Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah
mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya
karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan
komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya
dengan benar serta memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan membentuk
karakter anak melalui orang tua dan lingkungannya.[1]
Karakter
dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting),
dan kebiasaan (habit) (Direktorat Pembinaan SMP, 2010). Karakter tidak
terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan
belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih
(menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau
wilayah emosi dan kebiasaan diri.
Dengan
demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good
character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral
feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan
bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain
yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami,
merasakan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi
yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif
adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang
nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective
taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap
(decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral
feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia
berkarakter.
Penguatan
ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta
didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self
esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta
kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control),
kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau
tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter
lainnya. [2]
Untuk
memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally)
maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence),
keinginan (will), dan kebiasaan (habit). Pengembangan karakter di
sekolah sementara ini direalisasikan dalam pelajaran agama, pelajaran
kewarganegaraan, atau pelajaran lainnya, yang program utamanya cenderung pada
pengenalan nilai-nilai secara kognitif, dan mendalam sedikit sampai ke
penghayatan nilai secara afektif.
Menurut
Mochtar Buchori (2007)[3],
pengembangan karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara
kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara
nyata.
Untuk
sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus
terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat (tekad)
untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut Conatio, dan langkah
untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif. Pendidikan
karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang sistematis, dimulai dari
pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara
afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar Dewantoro
menterjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.
[1] Direktorat
Pembinaan SMP, Panduan Pendidikan Karakter. Depdiknas: Jakarta, 2010,
hal. 31
[2] Direktorat
Pembinaan SMP, Panduan Pendidikan Karakter. Depdiknas: Jakarta, 2010,
hal. 35
[3] Mochtar Buchori, 2007. Character building dan pendidikan
kita. (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/26/opini/2836169.htm).
(Diunduh 27 Sempetember 2016))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar