Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 29 Juni 2019

TAFSIR DALAM ULUMUL QUR'AN


Tafsir


Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru- tafsiir yang berarti menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah (menjelaskan),albayan(menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan). Sedangkan secara terminology terdapat beberapa pendapat, salah satunya menurut Dr. Shubhis Shaleh yang mendifinisikan tafsir sebagai berikut : 

 
Yang artinya: Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmahhikmahnya.

 
Definisi lain tentang tafsir  dikemukakan oleh Ali al-Shabuniy bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.


Pendapat lain senada disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.


Demikian juga menurut Syekh al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz tersebut.


Al Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk dari Allah Swt sebagai pencipta bagi segenap manusia; petunjuk hidup di dunia dan petunjuk untuk mendapat keselamatan dan kebahagiaan di akherat. Petunjuk tersebut penting dipahami dan dijelaskan kepada manusia. Untuk menjelaskan isi kandungan al Qur’an dibutuhkan sebuah alat yang disebut ilmu tafsir, di mana merupakan perangkat yang diperlukan dalam memahami ayat-ayat pada setiap surat dalam al-Qur’an. 


Dalam melakukan penafsiran al Qur’an seorang mufassir  dituntut untuk menjelaskan maksud yang terkandung dari suatu ayat atau beberapa ayat atau surat di dalam al Qur’an. Maksud dari suatu ayat atau surat tersebut dapat dipahami dari susunan bahasanya dan lafadzlafadz yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengan ayat atau surat tersebut, yaitu; kapan, di mana, ada peristiwa apa ketika ayat itu turun, berkenaan dengan apa dan siapa, kondisi masyarakatnya bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi Saw terhadap ayat tersebut. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al Qur’an, di dalamnya membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh, dst. 


Asbabun nuzul yang menjadi latarbelakang turunnya ayat menjadi salah satu komponen yang sangat penting bagi siapapun yang ingin memahami Al-Qur’an. Belum dianggap cukup untuk memahami al Qur’an hanya berbekal bahasa arab saja, apalagi hanya membaca terjemahnya saja. Di sini artinya memperhatikan asbabun nuzul menjadi suatu hal yang penting, yang dikuatirkan akan terjadi kesalahan jika memahami al Qur’an tanpa memperhatikan asbabun nuzul.


Al Syathibi menegaskan bahwa seorang tidak diperkenankan  memahami al Qur’an hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan konteks ayat ketika turun. Namun Demikian perlu diketahui bahwa tidak seluruh ayat al Qur’an diketemukan asbabun nuzulnya melalui riwayat. 


Memahami makiyah dan madaniyah juga akan membatu seseorang ketika akan memahami al Qur’an. Terdapat beberapa manfaat dalam memahami makiyah dan madaniyah, apabila seseorang berupaya memahami ayat al Qur’an :
a) Dapat membantu mempermudah dalam menjelaskan ayat al-Qur’an, dikarenakan  makiyah dan madaniyah terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat saat itu ketika ayat-ayat al Qur’an diturunkan.
b) Melalui gaya bahasa yang berbeda pada ayat  makiyah dan madaniyah  akan membatu dalam memahami ayat al Qur’an, sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat.
c) Dengan memahami makiyah dan madaniyah akan lebih mudah mengkaitkan dengan aspek sejarah hidup Nabi Muhammad Saw .


Demikian juga penting memahami seluk beluk ilmu qiraat, di mana dimulai sejak para sahabat membaca qiraat tersebut. Sebagaimana dalam hadist shohih diceritakan bahwa  suatu ketika di masa hidup Rasulullah saw , Umar bin Khattab sholat menjadi makmum  dan mendengar bacaan Hisyam bin Hakim  membaca Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang bermacam-macam yang tidak sama dengan bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw, sehingga hampir saja Umar  menyeretnya ketika dia sedang salat. Namun Umar berusaha bersabar menunggunya hingga selesai salam. Setelah Hisyam selesai salat, Umar menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang membacakan surat kepadamu denga bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab; Rasulullah Saw yang membacakan kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata Umar”  Sungguh Rasulullah Saw membacakan padaku Tidak seperti apa yang kamu baca. Kemudian Umar membawanya untuk menghadap Rasul,  di mana setelah keduanya  membaca surat al Furqan kemudian Rasulullah Swt membenarkan bacaan keduanya, sambil bersabda “ Seperti itulah bacaan al Qur’an diturunkan.


Dalam hal qiraat tersebut tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan al qur’an dari segi dialek saja, namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap perbedaan makna lafadz , sehingga menjadi penting memahaminya bagi seorang mufassir.


Di antara manfaat memahami perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah dapat mengetahui adanya dua hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” 


Ayat ini oleh oleh beberapa imam qira’at dibaca TATTOHAR. Kata TATHAR berarti wanita haid boleh didekati apabila berhenti haidnya.  Sedangkan bacaan TATTOHHAR menunjukkan makna bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah mereka mandi. Dari dua qira’at ini   dapat dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan telah mandi.   Demikian juga dalam memahami qira’at yang memiliki dua wajah seperti pada surat  Al Maidah: 6  dalam kaitannya dengan wudhu: yang artinya :

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” Kata (wa arjulakum) yang dibaca fathah lamnya    sebagian imam lain membaca dengan mengasrah lam (wa arjulikum)  yang  dari dua qira’at ini   dapat dipahami bahwa salah satu rukun wudhu adalah membasuh kaki, tetapi membasuh kaki dapat  dirubah dengan mengusapnya bagi orang yang memakai khufah (semacam sepatu pada zaman dahulu) bagi orang yang sedang safar.  


 Pengetahuan seperti itu, tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak mengenal tentang ilmu qira’at.  Demikian juga pada sebagaian lafadz-lafadz lain yang memiliki beberapa qira’at. Karena itu pengetahuan Ulumu al Qur’an tersebut digunakan seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an agar di dalam penafsirannya dapat terhindar dari kemungkinan terjadi kesalahan. 


Karena itu seseorang mufassir dalam menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki penguasaan di bidang ulumu al-Qur’an sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ tentang syarat-syarat mufassir, yaitu penguasaan bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan terhadap ulumu al Qur’an. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar