Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 12 Juni 2019

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ZAMAN MODERN


A.      Sejarah Perkembangan Filsafat pada Zaman Modern (Eropa)

Istilah modern itu sendiri tidak jelas apa maksudnya. Lazimnya, istilah modern menampilkan kesombongan dan arogan, bahkan menampik buah pikiran yang telah lahir sebelumya disebut juga sebagai suatu pemberontakan yang sedikit dilebih-lebihkan. Sehingga pemikiran filsafat modern lebih cendrung membicarakan hal-hal antroposentris artinya mebicarakan apa yang ada dalam dirinya. 

Adapun filsafat modern memiliki ciri khas dan karakter dalam mendapatkan kebenaran, cirinya adalah kesangsian terhadap kebenaran itu sendiri. Maka dalam mendapatkan kebenaran yang sejati adalah dengan kesangsian dan keraguan.  Sama halnya dengan kaum pasca-modernisme yang memberontak terhadap pemikiran modern yang terlalu menghargai rasio.

Mengenai siapa “founding fathers” Zaman Modern ini, beberapa ahli berpendapat adalah Rene Descartes dengan pikiran rasionalitas, John Locke dengan pemikiran empirisnya, Immanuel Kant dengan kritis melihat ketidak sempurnaan. Baik pada Descartes, Locke maupun Kant mengatakan bahwa, “pengamatan tanpa konsep adalah buta, sedangkan tanggapan tanpa penglihatan adalah hampa.” Ia berpendapat, bahwa pengetahuan itu dasarnya adalah pengamatan dan pemikiran.

Untuk melihat lebih mudah, maka filsafat modern dibagi menjadi beberapa  kelompok, yaitu: (1) rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. (2) dialektika idealisme dan dialektika materialisme, (3)fenomenologi dan eksistensialime, serta (4) filsafat kontemporer dan pasca-modernisme.[1]

Para pemikir rasional menuntut kenyataan sejati yang berdasar pada pemikiran, sehingga hukum pengetahuan sangat jelas. Hal ini bisa berlaku jika hanya pengetahuan bersifat apriori. Dasar pengetahuan adalah sensasi yang berasal dari rangsangan-rangsangan yang berdasar pada pengalaman. 

Menurut kaum kritisisme (Kant) ilmu pengetahan harus memiliki kepastian sehingga rasionalisme adalah benar. Ilmu pengetahuan harus mau dan berkembang didasari oleh kenyataan-kenyataan yang berkembang pula.

Dialektika idealism merupakan hasil dari pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831) yang sangat berorientasi pada ilmu sejarah, alam, dan hukum. Hegel menyatakan bahwa segenap realitas bersifat rasional, dan yang rasional bersifat nyata. Ia sangat mementingkan rasio, tetapi bukan hanya rasio pada perseorangan,melainkan rasio pada subjek absolute. 

Kemudian dealektika Hegel adalah pemikiran yang berusaha mendamaikan, mengkromomikan daua pandangan atau lebih atau keadaan yag bertentangan menjadi satu keatuan. Hegel berpendpat bahwa pertentangan adalah “bapak”segala hal.

Ada tiga hal dalam fase  dielektika, pertama tesis menampilkan lawannya antithesis sebagai fase kedua. Kemudian, timbullah fase ketiga yang mendamaikan kedua fase itu, yaitu :”aufgehoben” artinya bermacam-macam di cabut, ditiadakan, dan tidak berlaku lagi. Hal ini disebut sintesis. 

Dalam sintesis terdapat tesis dan antithesis, keduanya diangkat pada satu taraf yang baru. Jadi tesis dan antithesis tetap ada, hanya lebih sempurna.

Mengenai materilisme yang muncul “berlawanan” dengan idealisme dapat dikemuakakan sebagai berikut. Berdasarkan dialektika materialime bahwa seluruh kenyataan sejati adalah materi, sehingga apapun dapat dijelaskan dalam proses material. 

Materialisme terbagi menjadi dua, pertama materialisme yang meneruskan masa “aufklaerung” yang banyak digunakan dalam meneruskan tradisi ilmu pengetahuan alam atau disebut materialisme ilmiah. Kedua materialisme filsafat yang merupakan reaksi atas idealism. 

Filsafat materialism adalah “Hegelian kiri” yang memberikan kritik tajam atas pemikiran Hegel yang dipandangnya sebagai puncak rasionaisme modern. Pengikut pertama hegelan kiri adalah Ludwig Feuerbach (1804 – 1872). Menurutnya dalam rasionalisme selalu ada suasana religious sehingga pengenalan inderawi kurang mendapat penghargaan yang semestinya.[2]



[1] Suterdjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafa,t  (Bandung: Refika Aditama 2007), hlm 61.
[2] Suterdjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafa,t  (Bandung: Refika Aditama 2007), hlm 61-64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar