URAIAN
MATERI
Pada
zaman Nabi Saw para sahabat tidak membutuhkan suatu pendekatan atau metode
khusus dalam memahami ayat-ayat al Qur’an, karena segala permasalahan langsung
disampaikan kepada Nabi Saw dan beliau sendiri yang memberikan penjelasan.
Demikian juga pada masa sahabat, mereka adalah orang-orang yang mengetahui
bagaimana al Qur’an diturunkan dan bagaimana Nabi Saw menjelaskan.
Ketika
zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para sahabat, sementara penjelasan
terhadap petunjuk-petunjuk al Qur’an semakin dibutuhkan, maka para ulama’ di
bidang tafsir melakukan ijtihadnya masing-masing untuk melakukan penafsiran al
Qur’an. Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat al
Qur’an adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadist
Nabi Saw maupun atsar.
Dalam
melakukan ijtihadnya, sebagaian ulama’ menggunakan riwayat-riwayat tersebut
sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagaian ulama’ mufassir yang lain menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai
landasan berfikir yang kemudian dilakukan ijtihad sesuai dengan pendapatnya
masing-masing.
Karena
itu ditinjau dari sumbernya,
penafsirannya dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur , Tafsir bi alRa’yi dan Tafsir al Isyari.
1. Pendekatan
Penafsiran Al Qur’an
a. Tafsir
bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an
didasarkan penjelasanpenjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui
riwayat-riwayat pada sunnah, hadist maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an
dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi
al-Matsur disebut juga tafsir bi al-Riwayah, karena didasarkan juga pada
periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw, atsar sahabat dianggap mampu
menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat Nabi Saw dipandang sebagai orang yang
banyak mengetahui al-Qur’an dan bergaul bersama Nabi Saw, demikian juga para
ulama’ di masa tabi’in yang dianggap juga sebagai orang yang bertemu langsung dan
berguru kepada para sahabat.
Karena itu sumber penafsiran bi-alRiwayah ini
dipandang sebagai penafsiran terbaik terhadap al-Qur’an, karena dianggap lebih
terjaga dari kekeliruan dan penyimpangan dalam menafsirkan al Qur’an. Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat
beberapa cara untuk menafsirkan ayat alQur’an, yaitu;
1) Penafsiran
ayat dengan ayat al-Quran yang lain Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat
yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat
yang menafsirkan berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al ikhlas ayat
pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat
berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat pertama surat al
Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan (dijelaskan) lagi oleh ayat
yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al Hasyr ( QS 59;22-24)
yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt:
اَ
و ِبْيَغْ ال ُمِال َ ع ۖ َوُ ه ه لَِ إ َهََٰ لِ إ َ ( ي لَ ِ الهذ ُ اللَّه َوُه
ُ 22 ُ يم ِ الرهح ُنََٰمْ الرهح َوُ ه ۖ ِةَ اد َ لشهه كِلَمْ ال َوُ ه ه لَِ إ َهََٰ
لِ إ َ ي لَ ِ الهذ ُ اللَّه َوُ )ه َ ون ُكِرْشُ مها ي َ ع ِ اللَّه َ ان َحْبُ س
ۚ ُرِ بَكَتُمْ ال ُ بهار َجْ ال ُ يز ِزَعْ ال ُنِمْيَهُمْ ال ُنِمْؤُمْ ال ُم َ ُ )23( السهلَ
ُ وس ُّدُقْال قِال َخْ ال ُ اللَّه َوُه ُ يز ِزَعْ ال َوُهَ و ۖ ِضْرَ ْ الْ َ و
ِ ات َ او َ ي السهم ِ ا ف َ م ُهَ ل ُحِ بَسُ ي ۚ َٰىَنْسُحْ ال ُ اء َمْسَ ْ ( الْ
ُهَ ل ۖ ُرِ وَصُمْ ال ُئِ ار َبْال )24 ُ يم ِكَحْ ال
Artinya
: Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia,
Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang
Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala
Keagungan,
Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang Menciptakan,
Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih
kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana(24).
2) Penafsirat
ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw Ayat-ayat al Qur’an lebih banyak bersifat
mujmal(global) dan untuk dipahami tidak bisa berdiri sendiri, karena itu di
sinilah fungsi hadits Nabi Saw sebagai tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Misalnya ayat tentang perintah sholat yang mujmal tidak menjelaskan tatacara
sholat (S. al Baqarah (SQ 43;43)
َ وا ُ يم ِقَأَو
ة َ الصهلَ ا ( وُ آت َو )43 َ ين ِعِ الرهاك َعَ وا م ُعَكْ ار َ وَ اة َ الزهك
Artinya
Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang
ruku’. Ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh hadits Nabi Saw;
ْ ُ الصهلَة ِتَرَضَ
ا ح َذِإَ ف ، يِلَصُ ي أ ِ ون ُمُتْيَأَ ا
ر َمَ وا ك ُّلَص مُكُرَبْكَ أ ْمُ مهك ُؤَيْلَ و ، ْمُكُدَحَ أ ْمُكَ ل ْ نِذَؤُيْلَف
– ( ُّ يِ ار َخُبْ ال ُ اه َوَر )
Artinya:
Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba waktu
sholat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan dan orang
yang lebih tua di antara kalian menjadi
imam. (HR Bukhori)
3) Penafsirat
ayat al Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw. Untuk mendapatkan informasi lebih luas
perihal maksud-maksud al Qur’an, setelah memahami sunnah Nabi Saw maka
penjelasan para sahabat juga diperlukan, dikarenakan mereka adalah orang-orang
yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana
al Qur’an itu diturunkan. Contoh tafsir
terhadap Surat al Baqarah )QS 2: 3):
....ِبْيَغْال ِ
ب َ ون ُنِمْؤُ ي َ ين ِ الهذ
Artinya (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib… Menurut ibnu abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah
bahwa tafsir dari kata yukminuuna adalah
yushoddiquuna (membenarkan). Dan menurut Makmar yang diriwayatkan dari az Zuhri
yang dimaksud yukminuuna adalah iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan
menurut Abu Jakfar ar Razi dari Rabi’ bin Anas yang dimaksud dengan yukminuuna
adalah yakhsyauna yang berarti takut.1 Contoh Tafsir bi al ma’tsur adalah kitab
Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir
al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir.
b. Tafsir
bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah
Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir
bi al-Ra’yi adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil
penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran di sini sebagai sumber
utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara
kompetensi keilmuannya telah dianggap
telah memenuhi persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat
mufassir.
Istilah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk
membedakannya dengan Tafsir bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti ketika
sahabat melakukan penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat
sebenarnya juga menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam
istilah disiplin ulum Quran, para
sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi alRa’yi, sebab, para
sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi sesudah mereka.
Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi alRa’y juga
memiliki kelebihan dan kelemahan.
Di antara kelebihan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y ini adalah
mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat
dan memahami Quran secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek.
Kendatipun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan.
Kelemahaman pendekatan Tafsir bi al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika
menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga memberikan kesan Quran
tidak utuh dan tidak konsisten.
Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi
al-Ra’y tidak tertutup kemungkinan
menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran terhadap mazhab
atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak
tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam
membatasi pemikiran yang berkembang.
Salah seorang mufassir yang tergolong bi al ro’yi
adalah Abdul Qosim Mahmud al Zamakhsari dalam melakukan penafsirannya beliau
mengemukakan pemikirannya akan tetapi didukung dengan dalil-dalil dari riwayat
(hadis) atau ayat alQur’an, baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu
ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh
riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada riwayat yang mendukung
penafsirannya ia akan mengambilnya dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap
melakukan penafsirannya.
Contoh lain adalah tafsir bi al Ro’yi adalah
penafsiran Sayyid Qutub dalam kitab tafsir Fi Dzilalil Qur’an pada saat
menjelaskan Surat al Fatihah (SQ 1: 4) sebagai berikut :
(4) مَلِكِ يَوْمِ الﱢدينِ Artinya
: Tuhan yang menguasai hari
pembalasan. Ini merupakan 'aqidah pokok
yang amat besar dan mempunyai kesan yang amat mendalam dalam seluruh hidup
manusia, yaitu 'aqidah pokok mempercayai hari Akhirat. Kata-kata "yang
menguasai atau penguasa" membayangkan darjah kuasa yang paling tinggi.
"Hari Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di Akhirat. Ramai
orang yang percaya kepada Uluhiyah Allah dan percaya bahawa Allahlah yang
menciptakan 'alam buana ini bagi pertama kali, namun demikian mereka tidak
percaya kepada Hari Balasan. Keperihalan setengah-setengah mereka telah
diceritakan oleh al- Qur'an. Seperti
pada surat azZumar (SQ 29;28) :
ُ نه اللَّه ُول
ُقَيَ ل َضْرَ ْ الْ َ و ِ ات َ او َ السهم َقَلَ خ ْنَ م ْمُهَتْلَأَ س ْنِئَلَ و
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:
"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka
menjawab: "Allah. Kemudian dalam
surah Qoof (QS . 50:3) menceritakan hal mereka:
ٌ يب ِجَ ع ٌءْيَ
ا ش َذَ ه َ ون ُرِ اف َكْ ال َ ال َقَ ف ْمُهْنِ م ٌرِذْنُ م ْمُهَ اء َ ج ْنَ وا
أ ُبِجَ ع ْلَب
"Bahkan
mereka heran kerana mereka telah didatangi seorang Rasul yang memberi
peringatan dari kalangan mereka sendiri, lalu berkatalah orang-orang kafir:
"Ini adalah suatu perkara yang amat aneh. "Kepercayaan terhadap hari
pembalasan merupakan satu lagi 'aqidah pokok di dalam Islam. Nilai kepercayaan
ini ialah ia meletakkan pandangan dan hati manusia pada sebuah 'alam yang lain
setelah tamatnya 'alam bumi supaya mereka tidak begitu terkongkong kepada
keperluan-keperluan bumi saja dan ketika itu mereka tidak lagi terpengaruh
kepada keperluan keperluan bumi, juga supaya mereka tidak begitu gelisah untuk
mendapatkan balasan dan ganjaran dari hasil usaha mereka dalam usia mereka yang
pendek dan di 'alam bumi yang terbatas ini dan ketika itu barulah mereka dapat
berbuat amalan-amalan semata-mata kerana Allah dan sanggup menunggu ganjarannya
mengikut bagaimana yang ditentukan Allah sama ada di 'alam bumi ini atau 'alam
Akhirat.
Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’yi
di atas menjadi jelas bahwa mereka tidak meninggalkan riwayat dan bukan
semata-mata menafsirkan al Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Kitab tafsir yang
lain misalnya Tafsir bi al-ra’yi adalah
kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan Tafsir Anwar atTanzil wa Asrar at-Ta’wil
karya al-Baidhawi.
c. Tafsir
al Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan
yang berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan menurut istilah
suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Quran dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.5
Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan
kandungan al Qur’an melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang
tersurat dan tersirat.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
dalam tafsir bi al-Isyarah terdapat
upaya penarikan makna ayat didasarkan
pada kesan yang ditimbulkan lafazh ayat,
di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan
pikiran, hal itu dilakukan tanpa
mengabaikan atau membatalkan makna secara lafazh.
Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah
:7 1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual)
al-Qur’an. 2. Penafsirannya didukung
atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio. 4.
Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki
Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu. 5. Penafsirannya tidak
terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz. Misalnya penafsiran
al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) :
َ ين ِتِ ان َ ق
ِ ه ِ وا لِلَ ُ وم ُقَ و َٰىَطْسُوْ ال ِة َ الصهلَ َ و ِ ات َوَ ى الصهل َلَ وا ع
ُظِ اف َح
Peliharalah sholat dan sholat wustho serta tegakkan
untuk Allah karena ketaatan Al Alusi menafsiri shalat al-wustha pada ayat di
atas dengan penjelasan lima macam shalat sebagai berikut:
إن الصلوات خمﺲ
صلَة السر بشهود مقام الغيب، وصلَة النﻔﺲ بخمودها عن دواعى الريب، و صلَة القلب بمراقبته
أنوار الكشﻒ، وصلَة الروح بمشاهدة الوصل، وصلَة البدن بحﻔﻆ الحواس وإقامﺔ الحدود.
Artinya :
Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Shalat sirr dengan menyaksikan maqam
ghaib, 2) shalat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat
mengundang keragu-raguan, 3) Shalat qalb, dengan senantiasa berada dalam
penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) shalat ruh dengan
menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan dengan Allah); 5) Shalat badan dengan
cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuanketentuan hukum Allah. Bila dilihat dari terminologis yang
digunakan, maka sebenarnya al-Alusi memahami shalat al-wustha cenderung dengan
pendekatan sufistik.
2. Metode
Penafsiran Al Qur’an
a.
Metode Tahlili (Analisis)
Metode Tahlili adalah
suatu metode dalam menjelaskan ayat al Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi
ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan
dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing
mufassir terhadap aspekaspek yang ingindisampaikan, misalnya menjelaskan ayat disertai aspek qira’at,
asbabu al- nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya, contoh kitab
tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam
al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir alQur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan
kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi. Berikut adalah contoh
penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al Ahzab ayat 30 :
َ ( لَ ع َكِلَ ذ
َ ان َكَ و ِنْيَﻔْع ِ ض ُ ابَذَعْ ا ال َهَ ل ْﻒَ اع َضُ ي ٍﺔَ نِيَبُ م ٍﺔَشِ اح
َﻔِ نه ب ُكْنِ م ِتْأَ ي ْنَ مِ يِ النهب َ اء َسِ ا ن َي )30 يراا ِسَ ي ِ ى اللَّه
Hai istri-istri Nabi,
siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya
akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian
itu mudah bagi Allah.
Allah Swt. berfirman
menasihati istri-istri Nabi Saw. yang telah memilih Allah dan Rasul-Nya serta
pahala di negeri akhirat, selanjutnya mereka tetap menjadi istri Rasulullah
Saw. Maka sangatlah sesuai bila diceritakan kepada mereka ketentuan hukumnya
dan keistimewaan mereka yang melebihi wanita-wanita lainnya.
Disebutkan bahwa barang
siapa di antara mereka yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata. Menurut Ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji
ini ditakwilkan dengan makna membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis
apa pun, maka ungkapan ayat ini hanyalah semata-mata andaikan, dan makna
andaikan itu tidak berarti pasti terjadi. Pengertiannya sama dengan firman
Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:
َ كُلَمَ نه ع َطَبْحَيَ
ل َتْكَرْشَ أ ْنِئَ ل َكِلْبَ ق ْنِ م َ ين ِ ى الهذ َلِإَ و َكْيَلِ إ َيِ وح ُ أ
ْدَقَلَو
Dan sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, "Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalanmu. (Az-Zumar: 65), Seperti
yang ada dalam ayat lain yang menyebutkan:
َ ون ُلَمْعَ وا
ي ُ ان َ ا ك َ م ْمُهْنَ ع َطِبَحَ وا ل ُكَرْشَ أ ْوَلَو
Seandainya mereka
mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka
kerjakan. (Al-An'am: 88)
َ ين ِدِ اب َعْ
ال ُ وهل َ ا أ َنَأَ فٌدَلَ و ِنَمْ لرهح ِ ل َ ان َ ك ْنِ إ ْلُق
Katakanlah, "Jika
benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang
mula-mula memuliakan (anak itu).” (AzZukhruf: 81), Dan firman Allah Swt.:
ه ُ هَقْ ال ُدِ
اح َوْ ال ُ اللَّه َوُ ه ُهَ ان َحْبُ س ُ اء َشَ ا ي َ م ُقُلْخَ مها ي ِ ى م َﻔَطْ
داا لَص َلَ و َذِ تهخ َ ي ْنَ أ ُ اللَّه َ اد َرَ أ ْوَل ار
Kalau sekiranya Allah
hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di
antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Mahasuci Allah. Dialah Allah
Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Az-Zumar: 4)
Mengingat
kedudukan istri-istri Nabi Saw. tinggi, maka sesuailah jika ada seseorang dari
mereka melakukan suatu dosa, dosa itu akan diperberat demi menjaga kehormatan
mereka dan kedudukan mereka yang tinggi. Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya: Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka
dua kali lipat. (Al-Ahzab: 30) Malik
telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna firman-Nya:
niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. (AlAhzab:
30) Yakni siksaan di dunia dan akhirat.
Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu AbuNajih, dari Mujahid.
يراا ِسَ ي ِ ى اللَّه َلَ ع َكِلَ ذ َ ان َكَو
Dan adalah yang demikian
itu mudah bagi Allah. (Al-Ahzab: 30)
Maksudnya, teramat mudah dan gampang.
b.
Metode Ijmali (Global)
Metode ijmali adalah
metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna yang
bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Di sini
mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan panjang
lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin
alMahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir
al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah. Berikut adalah contoh
penafsiran dalam kitab Tafsir Jalalai :
(الرحمن الرحيم) أي ذي الرحمﺔ وهي إرادة الخير لْهله صه بالذكر ُ وخ ، يوم الدين) أي الجزاء وهو يوم القيامﺔ ِكِلَ (م
لْنه لَ ملك ظاهراا فيه لْحد إلَ لله تعالى بدليل {لمن الملك اليوم لله} ومن قرأ {مالك}
فمعناه مالك الْمر كله في يوم القيامﺔ أو ﺔ هو موصوف بذلك دائماا {كغافر الذنب} فصح
وقوعه صﻔﺔ لمعرف (إياك نعبد وإياك نستعين)
أي نخصك بالعبادة من توحيد وغيره ونطلب المعونﺔ على العبادة وغيرها (اهدنا الصراط المستقيم)
أي أرشدنا إليه. ويبدل منه : (صراط الذين أنعمت
عليهم) بالهدايﺔ ويبدل من الذين بصلته (غير المغضوب عليهم) وهم اليهود (ولَ) غير (الضالين)
وهم النصارى ، وصلى الله على سيدنا ، ونكتﺔ
البدل إفادة أن المهتدين ليسوا يهوداا ولَ نصارى والله أعلم بالصواب وإليه المرجع والمآب
وحسبنا الله ونعم الوكيل ، ولَ حول ولَ قوة إلَ بالله العلي العظيم . ، محمد وعلى آله
وصحبه وسلم تسليماا كثيراا دائماا أبداا [وعن الشيخ محمود الرنكوسي تﻔسير ألطﻒ ورد
في مختصر تﻔسير ابن كثير مﻔاده أن المغضوب عليهم هم الذين عرفوا الحق وخالﻔوه أما الضالين
فلم يهتدوا إلى الحق أصلَا . دار الحديث]
Dalam penafsiran di atas
tampak sekali dismpaikan secara singkat dan global, misalnya kata ar rahman dan
arrahiim dijelaskan dengan yang memiliki rahmat yaitu yang berkehendak
memberikan kebaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Kemudian berganti kepada
ayat berikutnya.
c.
Metode Muqaran (Komparatif)
Metode Muqaran adalah metode menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki
kedekatan atau kemiripan tema namun
redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya
berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan
sahabat maupun tabi’in. Di samping itu
juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya atau bisa
berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar
diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa
berupa perbandingan teks lintas kitab samawi (seperti Al Qur’an dengan Injil/Bibel,
Taurat atau Zabur).
d.
Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode Maudhu’i adalah
metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu.
Metode ini kelebihannya mampu menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat
waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, membuat pemahaman menjadi utuh.
Namun kekurangannya seringkali dalam memenggal ayat yang memilki permasalahan
yang berbeda sehingga membatasi pemahaman ayat. Adapun langkah-langkah yang
harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran metode
maudhu’i adalah:
a. Menetapkan
masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada
persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang
mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b. Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab
nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat
tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).
d. Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e. Melengkapi
pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
f. Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayatayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum)
dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang apada
lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara tanpa
perbedaan dan pemaksaan.
Referensi :
Fahd
Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al - Tafsir wa Manahijuhu , (Maktabah al-Tawbah, 1419
H), 60
M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an; Editor Abd. SyakurDj., Tangerang:
Lentera Hati, 2013, h. 373
Abd
Wahid : Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali. JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI
No. 2, Juli 2010
Muhammad
Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (ttp., tp., 1396H./1976M), Jilid
II, Cet. Ke-2, hal. 352
Muhammad
Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu al-Qur’an… Ash-Shabuniy, Muhammad Ali. (1999).
Studi Ilmu al-Qur’an, alih Bahasa, Aminudin, Bandung: PustakaSetia., hal. 248
Avif
Alfiyah. Kajian Kitab Al Kasyaf Karya Zamakhsyari , Al Furqan: Jurnal Ilmu Al
Quran dan Tafsir, Volume 1 Nomor 1 Juni 2018
Ibnu
Katsir. Tafsir al Qur’ani al Adzim, jilid 1 hal 43. Darul Kutub al Ilmiyah 2006
M.
M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 363 Shihab, M. Quraish. (2013). Kaidah
Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-ayat al-Qur’an. eds. Abd.SyakurDj. Tangerang: Lentera Hati.)
#ppgpai2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar