Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 12 Juni 2019

NILAI-NILAI ISLAM DALAM KEPEMIMPINAN EFEKTIF

Di dalam Islam, nilai-nilai (prinsip) sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap muslim. Sebab tanpa nilai-nilai (prinsip) tersebut, umat Islam tidak bisa menjadi  wakil tuhan (khalifah) untuk mengelola alam jagad ini secara baik, sekaligus tidak dapat menjadi hamba (a’bid) yang muttaqin. Kedua predikat itu (khalifah dan a’bid) tidak dapat diraih oleh seorang muslim kecuali mereka yang memiliki nilai-nilai (prinsip) tersebut. Didalam Islam Nilai/prinsip itu dapat kita temukan, baik secara tersurat maupun secara tersirat termaktub dalam ayat-ayat Alquran dan hadis. Nilai/prinsip yang  termaktub dalam ayat-ayat dan hadis itu antara lain,[[1]] sebagai berikut: 
1)      CerdasCerdas atau mampu merupakan suatu prinsip/nilai yang dalam Islam menempati posisi yang sangat penting sekaligus mendapat apresiasi yang sangat tinggi. Prinsip ini demikian penting dan tinggi karena urgensinya secara fundamental meliputi semua ranah kehidupan manusia. Manusia tidak akan sukses meraih apa yang ia inginkan manakala ia tidak cerdas dan mampu mengelolanya secara baik.
Dalam Alquran ayat yang mengisyaratkan nilai/prinsip itu, antara lain sebagai berikut:

Artinya :“Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS. Al-Rahman (55): 33).[[2]]

Ayat diatas mengingatkan manusia bahwa apa saja yang dipikirkan dan dibayangkan dalam bentuk visi dan misi semuanya bisa menjadi kenyataan, asalkan manusia memiliki sulthan (kekuatan/kemampuan). Kemampuan merupakan kriteria dasar bagi setiap pemimpin dalam mengelola serta mengembangkan organisasi/institusi.
Oleh karena itu, kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual secara simultan harus dimiliki seorang pemimpin, karena ketiga bentuk kemampuan/kecerdasan ini saling mendukung dan melengkapi dalam proses  keberhasilan dan kesuksesan seseorang membawa organisasi mencapai tujuan.
2)      Visioner
Visi merupakan konsep imajinasi seseorang atau beberapa orang pemimpin tentang masa depan dari suatu organisas/lembaga yang dipimpin. Akan seperti apakah lembaga yang dipimpinnya dimasa yang akan datang. Karena itu, kewajiban utama seorang pemimpin/manajer adalah bagaimana memperjuangkan serta mempertahankan visinya agar bisa tercapai.
Kemampuan mempertahankan serta memperjuangkan visi ini sama seperti dalam Islam, seseorang yang telah berikrar  beriman hanya kepada Allah tidak kepada selain-Nya (laa ilaha illallah), tanpa mengenal ruang dan waktu. Dimana dan kapan saja iman ini harus tetap menjadi landasan semua aktivitas. Iman merupakan visi yang senantiasa harus dipertahankan dan diperjuangkan. Iman yang benar dan kokoh akan menjadi dasar untuk menggapai kebahagiaan (keberhasilan). Seseorang yang beriman hanya kepada Allah tidak akan mudah terpengaruh pada kepentingan-kepentingan sesaat (vested interest) yang menggiurkan namun berdemensi pendek. Seperti dilansir pada QS. An-Nisaa’(4): 137, yang berbunyi:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman Kemudian kafir, Kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, Kemudian bertambah kekafirannya, Maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”.[[3]]

 Komitmen seperti ini merupakan awal dari sebuah kehancuran. Dalam Alquran dikatakan:

Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip/mempunyai visi) bahwa tuhan pemelihara kami adalah Allah, kemudian istiqamah (committed) dengan prinsip (visi) itu akan turun kepada mereka malaikat dengan berkata) janganlah takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan syurga yang dijanjikan” (QS. Fushshilat (41): 30).[[4]]

Pemimpin yang baik harus memiliki visi yang baik dan menunjukkan komitmennya (visioner) sebagaimana Islam menuntut agar umatnya harus beriman kepada Allah dengan iman yang benar “mukhlishina lahuddin al-hunafa’a” (QS. Bayyinah (98): 5). Karena dengan demikian ia akan sampai kepada apa yang dicita-citakan.
3)      Inisiatif
Inisiatif merupakan salah satu prinsip penting yang harus dimiliki oleh pemimpin/manajer. Pemimpin yang tidak memiliki inisiatif akan membuat organisasi menjadi mandek serta tidak berkembang apalagi ingin ada perubahan, harapan agar organisasi bertumbuh sesuai dengan perkembangan tidak akan tercapai, sekalipun lingkungan (stakeholder) menghendaki.
Prinsip ini bermula dari pemimpin/manajer tidak mempunyai gagasan terkait dengan tuntutan serta perkembangan situasi dalam mengantisipasi perubahan dan laju perkembangan lingkungan . Dalam Alquran Allah mengatakan: 

Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

Maksudnya: sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) Telah selesai berdakwah Maka beribadatlah kepada Allah; apabila kamu Telah selesai mengerjakan urusan dunia Maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: apabila Telah selesai mengerjakan shalat berdoalah.[[5]]
Ayat ini mengisyaratkan prinsip inisiatif, bahwa seorang pemimpin tidak boleh hanya terjebak dalam satu tugas rutinitas saja yang menyita hampir semua waktu/masa tugasnya. Pemimpin/manajer yang efektif harus mampu memunculkan inisiatifnya dalam mendorong dan mengembangkan organisasi yang dipimpinnya sehingga dapat bersaing dan berkompetisi dengan organisasi sejenis dalam lingkungan kompetetifnya. Dengan memiliki kemampuan demikian, lembaga/organisasi yang dipimpinnya tidak akan tertinggal dalam merespons tuntutan perkembangan.
4)      Rela Berkorban
Manajer/pemimpin yang baik/efektif senantiasa harus mengedepankan sikaf rela berkorban. Pemimpin yang memiliki prinsip ini selalu memberi harapan bagi lingkungannya bahwa ia dan organisasinya akan tetap menjalankan kewajiban-kewajibannya serta memenuhi hak-hak, baik itu hak-hak  bawahan/karyawan, hak mereka yang dilayani (pelanggan) maupun hak-hak sosial sebagai bentuk komitmen menyeluruh atas keberpihakannya terhadap lingkungan organisasi. Tipe kepemimpinan seperti ini oleh Andy Kirana disebut kepemimpinan etis.
Prinsip ini banyak menghiasi hidup keseharian Rasulullah saw. serta para sahabatnya. Mereka selalu rela mengorbankan apa yang ada pada diri mereka, sekalipun apa yang diberikan itu sesuatu yang sangat mereka senangi. Manajer/pemimpin demikian selalu memandang bahwa hidup ini adalah perjuangan dan pengabdian. Dalam Alquran Allah berfirman:

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui” (QS At-Taubah (9) :41).[[6]]

5)      Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab merupakan prinsip yang melekat pada diri seorang manajer/pimpinan setelah ia memangku suatu jabatan. Pimpinan yang tidak bertanggung jawab berarti ia tidak menjalankan satu syarat penting sebagai manajer/pimpinan, yaitu melaksanakan proses pelimpahan wewenang dari atasan /pimpinan yang lebih tinggi. Pelimpahan wewenang (delegasi) terdiri dari tiga unsur yaitu; kewenangan (authority), tugas/tanggung jawab (responsibility), dan pertanggung jawaban (accountability).
Dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda yang artinya ssebagai berikut: ”setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya ( Riwayat Bukhari dan Muslim). Jadi seorang manajer/pemimpin harus menjalankan prinsip ini untuk memberikan pertanggung jawabannya, baik itu bertanggung jawab (memberi laporan) kepada atasannya maupun bertanggung jawab terhadap bawahan, masyarakat, pemerintah (stakeholder), lebih-lebih kepada Allah-tuhan pencipta alam semesta.
6)      Percaya Diri
Percaya diri merupakan prinsip yang harus dimiliki pemimpin setelah  memiliki inisiatif. Bila pemimpin tidak percaya diri maka inisiatifnya tidak bakal terlaksana. Ia tidak yakin akan kemampuan dirinya, sekalipun kapasitasnya sebagai pemimpin. Visi/ide-idenya akan tenggelam dalam bayang-bayang ketidakpercayaan dirinya.
Prinsip percaya diri sangat terkait dengan sejauh mana seorang pemimpin merasa pahit getirnya. Atau dengan kata lain seberapa besar pengalaman yang dimiliki dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan/manajerial dan kemasyarakatan. Dengan mengalami serta menjalankan tugas-tugasnya secara langsung, ia akan melakukan proses trial and error. Karena itu seorang manajer/pemimpin selain harus memiliki segudang pengalaman juga harus menimbulkan rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi dalam merealisasikan visi/misi (ide-ide) yang dimiliki.
Dalam Islam, percaya diri sangat berhubungan dengan kadar iman seseorang. Bila imannya kepada Allah tinggi, maka rasa percaya diri menjadi besar. Namun bila kadar imannya rendah, maka percaya dirinyapun menjadi rendah pula. Dalam Alquran dikatakan:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. “(QS.al- Imran (3): 159).[[7]]

7)      Responsif
Pemimpin yang memiliki prinsip ini selalu merasa bahwa semua orang pasti mempunyai kebutuhan. Kebutuhan yang diharapkan manusia itu ada yang sama dan ada pula yang tidak sama. Pemimpin/manajer yang baik pasti selalu berusaha untuk mengetahui kebutuhan orang lain, baik itu kebutuhan bawahan maupun kebutuhan orang yang dilayani (pelanggan) dan berusaha sedapat mungkin agar dapat merealisasikannya. Proses dimana seorang manajer/ pemimpin berusaha mengetahui dan merealisasikan kebutuhan bawahan maupun kebutuhan pelanggan   itulah biasanya disebut responsif (tanggapa).
Dalam Islam, perasaan tanggap ini muncul akibat seseorang selalu menganggap bahwa semua manusia sama dihadapan Allah. Tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain secara prinsip baik dari segi ras, etnik, kelamin, ataupun bahasa, kecuali takwanya kepada Allah. (QS. Al-Hujurat (49): 13), yang berbunyi sebagai beriku:

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena”l.[[8]]

8)      Empati
Empati sebenarnya merupakan gerbang (entry point) bagi lahirnya sikap responsif di atas. Empati merupakan sikaf serta kemampuan seseorang manajer/pemimpin memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Prinsip empati hanya dimiliki oleh para pemimpin yang tanggap terhadap lingkungannya. Pemimpin yang memiliki prinsip ini akan selalu dekat dengan masyarakat, baik itu bawahan maupun orang yang dilayani. Ia akan bahagia jikalau bawahan atau pelanggannya (orang yang dilayani) menjadi bahagia, dan ia akan resah bila mereka mengalami kesulitan. Sikap seperti ini disinyalir dalam Alquran, sebagai berikut:


Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikaf keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Al-Imran (3) : 159).[[9]]

Empati adalah anugerah dari Allah berupa bisikan hati dan pikiran yang menyejukkan dikala berhadapan dengan setiap orang. Manajer/pemimpin yang empati selalu dekat dengan bawahan, merasakan setiap denyut nadi karyawannya, lapang dalam bertindak, dan keputusannya selalu populis dan tidak tergesa-gesa (bijaksana).

9)      Inovatif
Inovatif atau inovasi selalu beriringan dengan kreatifitas. Prinsip ini meniscayakankan bagi pemimpin membuat pembaruan-pembaruan atau penemuan-penemuan hal baru baik berupa produk, jasa, metode, kebijakan, tehnik dan seterusnya yang bisa ditawarkan kapada pengguna (User).
Untuk sampai pada taraf ini, seorang pemimpin harus cerdas terutama dari sisi intelektual. Karena seseorang yang secara intelek mampu, ia dapat menciptakan sesuatu yang baru atau mampu mendisain sesuatu yang lama (merekayasa) dengan kemasan dan tampilan baru.
Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk berperilaku sesuai dengan perilaku (akhlak) tuhan (takhallaqu bi akhlaqillah). Diantara perilaku (akhlak) tuhan itu seperti yang disebutkan dalam Alquran yakni Maha Mengetahui, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Maha Sejahtera dan seterusnya sampai pada Maha Pencipta, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (QS. Al-Hasyr (59): 22-24), yang berbunyi:

Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan..  Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[[10]]

10)   Toleran
Sikaf toleransi bagi seorang manajer/pemimpin dalam mengelola suatu organisasi juga tidak kalah penting bila dibandingkan dengan prinsip-prinsip lain. Prinsip ini memungkinkan pemimpin melakukan tugas-tugas koordinasi secara baik dan berkesinambungan, terutama pada setiap level manajemen yang sama. Sikaf toleran dalam banyak hal dapat memuluskan jalan diantara dua pendapat yang berbeda. Sering pimpinan bagian/divisi/unit secara superior hanya mengandalkan bagian, divisi, atau unitnya yang terbaik, dan menganggap bagian, divisi, atau unit lain imperior dan tidak baik. Didalam Alquran konstatasinya demikian yang berbunyi sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman Janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari yang memperolokolok” (QS. Al- Hujurat (49) : 11).[[11]]

Bila sikaf atau prinsip ini tumbuh, maka dampaknya akan dapat memperburuk hubungan-hubungan kerja. Hubungan diantara sesama dalam organisasi dapat terbina dengan baik, manakala semua pihak bisa bersikaf toleran, saling mendukung, serta dapat mengabaikan kelemahan-kelemahan sesama. Organisasi bisa langgeng dan berkinerja secara maksimal, bilamana diantara sesama karyawan, karyawan dan pemimpin, maupun sebaliknya bisa saling menjaga, memelihara, dan bertenggang rasa. Bahkan lebih dari itu saling memberi pertolongan diantara sesama.
11)   Sederhana
Prinsip kesederhanaan merupakan suatu unsur penting yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menempatkan posisinya ditengah-tengah orang yang ia pimpin. Maksudnya seorang pemimpin tidak sewajarnya hanya dekat dengan orang-orang yang  berada pada level atas saja, tapi juga bisa mendengar dan melihat dari dekat problema-problema yang terjadi pada orang-orang yang ada pada level bawah. Dengan menempatkan diri secara tepat, berarti seorang pemimpin telah menunjukkan sikaf kesederhanaan.
Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk selalu bersikaf sederhana dalam setiap kali bertindak, karena hanya dengan kesederhanaan kita dapat menjadi penengah yang netral, yang tidak merugikan orang lain dikala mengambil suatu keputusan. Dalam Alquran dikatakan:

Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al- Baqarah (2) : 143).[[12]]

12)    Efektif dan Efisien
Dalam manajemen, efektifisien (efektif dan efisien) merupakan parameter bagi keberhasilan atau kegagalan dari suatu pekerjaan. Suatu kegiatan dikatakan produktif jika telah terjadi efisiensi pengelolaan masukan (input) dan efektif dalam setiap pencapaian sasaran. Efektifisien yang tinggi akan menghasilkan produktifitas yang tinggi.
Dalam suatu lembaga, faktor ini sangat erat kaitannya dengan proses pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dalam usaha mencapai tujuan dari lembaga/organisasi. Sumber daya dimaksud antara lain seperti; biaya, tenaga kerja, energi, material, waktu, dan teknologi. Bila semua sumber daya ini di-manage secara baik sesuai takaran kebutuhan dari masing-masing program/kegiatan, maka tidak akan terjadi pemborosan yang memungkinkan produknya menjadi mahal (high cost) sehingga  susah dijangkau oleh kalangan ekonomi lemah. Dalam Alquran nilai/prinsip ini disinyalir sebagai berikut:

Dan  janganlah kamu jadikan kedua tanganmu terbelenggu pada lehermu(kikir) dan jangan pula terlalu mengulurkannya(boros), karena itu kamu akan menjadi tercela dan menyesal”(QS. Al-Isra’(17): 29).[[13]]


13)   Keteladanan
Hampir disetiap organisasi terutama dinegara kita, pemimpin/manajer selalu dijadikan contoh (panutan).  Sikaf ini tidaklah berlebihan, sebab corak budaya kita bersifat pathernalistik selain itu pemimpin/manajer dianggap sebagai orang yang memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan mereka (bawahan). Karena itu dalam beberapa lembaga/organisasi, para pemimpin/manajer biasanya melakukan beberapa peranan strategis sehingga mereka selalu diapresiasi secara baik. Peranan-peranan dimaksud antara lain seperti; bertindak sebagai tokoh (figurhead), pemimpin (leader), penghubung (liason), juru bicara ( the spokes person), pihak yang menyelesaikan gangguan (turbulance handler), perunding (negotiator), dan lain-lain. Peranan-peranan itu menghendaki para bawahan senantiasa menghormati dan menghargai setiap langkah dan kebijakan yang diambil setiap pemimpin, dengan tetap mengedepankan azas-azas kebersamaan, kejujuran, dan keadilan, serta tidak bersikaf like and dis like teristimewa dalam menilai dan mendistribusikan tugas dan tanggung jawab.
Di dalam Islam, Nabi Muhammad  saw.  sebagai rasul dan pemimpin umat oleh Alquran  dipandang sebagai pribadi yang patut dicontoh. Sebab beliau dianggap telah sukses dalam menjalankan tugas-tugasnya secara baik dengan mengedepankan sikaf-sikaf  terpuji yang semestinya ditiru. Dalam Alquran dikatakan:

Artinya: “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu”(QS. Al-Ahzab (33): 21).[[14]]

14)   Terbuka
Keterbukaan (transparan) sesungguhnya merupakan suatu sikap yang dalam manajemen modern sangat dianjurkan keberadaannya dalam suatu lembaga/organisasi. Masyarakat dewasa ini terutama mereka yang pendidikannya relatif baik, terkadang hanya percaya pada organisasi yang terbuka melaporkan seluruh kegiatannya secara berkala kepada masyarakat (stakeholder) sebagai mitra kerjanya. Organisasi akan berkinerja dan berkembang dengan baik manakala para stakeholder merespons semua kegiatan organisasi secara baik pula. Karena itu agar suatu organisasi eksis dimasyarakat  dan bisa berkompetisi secara sehat, maka seluruh pihak yang terlibat didalamnya khususnya pada level pimpinan (manajemen) harus dapat bersikap transparan dalam mengelola organisasi, sehingga kredibilitas lembaga tetap terjaga.
Di dalam Islam, sikaf transparan atau membuka (membeberkan dan memberitahukan) apa yang diketahui tentang organisasi yang dipimpinnya kepada masyarakat merupakan suatu sikap yang terpuji. Dalam Alquran disebutkan:

Terhadap nikmat  tuhanmu, maka hendaknya kamu sebut-sebutkan (informasikan)” (QS. Adh-Dhuhaa (93): 11).[[15]]




[[1]] Marno, Triyo Suprianto. Manajemen dan kepemimpinan pendidikan, (Bandung: Rafika Aditma, 2008), hlm. 67
[[2]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 786
[[3]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 87
[[4]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 234
[[5]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 876
[[6]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 125
[[7]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 97
[[8]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 643
[[9]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 1223
[[10]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 103
[[11]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 872
[[12]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 157
[[13]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 991
[[14]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 885
[[15]] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departeman Agama RI (Jakarta 2000) hlm. 1154

Tidak ada komentar:

Posting Komentar