A.
Sejarah
Perkembangan Filsafat pada Zaman Modern
(Eropa)
Istilah modern itu sendiri tidak jelas apa
maksudnya. Lazimnya, istilah modern menampilkan kesombongan dan arogan, bahkan
menampik buah pikiran yang telah lahir sebelumya disebut juga sebagai suatu
pemberontakan yang sedikit dilebih-lebihkan. Sehingga pemikiran filsafat modern
lebih cendrung membicarakan hal-hal antroposentris
artinya mebicarakan apa yang ada dalam dirinya.
Adapun filsafat modern memiliki ciri khas dan
karakter dalam mendapatkan kebenaran, cirinya adalah kesangsian terhadap
kebenaran itu sendiri. Maka dalam mendapatkan kebenaran yang sejati adalah
dengan kesangsian dan keraguan. Sama
halnya dengan kaum pasca-modernisme yang memberontak terhadap pemikiran modern
yang terlalu menghargai rasio.
Mengenai siapa “founding
fathers” Zaman Modern ini, beberapa ahli berpendapat adalah Rene Descartes
dengan pikiran rasionalitas, John Locke dengan pemikiran empirisnya, Immanuel
Kant dengan kritis melihat ketidak sempurnaan. Baik pada Descartes, Locke
maupun Kant mengatakan bahwa, “pengamatan tanpa konsep adalah buta, sedangkan
tanggapan tanpa penglihatan adalah hampa.” Ia berpendapat, bahwa pengetahuan
itu dasarnya adalah pengamatan dan pemikiran.
Untuk melihat lebih mudah, maka filsafat modern
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
(1) rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. (2) dialektika idealisme dan
dialektika materialisme, (3)fenomenologi dan eksistensialime, serta (4)
filsafat kontemporer dan pasca-modernisme.[1]
Para pemikir rasional menuntut kenyataan sejati yang
berdasar pada pemikiran, sehingga hukum pengetahuan sangat jelas. Hal ini bisa
berlaku jika hanya pengetahuan bersifat apriori.
Dasar pengetahuan adalah sensasi yang berasal dari rangsangan-rangsangan yang
berdasar pada pengalaman.
Menurut kaum kritisisme (Kant) ilmu pengetahan harus
memiliki kepastian sehingga rasionalisme adalah benar. Ilmu pengetahuan harus
mau dan berkembang didasari oleh kenyataan-kenyataan yang berkembang pula.
Dialektika idealism merupakan hasil dari pemikiran
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831) yang sangat berorientasi pada ilmu
sejarah, alam, dan hukum. Hegel menyatakan bahwa segenap realitas bersifat
rasional, dan yang rasional bersifat nyata. Ia sangat mementingkan rasio,
tetapi bukan hanya rasio pada perseorangan,melainkan rasio pada subjek
absolute.
Kemudian dealektika Hegel adalah pemikiran yang berusaha mendamaikan,
mengkromomikan daua pandangan atau lebih atau keadaan yag bertentangan menjadi
satu keatuan. Hegel berpendpat bahwa pertentangan adalah “bapak”segala hal.
Ada tiga hal dalam fase dielektika, pertama tesis menampilkan
lawannya antithesis sebagai fase kedua. Kemudian, timbullah fase ketiga yang
mendamaikan kedua fase itu, yaitu :”aufgehoben”
artinya bermacam-macam di cabut, ditiadakan, dan tidak berlaku lagi. Hal
ini disebut sintesis.
Dalam sintesis terdapat tesis dan antithesis, keduanya
diangkat pada satu taraf yang baru. Jadi tesis dan antithesis tetap ada, hanya
lebih sempurna.
Mengenai materilisme yang muncul “berlawanan” dengan
idealisme dapat dikemuakakan sebagai berikut. Berdasarkan dialektika
materialime bahwa seluruh kenyataan sejati adalah materi, sehingga apapun dapat
dijelaskan dalam proses material.
Materialisme terbagi menjadi dua, pertama
materialisme yang meneruskan masa “aufklaerung”
yang banyak digunakan dalam meneruskan tradisi ilmu pengetahuan alam atau
disebut materialisme ilmiah. Kedua materialisme filsafat yang merupakan reaksi
atas idealism.
Filsafat materialism adalah “Hegelian kiri” yang memberikan kritik tajam atas pemikiran Hegel
yang dipandangnya sebagai puncak rasionaisme modern. Pengikut pertama hegelan kiri adalah Ludwig Feuerbach
(1804 – 1872). Menurutnya dalam rasionalisme selalu ada suasana religious
sehingga pengenalan inderawi kurang mendapat penghargaan yang semestinya.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar