Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 10 Juni 2019

PROBLEM OUTSIDER


Dalam perkembangannya studi Islam di dunia terutama di barat terjadi karena adanya kontak dengan dunia muslim, salah satunya yakni lewat kontak perguruan tinggi. Selain itu juga dengan adanya penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab kedalam bahasa Latin. Berkat penyalinan karya-karya manuskrip-manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah di Barat.
Sebelum muslim memasuki universitas-universitas di Barat, ahli Islam di Barat didominasi para orientalis. Maka buku-buku dan artikel-artikel tentang pemikiran-pemikiran dibidang Islam pun didominasi dan merupakan hasil pemikiran para orientalis. Seiring dengan adanya sarjana muslim yang belajar di Barat dan menulis dengan bahasa Barat tentang Islam, maka ahli keIslaman pun muncul dari sejumlah muslim.[1]
Kajian Islam di Barat telah mengalami perubahan. Penelitian dan kajian yang dilakukan Barat terhadap masyarakat Muslim kini dilakukan di tengah kehadiran Islam dan dunia Islam yang hidup dan berubah, tidak sekedar catatan masa silam. Peningkatan apresiasi terhadap Islam di kalangan sarjana Barat inilah yang kemudian memunculkan apa yang oleh sebagian orang disebut sebagai Orientalisme Baru.[2]
Kebangkitan Orientalisme baru itu membuka peluang lebih besar bagi terciptanya interaksi dan pertukaran keilmuan yang lebih dinamis dan positif di antara sarjana-sarjana Barat non-Muslim dengan sarjana-sarjana Muslim. Bahkan, riset dan pemikiran sekarang dilakukan secara bersama dalam suasana dialogis.
Perkembangan seperti ini memunculkan pergeseran keseimbangan dalam beberapa disiplin kajian Islam di antara sarjana-sarjana Muslim dengan non-Muslim. Tak kurang terdapat sarjana Muslim yang begitu menonjol sehingga mempengaruhi seluruh sarjana lain dalam kajian-kajian yang mereka lakukan. Meski terjadi perkembangan positif, kritik terhadap studi Islam di Barat tetap ada. Setidaknya ada 3 (tiga) kritik yang dikemukakan cukup keras baik dari kalangan sarjana Muslim maupun non-Muslim.
1.    Kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat esensialis, yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim dalam kerangka konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain, cenderung menggeneralisasi fenomena yang berlaku pada masyarakat Muslim tertentu pada kurun waktu tertentu pula sebagai hal yang umum bagi seluruh masyarakat dan kebudayaan Muslim.
2.    Kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis. Kajian-kajian tentang Islam dilakukan untuk melanggengkan dominasi Barat terhadap masyarakat-masyarakat Muslim, antara lain, dengan menciptakan citra yang tidak benar dan distortif tentang Islam dan masyarakat Muslim.
3.    Kajian-kajian tentang Islam di Barat merupakan upaya untuk melestarikan kebenaran-kebenaran yang dicapai atas nama kehidupan intelektual dan akademis, yang padahal tidak atau hampir tidak mempunyai kaitan dengan kenyataan yang hidup.
Fakta realitas yang sering didiskusikan adalah bahwa kajian outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam.[3] Persoalan yang dipermasalahkan adalah apakah para pengkaji Islam dari outsider benar-benar objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan, dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik insider? penulis sendiri sepakat dengan pendapat Abdur Rouf yang menyatakan menolak validitas para pengkaji outsider karena mereka mengkaji Islam atas dorongan kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik dan ekonomi atas daerah taklukkannya.
Karena itu, studi Islam dalam kerangka argumen itu berarti “kajian ketimuran” (oriental studies) yang sebenarnya dilakukan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di universitas Eropa.[4] Untuk itu, studi Islam dalam perspektif outsider penuh bias, kepentingan, dan barat sentris. Membaca karya para outsider tentang Islam harus dilakukan dengan kritis dan penuh hati-hati.
Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat memahaminnya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki para pengkaji outsider. Penulis banyak menemukan prasangka dan bahaya dalam studi Islam Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural supremacy).
Penulis sangat jelas menunjukkan keresahannya atas kerja para Pengkaji Barat atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk ‘ditiadakan’. Islam hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda mati lainnya yang tidak mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan pendapat untuk mendefinisikan dirinya.
Dalam pada itu, juga sangat ditekankan akan perlunya seorang outsider mendapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang Islam secara utuh sesuai dengan pemaknaan dan penghayatan yang dialami oleh para  penganutnya (insiders). Namun juga perlu Outsiders menyampaikan dan menginformasikan pengamatan mereka kepada khalayak secara ilmiah dan menggunakan bahasa khalayak tersebut. Dari sini, sudah nampak adanya keniscayaan bias kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang mendapat informasi dari penelitian si peneliti luar itu tentu akan memahaminya melalui praasumsi-praasumsi budayanya.


[1] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 318.
[2] Muthabaqani menyatakan, bahwa istilah orientalis muncul lebih dahulu dari pada orientalisme. A.J. (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani). Pada tahun 1691, istilah orientalis digunakan oleh Anthony Wood untuk menyebut Samuel Clarke sebagai orientalis yang cerdas, karena mengetahui beberapa bahasa Timur. Sedangkan Orientalisme menurut Edward Sa’id adalah bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada pemahaman dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan. Lihat Zaid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014), hlm. 229-230.

[3] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. xxii.
[4] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, hlm. 244.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar