MODUL
AL-QUR’AN KB 4 PPG PAI
URAIAN MATERI
Dikisahkan
bahwa suatu ketika orang-orang Quraisy datang kepada kaum Yahudi dan bertanya
kepada mereka, apa tanda-tanda yang dibawa Musa kepada kalian?” orang-orang
Yahudi itu menjawab “Tongkat dan tangan yang mengeluarkan cahaya putih.”
Selanjutnya orang-orang Quraisy itu mendatangi kaum Nasrani, lalu bertanya
kepada mereka, “apa tanda-tanda yang diperlihatkan Isa?.” Kaum Nasrani
menjawab, “Isa menyembuhkan orang yang buta, orang yang sakit kusta dan
menghidupkan orang mati.” Setelah orang-orang Quraisy mendatangi Yahudi dan
Nasrani, kemudian mereka mendatangi Nabi
Saw sambil berkata kepada beliau; “Berdoalah kepada Tuhanmu untuk mengubah
bukit shafa menjadi emas untuk kami.” Nabi Saw kemudian berdoa, maka turunlah
firman Allah Q.S Ali Imran 190 ini ;
Artinya
: “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190). (yaitu)
orang-orang yang mengingat atau berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka (191)
Nabi
Saw ketika berdiri mengerjakan salat beliau menangis sehingga jenggotnya basah
oleh air mata. Ketika sujud beliau juga menangis hingga air matanya membasahi
tanah kemudian berbaring beliau menangis lagi. Ketika Bilal datang untuk
memberitahukan kepadanya waktu salat subuh, seraya bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah yang menyebabkan engkau menangis, padahal Allah telah
memberikan ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan
datang?" Nabi Saw. menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, malam ini
Allah telah menurunkan kepadaku ayat
ini: 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang hari terdapat tanda-tanda bagi para ulul albab (Ali Imran:
190)."
Kemudian
Nabi Saw. bersabda pula, 'Celakalah bagi orang yang membacanya, lalu ia tidak
merenungkan semuanya itu." Pada Surat Ali Imran 190 ini mengisyaratkan
tentang tauhid, keesaan, dan kekuasaan Allah SWT. Hukum-hukum alam yang
melahirkan kebiasaan-kebiasaan, pada hakikatnya ditetapkan dan diatur oleh
Allah Yang Mahahidup lagi Qayyum (Maha Menguasai dan Maha Mengelola segala
sesuatu).
Surat
Ali Imran ayat 190-191 menegaskan penciptaan semesta, yaitu langit dan bumi
serta pergantian malam dan siang adalah sebagai tanda-Nya. Tanda itu mampu
diterima oleh ulul albab, yaitu orang-orang yang selalu berdzikir dan
bertafakkur. Berdzikir berarti senantiasa mengingat Allah dan bertafakkur
berarti merenungi dan memikirkan segala ciptaan Allah Swt yang meliputi langit
dan bumi serta segala isinya dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya.
Dua
dimensi yang tidak dipisahkan dalam ayat tersebut sehingga disebut ulul albab
adalah dimensi dzikir (mengingat Allah Swt) dalam kondisi apapun; baik
berdiri,duduk maupun berbaring, di mana setiap orang secara umum memang berada
di salah satu dari tiga kondisi tersebut.
Dimensi
kedua adalah bertafakkur (melakukan renungan) terhadap ciptaan Allah Swt yang
tersebar di semesta alam ini; penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang
dan malam. Dimensi ke dua ini tentu saja bersifat global dengan tidak merinci
bagianbagian langit dan bagian-bagian bumi serta hukum-hukum alam yang menjadi
sunnatullah, karena menyebut tiga hal tersebut sudah mewakili apapun yang ada
padanya dan bagaimanapun keadaannya dan yang diakibatkannya telah masuk pada
system keberadaan langit, bumi dan perputarannya.
Memikirkan
dan merenungkan bagian-bagian kecil dari langit, misalnya; memikirkan bulan, matahari, planet atau sinarnya,
awannya, panasnya dan juga bagian kecil dari bumi; memikirkan hewannya,
tumbuhannya, manusianya atau udaranya, maka perbuatan ini juga di sebut
tafakkur fi khalqissamawati wa al ardhi (merenungkan penciptakan langit dan
bumi ).
Lebih
terperinci lagi bahwa seseorang yang melakukan perenungan melalui berbagai
kajian yang sungguh-sungguh dalam berbagai disiplin ilmu baik social maupun
sains pada hakekatnya sedang melakukan tafakkur. Kembali pada surat Ali Imran;190 yang
menegaskan bahwa dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi ulul albab.
Kata
Ulul albab menurut tafsir Ibnu Katsir adalah orang yang memiliki akal yang
sempurna lagi cerdas yang mengerti tentang hakekat dibalik adanya segala sesuatu yang tampak.
Tanda-tanda yang tersebar di semesta adalah tanda adanya Allah Swt, yang
berarti tanda wujud-Nya, keagungan-Nya, kemahabesaran-Nya, kemahaindahan-Nya,
kemahakaryaannya dan kemahasempurnaan-Nya meliputi segala sesuatu. Namun tanda
wujudnya Allah Swt tersebut hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh orang-orang
yang disebut ulul albab, bukan oleh orang lain.
Siapakah
ulul albab tersebut ? Seseorang disebut Ulul albab pada ayat tersebut harus
memiliki dua syarat, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya; syarat pertama
yaitu dimensi dzikir (mengingat Allah Swt) dalam kondisi apapun. Syarat kedua
yaitu dimensi kedua adalah bertafakkur (melakukan renungan) terhadap ciptaan
Allah Swt yang tersebar di semesta.
Dua
dimensi itu ibarat dua sisi mata uang pada satu logam yang tidak bisa
dipisah-pisahkan, bertafakur tanpa berdzikir tidaklah di sebut ulul albab,
demikian juga sebaliknya. Seorang ulul albab senantiasa mengingat kepada Allah
Swt dan melakukan kajiankajian serta renungan terhadap kejadian-kejadian pada
ciptaan Allah Swt, sehingga pada akhirnya dia menemukan hikmah yang agung pada
setiap ciptaan Allah Swt. Dia menemukan sebuah system keserasiaan, keseimbangan
dan keharmonisan serta penjagaan Allah Swt terhadap semesta.
Dan
pada seorang ululalbab memahami bahwa segala apa yang Allah ciptakakan
memberikan manfaat yang besar terhadap kehidupan dan tidak ada yang
sia-sia. Dalam konteks saat ini seorang
ulul albab memiliki sifat dan sikap
seperti kritis, mau berusaha dan berkreasi
untuk kemanfaatan, kemaslahatan dan kelestarian kehidupan. Sifat dan sikap
tersebut dapat dijelaskan berikut ini:
a. Memiliki
sikap kritis kalau di rinci rinci lagi ada tiga cirri utama; yaitu berdzikir, memikirkan atau mengamati fenomena alam dan berkreasi. Dari uraian
tersebut dapat dipahami bahwa berfikir kritis memiliki tiga tuntutan besar:
1) Berdzikir.
Seorang yang berfikir kritis dan cerdas,
ciri pertama adalah selalu berdzikir kepada Allah swt baik siang dan malam,
pada saat berdiri, duduk dan berbaring. Maknanya tiada waktu tanpa berdzikir, segala
waktu diisi dengan dzikir baik dalam shalat maupun di luar shalat. Berdzikir
bukan saja hanya ingat tetapi juga membaca kitab Allah, memahami isinya,
menyebar luaskan dan mengamalkan isi kandungannya. Membelajari kitab suci dalam
rangka memahami , menyebar luaskan dan menerapkan nilai-nilainya di
tengahtengah masyarakat yang sangat beragam kebutuhan dan problemanya.
2) Berfikir
Kritis.
Berfikir kritis berarti mengamati, meneliti, menyimpulkan dan
membuktikan kebenarannya. Mengamati ayat-ayat Tuhan di alam raya ini baik dalam diri manusia secara perorangan maupun berkelompok, di samping juga mengamati
fenomena alam. Mereka berfikir tentang
ciptaan langit dan bumi.
Menurut Muhammad Quthub sebagaimana
dikutip oleh M Quraish Shihab bahwa ayat-ayat tersebut merupakan metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan
Islam terhadap alam. Ayatayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama di antara sekian banyak
fungsinya, yakni mempelajari
ayat-ayat Tuhan yang tersaji dalam
alam jagat raya ini. Ayat tersebut
bermula dari tafakkur dan berakhir dengan amal.
Di samping itu bertafakkur terhadap penciptaan langit bumi, juga bermakna memikirkan tentang tata kerja
alam semesta. Karena kata Khalq selain
berarti penciptaan juga berarti pengaturan
dan pengukuran yang cermat. Pengetahuan yang terakhir ini mengantarkan
ilmuan kepada rahasia alam dan pada
gilirannya mengantarkan kepada penciptaan
teknologi yang menghasilkan
kemudahan dan manfaat bagi
manusia.
b. Berusaha
dan berkreasi dapat berarti melakukan
upaya-upaya kreatifitas pada hasilhasil penemuan ilmiah dan teknologi.
Karena itu setelah mereka menemukan dan
memahami suatu ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan bagian kecil dari
system yang sempurna dari Dzat Yang Maha Karya, kemudian mereka berkata: Ya
Allah tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia - sia Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.
Adanya usaha dan kreasi dalam bentuk nyata
dari ilmuwan, khususnya dalam kaitan
hasil-hasil yang diperoleh dari
pemikiran dan perhatian tersebut
berarti bahwa mereka harus selalu peka
terhadap kenyataan-kenyataan social dan semesta alam serta bahwa peran
mereka tidak sekedar merumuskan atau mengarahkan tujuan-tujuan tetapi juga sekaligus memberi contoh
pelaksanaan dan sosialisasinya.
Keindahan alam dan keberhasilan sains dan tekhnologi
yang dihasilkan dari proses berfikir dan berdzikir itu memperkuat keimanan
kepada Allah swt dan dalam meningkatkan kepatuhannya kepada Sang
Pencipta. Pemahaman terhadap penciptaan semesta yang agung disertai dengan
selalu berdzikir menimbulkan sebuah kemampuan pada dirinya untuk melihat sebuah
tanda wujudnya Allah Swt, keagungan-Nya dan kemahabesaran-Nya, sehingga
terlontar dari dirinya ucapan subhaanak ( maha suci Engkau ya Allah). Penjelasan seperti ini tergambar pada ayat
191;
َ كَ ان َحْبُ س ًلَِِاَ ا ب َذَ ه َتْقَلَ ا خ
َ ا م َنَّبَر
Artinya; "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau. Masih belum berhenti
di sini, setelah seorang ulul albab mampu melihat tanda wujudnya Allah Swt dan
memahami ciptaan-Nya yang penuh hikmah; serasi, seimbang, harmonis dan penuh
manfaat.
Maka seorang ulul albab mengkhawatirkan terjadi suatu
kezhaliman (pengrusakan) terhadap segala ciptaan Allah Swt dan tata aturan-Nya
yang Maha Indah yang mungkin kezholiman itu dilakukan oleh dirinya maupun orang
lain, di mana kezholiman itu dapat membawa masuk ke dalam api neraka. Karena
itu, seorang ulul albab melanjutkan ucapannya;
ِ ارَّ الن َ ابَذَ ا ع َنِقَ ف
(maka jagalah kami dari siksa api neraka).
Sosok ulul albab di atas menggambarkan seorang yang di samping memiliki ilmu
pengetahuan yang tinggi, juga sosok yang selalu dekat dengan Allah Swt.
Kedekatan kepada Tuhannya dan keluasan ilmunya memberikan dampak terhadap
kehidupannya sebagai seorang yang selalu
melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan yang sejalan
dengan aturan Allah Swt. Ilmu yang dimiliki oleh seorang ulul albab tidak
tersekat oleh batasan-batasan yang dibuat oleh manusia, yang sekat-sekat
tersebut diakibatkan oleh keterbatasan manusia itu sendiri.
Bagi seorang ulul albab ilmu pengetahuan apapun yang
berhubungan dengan alam semesta ini hakekatnya adalah ciptaan-ciptaan Allah Swt
yang tunduk kepada sitem aturan yang telah dibuat-Nya. Sehingga semua ilmu itu
hakekatnya hanya satu yaitu ilmu Allah Swt, dan manusia hanya diberi sedikit
ilmu dari Allah Swt.
ً لَْيِلَ ا ق لِّ ا ِمْلِ الع َنِ م ْمُتْيِ وت
ُ ا ا َمَو
Adapun berbagai disiplin ilmu pengetahuan
seperti ilmu social dan sains serta cabangcabangnya adalah nama-nama yang
dibuat oleh manusia sendiri untuk memudahkan bidang focus kajian dan bidang
keahlian yang ditekuni. Sehingga nama-nama bidang ilmu tersebut sangatlah
bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Namun yang perlu diingat bahwa
bidang-bidang ilmu itu secara makro dipahami sebagai satu-kesatuan yang saling
berhubungan, tidak untuk dipisahkan, apalagi dipisahkan dari ciptaan dan system
aturan Allah Swt.
Dapat dipahami juga bahwa Allah Swt yang maha agung
memilki ilmu yang maha luas, di mana untuk
mendapatkan pemahaman tentang Allah Swt atau dengan kata lain memahami
tanda ( dalam ayat al qur’an disebut
ayat ) diperlukan ilmu Allah, karena itu belajar suatu ilmu adalah untuk
lebih mengetahui tentang Allah Swt dan
agar mampu lebih banyak melakukan kemaslahatan dan kemanfaatan dalam kehdupan sesuai petunjuknya, sehingga
semakin bertambah ilmu seseorang akan menambah juga kedekatannya kepada Allah
Swt dan kebaikannya dalam kehidupan. Namun, apabila suatu ilmu dipisahkan dari
pemiliknya yakni Allah Swt dan berdiri
sendiri, maka dikuatirkan fungsi dari ilmu tersebut akan lepas kendali dan jauh
dari aturan dan tujuan serta manfat dari ilmu tersebut.
َ ىً دْزَ ي ْمَلَ ما و ْلِ ع َ ادَدْ از ِنَم
دْعُ ا ب لِّ ا ِ الله َنِ م ْدَدْزَ ي ْمَ ى # ل ًدُ ه ْد
Barangsiapa bertambah ilmunya tetapi tidak
bertambah petunjuknya maka hanya akan membuat semakin jauh dari Allah Swt
2.
Integrasi Ilmu Pengetahuan
Al
Qur’an adalah petunjuk bagi manusia
untuk menjalani kehidupan di dunia dan memberi informasi tentang
kehidupan di akherat. Petunjuk tentang menjalin hubungan dengan Allah (hablun
minallah) yang menciptakannya dan hubungan dengan sesama manusia (hablun
minannas) serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya agar dijaga dan
dilestarikan.
Sebelum
kajian ilmu social dan sains berkembang pesat, al Qur’an telah memberikan
informasi yang sangat luas dan benar bagaimana seharusnya berinteraksi sesama
manusia ( social interaction), demikian juga sebelum sains berkembang al Qur’an
telah begitu dalam membicarakan semesta alam.
Dalam hal interaksi social misalnya al Qur’an sebagai petunjuk tidak hanya
membicarakan pola-pola interaksinya saja, namun telah mengatur secara tepat
bagaimana seharusnya interaksi social itu dapat berjalan seimbang, adil dan
tidak terjadi kedzoliman, agar kehidupan ini terjaga dan sesuai dengan tujuan
penciptaannya.
Karena
itu petunjuk tentang bagaimana interaksi social sangat banyak sekali, misalnya;
ayat-ayat tentang perdagangan, hutang piutang, pernikahan, kepemimpinan,
keadilan, perceraian, perjanjian, kepemilikan, komunikasi dan sebagainya. Demikian juga al Qur’an memberikan informasi
yang sangat luas tentang sains, mulai membahas penciptaan alam semesta, tata
surya, hewan, tumbuhan, hujan, angin dan sebagainya. Namun, pembicaraan sains
dalam al Qur’an bukan hanya terbatas pada aspek sains itu saja, tetapi pasti
dikaitkan dengan aspek yang lain, misalnya; agar manusia mengenal tuhannya,
agar manusia mau bersyukur, menjaga kelestariannya, agar mau berfikir, agar
manusia selalu beramal sholeh, dst.
Al
Qur’an membicarakan semesta alam; langit, bumi, hewan, tumbuhan yang semua
diciptakan untuk manusia maka manusia diperintahkan untuk menjaga, mengelola
dan memanfaatkannya dengan baik . Mengenai cara dan tekhnik mengelola atau
memanfaatkannya diserahkan kepada manusia sendiri. Karena itu al Qur’an tidak
membicarakan secara spesifik bagaimana cara mengelola dan alat apa yang
digunakannya, demikian itu supaya manusia berfikir karena sudah diberi potensi
akal untuk dikembangkan afala ta’qilun (tidakkah kalian menggunakan akal), ini
artinya manusia diperintah untuk mengembangkan tekhnologi.
Manusia
dapat mengembangkan tekhnologi apapun dalam rangka mendukung dan menunjang
proses kekhalifahannya di muka bumi. Namun al Qur’an memberikan rambu-rambu
atau asas-asas yang dapat dijadikan sebagai petunjuk melaksanakannya, agar
tidak menyalahi dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt.
Adapun
asas-asas tersebut adalah : a) asas tauhid, artinya tidak diperkenankan segala
sains dan tekhnologi berdampak kepada penyekutuan terhadap Allah Swt (syirik), b)
Asas manfaat, c) Asas kemudahan, d) asas keindahan, dan e) asas keadilan;
a. Asas
Tauhid
Di dalam al Qur’an tidaklah diperkenankan segala
apapun berdampak kepada penyekutuan terhadap Allah Swt dan sehala apaun yang
dilakukan semata-mata karena mengabdi kepada Allah Swt secara tulus.
ْ اف ِدَقَ ف ِ َّ
اللَّ ِ ب ْكِرْشُ ي ْنَمَ و ُ اء َشَ ي ْنَمِ ل َكِلَ ذ َ ون ُ ا د َ م ُرِفْغَيَ
و ِهِ ب َكَرْشُ ي ْنَ أ ُرِفْغَ ي َ لّ َ
َّ اللَّ َّنِإ ىَرَت اً يم ِظَ اع ًمْثِإ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)
َ وَ اة َكَّ وا
الز ُتْؤُيَ وَة َ لََّ وا الص ُ يم ِقُيَ اء و َفَنُ ح َ اين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ
م َ َّ وا اللَّ ُدُبْعَيِ ل َّ ِ لِّ وا إ ُرِمُ ا أ َمَو ةَ امِيَقْ ال ُ ين ِ د
َكِلَذ
Dan tidaklah mereka diperinta kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)
b. Asas
manfaat
Al Qur’an sangat menganjurkan agar segala
upaya dan kreasi manusia dilakukan
dengan mempertimbangkan sisi kemanfaatannya.
ِ
ضْرَ ْ ي الْ ِ ف ُثُكْمَيَ ف َ اس َّ الن
ُعَفْنَ ا ي َ ا م َّمَأَوۖ ً اء َفُ ج ُبَهْذَيَ فُدَبَّ ا الز َّمَأَف
Maka adapun buih itu, akan hilang (sebagai
sesuatu yang tak ada harganya), adapun yang memberi manfaat kepada manusia,
maka ia tetap di bumi. ) al Ro’d,
13 :17), Nabi Saw menjelaskan :
ِ ْ
: م َ الَ ق َمَّلَسَ و ِهْيَلَ ع ُ ى الله َّلَ ص ِ الله ُلْوُسَ ر َ ال َ : ق َ ال
َ ق ُهْنَ عُ الله َي ِضَ رَةَرْيَرُ ي ه ِبَ أ ْنَع ن ِ ) مْ ارِ الت ُ اه َوَ ( ر
ِهْيِنْعَ ي َ ا لّ َ م ُهُكْرَ ت ِءْرَمْ ال ِمَلَْسِ إ ِنْسُح يِ .ذ
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah
Saw bersabda, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah jika dia
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
c. Asas
Kemudahan
Allah Swt Yang Maha Pengasih menginginkan
agar manusia dalam menjalankan tugasnya
tidak mengalami kesulitan, karena itu Allah Swt menganjurkan agar manusia dapat
melakukan hal-hal yang dapat memudahkan dan meringankannya.
َ َ رْسُيْ ال ُمُكِ ب ُ َّ اللَّ ُ يد ِرُي رْسُعْ
ال ُمُكِ ب ُ يد ِرُ ي َ لَّو
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al Baqarah, 2: 185).
اً يف ِعَ ض ُ ان َسْنِ
ْ الْ َقِلُخَ و ْمُكْنَ ع َ افِفَخُ ي ْنَ
أ ُ َّ اللَّ ُ يد ِرُي
Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisa’, 4: 28).
, رضي
الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ٍسَنَ ن أ َع
وا ُ ارِسَعُ ت َلَّ وا و ُ ارِسَي وا ( رواه مسلم ) ُ ارِفَنُ ت َلَّ وا و ُ ارِشَبَو
Artinya
Dari Anas r.a berkata: Nabi Saw bersabda; Mudahkanlah, jangan
mempersulit, buatlah senang dan jangan buat mereka berpaling (meninggalkan)
kalian.
d. Asas
Keindahan
Ayat-ayat al Qur’an banyak sekali
menyampaikan secara tersirat tentang keindahan, misalnya penciptaan manusia yang dengan sebaik-baik
bentuk, penciptaan binatang , penciptaan langit (badi’ussamaawaati), dst.
Keindahan yang dimaksud oleh al Qur’an bukan hanya indah dari segi lahiriyah
yang tampak oleh mata, namun keindahan yang disertai dengan keseimbangan dan
keharmonisan, keindahan yang seimbang antara yang lahir dan yang bathin. Nabi Saw bersabda :
ِ -
اس َ الن ِطْمَغَ و ِقا َ الح ُرْطَ ب ُرْبِ الك ،ِ مال َ الج ُّبِحُ ي ٌ يل ِمَ إن
الله ج رواه مسلم.
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya
Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak
kebenaran dan merendahkan orang lain.
e. Asas
Keadilan
Allah Swt memerintahkan secara tegas
diperbagai ayat al Qur’an agar keadilan selalu ditegakkan diperbagai aspek
kehidupan, termasuk bidang tekhnologi. Penggunaan tekhnologi hendaknya juga
dalam rangka penegakan keadilan.
ِ طْسِقْال ِ ب َ ين ِ ام َّوَ وا ق ُ ون ُ وا ك ُنَ آم َ ين ِذَّ ا ال َهُّيَ
ا أ َي
Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah
kamu penegak keadilan (Q.S An-Nisa: 135)
Refrensi :
Abdul Majid Khon, dkk,
Modul Pendalaman Materi Alqur’an Hadis. Fitk Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta.Cetakan Pertama, 2018
M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid 2,… hlm. 370.
Jalaluddin as-Suyuthi,
Asbabun Nuzul: Sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, terj. Lubaabun Nuquul fii
Asbaabin Nuzuul, Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2008) hlm. 148-149
Sumber : http://ppg.siagapendis.com
NB : MOHON MAAF TULISAN AYAT / HADIS BELUM TER-EDIT
#ppgpai2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar