Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Selasa, 25 Juni 2019

SEKILAS TENTANG TAFSIR NUSANTARA



TAFSIR NUSANTARA DAN PERKEMBANGANNYA


Tafsir Nusantara, berbicara tentang Tafsir Nura tentu kita akan merujuk ke induknya yakni Islama Nusantara. Menurut saya Islam Nusantara hanyalah lebel bagi umat Islam yang ada di Indonesia. Karena Islam tetaplah Islam, namu ajaran Islam akan disesuaikan sesuai adat istiadat setempat dan menjadikannya sumber hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran inti Islam (syar’i), salah satu bentuknya ialah penafsiran Al-Qur’an dan di Negara kita ada istilah Tafsir Nusantara.


Tafsir Nusantara : 


Ketika kita akan melacak jaringan ulama tafsir Nusantara, tidak bisa dilepaskan dari sosok ‘Abd al-Rauf al-Fansûri dengan karyanya Tarjuman al-Mustafid, melalui karya ini terus mengalami perkembangan melalui banyak media pengajaran hingga hari ini. Karya ini pula diduga kuat melahirkan aneka ragam corak dan manhaj tafsir di Nusantara. Paling tidak ada dua aspek transmisi ulama tafsir melahirkan dan mengembangkan ilmu tafsir. Pertama, melalui aktifitas pengajian, dan yang kedua melalui jalur penulisan.


Melalui kedua jalur ini transmisi ulama tafsir hingga saat ini terus mengalami perkembangannya baik. Kajian Al-Qur’an di Nusantara terus mengalami geliat perkembangan yang membanggakan. Munculnya karya-karya tafsir di belahan bumi nusantara menegasikan bahwa kajian Al-Qur’an di bumi nusantara terus mengalami perkembangan. Bukan hanya itu, tafsir Al-Qur’an yang sering disajikan dengan budaya aslinya yaitu kultur Arab, disajikan dengan budaya para pembacanya, dalam hal ini bumi Nusantara.


Konsep Tafsir di Nusantara : 


Izza Rahman Nahrawi. “Profil Kajian Al-Qur’an di Nusantara Sebelum Abad ke 20.” Jurnal al-Huda, II, no.6, (2000). Islam Nusantara menurut Azyumardi Azra adalah Nusantara: Islam is a distinctive Islam resulting from vivid, intense and vibrant interaction, contextualization, indigenization and vernacularization of universal Islam with Indonesian social, cultural and religious realities—this is Islam embedded. Nusantara Islamic orthodoxy (Ash’arite theology, Shafi’i school of law, and Ghazalian Sufism) nurtures the Wasatiyyah character—a justly balanced and tolerant Islam. Nusantara Islam, no doubt, is very rich with Islamic legacy—a shining hope for a renaissance of global Islamic civilization”. “


Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global”.


Disisi lain menggambarkan Nusantara sarat dengan tradisi yang lebih toleran, moderat dan tidak radikal. Seorang peneliti Ervan Nurtawab dan lain-lain menginformasikan bahwa sekitar abad ke-XVII M. telah ditemukan bukti paling awal di Nusantara setelah lebih dari 300 tahun sejak komunitas Muslim Nusantara itu mulai mewujudkan dirinya dalam kekuasaan politik, yaitu di Cambridge yang memuat tafsir surat al-Kahfi. Kajian Al-Qur’an dipelopori oleh ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili yang menulis kitab dengan berjudul Tarjuman al-Mustafid. Dua karya inilah yang menjadi embrio pijakan penulisan tafsir Al-Qur’an di Asia tenggara. 


Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh Shaykh Nawawi al-Bantani : 43, Munawar Khalil : 44. Hasan Bandung : 45, Mahmud Yunus : 46, Oemar Bakri : 47, Hasbi Ash-Shiddiqy : 48, Hamka : 49, H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs : 50, Kasim Bakri : 51, Dalam bahasabahasa daerah, upaya ini dilanjutkan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta : 52, Bisyri Mutahafa Rembang : 53, R. Muhammad Adnan : 54 dan Bakri Syahid : 55. Upayaupaya ini bahkan lebih diseriusi oleh Pemerintah RI melalui proyek penerjemahan. Selanjutnya, atas usul Musyawarah kerja Ulama Al-Qur’an ke XV (23-24 Maret 1989), disempurnakan oleh pusat penelitian dan pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashih Al-Qur’an : 56. Seorang peneliti Howard M. Federspiel dalam penelitiannya, kurang lebih disebut 48 tafsir popular di Indonesia,57 walaupun masih perlu dikritisi batasan apa saja yang ia anggap sebagai karya tafsir.


Adapun Gaya dan Tipologi Tafsir di Nusatara,


Tafsir banyak terwarnai dengan Islam local baik itu budaya maupun kondisi saat ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan tafsiran oleh sang penafsirnya. Tipologi dan gaya penafsiran ala nusantara tentu sedikit berbeda dengan tafsiran yang sudah dikenal selama ini. Misalnya, tafsir klasik memiliki ciri khas tersendiri di banding dengan tafsir bernuansa modern. Begitupun tafsir nusantara akan sedikit berbeda warnanya dengan model penafsiran yang dihasilkan oleh penafir dari Timur Tengah. Hal inilah yang menarik dari tafsir khas ala nusantara. Selain itu, gaya dan tipologi tafsir nusantara tidak lepas dari transmisi tradisi tafsir Hijaz, Azhari, dan sarjana Barat.


Hijaz di sini adalah transmisi cara penulisan, pemikiran dan tradisi tafsir yang berkembang di Makkah maupun Madinah. Kemudian, tafsir nusantara juga memiliki ketersambungan dan keterikatan kuat dengan pola pikir al-Azhar Mesir yang banyak melahirkan ulama-ulama nusantara yang secara tidak langsung ikut menyumbangkan pemikiranannya dalam menelurkan karya tafsir nusantara. Kedua sisi ini lebih kental mencuat pada abad XVI hingga awal abad XX. Selain kedua sisi ini, adapula sisi lain yang tidak kalah pentingnya yaitu gagasan dan pemikiran baik dari sarjana muslim Indonesia yang belajar di Barat maupun sarjana Barat sendiri yang ikut meramaikan penelitian dan analisis tentang tafsir nusantara.


Dari kesemua sisi itu, yang tidak akalah pentingnya adalah sisi lokalitas (local wisdom) ulama local baik terkait tentang social dan budaya nusantara maupun sarjana didikan asli nusantara yang tentu memiliki corak tersendiri di banding dengan transmisi keilmuan yang belajar dari Hijazi, Azhari maupu Barat. 


Penafsiran Alqur’an di Indoneisa menjadi bagian penting dari munculnya penafsiran di bumi Nusantara. Bagaimana tidak, lahirnya Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abdurrauf Singkel menjadi awal mula penafsiran Al-Qur’an di Nusantara. Membincang tafsir di Indonesia, kita akan menemukan karyakarya yang menjadi rujukan awal yang khusus dan focus melakukan kajian yang mendalam terhadap tafsir Indonesia. Howard M. Federshiel seorang peneliti tafsir Indoensia memaparkan paling tidak ada 48 tafsir yang ditelaahnya. Di antara 48 mufassir yang Federspiel sebut adalah, 

1.     Munawar Khalil,
   2.                 Aboe Bakar Atjeh,
   3.      Bahrum Rangkuti,
   4.       Jamaluddin Kafie,
   5.                   Oemar Bakrie,
   6.       Joesoef Sou’eb,
   7.                    M. Hasbi alShiddiqy,
   8.       Masjfuk Zuhdi,
   9.       A. Hasan,
   10.             Qomaruddin Hamidy,
   11.             Mahmud Yunus,
   12.             Hamka,
   13.             Abdul Halim Hasan,
   14.             Tafsir Depag,
   15.             Bachtiar Surin,
   16.             Sukmadjadja Asyarie,
   17.             Badarutthanan Akasah,
   18.             Syahminan Zaini,
   19.             MS. Khalil,
   20.             Qamaruddin Saleh Nasikun,
   21.             Bey Arifin,
   22.             Labib MZ,
   23.             A. Hanafi,
   24.             Hadiyah Salim,
   25.             M. Ali Usman,
   26.             Khadijatus Shalihah,
   27.             A. Muhaimin Zen,
   28.             Datuk Tombak Alam,
   29.             A. Djohansjah,
   30.             Ismail Tekan,
   31.             T. Atmadi Usman,
   32.             Abu Hanifah,
   33.             Zainal Abidin Ahmad,
   34.             HB. Jassin,
   35.             Mahfudi Sahli,
   36.             Dja’far Amir,
   37.             Muslih Maruzi,
   38.             Abdul Aziz Masyhuri,
   39.             M. Munir Farunama,
   40.             Syahminan Zaini,
   41.             M. Ali Husayn,
   42.             A. Syafi’I Ma’arif,
   43.             Dawan Raharjo,
   44.             Azwar Anar,
   45.             Imam Munawwir,
   46.             Z. Kasijan,
   47.             Nazwar Syamsu,
   48.             M. Quraish Shihab.


Dari 48 tafsir yang dipaparkan di atas, Federspiel mengambil sampel penelitian secara serampangan dalam artian dia mengungkapkan karya-karya yang dia anggap tafsir kendati tidak semua dianggap sebagai mufassir di kalangan masyarakat umum. Meskipun demikian, karya ini banyak dijadikan rujukan oleh banyak peneliti. Selain karya Howard Federspiel di atas, akan ditemukan pula karya Salman Harun yang mengungkap tafsir Indonesia. Dia mengulas Tafsir Tarjuman alMustafid dalam sebuah karya disertasinya. 


Karya ini penting dan banyak memberikan kontribusi yang berarti bagi para peneliti. Sebagai penulis generasi awal asli Indoensia, karyanya menjadi penting yang mengulas informasi perkembangan tafsir Indonesia. Karya yang hampir sama dengan Howar Federspiel, ada pula karya Islah Gusmian yang menjadi karya akademik S2nya. Dia mengulas peta tafsir di Indonesia. Dan masih banyak karya yang sama yang mengulas tafsir Indonesia. Bahkan, peta kajian perkembangan tafsir di Indonesia masuk dalam kurikulum di perguruan tinggi khususnya pada jurusan Tafsir Hadis di PTAIN / PTAIS Kementerian Agama RI.



Jadi, Kesimpulannya ialah :

Kajian ini menginformasikan bahwa betapa luasnya lautan ilmu yang ada pada ulama-ulama tafsir di Nusantara. Penelitian ini juga memberikan jalan baru untuk para pengkaji dan bisa jadi untuk pengambil kebijakan dalam hal ini bisa jadi pemerintah. Bahwa jaringan Nusantara tidak hanya pada keilmuan saja, akan tetapi bisa digali dari sisi yang lain demi merekatkan sekaligus mengingatkan kembali bahwa kita adalah sama-sama berada di bumi Nusantara dengan berbagai macam persamaannya. 


Ketika menyelamai lautan samudera tafsir dan tokoh tafsir nusantara maka banyak perspektif muncul misalnya ada ulama tafsir nusantara yang secara khusus menampilkan tafsir nusantara dengan bahasa Jawi Melayu-nya, di sisi yang lain ada pula dengan bahasa lokal misalnya al-Nawawi al-Jawi yang menulis bahasa tafsirnya dengan bahasa Arab. Pada sisi yang lain ada pula penulisan tafsirnya dengan bahawa Jawi Melayu namun dengan perkembangan dan berjalannya waktu tafsir tersebut dialih bahasakan dalam bahasa negaranya. Selain yang telah disebutkan tadi di atas, karena perkembangan dan kemajuan zaman pada 224/REFLEKSI, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2017 abad 20 dan 21 ini banyak tafsir yang sudah tidak lagi menggunakan aksara Jawi Melayu, akan tetapi langsung dari bahasa asal negaranya.

Sumber : 


#ppgpai2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar