapat
dipahami dari susunan bahasanya dan lafadzlafadz yang digunakannya serta seluk
beluk yang berhubungan dengan ayat atau surat tersebut, yaitu; kapan, di mana,
ada peristiwa apa ketika ayat itu turun, berkenaan dengan apa dan siapa,
kondisi masyarakatnya bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi Saw terhadap
ayat tersebut. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al Qur’an,
di dalamnya membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat,
nasikh wa mansukh, dst.
Asbabun nuzul yang menjadi latarbelakang
turunnya ayat menjadi salah satu komponen yang sangat penting bagi siapapun
yang ingin memahami Al-Qur’an. Belum dianggap cukup untuk memahami al Qur’an
hanya berbekal bahasa arab saja, apalagi hanya membaca terjemahnya saja. Di
sini artinya memperhatikan asbabun nuzul menjadi suatu hal yang penting, yang
dikuatirkan akan terjadi kesalahan jika memahami al Qur’an tanpa memperhatikan
asbabun nuzul.
Al Syathibi menegaskan bahwa seorang tidak
diperkenankan memahami al Qur’an hanya
dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan konteks ayat ketika turun. Namun
Demikian perlu diketahui bahwa tidak seluruh ayat al Qur’an diketemukan asbabun
nuzulnya melalui riwayat.
Memahami makiyah dan madaniyah juga akan
membatu seseorang ketika akan memahami al Qur’an. Terdapat beberapa manfaat
dalam memahami makiyah dan madaniyah, apabila seseorang berupaya memahami ayat
al Qur’an :
a) Dapat membantu mempermudah dalam
menjelaskan ayat al-Qur’an, dikarenakan
makiyah dan madaniyah terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat saat
itu ketika ayat-ayat al Qur’an diturunkan.
b) Melalui gaya bahasa yang berbeda pada
ayat makiyah dan madaniyah akan membatu dalam memahami ayat al Qur’an,
sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat.
c) Dengan memahami makiyah dan madaniyah
akan lebih mudah mengkaitkan dengan aspek sejarah hidup Nabi Muhammad Saw .
Demikian juga penting memahami seluk beluk
ilmu qiraat, di mana dimulai sejak para sahabat membaca qiraat tersebut.
Sebagaimana dalam hadist shohih diceritakan bahwa suatu ketika di masa hidup Rasulullah saw ,
Umar bin Khattab sholat menjadi makmum
dan mendengar bacaan Hisyam bin Hakim
membaca Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang bermacam-macam yang
tidak sama dengan bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw, sehingga hampir
saja Umar menyeretnya ketika dia sedang
salat. Namun Umar berusaha bersabar menunggunya hingga selesai salam. Setelah
Hisyam selesai salat, Umar menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa
yang membacakan surat kepadamu denga bacaan seperti itu, kata Umar. Dia
menjawab; Rasulullah Saw yang membacakan kepadaku seperti itu. Bohong kamu,
kata Umar” Sungguh Rasulullah Saw
membacakan padaku Tidak seperti apa yang kamu baca. Kemudian Umar membawanya
untuk menghadap Rasul, di mana setelah
keduanya membaca surat al Furqan
kemudian Rasulullah Swt membenarkan bacaan keduanya, sambil bersabda “ Seperti
itulah bacaan al Qur’an diturunkan.
Dalam hal qiraat tersebut tidak hanya
berkutat dalam perbedaan bacaan al qur’an dari segi dialek saja, namun terdapat
juga perbedaan-perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap perbedaan makna lafadz
, sehingga menjadi penting memahaminya bagi seorang mufassir.
Di antara manfaat memahami perbedaan
qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah dapat mengetahui adanya dua
hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.
“Dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci.”
Ayat ini oleh oleh beberapa imam qira’at
dibaca TATTOHAR. Kata TATHAR berarti wanita haid boleh didekati apabila
berhenti haidnya. Sedangkan bacaan
TATTOHHAR menunjukkan makna bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah
mereka mandi. Dari dua qira’at ini
dapat dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya
dan telah mandi. Demikian juga dalam
memahami qira’at yang memiliki dua wajah seperti pada surat Al Maidah: 6
dalam kaitannya dengan wudhu: yang artinya :
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki” Kata (wa arjulakum) yang dibaca fathah lamnya sebagian imam lain membaca dengan mengasrah
lam (wa arjulikum) yang dari dua qira’at ini dapat dipahami bahwa salah satu rukun wudhu
adalah membasuh kaki, tetapi membasuh kaki dapat dirubah dengan mengusapnya bagi orang yang
memakai khufah (semacam sepatu pada zaman dahulu) bagi orang yang sedang
safar.
Pengetahuan seperti itu, tidak mungkin
diketahui oleh seseorang yang tidak mengenal tentang ilmu qira’at. Demikian juga pada sebagaian lafadz-lafadz
lain yang memiliki beberapa qira’at. Karena itu pengetahuan Ulumu al Qur’an
tersebut digunakan seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an agar
di dalam penafsirannya dapat terhindar dari kemungkinan terjadi kesalahan.
Karena itu seseorang mufassir dalam menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki
penguasaan di bidang ulumu al-Qur’an sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’
tentang syarat-syarat mufassir, yaitu
penguasaan bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan terhadap ulumu
al Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar