Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 23 Juni 2019

MODUL AL-QUR'AN KB 2 PPG PAI


MODUL AL-QUR'AN KB 2

URAIAN MATERI

Pada zaman Nabi Saw para sahabat tidak membutuhkan suatu pendekatan atau metode khusus dalam memahami ayat-ayat al Qur’an, karena segala permasalahan langsung disampaikan kepada Nabi Saw dan beliau sendiri yang memberikan penjelasan. Demikian juga pada masa sahabat, mereka adalah orang-orang yang mengetahui bagaimana al Qur’an diturunkan dan bagaimana Nabi Saw menjelaskan. 

Ketika zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para sahabat, sementara penjelasan terhadap petunjuk-petunjuk al Qur’an semakin dibutuhkan, maka para ulama’ di bidang tafsir melakukan ijtihadnya masing-masing untuk melakukan penafsiran al Qur’an. Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat al Qur’an adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadist Nabi Saw maupun atsar.

Dalam melakukan ijtihadnya, sebagaian ulama’ menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagaian ulama’  mufassir yang lain  menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai landasan berfikir yang kemudian dilakukan ijtihad sesuai dengan pendapatnya masing-masing.

Karena itu ditinjau dari sumbernya, penafsirannya dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur , Tafsir bi alRa’yi dan Tafsir al Isyari.

1.     Pendekatan Penafsiran Al Qur’an

a.      Tafsir bi al-Ma’tsur

Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan penjelasanpenjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadist maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi al-Matsur disebut juga tafsir bi al-Riwayah, karena didasarkan juga pada periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw, atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat Nabi Saw dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an dan bergaul bersama Nabi Saw, demikian juga para ulama’ di masa tabi’in yang dianggap juga sebagai orang yang bertemu langsung dan berguru kepada para sahabat.

Karena itu sumber penafsiran bi-alRiwayah ini dipandang sebagai penafsiran terbaik terhadap al-Qur’an, karena dianggap lebih terjaga dari kekeliruan dan penyimpangan dalam menafsirkan al Qur’an.   Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat beberapa cara untuk menafsirkan ayat alQur’an, yaitu;

1)     Penafsiran ayat dengan ayat al-Quran yang lain Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat pertama surat al Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan (dijelaskan) lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al Hasyr ( QS  59;22-24)  yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt: 

اَ و ِبْيَغْ ال ُمِال َ ع ۖ َوُ ه ه لَِ إ َهََٰ لِ إ َ ( ي لَ ِ الهذ ُ اللَّه َوُه ُ 22 ُ يم ِ الرهح ُنََٰمْ الرهح َوُ ه ۖ ِةَ اد َ لشهه كِلَمْ ال َوُ ه ه لَِ إ َهََٰ لِ إ َ ي لَ ِ الهذ ُ اللَّه َوُ )ه َ ون ُكِرْشُ مها ي َ ع ِ اللَّه َ ان َحْبُ س ۚ ُرِ بَكَتُمْ ال ُ بهار َجْ ال ُ يز ِزَعْ ال ُنِمْيَهُمْ ال ُنِمْؤُمْ ال ُم َ ُ  )23(  السهلَ ُ وس ُّدُقْال قِال َخْ ال ُ اللَّه َوُه ُ يز ِزَعْ ال َوُهَ و ۖ ِضْرَ ْ الْ َ و ِ ات َ او َ ي السهم ِ ا ف َ م ُهَ ل ُحِ بَسُ ي ۚ َٰىَنْسُحْ ال ُ اء َمْسَ ْ ( الْ ُهَ ل ۖ ُرِ وَصُمْ ال ُئِ ار َبْال )24 ُ يم ِكَحْ ال

Artinya : Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22)  Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan,

Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(24).

2)     Penafsirat ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw Ayat-ayat al Qur’an lebih banyak bersifat mujmal(global) dan untuk dipahami tidak bisa berdiri sendiri, karena itu di sinilah fungsi hadits Nabi Saw sebagai tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya ayat tentang perintah sholat yang mujmal tidak menjelaskan tatacara sholat (S. al Baqarah (SQ 43;43)

  َ وا ُ يم ِقَأَو ة َ الصهلَ ا ( وُ آت َو )43 َ ين ِعِ الرهاك َعَ وا م ُعَكْ ار َ وَ اة َ الزهك

Artinya Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang ruku’. Ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh hadits Nabi Saw;
 
ْ   ُ الصهلَة ِتَرَضَ ا ح َذِإَ ف ،  يِلَصُ ي أ ِ ون ُمُتْيَأَ ا ر َمَ وا ك ُّلَص مُكُرَبْكَ أ ْمُ مهك ُؤَيْلَ و ، ْمُكُدَحَ أ ْمُكَ ل ْ نِذَؤُيْلَف – ( ُّ يِ ار َخُبْ ال ُ اه َوَر )

Artinya: Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan dan orang yang  lebih tua di antara kalian menjadi imam. (HR Bukhori)
 
3)     Penafsirat ayat al Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw.  Untuk mendapatkan informasi lebih luas perihal maksud-maksud al Qur’an, setelah memahami sunnah Nabi Saw maka penjelasan para sahabat juga diperlukan, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana al Qur’an itu diturunkan.  Contoh tafsir terhadap Surat al Baqarah )QS 2: 3):

 ....ِبْيَغْال ِ ب َ ون ُنِمْؤُ ي َ ين ِ الهذ

Artinya  (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib… Menurut ibnu abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah bahwa tafsir dari kata  yukminuuna adalah yushoddiquuna (membenarkan). Dan menurut Makmar yang diriwayatkan dari az Zuhri yang dimaksud yukminuuna adalah iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu Jakfar ar Razi dari Rabi’ bin Anas yang dimaksud dengan yukminuuna adalah yakhsyauna yang berarti takut.1 Contoh Tafsir bi al ma’tsur adalah kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir.
 
b.     Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah

Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran di sini sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara kompetensi keilmuannya telah dianggap  telah memenuhi persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat mufassir. 

Istilah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk membedakannya dengan Tafsir bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti ketika sahabat melakukan penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat sebenarnya juga menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam istilah disiplin ulum  Quran, para sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi alRa’yi, sebab, para sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi sesudah mereka. Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi alRa’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan.

Di antara kelebihan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek. Kendatipun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahaman pendekatan Tafsir bi al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga memberikan kesan Quran tidak utuh dan tidak konsisten.

Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup                                                         kemungkinan menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.

Salah seorang mufassir yang tergolong bi al ro’yi adalah Abdul Qosim Mahmud al Zamakhsari dalam melakukan penafsirannya beliau mengemukakan pemikirannya akan tetapi didukung dengan dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat alQur’an, baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya. 

Contoh lain adalah tafsir bi al Ro’yi adalah penafsiran Sayyid Qutub dalam kitab tafsir Fi Dzilalil Qur’an pada saat menjelaskan Surat al Fatihah (SQ 1: 4) sebagai berikut  :   (4)  مَلِكِ يَوْمِ الﱢدينِ Artinya :  Tuhan yang menguasai hari pembalasan.   Ini merupakan 'aqidah pokok yang amat besar dan mempunyai kesan yang amat mendalam dalam seluruh hidup manusia, yaitu 'aqidah pokok mempercayai hari Akhirat. Kata-kata "yang menguasai atau penguasa" membayangkan darjah kuasa yang paling tinggi. "Hari Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di Akhirat. Ramai orang yang percaya kepada Uluhiyah Allah dan percaya bahawa Allahlah yang menciptakan 'alam buana ini bagi pertama kali, namun demikian mereka tidak percaya kepada Hari Balasan. Keperihalan setengah-setengah mereka telah diceritakan oleh al- Qur'an.  Seperti pada surat azZumar (SQ 29;28) :

 ُ نه اللَّه ُول ُقَيَ ل َضْرَ ْ الْ َ و ِ ات َ او َ السهم َقَلَ خ ْنَ م ْمُهَتْلَأَ س ْنِئَلَ   و

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah.   Kemudian dalam surah Qoof (QS . 50:3) menceritakan hal mereka: 

 ٌ يب ِجَ ع ٌءْيَ ا ش َذَ ه َ ون ُرِ اف َكْ ال َ ال َقَ ف ْمُهْنِ م ٌرِذْنُ م ْمُهَ اء َ ج ْنَ وا أ ُبِجَ ع ْلَب

 "Bahkan mereka heran kerana mereka telah didatangi seorang Rasul yang memberi peringatan dari kalangan mereka sendiri, lalu berkatalah orang-orang kafir: "Ini adalah suatu perkara yang amat aneh. "Kepercayaan terhadap hari pembalasan merupakan satu lagi 'aqidah pokok di dalam Islam. Nilai kepercayaan ini ialah ia meletakkan pandangan dan hati manusia pada sebuah 'alam yang lain setelah tamatnya 'alam bumi supaya mereka tidak begitu terkongkong kepada keperluan-keperluan bumi saja dan ketika itu mereka tidak lagi terpengaruh kepada keperluan keperluan bumi, juga supaya mereka tidak begitu gelisah untuk mendapatkan balasan dan ganjaran dari hasil usaha mereka dalam usia mereka yang pendek dan di 'alam bumi yang terbatas ini dan ketika itu barulah mereka dapat berbuat amalan-amalan semata-mata kerana Allah dan sanggup menunggu ganjarannya mengikut bagaimana yang ditentukan Allah sama ada di 'alam bumi ini atau 'alam Akhirat. 

Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’yi di atas menjadi jelas bahwa mereka tidak meninggalkan riwayat dan bukan semata-mata menafsirkan al Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Kitab tafsir yang lain misalnya Tafsir bi al-ra’yi adalah  kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan  Tafsir Anwar atTanzil wa Asrar at-Ta’wil karya al-Baidhawi.

c.      Tafsir al Isyari

Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan menurut istilah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Quran dengan menakwilkan ayat-ayat  sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa  mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.5 Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan kandungan al Qur’an melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.

Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam  tafsir bi al-Isyarah terdapat upaya penarikan makna ayat  didasarkan pada  kesan yang ditimbulkan lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan pikiran,  hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna secara lafazh.   

Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah :7 1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.  2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.  3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio. 4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu. 5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz. Misalnya penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) :

  َ ين ِتِ ان َ ق ِ ه ِ وا لِلَ ُ وم ُقَ و َٰىَطْسُوْ ال ِة َ الصهلَ َ و ِ ات َوَ ى الصهل َلَ وا ع ُظِ اف َح

Peliharalah sholat dan sholat wustho serta tegakkan untuk Allah karena ketaatan Al Alusi menafsiri shalat al-wustha pada ayat di atas dengan penjelasan lima macam shalat sebagai berikut:

  إن الصلوات خمﺲ صلَة السر بشهود مقام الغيب، وصلَة النﻔﺲ بخمودها عن دواعى الريب، و صلَة القلب بمراقبته أنوار الكشﻒ، وصلَة الروح بمشاهدة الوصل، وصلَة البدن بحﻔﻆ الحواس وإقامﺔ الحدود. 

 Artinya : Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Shalat sirr dengan menyaksikan maqam ghaib, 2) shalat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat mengundang keragu-raguan, 3) Shalat qalb, dengan senantiasa berada dalam penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) shalat ruh dengan menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan dengan Allah); 5) Shalat badan dengan cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuanketentuan hukum Allah.      Bila dilihat dari terminologis yang digunakan, maka sebenarnya al-Alusi memahami shalat al-wustha cenderung dengan pendekatan sufistik.
 
2.     Metode Penafsiran Al Qur’an

       a.      Metode Tahlili (Analisis)

Metode Tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat al Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan  dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspekaspek yang ingindisampaikan, misalnya  menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbabu al- nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya, contoh kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir alQur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi. Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al Ahzab  ayat 30 : 

 َ ( لَ ع َكِلَ ذ َ ان َكَ و ِنْيَﻔْع ِ ض ُ ابَذَعْ ا ال َهَ ل ْﻒَ اع َضُ ي ٍﺔَ نِيَبُ م ٍﺔَشِ اح َﻔِ نه ب ُكْنِ م ِتْأَ ي ْنَ مِ يِ النهب َ اء َسِ ا ن َي  )30 يراا ِسَ ي ِ ى اللَّه

Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. 

Allah Swt. berfirman menasihati istri-istri Nabi Saw. yang telah memilih Allah dan Rasul-Nya serta pahala di negeri akhirat, selanjutnya mereka tetap menjadi istri Rasulullah Saw. Maka sangatlah sesuai bila diceritakan kepada mereka ketentuan hukumnya dan keistimewaan mereka yang melebihi wanita-wanita lainnya.

Disebutkan bahwa barang siapa di antara mereka yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata.  Menurut Ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis apa pun, maka ungkapan ayat ini hanyalah semata-mata andaikan, dan makna andaikan itu tidak berarti pasti terjadi. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:
 
 َ كُلَمَ نه ع َطَبْحَيَ ل َتْكَرْشَ أ ْنِئَ ل َكِلْبَ ق ْنِ م َ ين ِ ى الهذ َلِإَ و َكْيَلِ إ َيِ وح ُ أ ْدَقَلَو

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalanmu. (Az-Zumar: 65), Seperti yang ada dalam ayat lain yang menyebutkan:

  َ ون ُلَمْعَ وا ي ُ ان َ ا ك َ م ْمُهْنَ ع َطِبَحَ وا ل ُكَرْشَ أ ْوَلَو

Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (Al-An'am: 88)

 َ ين ِدِ اب َعْ ال ُ وهل َ ا أ َنَأَ فٌدَلَ و ِنَمْ لرهح ِ ل َ ان َ ك ْنِ إ ْلُق

Katakanlah, "Jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu).” (AzZukhruf: 81), Dan firman Allah Swt.:

  ه ُ هَقْ ال ُدِ اح َوْ ال ُ اللَّه َوُ ه ُهَ ان َحْبُ س ُ اء َشَ ا ي َ م ُقُلْخَ مها ي ِ ى م َﻔَطْ داا لَص َلَ و َذِ تهخ َ ي ْنَ أ ُ اللَّه َ اد َرَ أ ْوَل ار

Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Mahasuci Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Az-Zumar: 4)

Mengingat kedudukan istri-istri Nabi Saw. tinggi, maka sesuailah jika ada seseorang dari mereka melakukan suatu dosa, dosa itu akan diperberat demi menjaga kehormatan mereka dan kedudukan mereka yang tinggi. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. (Al-Ahzab: 30)  Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna firman-Nya: niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. (AlAhzab: 30) Yakni siksaan di dunia dan akhirat.  Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu AbuNajih, dari Mujahid.

  يراا ِسَ ي ِ ى اللَّه َلَ ع َكِلَ ذ َ ان َكَو

Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. (Al-Ahzab: 30)  Maksudnya, teramat mudah dan gampang.
  
     b.     Metode Ijmali (Global)

Metode ijmali adalah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan panjang lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin alMahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah. Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab Tafsir Jalalai :

 (الرحمن الرحيم) أي ذي الرحمﺔ وهي إرادة الخير لْهله   صه بالذكر ُ وخ ،  يوم الدين) أي الجزاء وهو يوم القيامﺔ ِكِلَ (م لْنه لَ ملك ظاهراا فيه لْحد إلَ لله تعالى بدليل {لمن الملك اليوم لله} ومن قرأ {مالك} فمعناه مالك الْمر كله في يوم القيامﺔ أو ﺔ هو موصوف بذلك دائماا {كغافر الذنب} فصح وقوعه صﻔﺔ لمعرف  (إياك نعبد وإياك نستعين) أي نخصك بالعبادة من توحيد وغيره ونطلب المعونﺔ على العبادة وغيرها (اهدنا الصراط المستقيم) أي أرشدنا إليه.  ويبدل منه : (صراط الذين أنعمت عليهم) بالهدايﺔ ويبدل من الذين بصلته (غير المغضوب عليهم) وهم اليهود (ولَ) غير (الضالين) وهم النصارى ،   وصلى الله على سيدنا ، ونكتﺔ البدل إفادة أن المهتدين ليسوا يهوداا ولَ نصارى والله أعلم بالصواب وإليه المرجع والمآب وحسبنا الله ونعم الوكيل ، ولَ حول ولَ قوة إلَ بالله العلي العظيم . ، محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليماا كثيراا دائماا أبداا [وعن الشيخ محمود الرنكوسي تﻔسير ألطﻒ ورد في مختصر تﻔسير ابن كثير مﻔاده أن المغضوب عليهم هم الذين عرفوا الحق وخالﻔوه أما الضالين فلم يهتدوا إلى الحق أصلَا . دار الحديث]

Dalam penafsiran di atas tampak sekali dismpaikan secara singkat dan global, misalnya kata ar rahman dan arrahiim dijelaskan dengan yang memiliki rahmat yaitu yang berkehendak memberikan kebaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Kemudian berganti kepada ayat berikutnya.
 
     c.      Metode Muqaran (Komparatif)

Metode Muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun  redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.  Di samping itu juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya atau bisa berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa berupa perbandingan teks lintas kitab samawi (seperti Al Qur’an dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur).
   
      d.     Metode Maudhu’i (Tematik)

Metode Maudhu’i adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu. Metode ini kelebihannya mampu menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, membuat pemahaman menjadi utuh. Namun kekurangannya seringkali dalam memenggal ayat yang memilki permasalahan yang berbeda sehingga membatasi pemahaman ayat. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran metode maudhu’i adalah:

a.      Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b.     Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c.      Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).  
d.     Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e.      Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
f.       Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayatayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.

Referensi :

Fahd Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al - Tafsir wa Manahijuhu , (Maktabah al-Tawbah, 1419 H), 60

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an; Editor Abd. SyakurDj., Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 373

Abd Wahid : Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali. JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010

Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (ttp., tp., 1396H./1976M), Jilid II, Cet. Ke-2, hal. 352

Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu al-Qur’an… Ash-Shabuniy, Muhammad Ali. (1999). Studi Ilmu al-Qur’an, alih Bahasa, Aminudin, Bandung: PustakaSetia., hal. 248

Avif Alfiyah. Kajian Kitab Al Kasyaf Karya Zamakhsyari , Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir, Volume 1 Nomor 1 Juni 2018

Ibnu Katsir. Tafsir al Qur’ani al Adzim, jilid 1 hal 43. Darul Kutub al Ilmiyah 2006 M. 

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 363 Shihab, M. Quraish. (2013). Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. eds. Abd.SyakurDj. Tangerang: Lentera Hati.)


#ppgpai2019


Tidak ada komentar:

Posting Komentar