Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 29 Juni 2019

MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT


Muhkamat dan Mutasyabihat.


Kata Muhkam dari segi etimologi berasal dari akar kata hakama-yahkamu-hukman berarti menetapkan, memutuskan, memisahkan. Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi ahkama-yuhkimu-ihkaam yang berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan memisahkan antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang hak dan yang batil, antara benar dan salah. 


Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada  kesamaan antara dua hal.  Menurut Manna’ Al-Qaththan secara terminologi muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedang mutashâbih adalah ayat yang pada hakekatnya hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak makna, dan membutuhkan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.4 Ayat al-Qur’an yang seringkali digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan  muhkamat dan mutasyabihat tercantum pada  surat ali Imran (QS 3:7) :


Artinya: Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada aya-tayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.


Ayat Alquran tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat itu. Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihaat bisa ditakwil seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang boleh ditakwil itu pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang berhak melakukannya.


Karena takwil itu sesuatu yang sulit, maka diperlukan syarat keahlian tertentu, antara lain pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab. Takwil dapat dilakukan dengan syarat tetap memperhatikan kaidah kebahasaan dan tidak hanya mengandalkan akal (ra’yu) saja. Karena dengan takwil akan memudahkan dalam mencerna dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman sekarang dan akan datang.


Menurut Al-Raghib al-Isfahani dalam kitab Mufrad fii alfaadzi al Qur’an mengemukakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kata dan kosa katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir tidak saja digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya.


Penggunaan takwil bukan berarti tanpa kaidah dan dasar-dasar keilmuan dan juga hanya diterapkan teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu. Takwil bisa diterima selama kandungan yang ditentukan untuk memaknai susunan kata dalam suatu ayat telah dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya Alquran. Walaupun pada periode berikutnya, maksud kata dikenal secara luas bisa dimaknai lain, yakni selama pesan yang digunakan untuk ayat yang ditakwil itu dipahami dari akar kata redaksi bahasa ayat itu. 


Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata Thayran (طيرا) pada surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang terambil dari kata thaara “yathiiru” berarti terbang kemudian beliau memahami kata tersebut dengan sejenis virus atau bakteri yang beterbangan.


Pada ayat yang berbicara tentang dzat Allah yang tercantum pada surat al Nuur (Allah adalah cahaya langit dan bumi) dengan tujuan agar dzat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai dengan ayat: (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya) (QS. Asy-Syura [42]: 11. Pada penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan Prof. Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam Tafsir 


Al - Mizan menakwilkannya sebagai kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol dengan baik. Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar