Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 14 Juni 2019

MUHAMMAD SHAHRUR DAN PEMIKIRANNYA


A.    Biografi Muhammad Shahrur
Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Suriah/Syiria, 11 April 1938.[1] Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Suriah/Syiria, 11 April 1938. Bapaknya bernama Deyb Ibn Deyb Syahrur dan ibunya adalah Siddiqah Binti Salih Filyun. Shahrur menikah dengan Azizah dan di karuniai lima orang anak: Tariq, al-Lais, Basul, Masun dan Rima. Karier intelektual Syahrur dimulai dari pendidikan dasar dan menengah yang ditempuh di lembaga pendidikan Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damascus, dan lulus sekolah menengah pada tahun 1957. setahun kemudian, pada bulan Maret 1958, atas beasiswa pemerintah ia pergi ke Saratow, dekat Moskow Uni Soviet (sekarang Rusia), untuk belajar teknik sipil (al-Handasah al-Madaniyah). Jenjang pendidikannya ditempuh dalam waktu lima tahun mulai 1959 hingga berhasil meraih gelar diploma pada tahun 1964. Kemudian kembali ke Negara asalnya mengabdikan dirinya sebagai dosen fakultas teknik pada Universitas Damascus tahun 1965.[2] pada tahun 1967, ia melakukan penelitian di Imperial Collage London Inggris. Namun penelitian itu terhenti ditengah jalan akibat dari tragedy “perang juni” tahun 1967 antara Syria dan Israel, yang berimbas pada putusnya hubungan diplomatic antara Syria dan Inggris. [3]
Dalam waktu yang tidak lama Universitas Damaskus mengutusnya ke Universitas Irlandia tepatnya Ireland National University (al-Jami’ah al-Qaumiyah al-Irlandyah) guna melanjutkan studinya menempuh program Magister (MA) dan Doktoral (Ph. D) dalam bidang Mekanika Pertanahan dan Fondasi (Mekanika Turbat wa Asasat).[4] Ia memperoleh gelar pada tahun 1969, dan program doktornya ia selesaikan tiga tahun kemudian (1972). 
Setelah selesai program doktornya (1972), dia di angkat secara resmi menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus mengampu mata kuliah Mekanika Pertanahan dan Geologi (Mekanika al-Turbat wa al-Mansya’at al-Ardiyyah) hingga sekarang. Di samping mengajar, dia juga melakukan penelitian bersama dengan koleganya, yang akhirnya ia mendirikan perpustakaan Dar al-Intisyarat al-Handasiyyah. Selain itu ia juga menekuni filsafat dan ilmu bahasa (Fiqh al-Lughah). Pada tahun itu juga, ia bersama beberapa rekannya di fakultas membuka Biro Konsultasi Teknik. Prestasi dan kreatifitas Syahrur semakin menambah kepercayaan Universitas terhadapnya. Hal ini terbukti ketika ia mendapat kesempatan menjadi tenaga ahli di Saudi Arabia pada Al-Saud Consult pada tahun 1982-1983. [5]
Pada tahun 1995, Syahrur juga pernah diundang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko.[6]

B.     Pendekatan Studi Al-Qur’an dan Tafsir menurut Muhammad Shahrur
Dalam sebuah teori keilmuan dikatakan bahwasanya seorang mufassir didalam menafsirkan sebuah teks tidak akan pernah terlepas dari sejarah hidupnya, latar belakang intelektualnya, keilmuan yang dimilikinya, pemikiran guru-gurunya serta keadaan masyarakat ketika ia hidup. Begitu juga dengan Syahrur didalam menafsirkan Al Qur’an dengan melihat keadaan sosial masyarakatnya serta keilmuan bahasa yang dikuasainya serta pemikiran dari orang-orang yang pernah bergaul dengannya.
Menurut beliau, masalah-masalah yang selalu muncul dalam pemikiran Islam kontemporer antara lain :
1.      Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang objektif yang terkait dengan kajian al Kitab (ayat-ayat Al Qur’an) yang diturunkan kepada Muhammad.
2.      Kajian-kajian Islam masa kini seringkali bersandar pada perspektif ulama-ulama terdahulu yang dianggap sudah mapan, lebih bersifat subjektif sehingga hasil kajian Islam yang sekarang hanya digunakan untuk memperkuat asumsi-asumsi yang sudah ada.
3.      Umat Islam saat ini tidak memanfaatkan keilmuan filsafat humaniora karena masih menganggap ilmu yang berasal dari Yunani itu adalah keliru dan sesat.
4.      Tidak adanya epistimologi Islam yang valid. Akibatnya umat Islam pada masa sekarang hanya berpaku pada doktrin-doktrin pemikiran ulama mazhab.
5.      Produk-produk fiqih yang ada pada masa sekarang sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas. Sehingga diperlukannya formulasi hukum fiqih yang baru.[7]
Beliau melihat bahwasanya umat Islam Kontemporer terbagi pada dua kelompok :
Kelompok pertama adalah mereka yang berpegang penuh pada arti literal dari konteks al Qur’an diturunkan. Mereka berpendapat bahwa apa yang sudah ditetapkan pada generasi awal (masa nabi Muhammad) juga berlaku pada generasi selanjutnya, sehingga umat Islam tidak mencoba untuk mengembangkan pemikirannya untuk mendapatkan jawaban atas persoalan kekinian yang berbeda dengan masalah yang ada pada masa Nabi. Hal ini berakibat pada berubahnya makna unversalitas Al Qur’an yang Shahih li kulli zaman menjadi sebuah pesan yang sempit, lokalistik dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang muslim di sekitar mereka saja.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang cenderung mengajak kepada sekularisme dan modernitas. Kelompok ini menolak adanya al Turats termasuk Al Qur’an sebagai bagian yang diwariskan oleh generasi awal dan ritual adalah sebuah gambaran ketidakjelasan. Aliran ini sangat terpaku pada pendapat agamawan dan institusi agama, mengabaikan doktrin-doktrin (tafsir) generasi awal agar mereka terlepas dair historisitasnya dan mampu menyelesaikan problem dengan usaha mereka sendiri.[8]
Oleh karena itu, beliau menawarkan sebuah metode baru dalam kajian keislaman, yaitu menyerukan kembali kepada teks asli yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi saw dengan menggunakan metode baru. Didalam memahami Al Qur’an, umat Islam hendaknya bersikap seolah-olah Nabi baru saja meninggal dan Al Qur’an turun pada masa kita. Dengan begitu, umat Islam sekarang dapat menafsirkan Al Qur’an dengan konteks kekinian dan tidak terjebak pada setting historis pemikiran umat masa dahulu. Dalam sejarahnya telah terbukti bahwa setiap orang menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kondisi masyrakat pada saat mereka hidup agar tercapainya universalitas Al Qur’an yang selalu sesuai dalam zaman apapun. Sebagai akibatnya, doktrin ulama-ulama terdahulu tidak mengikat pemikiran umat Islam pada masa sekarang, apalagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa sekarang membuat umat menjadi lebih baik dalam memahami Al Qur’an.
Al Qur’an yang bersifat Universal dan shahih li kulli zaman memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
1.      Mempunyai dimensi kemutlakan didalamnya karena dia diturunkan oleh Zat yang maha mutlak.
2.      Al Kitab merupakan petunjuk bagi manusia yang mengandung relativisme pemahaman manusia.
3.      Al Qur’an harus disampaikan melalui bahasa manusia karena pemikiran manusia terikat dengan bahasa. Walaupun nantinya bahasa tersebut mengandung makna kemutlakan Ilahi dalam konteks isi dan relativitas manusia dalam konteks pemahaman.
Selanjutnya term-term yang menjadi nama Al Qur’an (Al Kitab dalam bahasa Syahrur) yaitu Al Kitab, Al Zikr dan Al Furqan dalam mushaf Usmani memiliki arti tersendiri. Al Kitab berasal dari kata kataba yang berarti mengumpulkan beberapa hal dengan tujuan untuk memperoleh satu makna agar tercapainya satu pemahaman yang sempurna. Karena kata Al kitab merupakan isim ma’rifah dari kitab, maka ia berarti kumpulan beberapa topik yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad dalam bentuk teks yang merupakan ayat-ayat yang tersusun dimulai dari surah Al fatihah dan diakhiri oleh surah an nas. Sedangkan Al Qur’an adalah bagian dari mushaf yang merupakan kumpulan sistem peraturan obyektif untuk eksistensi realitas keadaan masyarakat. Al Zikr artinya proses turunnya (alih bahasa) Al Qur’an dari lauhul mahfuz ke dalam bahasa Arab. Dan Al Furqan maksudnya adalah sepuluh perintah yang diberikan kepada nabi Musa dan tercantum didalam Al Qur’an.
Muhammad ketika penerima wahyu (Al Kitab) berada dalam dua posisi sekaligus, yaitu posisi sebagai Nabi dan posisi sebagai Rasul yang berimplikasi pada isi Al Kitab yang terbagi menjadi dua bagian besar, Kitab al Nubuwah dan Kitab al Risalah. Al Nubuwah adalah akumulasi pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad dan mencakup seluruh informasi dan pengetahuan ilmiah yang terdapat pada Al Kitab, berfungsi sebagai pembeda antara hak dan bathil atau antara realitas dengan pra konsepsi. Sedangkan al Risalah merupakan kumpulan penetapan hukum yang diwahyukan kepada Nabi saw sebagai pelengkap kenabiannya.
C.    Landasan Metodologi Muhammad Shahrur
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Muhammad Syahrur menggunakan dua teori penafsiran (hermeneutic theory), yaitu:
a.      Teori Linguistik
Adapun pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mengonstruksi pemikiran keislamannya menggunakan pendekatan hermeneutik dengan penekanan pada aspek filologi (kebahasaan). Ia menyebutnya sebagai al manhaj at-tarikh al’ilm fi dirasat al-lughawiyyah (metode historis ilmiah studi bahasa), sebagaimana dikemukakan oleh Ja’far Dakk al-Bab dalam pengantar bukunya, al-Kitab Wa al-Qur'an.[9] Pendekatan ini sebenarnya merupakan kesimpulan dari teori linguistik Ibnu Jinni dan al-Jurjani. Dari situlah kemudian Syahrur membuat batasan kaidah-kaidah metode linguistiknya yang memiliki prinsip sebagai berikut:[10]
a)      Bahwa bahasa merupakan sebuah sistem.
b)      Bahasa merupakan fenomena sosiologi dan konstruksi bahasanya sangat terkait dengan konteks di mana bahasa itu disampaikan.
c)      Ada keterkaitan antara bahasa dan pemikiran.
d)     Menolak adanya sinonim dalam bahasa.
Bila dicermati, pendekatan linguistik yang diambil oleh Syahrur ini sebenarnya hanya digunakan untuk membangun suatu landasan (dasar) teori dalam rangka penafsiran ulang terhadap tema-tema yang terdapat dalam “al-mushaf” sesuai dengan konteks ruang dan waktu abad kedua puluh.[11]
Disisi lain, pada beberapa kajiannya Syahrur juga menggunakan metode tematik dalam membahas sebuah permasalahan. Ia mengumpulkan sejumlah ayat, misalnya tentang ta’wil, kemudian secara intra teks dan interteks, ayat-ayat tersebut dianalisa sebagaimana diatas.[12]

b.      Teori Batas (Nadzariah Al-Hudud)
Tipikal Syahrur sebagai ilmuwan sangat kentara dan berpengaruh terhadap produk pemikirannya ini tampak jelas terhadap teori baru yang  diperkenalkannya, yang disebut teori batas ( the theory of limit).[13]
Pelacakan Syahrur menemukan bahwa dalam pemahaman keislaman selama ini terdapat dua aspek yang dilupakan. Yaitu al-hanif dan alistiqamah, berdasarkan metode analisis linguistik, Syahrur menjelaskan bahwa kata al-hanif, berasal dari kata hanafa berarti bengkok, melengkung (hanafa), atau berarti orang yang berjalan diatas kedua kakinya (ahnafa).
Adapun kata al-istiqamah, berasal dari kata Qawm, yang memiliki dua arti (1) kumpulan dua orang laki-laki, dan (2) berdiri tegak (al-intisab); atau kuat (al-azm). Dari kata al-intisab muncul dua kata al-mustaqim dan al-istiqamah, lawan dari melengkung (al-inhirab); sedangkan dari al-azm muncul kata ad-din al-qayyim (agama yang kuat dalam kekuasaan), seperti QS. An-Nisa’: 34 dan Al-Baqarah : 255.
Analisis linguistik terhadap term al-hanifiah dan al-istiqamah ini akhirnya menyampaikan Syahrur pada sebuah ayat dalam surat al-An’am: 161, ada tiga term pokok dalam ayat tersebut, ad-din al-qayyim, almustaqim dan al-hanif yang kemudian mendorongnya untuk mengadakan pelacakan lebih lanjut, Syahrur kemudian menganalisa surat al-An’am : 79, dimana dari ayat ini diperoleh pemahaman bahwasanya al-hunafa merupakan sifat alami dari seluruh alam, langit, bumi yang notabene sebagai susunan kosmos bergerak dalam garis melengkung, bahkan electron terkecil sekalipun. Tidak ada dalam alam semesta ini yang tidak bergerak melengkung. Namun, justru sifat inilah yang menyebabkan tata kosmos kita menjadi teratur dan dinamis (Ad-din dan al-hanif ).  Dengan demikian agama selaras dengan kondisi yang demikian, karena al-hanif merupakan pembawaan yang bersifat fitrah, manusia sebagai bagian dari alam materi, juga memiliki sifat pembawaan fitrah ini.
Fitrah alam ini juga terjadi dalam aspek hukum. Ini bisa disaksikan dalam realita masyarakat yang senantiasa bergerak dalam wilayah tradisi sosial, kebiasaan atau data yang cenderung berubah secara harmoni sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu, sebuah as-sirat al-mustaqim adalah sesuatu yang niscaya untuk mengontrol dan mengarahkan perubahantersebut. Itulah sebabnya dalam Al-Qur’an tidak akan pernah di temui ihdina ila al-hanifiyyah, tapi ahdina al-sirat al-mustaqim adalah fitrah. Dengan demikian al-sirat al-mustaqim inilah yang akan menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum.[14]
Teori batas (nazariyyah al-hudud), secara garis besar dapat digambarkan sebagai: perintah Tuhan yang diekspresikan dalam al-Qur'an dan Sunnah yang mengatur/memberikan batas bawah dan batas atas bagi seluruh perbuatan manusia, batas yang lebih rendah mewakili ketetapan hukum minimum dalam kasus tertentu, sedangkan batas atas merupakan maksimalnya. Perbuatan hukum yang kurang dari batas minimum tidak sah (tidak boleh), begitu juga dengan batas atas tidak boleh melebihi. Ketika batas-batas itu dilampaui maka hukum harus dijatuhkan sesuai dengan proporsi pelanggaran yang dilakukan. Tetapi ketika itu sangat diperlukan, maka hukum dapat dijamin sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan. Disinilah letak kekuatan Islam, dengan memahami teori ini menurut Syahrur, akan lahir daripadanya jutaan ketentuan hukum. Karena itu risalah Muhammad SAW. dinamakan dengan umm al-kitab, karena sifatnya yang hanif berdasarkan teori batas ini.
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur membagi adanya enam bentuk dalam teori batas.
1.      Batas Minimum
Yaitu batas paling minimal yang ditentukan al-Qur’an dan ijtihad manusia tidak memungkinkan untuk mengurangi ketentuan tersebut namun memungkinkan menambah. Contoh dari batasan ini terjadi dalam hal : macam-macam perempuan yang haram untuk dinikahi. (QS. an-Nisa’ : 22-23). Berbagai makanan yang haram dikonsumsi (QS.al-Maidah : 3, al-An’am: 145-156), hutang piutang (QS. al-Baqarah: 283-284), dan tentang pakaian wanita (QS. an-Nisa: 31). Dalam hal perempuan yang haram untuk dinikahi yang terdapat dalam ayat tersebut merupakan batasan minimal, dan tidak boleh lebih dari itu. Sehingga, nikah dengan hubunganhubungan lain yang tidak terdapat dalam ayat itu menjadi boleh.
2.      Batas maksimum
Yaitu batas paling atas yang telah ditetapkan dan tidak mungkin dilampaui, namun memungkinkan untuk memperingankannya. Contoh dari batasan ini dapat ditemukan dalam surat al-Maidah : 38, tentang hukuman bagi seorang pencuri. Tentang pembunuhan (al-Isra’ : 33, al-Baqarah: 178, al-Nisa’:92). “Pencuri, baik laki-laki maupun perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka”. (QS.Al-Maidah : 38).
Di sini hukuman sanksi bagi seorang pencuri (yang ditemukan) merupakan batas maksimal yang tidak boleh dilewati. Bagaimanapun hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Hal ini menjadi kewajiban para hakim / mujtahid untuk memberlakukan hukuman terhadap pencuri yang bagaimana yang harus dipotong tangannya. Misalnya penjahat kelas kakap, yang mencuri dengan alat-alat canggih yang perbuatannya menimbulkan keresahan orang banyak, bahkan kerugian negara serta keamanan masyarakat tidak terjamin maka ayat 38 tidak dipakai, yang dipakai adalah ayat 33 surat al-Maidah:“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi hendaklah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat ia tinggal).
Lagi-lagi mujtahid harus menentukan, hukuman yang setara dengan kesalahan tertentu yang dilakukan.[15]
3.      Batas minimum dan batas maksimum sekaligus tetapi tidak bersinggungan dalam satu titik.
Yaitu batas minimum dan batas maksimum dan minimum sekaligus tidak bersinggungan dalam satu titik. Contoh batasan ini dapat ditemukan dalam hukum waris (al-Nisa : 11-14, 176) dan poligami (an- Nisa: 3). Maksud dari ayat warisan adalah batas maksimal untuk laki-laki dan batas minimal untuk perempuan. Tujuan dari ayat ini (an-Nisa:11-14) adalah menganut prinsip 2:1, sehingga bagian laki-laki adalah 66,6% dan merupakan batas maksimal sedangkan bagi perempuan 33,3% dan merupakan batas minimal. Terlepas dari apakah wanita telah menjadi pencari nafkah, bagaimanapun bagian wanita tidak pernah dapat kurang dari 33,3%, sementara bagian laki-laki tidak pernah mencapai lebih dari 66,6%. Jika wanita diberi 40 persen dan laki-laki 60 persen. Kemudian keduanya baik batas maksimal dan batas minimal tidak dikatakan telah melanggar. Alokasi prosentase kepada masing-masing pihak ditentukan berdasarkan kondisi obyektif yang ada dalam masyarakat tertentu pada waktu tertentu.[16]
4.      Batas minimum dan batas maksimum berada dalam satu titik.
Yaitu ketentuan had maksimumnya juga menjadi had minimumnya sehingga ijtihad tidak mungkin mengambil hukum yang lebih berat. Contoh batasan ini hanya berlaku bagi hukuman zina, yaitu seratus kali jilid (an-Nur: 2). Kemudian berdasarkan ayat 3-10 dalam surat yang sama, hukuman tersebut hanya dapat diberlakukan dengan syarat adanya 4 orang saksi atau melalui li’an.[17]



5.      Batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa singgungan.
Yaitu had yang paling atas telah ditentukan dalam al-Qur’an, namun karena tidak ada sentuhan dengan had maksimum maka hukuman belum dapat ditetapkan. Contoh dari batasan ini adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Dimulai dari titik di atas batas minimal (dimana di sini alat kelamin, belum bersentuhan). Hanifiyah bergerak ke atas searah dengan batas maksimal (dimana disini mereka bisa melakukan perzinaan), tetapi perzinaan tidak terjadi. Jadi, apabila antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan yang mendekati zina tetapi belum berzina maka keduanya berarti belum terjatuh dalam batas-batas yang ditentukan Allah.[18]
6.      Batas maksimum positif tidak boleh dilampaui dan batas minimum negatif, boleh dilampaui.
Yaitu batas atas yang ditetapkan tidak boleh di lewati sedangkan batas bawahnya yang negatif boleh dilampaui. Contohnya adalah batas atas yang tidak boleh dilampaui adalah riba, batas bawah yang boleh dilampaui adalah zakat (zakat sebagai batas negatif karena ia adalah batas minimal harta yang wajib dikeluarkan). Dua hal ini dapat dilampaui dengan shadaqah. Dalam hal ini ada riba yang diperkenankan yaitu yang tidak melewati batas atas (riba yang adh’afan mudha’afan).[19]




[1] Muhammad .Syahrur, Al-kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asyirah, (Damaskus:al-Ahali li-Attiba’ah wa an-Nasy wa at-Tawzi, 1990), hlm. 823
[2] Achmad Syarqawi Ismail, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur,Yogyakarta: elSAQ Press, cet I,2003, hlm 44.
[3] Abdul Haris, “Pembongkaran Muhammad Syahrur Terhadap Islam Ideologis, Sebuah Pengantar atas ide-ide Pemikiran Islam Kontemporer dalam Al-Kitab Wa Al-Qur’an : Qira’ah Mu’asyirah” dalam Jurnal Ijtihad No. 1 Tahun III/Januari-Juni 2003, hlm 39.
[4] Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asyirah, Terj. Sahiron Syamsudin, “Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer”, Cet Ke-I, Yogyakarta:elSAQ Press, 2004, hlm 319.
[5] Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an:., hlm 45
[6] Sahiron Syamsudin, Mempertimbangkan Metode Tafsir Muhammad Syahrur, dalam Sahiron Syamsudin, dkk, Hermeunetika al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta : Forstudia Islamika, 2003, hlm 123.
[7]  yhardeos.blogspot.com/2007/06/muhammad-syahrur.html
[8] Sahiron Syamsudin, Mempertimbangkan Metode Tafsir.., hlm. 142-143
[9] Ja’far Dakk al-Bab, dalam Kata Pengantar Buku al-Kitab wa al-Qur'an: Qira’ah Mu’asirah, hlm 22
[10] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, .., hlm. 44
[11] Abdul Haris, Pembongkaran..., hlm. 46
[12] Muhammad In’am Esha, Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Muhammad Syahrur, dalam Jurnal Al-Huda, Vol 2, Jakarta: Islamic Center, hlm. 130
[13] Muhammad In’am Esha, Konstruksi Historis Metodologis.., hlm. 130
[14] Muhammad In’am Esha, Konstruksi Historis Metodologis.., hlm. 307
[15] Muhammad In’am Esha, Konstruksi Historis Metodologis.., hlm 455-456
[16] Muhammad In’am Esha, Konstruksi Historis Metodologis.., hlm 457-462.
[17] Muhammad In’am Esha, Konstruksi Historis Metodologis.., hlm 463.
[18] Muhammad In’am Esha, Konstruksi Historis Metodologis.., hlm 463.
[19] Muhammad In’am Esha, Konstruksi Historis Metodologis.., hlm 463.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar