Para sarjana Barat tampaknya amat sangat tertarik
dengan dinamika umat Muslim di dunia ini. Fenomena ini telah muncul sejak lama
ketika sarjana Barat merasa perlu melakukan sikap pertahanan diri atas
keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka memandang perlu melakukan
pengkajian Islam berdasarkan bagaimana Islam dipahami oleh umatnya.[1]
Mereka sadar bahwa selama ini banyak sarjana Barat
telah melakukan pendekatan yang salah karena mereka menggunakan paradigma dan
teori mereka sendiri dalam mengkaji Islam, sehingga pembahasannya menjadi tidak
lagi objektif berdasarkan realitas Islam yang dipahami dan diamalkan oleh umatnya.
Misalnya, Marshall G.S. Hodgson[2]
mengkritik Clifford Geertz,[3]
yang dianggapnya ceroboh dalam mengkaji umat Islam. Hodgson memandang Geertz
kurang memahami sejarah umat Islam secara lengkap dan konfrehensif.
Disamping sarjana Barat, banyak juga sarjana dari
Timur yang berposisi sebagai outsider mengkaji Islam. Misalnya, Sachiko Murata dalam bukunya The Vision
of Islam melakukan pendekatan dalam memahami Islam dengan mengungkapkan atau
berawal dari yang diajarkan Islam itu sendiri. Selanjutnya mereka menulis :
“Kata ‘Islam’ kami maknai sebagai
teks-teks yang secara universal diakui (hingga saat ini) sebagai titik puncak
tradisi. Sebagaimana semua agama besar lain, Islam memiliki karakter yang
menonjol, dan dari sinilah kami berusaha memahaminya. Teks-teks tersebut
disandarkan kepada al- Qur’an. Dalam pengertian yang sangat dalam Islam adalah
al-Qur’an dan al- Qur’an adalah Islam. Tafsir utama al-Qur’an diberikan oleh
Muhammad sendiri. Dengan mengikuti metode beliau banyak tokoh agung - guru,
wali, filosof, teolog, ahli hokum- menjelaskan dan menafsirkan naturalitas visi
asli sesuai kebutuhan zamannya.”
Di dalam kajian bukunya Murata mencoba mengkaji
Islam secara komprehensif dan luas. Selain meneliti teks, mereka juga melakukan
kajian di luar teks dan menyelidiki sudut pandang yang menjelaskannya. Dalam
bukunya mereka membagi kajian Islam ke dalam empat bagian yaitu: pertama tentang
Islam. Kedua tentang tauhid, kenabian, membahas tentang kembali, membahas
aliran-aliran intelektual antara lain tentang; Ekpresi Islam pada Masa Awal,
Kalam, Sufisme, Filsafat, Dua Pola Pemahaman, Rasionalitas Kalam, Abstraksi
Filsafat,dan Visi Sufisme.
Pada bagian ketiga mereka mengkaji Islam dalam hal
Ihsan. Bagian ini dibagi dalam dua bab yaitu tentang dasar Ihsan dalam Alquran
dan Manifestasi Ihsan historis. Keempat dikaji tentang Islam dalam sejarah.
Dalam bagian empat ini terdiri dari Sejarah sebagai Interpretasi dan Situasi
Kontemporer.[4]
Kajian Islam kedua tokoh ini telah memberikan pujian dari beberapa tokoh antara
lain oleh Sayyid Hossain Nasr, dia mengatakan:
“Ini merupakan karya pengantar
Islam yang sangat bagus bagi audiens Barat. Pengarang mempresentasikan satu
kajian komprehensif, yang berawal dari dalam wilayah kebenaran iman yang
diwahyukan, kemudian memperlebar lingkaran sehingga mencakup seluruh visi
Islam”.
Tokoh outsider lainnya yang mengkaji Islam terutama
dari aspek esoterik atau sufisme adalah Louis
Massignon. Ia menulis salah seorang tokoh sufi besar Islam yaitu al-
Hallaj. Kajian Louis Massignon ini mendapatkan apresiasi dari tokoh Islam
antara lain dari Seyyed Hossein Nasr, beliau berkata:
“Karya ini bukan sekedar karya unik
tentang seorang sufi besar dan kontroversial, melainkan sebuah kajian tiada
banding tentang semanngat keagamaan, kehidupan sosial dan politik, serta
keseluruhan peradaban Islam dimana ia hidup dan mati “.
Pengkaji kajian esoterik Islam yang berikutnya juga
dilakukan oleh seorang orientalis yang bernama William C. Chittick. Ia adalah seorang guru besar bidang studi
agama-agama di State University of Knowledge. Ia membuat kajian tentang Ibn
al-Arabi dan yang lainnya seperti kajian tentang Jalaluddin Rumi. Ia menulis
buku berjudul The Sufi Path of Knowledge : Ibn al- ‘Arabi’s Metaphisyc of
Imagination.
Di dalam salah satu karyanya yaitu Heurmenetika al-
Qur’an ibn al- ‘Arabi menunjukkan bagaimana Ibn al- Arabi sendiri mengakui
bahwa magnum opus-nya yaitu Futuhat al-Makiyyah adalah uraian yang didiktekan
langsung dari Tuhan. Ibnu al- Arabi ketika menafsirkan Alquran jauh melampaui
makna harfiyah dari ayat-ayat tersebut. Karya Chittick tentang Ibn al-Arabi ini
paling tidak telah memberikan kenyataan bahwa Islam dalam hal ini pemikiran
tasawufnya telah menarik minat para sarjana Barat untuk melakukan kajian
tentang Islam.[5]
Kajian keislaman dalam perspektif outsider ini juga
telah melahirkan beberapa hasil penelitian. Beberapa buku perkenalan umum
tentang Islam sebagai agama dan peradaban oleh penulis tunggal menunjukkan
pentingnya pendekatan multidisipliner, meskipun pencarian suatu karya yang
ideal dalam kapasitas ini masih terus berlangsung dan tujuannya mungkin akan
terus bergema. Di antara buku pengantar umum sedemikian, barangkali tulisan
Frederick M. Denny, An Introduction to Islam (1985) dan Richard Martin, Islam:
A Cultural Perspectif (1982) termasuk yang informatif dan banyak dipergunakan
bagi pemula.
Buku yang menilik umat Islam dari aspek
sosial-historisnya tulisan Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies
(1988) merupakan buku pengantar yang terbaik sejauh ini dan paling komprehensif
termasuk satu bab khusus tentang masyarakat Muslim Asia Tenggara dan Indonesia,
suatu aspek penting kajian keislaman yang sering diabaikan oleh penulis-penulis
lain.[6]
Yang hampir senada dengan buku ini ialah buah karya Philiph K’ Hitti dengan
judul History of The Arab (Serambi, 2013), yang merupakan kajian paling
otoritatif tentang sejarah dengan pembuktian ilmiah yang sangat meyakinkan.
Buku lain yang telah menjadi bacaan wajib bagi
mahasiswa Islamic Studies dan sejarah (Islam dan Arab) di banyak universitas di
Amerika Serikat adalah buku Hourani yang sering dipakai sebagai pengantar
sejarah Islam, meskipun terfokus pada bangsa Arab, A History of The Arab Peoples
(1991).[7]
[1] Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam
Oleh Outsider–Insider dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta: Kemenag RI, 2011), hlm.
260.
[2] Marshall Goodwin Simms Hodgson (April 11, 1922 – 10
Juni 1968), adalah seorang Studi Islam akademis dan sejarawan dunia di
University of Chicago. Dia menganjurkan kepada setiap pengkaji Islam, terutama
dalam melihat realitas Islam di dunia, harus bisa membedakannya dalam tiga
bentuk fenomena Islam sebagai sasaran studi. Pertama, fenomena Islam sebagai
doktrin. Kedua, fenomena ketika doktrin itu masuk dan berproses dalam sebuah
masyarakat-kultural (Islamicate) dan mewujudkan diri dalam konteks sosial dan
kesejarahan tertentu. Dan ketiga, ketika Islam menjadi sebuah fenomena ”dunia
Islam” yang politis dalam lembaga-lembaga kenegaraan (Islamdom) yang bertolak
dari konsep ”dari al-islam”. Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam : Iman
dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Buku Pertama Lahirnya sebuah Tatanan Baru
terj. Mulyadhi Kartanegara. (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 10.
[3] Clifford James Geertz (San Francisco, 23 Agustus
1926–Philadelphia, 30 Oktober 2006) adalah seorang ahli antropologi asal
Amerika Serikat. Ia paling dikenal melalui penelitian-penelitiannya mengenai
Indonesia dan Maroko dalam bidang seperti agama (khususnya Islam), perkembangan
ekonomi, struktur politik tradisional, serta kehidupan desa dan keluarga. Sejak
tahun 1970 hingga meninggal dunia Geertz menjabat sebagai profesor emeritus di
Fakultas Ilmu Sosial di Institute for Advanced Study. Ia juga pernah menjabat
sebagai profesor tamu di Departemen Sejarah Universitas Princeton dari 1975
hingga 2000. http://id.wikipedia.org/wiki/Clifford_Geertz. Diakses 19 April
2016.
[4] Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam
Oleh Outsider–Insider dan Isu-Isu Kontemporer, hal. 264.
[7] Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Studi Islam
Oleh Outsider–Insider dan Isu-Isu Kontemporer, hlm.266.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar