Tafsir
bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah
Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir
bi al-Ra’yi adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil
penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran di sini sebagai sumber
utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara
kompetensi keilmuannya telah dianggap
telah memenuhi persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat
mufassir.
Istilah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk
membedakannya dengan Tafsir bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti
ketika sahabat melakukan penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat
sebenarnya juga menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam
istilah disiplin ulum Quran, para
sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi alRa’yi, sebab, para
sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi sesudah mereka.
Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi alRa’y juga
memiliki kelebihan dan kelemahan.
Di antara kelebihan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y ini
adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan
melihat dan memahami Quran secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek.
Kendatipun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan.
Kelemahaman pendekatan Tafsir bi al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika
menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga memberikan kesan Quran
tidak utuh dan tidak konsisten.
Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi
al-Ra’y tidak tertutup kemungkinan menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran terhadap mazhab
atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak
tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam
membatasi pemikiran yang berkembang.
Salah seorang mufassir yang tergolong bi al ro’yi
adalah Abdul Qosim Mahmud al Zamakhsari dalam melakukan penafsirannya beliau
mengemukakan pemikirannya akan tetapi didukung dengan dalil-dalil dari riwayat
(hadis) atau ayat alQur’an, baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu
ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh
riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada riwayat yang mendukung
penafsirannya ia akan mengambilnya dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap
melakukan penafsirannya.
Contoh lain adalah tafsir bi al Ro’yi adalah
penafsiran Sayyid Qutub dalam kitab tafsir Fi Dzilalil Qur’an pada saat
menjelaskan Surat al Fatihah (SQ 1: 4) sebagai berikut : (4)
Artinya : Tuhan yang menguasai hari pembalasan. Ini merupakan 'aqidah pokok yang amat besar
dan mempunyai kesan yang amat mendalam dalam seluruh hidup manusia, yaitu
'aqidah pokok mempercayai hari Akhirat. Kata-kata "yang menguasai atau
penguasa" membayangkan darjah kuasa yang paling tinggi. "Hari
Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di Akhirat. Ramai orang yang
percaya kepada Uluhiyah Allah dan percaya bahawa Allahlah yang menciptakan 'alam
buana ini bagi pertama kali, namun demikian mereka tidak percaya kepada Hari
Balasan. Keperihalan setengah-setengah mereka telah diceritakan oleh al-
Qur'an. Seperti pada surat azZumar (SQ
29;28) :
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:
"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka
menjawab: "Allah. Kemudian dalam
surah Qoof (QS . 50:3) menceritakan hal mereka:
Artinya "Bahkan mereka heran kerana mereka telah
didatangi seorang Rasul yang memberi peringatan dari kalangan mereka sendiri,
lalu berkatalah orang-orang kafir: "Ini adalah suatu perkara yang amat
aneh. "Kepercayaan terhadap hari pembalasan merupakan satu lagi 'aqidah
pokok di dalam Islam. Nilai kepercayaan ini ialah ia meletakkan pandangan dan
hati manusia pada sebuah 'alam yang lain setelah tamatnya 'alam bumi supaya
mereka tidak begitu terkongkong kepada keperluan-keperluan bumi saja dan ketika
itu mereka tidak lagi terpengaruh kepada keperluan keperluan bumi, juga supaya
mereka tidak begitu gelisah untuk mendapatkan balasan dan ganjaran dari hasil
usaha mereka dalam usia mereka yang pendek dan di 'alam bumi yang terbatas ini
dan ketika itu barulah mereka dapat berbuat amalan-amalan semata-mata kerana
Allah dan sanggup menunggu ganjarannya mengikut bagaimana yang ditentukan Allah
sama ada di 'alam bumi ini atau 'alam Akhirat.
Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’yi
di atas menjadi jelas bahwa mereka tidak meninggalkan riwayat dan bukan
semata-mata menafsirkan al Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Kitab tafsir yang
lain misalnya Tafsir bi al-ra’yi adalah
kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan Tafsir Anwar atTanzil wa Asrar at-Ta’wil
karya al-Baidhawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar