Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 29 Juni 2019

TAFSIR BI AL-RA'YI ATAU TAFSIR BI AL-DIRAYAH


Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah


Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran di sini sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara kompetensi keilmuannya telah dianggap  telah memenuhi persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat mufassir. 


Istilah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk membedakannya dengan Tafsir bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti ketika sahabat melakukan penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat sebenarnya juga menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam istilah disiplin ulum  Quran, para sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi alRa’yi, sebab, para sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi sesudah mereka. Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi alRa’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan.


Di antara kelebihan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek. Kendatipun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahaman pendekatan Tafsir bi al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga memberikan kesan Quran tidak utuh dan tidak konsisten.


Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup                                                         kemungkinan menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.


Salah seorang mufassir yang tergolong bi al ro’yi adalah Abdul Qosim Mahmud al Zamakhsari dalam melakukan penafsirannya beliau mengemukakan pemikirannya akan tetapi didukung dengan dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat alQur’an, baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya. 


Contoh lain adalah tafsir bi al Ro’yi adalah penafsiran Sayyid Qutub dalam kitab tafsir Fi Dzilalil Qur’an pada saat menjelaskan Surat al Fatihah (SQ 1: 4) sebagai berikut  :   (4) Artinya :  Tuhan yang menguasai hari pembalasan.   Ini merupakan 'aqidah pokok yang amat besar dan mempunyai kesan yang amat mendalam dalam seluruh hidup manusia, yaitu 'aqidah pokok mempercayai hari Akhirat. Kata-kata "yang menguasai atau penguasa" membayangkan darjah kuasa yang paling tinggi. "Hari Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di Akhirat. Ramai orang yang percaya kepada Uluhiyah Allah dan percaya bahawa Allahlah yang menciptakan 'alam buana ini bagi pertama kali, namun demikian mereka tidak percaya kepada Hari Balasan. Keperihalan setengah-setengah mereka telah diceritakan oleh al- Qur'an.  Seperti pada surat azZumar (SQ 29;28) :


Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah.   Kemudian dalam surah Qoof (QS . 50:3) menceritakan hal mereka: 


Artinya "Bahkan mereka heran kerana mereka telah didatangi seorang Rasul yang memberi peringatan dari kalangan mereka sendiri, lalu berkatalah orang-orang kafir: "Ini adalah suatu perkara yang amat aneh. "Kepercayaan terhadap hari pembalasan merupakan satu lagi 'aqidah pokok di dalam Islam. Nilai kepercayaan ini ialah ia meletakkan pandangan dan hati manusia pada sebuah 'alam yang lain setelah tamatnya 'alam bumi supaya mereka tidak begitu terkongkong kepada keperluan-keperluan bumi saja dan ketika itu mereka tidak lagi terpengaruh kepada keperluan keperluan bumi, juga supaya mereka tidak begitu gelisah untuk mendapatkan balasan dan ganjaran dari hasil usaha mereka dalam usia mereka yang pendek dan di 'alam bumi yang terbatas ini dan ketika itu barulah mereka dapat berbuat amalan-amalan semata-mata kerana Allah dan sanggup menunggu ganjarannya mengikut bagaimana yang ditentukan Allah sama ada di 'alam bumi ini atau 'alam Akhirat. 


Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’yi di atas menjadi jelas bahwa mereka tidak meninggalkan riwayat dan bukan semata-mata menafsirkan al Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Kitab tafsir yang lain misalnya Tafsir bi al-ra’yi adalah  kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan  Tafsir Anwar atTanzil wa Asrar at-Ta’wil karya al-Baidhawi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar