Di
dalam Islam, nilai-nilai (prinsip) sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap muslim.
Sebab tanpa nilai-nilai (prinsip) tersebut, umat Islam tidak bisa menjadi
wakil tuhan (khalifah) untuk mengelola alam jagad ini secara baik,
sekaligus tidak dapat menjadi hamba (a’bid) yang muttaqin.
Kedua predikat itu (khalifah dan a’bid) tidak dapat diraih
oleh seorang muslim kecuali mereka yang memiliki nilai-nilai (prinsip)
tersebut. Didalam Islam Nilai/prinsip itu dapat kita temukan, baik secara
tersurat maupun secara tersirat termaktub dalam ayat-ayat Alquran dan hadis.
Nilai/prinsip yang termaktub dalam ayat-ayat dan hadis itu antara lain,[[1]]
sebagai berikut:
1) CerdasCerdas atau mampu merupakan suatu
prinsip/nilai yang dalam Islam menempati posisi yang sangat penting sekaligus
mendapat apresiasi yang sangat tinggi. Prinsip ini demikian penting dan tinggi
karena urgensinya secara fundamental meliputi semua ranah kehidupan manusia.
Manusia tidak akan sukses meraih apa yang ia inginkan manakala ia tidak cerdas
dan mampu mengelolanya secara baik.
Dalam
Alquran ayat yang mengisyaratkan nilai/prinsip itu, antara lain sebagai
berikut:
Artinya :“Wahai jamaah jin dan
manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS.
Al-Rahman (55): 33).[[2]]
Ayat
diatas mengingatkan manusia bahwa apa saja yang dipikirkan dan dibayangkan
dalam bentuk visi dan misi semuanya bisa menjadi kenyataan, asalkan manusia
memiliki sulthan (kekuatan/kemampuan). Kemampuan merupakan kriteria
dasar bagi setiap pemimpin dalam mengelola serta mengembangkan
organisasi/institusi.
Oleh
karena itu, kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual
secara simultan harus dimiliki seorang pemimpin, karena ketiga bentuk
kemampuan/kecerdasan ini saling mendukung dan melengkapi dalam proses
keberhasilan dan kesuksesan seseorang membawa organisasi mencapai tujuan.
2) Visioner
Visi
merupakan konsep imajinasi seseorang atau beberapa orang pemimpin tentang masa
depan dari suatu organisas/lembaga yang dipimpin. Akan seperti apakah lembaga
yang dipimpinnya dimasa yang akan datang. Karena itu, kewajiban utama seorang
pemimpin/manajer adalah bagaimana memperjuangkan serta mempertahankan visinya
agar bisa tercapai.
Kemampuan
mempertahankan serta memperjuangkan visi ini sama seperti dalam Islam,
seseorang yang telah berikrar beriman hanya kepada Allah tidak kepada
selain-Nya (laa ilaha illallah), tanpa mengenal ruang dan waktu.
Dimana dan kapan saja iman ini harus tetap menjadi landasan semua aktivitas.
Iman merupakan visi yang senantiasa harus dipertahankan dan diperjuangkan. Iman
yang benar dan kokoh akan menjadi dasar untuk menggapai kebahagiaan
(keberhasilan). Seseorang yang beriman hanya kepada Allah tidak akan mudah
terpengaruh pada kepentingan-kepentingan sesaat (vested interest)
yang menggiurkan namun berdemensi pendek. Seperti dilansir pada QS.
An-Nisaa’(4): 137, yang berbunyi:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman Kemudian kafir, Kemudian beriman (pula), kamudian
kafir lagi, Kemudian bertambah kekafirannya, Maka sekali-kali Allah tidak akan
memberi ampunan kepada mereka, dan tidak
(pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”.[[3]]
Komitmen seperti ini merupakan awal dari
sebuah kehancuran. Dalam Alquran dikatakan:
Sesungguhnya orang-orang yang
berkata (berprinsip/mempunyai visi) bahwa tuhan pemelihara kami adalah Allah,
kemudian istiqamah (committed) dengan prinsip (visi) itu akan turun kepada
mereka malaikat dengan berkata) janganlah takut, jangan bersedih, berbahagialah
kalian dengan syurga yang dijanjikan” (QS. Fushshilat (41): 30).[[4]]
Pemimpin
yang baik harus memiliki visi yang baik dan menunjukkan komitmennya (visioner)
sebagaimana Islam menuntut agar umatnya harus beriman kepada Allah dengan iman
yang benar “mukhlishina lahuddin al-hunafa’a” (QS. Bayyinah (98): 5).
Karena dengan demikian ia akan sampai kepada apa yang dicita-citakan.
3) Inisiatif
Inisiatif
merupakan salah satu prinsip penting yang harus dimiliki oleh pemimpin/manajer.
Pemimpin yang tidak memiliki inisiatif akan membuat organisasi menjadi mandek
serta tidak berkembang apalagi ingin ada perubahan, harapan agar organisasi
bertumbuh sesuai dengan perkembangan tidak akan tercapai, sekalipun lingkungan
(stakeholder) menghendaki.
Prinsip
ini bermula dari pemimpin/manajer tidak mempunyai gagasan terkait dengan
tuntutan serta perkembangan situasi dalam mengantisipasi perubahan dan laju perkembangan
lingkungan . Dalam Alquran Allah mengatakan:
Maka
apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain.
Maksudnya:
sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) Telah selesai
berdakwah Maka beribadatlah kepada Allah; apabila kamu Telah selesai
mengerjakan urusan dunia Maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang
mengatakan: apabila Telah selesai mengerjakan shalat berdoalah.[[5]]
Ayat
ini mengisyaratkan prinsip inisiatif, bahwa seorang pemimpin tidak boleh hanya
terjebak dalam satu tugas rutinitas saja yang menyita hampir semua waktu/masa
tugasnya. Pemimpin/manajer yang efektif harus mampu memunculkan inisiatifnya
dalam mendorong dan mengembangkan organisasi yang dipimpinnya sehingga dapat
bersaing dan berkompetisi dengan organisasi sejenis dalam lingkungan kompetetifnya.
Dengan memiliki kemampuan demikian, lembaga/organisasi yang dipimpinnya tidak
akan tertinggal dalam merespons tuntutan perkembangan.
4) Rela
Berkorban
Manajer/pemimpin yang baik/efektif
senantiasa harus mengedepankan sikaf rela berkorban. Pemimpin yang memiliki
prinsip ini selalu memberi harapan bagi lingkungannya bahwa ia dan
organisasinya akan tetap menjalankan kewajiban-kewajibannya serta memenuhi hak-hak,
baik itu hak-hak bawahan/karyawan, hak mereka yang dilayani (pelanggan)
maupun hak-hak sosial sebagai bentuk komitmen menyeluruh atas keberpihakannya
terhadap lingkungan organisasi. Tipe kepemimpinan seperti ini oleh Andy Kirana
disebut kepemimpinan etis.
Prinsip
ini banyak menghiasi hidup keseharian Rasulullah saw. serta para sahabatnya.
Mereka selalu rela mengorbankan apa yang ada pada diri mereka, sekalipun apa
yang diberikan itu sesuatu yang sangat mereka senangi. Manajer/pemimpin
demikian selalu memandang bahwa hidup ini adalah perjuangan dan pengabdian.
Dalam Alquran Allah berfirman:
“Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu,
jika kamu Mengetahui” (QS At-Taubah (9) :41).[[6]]
5) Bertanggung
Jawab
Bertanggung
jawab merupakan prinsip yang melekat pada diri seorang manajer/pimpinan setelah
ia memangku suatu jabatan. Pimpinan yang tidak bertanggung jawab berarti ia
tidak menjalankan satu syarat penting sebagai manajer/pimpinan, yaitu
melaksanakan proses pelimpahan wewenang dari atasan /pimpinan yang lebih
tinggi. Pelimpahan wewenang (delegasi) terdiri dari tiga unsur yaitu;
kewenangan (authority), tugas/tanggung jawab (responsibility),
dan pertanggung jawaban (accountability).
Dalam
sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda yang artinya
ssebagai berikut: ”setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya” ( Riwayat
Bukhari dan Muslim). Jadi seorang manajer/pemimpin harus menjalankan prinsip
ini untuk memberikan pertanggung jawabannya, baik itu bertanggung jawab
(memberi laporan) kepada atasannya maupun bertanggung jawab terhadap bawahan,
masyarakat, pemerintah (stakeholder), lebih-lebih kepada Allah-tuhan
pencipta alam semesta.
6) Percaya
Diri
Percaya
diri merupakan prinsip yang harus dimiliki pemimpin setelah memiliki
inisiatif. Bila pemimpin tidak percaya diri maka inisiatifnya tidak bakal
terlaksana. Ia tidak yakin akan kemampuan dirinya, sekalipun kapasitasnya
sebagai pemimpin. Visi/ide-idenya akan tenggelam dalam bayang-bayang
ketidakpercayaan dirinya.
Prinsip
percaya diri sangat terkait dengan sejauh mana seorang pemimpin merasa pahit
getirnya. Atau dengan kata lain seberapa besar pengalaman yang dimiliki dalam
menjalankan tugas-tugas kepemimpinan/manajerial dan kemasyarakatan. Dengan
mengalami serta menjalankan tugas-tugasnya secara langsung, ia akan melakukan
proses trial and error. Karena itu seorang
manajer/pemimpin selain harus memiliki segudang pengalaman juga harus
menimbulkan rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi dalam
merealisasikan visi/misi (ide-ide) yang dimiliki.
Dalam
Islam, percaya diri sangat berhubungan dengan kadar iman seseorang. Bila
imannya kepada Allah tinggi, maka rasa percaya diri menjadi besar. Namun bila
kadar imannya rendah, maka percaya dirinyapun menjadi rendah pula. Dalam
Alquran dikatakan:
“Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. “(QS.al- Imran (3): 159).[[7]]
7) Responsif
Pemimpin
yang memiliki prinsip ini selalu merasa bahwa semua orang pasti mempunyai
kebutuhan. Kebutuhan yang diharapkan manusia itu ada yang sama dan ada pula
yang tidak sama. Pemimpin/manajer yang baik pasti selalu berusaha untuk
mengetahui kebutuhan orang lain, baik itu kebutuhan bawahan maupun kebutuhan
orang yang dilayani (pelanggan) dan berusaha sedapat mungkin agar dapat
merealisasikannya. Proses dimana seorang manajer/ pemimpin berusaha mengetahui
dan merealisasikan kebutuhan bawahan maupun kebutuhan pelanggan
itulah biasanya disebut responsif (tanggapa).
Dalam
Islam, perasaan tanggap ini muncul akibat seseorang selalu menganggap bahwa
semua manusia sama dihadapan Allah. Tidak ada perbedaan antara satu dengan yang
lain secara prinsip baik dari segi ras, etnik, kelamin, ataupun bahasa, kecuali
takwanya kepada Allah. (QS. Al-Hujurat (49): 13), yang berbunyi sebagai beriku:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena”l.[[8]]
8) Empati
Empati
sebenarnya merupakan gerbang (entry point) bagi lahirnya sikap
responsif di atas. Empati merupakan sikaf serta kemampuan seseorang
manajer/pemimpin memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Prinsip
empati hanya dimiliki oleh para pemimpin yang tanggap terhadap lingkungannya.
Pemimpin yang memiliki prinsip ini akan selalu dekat dengan masyarakat, baik
itu bawahan maupun orang yang dilayani. Ia akan bahagia jikalau bawahan atau
pelanggannya (orang yang dilayani) menjadi bahagia, dan ia akan resah bila
mereka mengalami kesulitan. Sikap seperti ini disinyalir dalam Alquran, sebagai
berikut:
“
Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikaf keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
(QS. Al-Imran (3) : 159).[[9]]
Empati
adalah anugerah dari Allah berupa bisikan hati dan pikiran yang menyejukkan
dikala berhadapan dengan setiap orang. Manajer/pemimpin yang empati selalu dekat
dengan bawahan, merasakan setiap denyut nadi karyawannya, lapang dalam
bertindak, dan keputusannya selalu populis dan tidak tergesa-gesa (bijaksana).
9) Inovatif
Inovatif
atau inovasi selalu beriringan dengan kreatifitas. Prinsip ini meniscayakankan
bagi pemimpin membuat pembaruan-pembaruan atau penemuan-penemuan hal baru baik
berupa produk, jasa, metode, kebijakan, tehnik dan seterusnya yang bisa
ditawarkan kapada pengguna (User).
Untuk
sampai pada taraf ini, seorang pemimpin harus cerdas terutama dari sisi
intelektual. Karena seseorang yang secara intelek mampu, ia dapat menciptakan
sesuatu yang baru atau mampu mendisain sesuatu yang lama (merekayasa) dengan
kemasan dan tampilan baru.
Dalam
Islam, umatnya dianjurkan untuk berperilaku sesuai dengan perilaku (akhlak)
tuhan (takhallaqu bi akhlaqillah). Diantara perilaku (akhlak)
tuhan itu seperti yang disebutkan dalam Alquran yakni Maha Mengetahui, Maha
Pemurah, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Maha Sejahtera dan seterusnya sampai
pada Maha Pencipta, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (QS. Al-Hasyr (59): 22-24),
yang berbunyi:
Dialah Allah
yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah
yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain
Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan,
yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala
Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.. Dialah Allah yang Menciptakan, yang
Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih
kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.[[10]]
10)
Toleran
Sikaf
toleransi bagi seorang manajer/pemimpin dalam mengelola suatu organisasi juga
tidak kalah penting bila dibandingkan dengan prinsip-prinsip lain. Prinsip ini
memungkinkan pemimpin melakukan tugas-tugas koordinasi secara baik dan
berkesinambungan, terutama pada setiap level manajemen yang sama. Sikaf toleran
dalam banyak hal dapat memuluskan jalan diantara dua pendapat yang berbeda.
Sering pimpinan bagian/divisi/unit secara superior hanya mengandalkan bagian,
divisi, atau unitnya yang terbaik, dan menganggap bagian, divisi, atau unit
lain imperior dan tidak baik. Didalam Alquran konstatasinya demikian yang
berbunyi sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman Janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang
lain, (karena) boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari yang
memperolok–olok” (QS. Al- Hujurat (49) : 11).[[11]]
Bila
sikaf atau prinsip ini tumbuh, maka dampaknya akan dapat memperburuk
hubungan-hubungan kerja. Hubungan diantara sesama dalam organisasi dapat
terbina dengan baik, manakala semua pihak bisa bersikaf toleran, saling
mendukung, serta dapat mengabaikan kelemahan-kelemahan sesama. Organisasi bisa
langgeng dan berkinerja secara maksimal, bilamana diantara sesama karyawan,
karyawan dan pemimpin, maupun sebaliknya bisa saling menjaga, memelihara, dan
bertenggang rasa. Bahkan lebih dari itu saling memberi pertolongan diantara
sesama.
11)
Sederhana
Prinsip
kesederhanaan merupakan suatu unsur penting yang harus dimiliki oleh setiap
pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menempatkan posisinya
ditengah-tengah orang yang ia pimpin. Maksudnya seorang pemimpin tidak
sewajarnya hanya dekat dengan orang-orang yang berada pada level atas
saja, tapi juga bisa mendengar dan melihat dari dekat problema-problema yang
terjadi pada orang-orang yang ada pada level bawah. Dengan menempatkan diri
secara tepat, berarti seorang pemimpin telah menunjukkan sikaf kesederhanaan.
Dalam
Islam, umatnya dianjurkan untuk selalu bersikaf sederhana dalam setiap kali
bertindak, karena hanya dengan kesederhanaan kita dapat menjadi penengah yang
netral, yang tidak merugikan orang lain dikala mengambil suatu keputusan. Dalam
Alquran dikatakan:
Dan
demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al- Baqarah
(2) : 143).[[12]]
12)
Efektif
dan Efisien
Dalam
manajemen, efektifisien (efektif dan efisien) merupakan parameter bagi
keberhasilan atau kegagalan dari suatu pekerjaan. Suatu kegiatan dikatakan
produktif jika telah terjadi efisiensi pengelolaan masukan (input) dan
efektif dalam setiap pencapaian sasaran. Efektifisien yang tinggi akan
menghasilkan produktifitas yang tinggi.
Dalam
suatu lembaga, faktor ini sangat erat kaitannya dengan proses pemanfaatan
sumber daya yang dimiliki dalam usaha mencapai tujuan dari lembaga/organisasi.
Sumber daya dimaksud antara lain seperti; biaya, tenaga kerja, energi,
material, waktu, dan teknologi. Bila semua sumber daya ini di-manage
secara baik sesuai takaran kebutuhan dari masing-masing program/kegiatan, maka
tidak akan terjadi pemborosan yang memungkinkan produknya menjadi mahal (high
cost) sehingga susah dijangkau oleh kalangan ekonomi lemah. Dalam
Alquran nilai/prinsip ini disinyalir sebagai berikut:
“ Dan janganlah kamu
jadikan kedua tanganmu terbelenggu pada lehermu(kikir) dan jangan pula
terlalu mengulurkannya(boros), karena itu kamu akan menjadi tercela dan
menyesal”(QS. Al-Isra’(17): 29).[[13]]
13)
Keteladanan
Hampir
disetiap organisasi terutama dinegara kita, pemimpin/manajer selalu dijadikan
contoh (panutan). Sikaf ini tidaklah berlebihan, sebab corak budaya kita
bersifat pathernalistik selain itu pemimpin/manajer dianggap sebagai orang yang
memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan mereka (bawahan). Karena
itu dalam beberapa lembaga/organisasi, para pemimpin/manajer biasanya melakukan
beberapa peranan strategis sehingga mereka selalu diapresiasi secara baik.
Peranan-peranan dimaksud antara lain seperti; bertindak sebagai tokoh (figurhead),
pemimpin (leader), penghubung (liason), juru bicara ( the
spokes person), pihak yang menyelesaikan gangguan (turbulance
handler), perunding (negotiator), dan lain-lain.
Peranan-peranan itu menghendaki para bawahan senantiasa menghormati dan
menghargai setiap langkah dan kebijakan yang diambil setiap pemimpin, dengan
tetap mengedepankan azas-azas kebersamaan, kejujuran, dan keadilan, serta tidak
bersikaf like and dis like teristimewa dalam menilai dan
mendistribusikan tugas dan tanggung jawab.
Di
dalam Islam, Nabi Muhammad saw. sebagai rasul dan pemimpin umat
oleh Alquran dipandang sebagai pribadi yang patut dicontoh. Sebab beliau
dianggap telah sukses dalam menjalankan tugas-tugasnya secara baik dengan
mengedepankan sikaf-sikaf terpuji yang semestinya ditiru. Dalam Alquran
dikatakan:
Artinya: “Sungguh telah ada pada
diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu”(QS. Al-Ahzab (33):
21).[[14]]
14)
Terbuka
Keterbukaan
(transparan) sesungguhnya merupakan suatu sikap yang dalam manajemen modern
sangat dianjurkan keberadaannya dalam suatu lembaga/organisasi. Masyarakat
dewasa ini terutama mereka yang pendidikannya relatif baik, terkadang hanya
percaya pada organisasi yang terbuka melaporkan seluruh kegiatannya secara
berkala kepada masyarakat (stakeholder) sebagai mitra kerjanya.
Organisasi akan berkinerja dan berkembang dengan baik manakala para stakeholder
merespons semua kegiatan organisasi secara baik pula. Karena itu agar suatu
organisasi eksis dimasyarakat dan bisa berkompetisi secara sehat, maka
seluruh pihak yang terlibat didalamnya khususnya pada level pimpinan
(manajemen) harus dapat bersikap transparan dalam mengelola organisasi,
sehingga kredibilitas lembaga tetap terjaga.
Di
dalam Islam, sikaf transparan atau membuka (membeberkan dan memberitahukan) apa
yang diketahui tentang organisasi yang dipimpinnya kepada masyarakat merupakan
suatu sikap yang terpuji. Dalam Alquran disebutkan:
”Terhadap nikmat tuhanmu,
maka hendaknya kamu sebut-sebutkan (informasikan)” (QS. Adh-Dhuhaa (93):
11).[[15]]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar