Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 10 Juni 2019

Penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003


      Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 telah bertahan untuk saat ini kurang lebih selama 12 tahun.Angka tersebut merupakan angka yang cukup matang untuk terlaksananya suatu kualitas pendidikan yang semakin tinggi dan bermutu.Namun pada akhir-akhir ini aturan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut banyak yang kurang atau bahkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan negara Indonesia saat ini.
Sejatinya posisi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 sangatlah strategis.Sebab salah satu alat kebijakan pemerintah yang terindependensi dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya adalah perencanaan pendidikan. Proses perencanaan pendidikan di Indonesia diarahkan pada relevansi, efesiensi, dan efektivitas, namun optimalisasi kinerja manajemen pendidikannya belum berjalan sesuai dengan harapan.[1][11]
Pendapat H. A. R Tilaar bahwa:Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menggarisbawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam APBN/ APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah. Kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas dan demokratis sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan pendidikan nasional.” [2][12]

Pendapat dari H. A. R Tilaar di atas telah menggambarkan keberadaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ini kurang bisa mempertahankan peraturan yang telah dimuat didalamnya untuk kondisi pendidikan di lapangan pada saat ini. Pemerintah yang semula berkomitemen untuk pendidikan, dewasa ini komitmen mereka telah memudar hingga tidak memikirkan pengembangan pendidikan nasional. Hal tersebut merupakan sebuah pemikiran kritis dan membutuhkan kebijakan-kebijakan daripada perbaikan sebuah Peraturan Perundang- Undangan.
Sebagai salah satu subsistem di dalam sistem negara/pemerintahan, keterkaitan pendidikan dengan subsistem lainnya bahkan saling membutuhkan, saling berketergantungan, dan saling melengkapi. Setidaknya ada dua realiatas yang bias disampaikan penulis terkait dengan problematika dalam penerapan UU no 20 than 2003.
1.    Berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja ralitas ini adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Veithzal Rivai dan Sylviana Murni. [3][13]
Hal ini terlihat dalam UU Sisdiknas N0. 20 Tahun 2003 pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) bahwa: 1) Penyelenggara dana/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 2) Badan hukum pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula 1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. 2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara ke masyarakat dengan mekanisme Badan Hukum Pendidikan (BHP), yaitu adanya mekanisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan otonomi pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Dengan demikian, sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Yang patut kita antisipasi dalam konteks ini adalah, ketika ada lembaga pendidikan menentukan tariff pendidikan setinggi-tingginya tanpa memperhatikan dan mempertahankan mutu.

2.    Berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandaskan sekularisme telah menyuburkan paradigm hidonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistic (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (akhlak) yang utuh berdasarkan pandangan syari`at Islam).[4][14]
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3 yang menunjukkan paradigma pendidikan nasional. Dalam bab IV menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP No. 19 tahun 2005, UU Wajib Belajar dan UU BHP.
Dalam paradigma materialistik pun indikator keberhasilan belajar murid setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Indikator itu pun saat ini hanya pada tiga mata pelajaran saja, Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (akhlak) yang utuh dalam diri murid, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan murid dalam menempuh suatu proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar kompotensi dan kelulusan murid dalam PP No. 19 tahun 2005).
Padahal Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang menjerumuskan pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan, dan berbagai tindakan kriminal lainnya semakin meluas dan merajalela.namun standar kelulusan secara nasional bagi murid, belum juga melibatkan assessment (penilaian) terhadap aspek kepribadian (pola pikir dan prilaku) yang telah terbentuk dalam individu murid berdasarkan hasil pendidikan (akhlak) di sekolahnya. Begitu jugaassessment atau penilaian yang mengarah pada tingkat spiritual dan keterampilan yang dimiliki murid yang kelak menjadi modal dalam  menempuh kehidupan di dalam masyarakat, juga belum tersentuh.




[1][11]Udin Syaefudin Sa`ud dan Abin Syamsuddin Makmun.2005,Perencanaan Pendidikan (Suatu Pendekatan Komprehensif), Bandung: PT Remaja Rosdakarya,hlm.  39.
[2][12]H.A.R Tilaar.2006, Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis Jakarta: Rineka Cipta, hlm 1.
[3][13]Veithzal Rivai dan Sylviana Murni.2009 Education Management,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,hlm, 27.
[4][14]Veithzal Rivai dan Sylviana Murni.2009 Education Management,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, , hlm.28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar