Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 telah bertahan
untuk saat ini kurang lebih selama 12 tahun.Angka tersebut merupakan angka yang
cukup matang untuk terlaksananya suatu kualitas pendidikan yang semakin tinggi
dan bermutu.Namun pada akhir-akhir ini aturan yang terdapat dalam Undang-Undang
tersebut banyak yang kurang atau bahkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan
negara Indonesia saat ini.
Sejatinya posisi Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 sangatlah strategis.Sebab salah satu alat
kebijakan pemerintah yang terindependensi dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya adalah perencanaan
pendidikan. Proses perencanaan pendidikan di Indonesia diarahkan pada
relevansi, efesiensi, dan efektivitas, namun optimalisasi kinerja manajemen
pendidikannya belum berjalan sesuai dengan harapan.[1][11]
Pendapat H. A. R Tilaar
bahwa:“Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
menggarisbawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam
APBN/ APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah. Kurangnya
komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik
tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas
dan demokratis sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan
pendidikan nasional.” [2][12]
Pendapat dari H. A. R
Tilaar di atas telah menggambarkan keberadaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
ini kurang bisa mempertahankan peraturan yang telah dimuat didalamnya untuk
kondisi pendidikan di lapangan pada saat ini. Pemerintah yang semula berkomitemen
untuk pendidikan, dewasa ini komitmen mereka telah memudar hingga tidak
memikirkan pengembangan pendidikan nasional. Hal tersebut merupakan sebuah
pemikiran kritis dan membutuhkan kebijakan-kebijakan daripada perbaikan sebuah Peraturan Perundang- Undangan.
Sebagai salah satu
subsistem di dalam sistem negara/pemerintahan, keterkaitan pendidikan dengan subsistem lainnya bahkan
saling membutuhkan, saling berketergantungan, dan saling melengkapi. Setidaknya ada
dua realiatas yang bias disampaikan penulis terkait dengan problematika dalam
penerapan UU no 20 than 2003.
1.
Berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah
membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai
bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya
sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan
dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para
pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja ralitas ini adalah
sebagaimana yang diungkapkan oleh Veithzal Rivai dan Sylviana Murni. [3][13]
Hal ini terlihat dalam UU
Sisdiknas N0. 20 Tahun 2003 pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
bahwa: 1) Penyelenggara dana/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 2) Badan hukum
pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3) Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54
disebutkan pula 1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. 2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di
atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat
ini akan dialihkan dari negara ke masyarakat dengan mekanisme Badan Hukum
Pendidikan (BHP), yaitu adanya mekanisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada
tingkat SD-SMA dan otonomi pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Seperti
halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Dengan demikian, sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Yang patut kita
antisipasi dalam konteks ini adalah, ketika ada lembaga pendidikan menentukan
tariff pendidikan setinggi-tingginya tanpa memperhatikan dan mempertahankan mutu.
2.
Berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandaskan sekularisme telah
menyuburkan paradigm hidonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh),
materialistic (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan
masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil
materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan
membentuk kepribadian (akhlak) yang utuh berdasarkan pandangan syari`at Islam).[4][14]
Hal ini dapat dilihat
dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3 yang menunjukkan paradigma
pendidikan nasional. Dalam bab IV menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi
derivatnya seperti PP tentang SNP No. 19 tahun 2005, UU Wajib Belajar dan UU
BHP.
Dalam paradigma
materialistik pun indikator keberhasilan belajar murid setelah menempuh proses
pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang
sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian
Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(EBTANAS). Indikator itu pun saat ini hanya pada tiga mata pelajaran saja,
Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, yang ketiganya tersebut
berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai
bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan
hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi
lain, aspek pembentukan kepribadian (akhlak) yang utuh dalam diri murid, tidak
pernah menjadi indikator keberhasilan murid dalam menempuh suatu proses
pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar
kompotensi dan kelulusan murid dalam PP No. 19 tahun 2005).
Padahal Fenomena pergaulan
bebas di kalangan remaja (pelajar) yang menjerumuskan pelajar pada seks bebas,
terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan, dan berbagai tindakan kriminal
lainnya semakin meluas dan merajalela.namun standar kelulusan secara nasional
bagi murid, belum juga melibatkan assessment (penilaian) terhadap aspek kepribadian
(pola pikir dan prilaku) yang telah terbentuk dalam individu murid berdasarkan
hasil pendidikan (akhlak) di sekolahnya. Begitu jugaassessment atau penilaian yang mengarah pada tingkat spiritual
dan keterampilan yang dimiliki murid yang kelak
menjadi modal dalam menempuh kehidupan di dalam masyarakat, juga belum
tersentuh.
[1][11]Udin Syaefudin Sa`ud dan Abin Syamsuddin
Makmun.2005,Perencanaan Pendidikan (Suatu Pendekatan Komprehensif),
Bandung: PT Remaja Rosdakarya,hlm. 39.
[2][12]H.A.R Tilaar.2006, Standarisasi Pendidikan
Nasional: Suatu Tinjauan Kritis Jakarta: Rineka Cipta, hlm 1.
[3][13]Veithzal Rivai dan Sylviana Murni.2009 Education Management,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,hlm, 27.
[4][14]Veithzal Rivai dan Sylviana Murni.2009 Education Management,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, , hlm.28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar