Tafsir
al Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata
asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan
menurut istilah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Quran dengan
menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat
yang tersirat dengan tanpa mengingkari
yang tersurat atau dzahir ayat.
Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi
al-Shalih adalah menjelaskan kandungan al Qur’an melaui takwil dengan cara
berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
dalam tafsir bi al-Isyarah terdapat
upaya penarikan makna ayat didasarkan
pada kesan yang ditimbulkan lafazh ayat,
di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan
pikiran, hal itu dilakukan tanpa
mengabaikan atau membatalkan makna secara lafazh.
Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah
:7 1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual)
al-Qur’an. 2. Penafsirannya didukung
atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio. 4.
Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki
Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu. 5. Penafsirannya tidak
terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz. Misalnya penafsiran
al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) :
Peliharalah sholat dan sholat wustho serta tegakkan
untuk Allah karena ketaatan Al Alusi menafsiri shalat al-wustha pada ayat di
atas dengan penjelasan lima macam shalat sebagai berikut:
Artinya :
Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Shalat sirr dengan menyaksikan maqam
ghaib, 2) shalat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat
mengundang keragu-raguan, 3) Shalat qalb, dengan senantiasa berada dalam
penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) shalat ruh dengan
menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan dengan Allah); 5) Shalat badan dengan
cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuanketentuan hukum
Allah.
Bila dilihat dari
terminologis yang digunakan, maka sebenarnya al-Alusi memahami shalat al-wustha
cenderung dengan pendekatan sufistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar