TAFSIR NUSANTARA DAN PERKEMBANGANNYA
Tafsir Nusantara, berbicara tentang Tafsir Nura tentu
kita akan merujuk ke induknya yakni Islama Nusantara. Menurut saya Islam
Nusantara hanyalah lebel bagi umat Islam yang ada di Indonesia. Karena Islam
tetaplah Islam, namu ajaran Islam akan disesuaikan sesuai adat istiadat
setempat dan menjadikannya sumber hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan
ajaran inti Islam (syar’i), salah satu bentuknya ialah penafsiran Al-Qur’an dan
di Negara kita ada istilah Tafsir Nusantara.
Tafsir
Nusantara :
Ketika kita akan melacak jaringan ulama
tafsir Nusantara, tidak bisa dilepaskan dari sosok ‘Abd al-Rauf al-Fansûri
dengan karyanya Tarjuman al-Mustafid, melalui karya ini terus mengalami
perkembangan melalui banyak media pengajaran hingga hari ini. Karya ini pula
diduga kuat melahirkan aneka ragam corak dan manhaj tafsir di Nusantara. Paling
tidak ada dua aspek transmisi ulama tafsir melahirkan dan mengembangkan ilmu tafsir.
Pertama, melalui aktifitas pengajian, dan yang kedua melalui jalur penulisan.
Konsep
Tafsir di Nusantara :
Izza Rahman Nahrawi. “Profil Kajian
Al-Qur’an di Nusantara Sebelum Abad ke 20.” Jurnal al-Huda, II, no.6, (2000).
Islam Nusantara menurut Azyumardi Azra adalah Nusantara: Islam is a distinctive Islam resulting from vivid, intense and vibrant
interaction, contextualization, indigenization and vernacularization of
universal Islam with Indonesian social, cultural and religious realities—this
is Islam embedded. Nusantara Islamic orthodoxy (Ash’arite theology, Shafi’i
school of law, and Ghazalian Sufism) nurtures the Wasatiyyah character—a justly
balanced and tolerant Islam. Nusantara Islam, no doubt, is very rich with
Islamic legacy—a shining hope for a renaissance of global Islamic civilization”.
“
Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi,
kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan
realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara
(kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter
wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan
Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global”.
Disisi lain menggambarkan
Nusantara sarat dengan tradisi yang lebih toleran, moderat dan tidak radikal.
Seorang peneliti Ervan Nurtawab dan lain-lain menginformasikan bahwa sekitar
abad ke-XVII M. telah ditemukan bukti paling awal di Nusantara setelah lebih
dari 300 tahun sejak komunitas Muslim Nusantara itu mulai mewujudkan dirinya
dalam kekuasaan politik, yaitu di Cambridge yang memuat tafsir surat al-Kahfi.
Kajian Al-Qur’an dipelopori oleh ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili yang menulis kitab
dengan berjudul Tarjuman al-Mustafid. Dua karya inilah yang menjadi embrio
pijakan penulisan tafsir Al-Qur’an di Asia tenggara.
Upaya rintisan ini kemudian
diikuti oleh Shaykh Nawawi al-Bantani : 43, Munawar Khalil : 44. Hasan Bandung
: 45, Mahmud Yunus : 46, Oemar Bakri : 47, Hasbi Ash-Shiddiqy : 48, Hamka : 49,
H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs : 50, Kasim Bakri : 51, Dalam
bahasabahasa daerah, upaya ini dilanjutkan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta : 52,
Bisyri Muṣtahafa
Rembang : 53, R. Muhammad Adnan : 54 dan Bakri Syahid : 55. Upayaupaya ini
bahkan lebih diseriusi oleh Pemerintah RI melalui proyek penerjemahan. Selanjutnya,
atas usul Musyawarah kerja Ulama Al-Qur’an ke XV (23-24 Maret 1989),
disempurnakan oleh pusat penelitian dan pengembangan Lektur Agama bersama
Lajnah Pentashih Al-Qur’an : 56. Seorang peneliti Howard M. Federspiel dalam
penelitiannya, kurang lebih disebut 48 tafsir popular di Indonesia,57 walaupun
masih perlu dikritisi batasan apa saja yang ia anggap sebagai karya tafsir.
Adapun
Gaya dan Tipologi Tafsir di Nusatara,
Tafsir banyak terwarnai
dengan Islam local baik itu budaya maupun kondisi saat ayat-ayat Al-Qur’an
dilakukan tafsiran oleh sang penafsirnya. Tipologi dan gaya penafsiran ala
nusantara tentu sedikit berbeda dengan tafsiran yang sudah dikenal selama ini.
Misalnya, tafsir klasik memiliki ciri khas tersendiri di banding dengan tafsir
bernuansa modern. Begitupun tafsir nusantara akan sedikit berbeda warnanya
dengan model penafsiran yang dihasilkan oleh penafir dari Timur Tengah. Hal
inilah yang menarik dari tafsir khas ala nusantara. Selain itu, gaya dan
tipologi tafsir nusantara tidak lepas dari transmisi tradisi tafsir Hijaz,
Azhari, dan sarjana Barat.
Hijaz di sini adalah transmisi
cara penulisan, pemikiran dan tradisi tafsir yang berkembang di Makkah maupun
Madinah. Kemudian, tafsir nusantara juga memiliki ketersambungan dan
keterikatan kuat dengan pola pikir al-Azhar Mesir yang banyak melahirkan
ulama-ulama nusantara yang secara tidak langsung ikut menyumbangkan
pemikiranannya dalam menelurkan karya tafsir nusantara. Kedua sisi ini lebih
kental mencuat pada abad XVI hingga awal abad XX. Selain kedua sisi ini,
adapula sisi lain yang tidak kalah pentingnya yaitu gagasan dan pemikiran baik
dari sarjana muslim Indonesia yang belajar di Barat maupun sarjana Barat
sendiri yang ikut meramaikan penelitian dan analisis tentang tafsir nusantara.
Dari kesemua sisi itu, yang
tidak akalah pentingnya adalah sisi lokalitas (local wisdom) ulama local baik
terkait tentang social dan budaya nusantara maupun sarjana didikan asli
nusantara yang tentu memiliki corak tersendiri di banding dengan transmisi
keilmuan yang belajar dari Hijazi, Azhari maupu Barat.
2. Aboe
Bakar Atjeh,
3. Bahrum
Rangkuti,
4. Jamaluddin
Kafie,
5. Oemar
Bakrie,
6. Joesoef
Sou’eb,
7. M.
Hasbi alShiddiqy,
8. Masjfuk
Zuhdi,
9. A.
Hasan,
10.
Qomaruddin Hamidy,
11.
Mahmud Yunus,
12.
Hamka,
13.
Abdul Halim Hasan,
14.
Tafsir Depag,
15.
Bachtiar Surin,
16.
Sukmadjadja Asyarie,
17.
Badarutthanan Akasah,
18.
Syahminan Zaini,
19.
MS. Khalil,
20.
Qamaruddin Saleh Nasikun,
21.
Bey Arifin,
22.
Labib MZ,
23.
A. Hanafi,
24.
Hadiyah Salim,
25.
M. Ali Usman,
26.
Khadijatus Shalihah,
27.
A. Muhaimin Zen,
28.
Datuk Tombak Alam,
29.
A. Djohansjah,
30.
Ismail Tekan,
31.
T. Atmadi Usman,
32.
Abu Hanifah,
33.
Zainal Abidin Ahmad,
34.
HB. Jassin,
35.
Mahfudi Sahli,
36.
Dja’far Amir,
37.
Muslih Maruzi,
38.
Abdul Aziz Masyhuri,
39.
M. Munir Farunama,
40.
Syahminan Zaini,
41.
M. Ali Husayn,
42.
A. Syafi’I Ma’arif,
43.
Dawan Raharjo,
44.
Azwar Anar,
45.
Imam Munawwir,
46.
Z. Kasijan,
47.
Nazwar Syamsu,
48.
M. Quraish Shihab.
Dari 48 tafsir yang
dipaparkan di atas, Federspiel mengambil sampel penelitian secara serampangan
dalam artian dia mengungkapkan karya-karya yang dia anggap tafsir kendati tidak
semua dianggap sebagai mufassir di kalangan masyarakat umum. Meskipun demikian,
karya ini banyak dijadikan rujukan oleh banyak peneliti. Selain karya Howard
Federspiel di atas, akan ditemukan pula karya Salman Harun yang mengungkap
tafsir Indonesia. Dia mengulas Tafsir Tarjuman alMustafid dalam sebuah karya
disertasinya.
Karya ini penting dan banyak memberikan kontribusi yang berarti
bagi para peneliti. Sebagai penulis generasi awal asli Indoensia, karyanya
menjadi penting yang mengulas informasi perkembangan tafsir Indonesia. Karya
yang hampir sama dengan Howar Federspiel, ada pula karya Islah Gusmian yang
menjadi karya akademik S2nya. Dia mengulas peta tafsir di Indonesia. Dan masih
banyak karya yang sama yang mengulas tafsir Indonesia. Bahkan, peta kajian perkembangan
tafsir di Indonesia masuk dalam kurikulum di perguruan tinggi khususnya pada
jurusan Tafsir Hadis di PTAIN / PTAIS Kementerian Agama RI.
Kajian ini menginformasikan bahwa betapa
luasnya lautan ilmu yang ada pada ulama-ulama tafsir di Nusantara. Penelitian
ini juga memberikan jalan baru untuk para pengkaji dan bisa jadi untuk
pengambil kebijakan dalam hal ini bisa jadi pemerintah. Bahwa jaringan
Nusantara tidak hanya pada keilmuan saja, akan tetapi bisa digali dari sisi
yang lain demi merekatkan sekaligus mengingatkan kembali bahwa kita adalah
sama-sama berada di bumi Nusantara dengan berbagai macam persamaannya.
Ketika menyelamai lautan samudera tafsir dan tokoh tafsir nusantara maka banyak perspektif muncul misalnya ada ulama tafsir nusantara yang secara khusus menampilkan tafsir nusantara dengan bahasa Jawi Melayu-nya, di sisi yang lain ada pula dengan bahasa lokal misalnya al-Nawawi al-Jawi yang menulis bahasa tafsirnya dengan bahasa Arab. Pada sisi yang lain ada pula penulisan tafsirnya dengan bahawa Jawi Melayu namun dengan perkembangan dan berjalannya waktu tafsir tersebut dialih bahasakan dalam bahasa negaranya. Selain yang telah disebutkan tadi di atas, karena perkembangan dan kemajuan zaman pada 224/REFLEKSI, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2017 abad 20 dan 21 ini banyak tafsir yang sudah tidak lagi menggunakan aksara Jawi Melayu, akan tetapi langsung dari bahasa asal negaranya.
Ketika menyelamai lautan samudera tafsir dan tokoh tafsir nusantara maka banyak perspektif muncul misalnya ada ulama tafsir nusantara yang secara khusus menampilkan tafsir nusantara dengan bahasa Jawi Melayu-nya, di sisi yang lain ada pula dengan bahasa lokal misalnya al-Nawawi al-Jawi yang menulis bahasa tafsirnya dengan bahasa Arab. Pada sisi yang lain ada pula penulisan tafsirnya dengan bahawa Jawi Melayu namun dengan perkembangan dan berjalannya waktu tafsir tersebut dialih bahasakan dalam bahasa negaranya. Selain yang telah disebutkan tadi di atas, karena perkembangan dan kemajuan zaman pada 224/REFLEKSI, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2017 abad 20 dan 21 ini banyak tafsir yang sudah tidak lagi menggunakan aksara Jawi Melayu, akan tetapi langsung dari bahasa asal negaranya.
Sumber :
#ppgpai2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar