Muhkamat
dan Mutasyabihat.
Kata Muhkam
dari segi etimologi berasal dari akar kata hakama-yahkamu-hukman berarti menetapkan, memutuskan, memisahkan.
Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi ahkama-yuhkimu-ihkaam yang berarti mencegah.
Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua
hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan
memisahkan antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang hak dan
yang batil, antara benar dan salah.
Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya
membawa kepada kesamaan antara dua
hal. Menurut Manna’ Al-Qaththan secara
terminologi muhkam adalah ayat yang
mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat diketahui secara
langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedang mutashâbih adalah ayat yang pada hakekatnya hanya diketahui
maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak makna, dan membutuhkan
penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.4 Ayat al-Qur’an yang seringkali
digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan
muhkamat dan mutasyabihat tercantum pada
surat ali Imran (QS 3:7) :
Artinya:
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
aya-tayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Ayat Alquran tersebut menimbulkan
perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat
itu. Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihaat bisa ditakwil seluruhnya,
tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang boleh ditakwil itu
pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang berhak
melakukannya.
Karena takwil itu sesuatu yang sulit, maka
diperlukan syarat keahlian tertentu,
antara lain pengetahuan mendalam
tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab. Takwil dapat dilakukan
dengan syarat tetap memperhatikan
kaidah kebahasaan dan tidak hanya mengandalkan akal (ra’yu) saja. Karena dengan
takwil akan memudahkan dalam mencerna dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai
dengan perkembangan zaman sekarang dan akan datang.
Menurut Al-Raghib al-Isfahani dalam kitab
Mufrad fii alfaadzi al Qur’an mengemukakan bahwa tafsir lebih umum dari pada
takwil. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kata dan kosa katanya. Sedang
takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan kalimatnya. Takwil lebih banyak
digunakan dalam Alquran, sedang tafsir tidak saja digunakan dalam Alquran
tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya.
Penggunaan takwil bukan berarti tanpa
kaidah dan dasar-dasar keilmuan dan juga hanya diterapkan teks-teks ayat yang
pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu. Takwil bisa diterima selama
kandungan yang ditentukan untuk memaknai susunan kata dalam suatu ayat telah
dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya
Alquran. Walaupun pada periode berikutnya, maksud kata dikenal secara luas bisa
dimaknai lain, yakni selama pesan yang digunakan untuk ayat yang ditakwil itu
dipahami dari akar kata redaksi bahasa ayat itu.
Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya
memahami kata Thayran (طيرا) pada surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung
yang terambil dari kata thaara “yathiiru”
berarti terbang kemudian beliau memahami kata tersebut dengan sejenis virus atau
bakteri yang beterbangan.
Pada ayat yang berbicara tentang dzat
Allah yang tercantum pada surat al Nuur (Allah
adalah cahaya langit dan bumi) dengan tujuan agar dzat Allah itu bisa
diketahui. Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak
sesuai dengan ayat: (tidak ada sesuatu
apapun yang menyerupainya) (QS. Asy-Syura [42]: 11. Pada penerapan takwil
terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan Prof. Quraish Shihab dalam
menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia menakwilkan kalimat
kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam
Tafsir
Al - Mizan menakwilkannya sebagai
kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki
makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi pada ayat tersebut
adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan bumi beserta isinya.
Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol dengan baik. Demikian juga
makna keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di
langit dan bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar