Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 23 Juni 2019

MODUL AL-QUR'AN KB 1 PPG PAI


MODUL AL-QUR’AN KB 1

URAIAN MATERI 

1.    Tafsir

Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara - yufassiru - tafsiir yang berarti menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermaknaal idhah (menjelaskan), albayan (menerangkan), al-kasyf  (mengungkapkan). Sedangkan secara terminology terdapat beberapa pendapat, salah satunya menurut Dr. Shubhis Shaleh yang mendifinisikan tafsir sebagai berikut :
  

Artinya: Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmahhikmahnya.
 
Definisi lain tentang tafsir  dikemukakan oleh Ali al-Shabuniy bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.

Pendapat lain senada disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.

Demikian juga menurut Syekh al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz tersebut.

Al Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk dari Allah Swt sebagai pencipta bagi segenap manusia; petunjuk hidup di dunia dan petunjuk untuk mendapat keselamatan dan kebahagiaan di akherat. Petunjuk tersebut penting dipahami dan dijelaskan kepada manusia. Untuk menjelaskan isi kandungan al Qur’an dibutuhkan sebuah alat yang disebut ilmu tafsir, di mana merupakan perangkat yang diperlukan dalam memahami ayat-ayat pada setiap surat dalam al-Qur’an. 

Dalam melakukan penafsiran al Qur’an seorang mufassir  dituntut untuk menjelaskan maksud yang terkandung dari suatu ayat atau beberapa ayat atau surat di dalam al Qur’an. Maksud dari suatu ayat atau surat tersebut dapat dipahami dari susunan bahasanya dan lafadzlafadz yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengan ayat atau surat tersebut, yaitu; kapan, di mana, ada peristiwa apa ketika ayat itu turun, berkenaan dengan apa dan siapa, kondisi masyarakatnya bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi Saw terhadap ayat tersebut. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al Qur’an, di dalamnya membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh, dst. 

Asbabun nuzul yang menjadi latarbelakang turunnya ayat menjadi salah satu komponen yang sangat penting bagi siapapun yang ingin memahami Al-Qur’an. Belum dianggap cukup untuk memahami al Qur’an hanya berbekal bahasa arab saja, apalagi hanya membaca terjemahnya saja. Di sini artinya memperhatikan asbabun nuzul menjadi suatu hal yang penting, yang dikuatirkan akan terjadi kesalahan jika memahami al Qur’an tanpa memperhatikan asbabun nuzul.

Al Syathibi menegaskan bahwa seorang tidak diperkenankan  memahami al Qur’an hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan konteks ayat ketika turun. Namun Demikian perlu diketahui bahwa tidak seluruh ayat al Qur’an diketemukan asbabun nuzulnya melalui riwayat. 

Memahami makiyah dan madaniyah juga akan membatu seseorang ketika akan memahami al Qur’an. Terdapat beberapa manfaat dalam memahami makiyah dan madaniyah, apabila seseorang berupaya memahami ayat al Qur’an :

a) Dapat membantu mempermudah dalam menjelaskan ayat al-Qur’an, dikarenakan  makiyah dan madaniyah terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat saat itu ketika ayat-ayat al Qur’an diturunkan.
b) Melalui gaya bahasa yang berbeda pada ayat  makiyah dan madaniyah  akan membatu dalam memahami ayat al Qur’an, sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat.
c) Dengan memahami makiyah dan madaniyah akan lebih mudah mengkaitkan dengan aspek sejarah hidup Nabi Muhammad Saw .

Demikian juga penting memahami seluk beluk ilmu qiraat, di mana dimulai sejak para sahabat membaca qiraat tersebut. Sebagaimana dalam hadist shohih diceritakan bahwa  suatu ketika di masa hidup Rasulullah saw , Umar bin Khattab sholat menjadi makmum  dan mendengar bacaan Hisyam bin Hakim  membaca Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang bermacam-macam yang tidak sama dengan bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw, sehingga hampir saja Umar  menyeretnya ketika dia sedang salat. Namun Umar berusaha bersabar menunggunya hingga selesai salam. Setelah Hisyam selesai salat, Umar menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang membacakan surat kepadamu denga bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab; Rasulullah Saw yang membacakan kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata Umar”  Sungguh Rasulullah Saw membacakan padaku Tidak seperti apa yang kamu baca. Kemudian Umar membawanya untuk menghadap Rasul,  di mana setelah keduanya  membaca surat al Furqan kemudian Rasulullah Swt membenarkan bacaan keduanya, sambil bersabda “ Seperti itulah bacaan al Qur’an diturunkan.

Dalam hal qiraat tersebut tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan al qur’an dari segi dialek saja, namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap perbedaan makna lafadz , sehingga menjadi penting memahaminya bagi seorang mufassir.

Di antara manfaat memahami perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah dapat mengetahui adanya dua hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.


“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” 
Ayat ini oleh oleh beberapa imam qira’at dibaca "yattohharna". Kata "yathurna" berarti wanita haid boleh didekati apabila berhenti haidnya.  Sedangkan bacaan "yattohharna" menunjukkan makna bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah mereka mandi. Dari dua qira’at ini   dapat dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan telah mandi.   Demikian juga dalam memahami qira’at yang memiliki dua wajah seperti pada surat  Al Maidah: 6  dalam kaitannya dengan wudhu:


“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” Kata (wa arjulakum) yang dibaca fathah lamnya    sebagian imam lain membaca dengan mengasrah lam (wa arjulikum)  yang  dari dua qira’at ini   dapat dipahami bahwa salah satu rukun wudhu adalah membasuh kaki, tetapi membasuh kaki dapat  dirubah dengan mengusapnya bagi orang yang memakai khufah (semacam sepatu pada zaman dahulu) bagi orang yang sedang safar.  

Pengetahuan seperti itu, tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak mengenal tentang ilmu qira’at.  Demikian juga pada sebagaian lafadz-lafadz lain yang memiliki beberapa qira’at. Karena itu pengetahuan Ulumu al Qur’an tersebut digunakan seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an agar di dalam penafsirannya dapat terhindar dari kemungkinan terjadi kesalahan. Karena itu seseorang mufassir dalam menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki penguasaan di bidang ulumu al-Qur’an sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ tentang syarat-syarat mufassir, yaitu penguasaan bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan terhadap ulumu al Qur’an. 

2.    Takwil

Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-takwiil yang memiliki makna al-ruju’ atau al’aud yang berarti kembali. Berkaitan dengan kata  ini al Qur’an beberapa kali menggunakan kata takwil dalam menjelaskan maksud dari sebuah pristiwa atau kisah, misalnya pada kisah Nabi Yusuf as (QS:12;100) dalam menjelaskan pristiwa tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepadanya dinyatakan dengan kalimat haadzaa takwiilu rukyaaya min qobl  qod ja’ala robbii haqqo…( ini adalah takwil mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi kenyataan).

Demikian juga pada surat al Kahfi (78) tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi ilmu dari sisi-Nya mengatakan  kepada Nabi Musa as dengan kalimat sa unabbi uka bitakwiili maalam tastathi’ alaihi sobro (aku akan menjelaskan takwil sesuatu yang engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya). Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam al Qur’an, maka secara terminologi al Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi takwil sebagai berikut:


Memalingkan lafadz dari maknanya yang lahir kepada makna yang dikandung oleh lafadz tersebut selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan al qur’an dan al sunnah.

Misalnya dalam memahami kalimat   يخرج الحي من الميت (mengeluarkan kehidupan dari yang mati) misalnya, bisa dipahami dalam pengertian mengeluarkan seekor ayam yang menetas dari telur. Makna tersebut adalah tafsir. Tetapi, ia bisa juga dipahami dengan jalan takwil, yakni mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran atau mengeluarkan yang pandai dari kebodohan.1  Melihat penjelasan  di atas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya takwil dilakukan dalam rangka memahami ayat yang berarti juga disebut tafsir. Makna takwil dalam teks Alquran dan hadis sejak lama telah diperdebatkan di kalangan para ulama. Dalam tradisi tafsir memahami Alquran bisa dilakukan dengan menggunakan tafsir dan juga dengan takwil yang benar.

3.    Terjemah

Terjemah diambil dari bahasa arab dari kata tarjamah. Bahasa arab sendiri memungut kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu turjuman.2 Kata turjuman sebentuk dengan kata tarjaman dan tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain.3 Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Secara etimologi berarti juga‚ memindahkan lafal dari suatu bahasa kedalam bahasa lain.

Dalam hal ini seperti memindahkan atau mengartikan ayat-ayat al-Qur’an yang berbahasa Arab diartikan kedalam bahasa Indonesia. Adapun secara terminologi didefinisikan sebagai berikut;


Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan tersebut. 

Ash-Shabuni mendefinisikan terjemah al Qur’an adalah memindahkan bahasa alQur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab kemudian mencetak terjemah ini ke beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.

Penerjemahan dibagi menjadi dua; terjemah lafdziyah dan terjemah tafsiriyah.

a.     Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz- lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
b.    Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib katakata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.

Membaca terjemah sebuah ayat al Qur’an dapat membantu pembaca untuk memahami maksud ayat tersebut, namun demikian membaca terjemah saja tanpa memahami seluk beluk bahasa al Qur’an yakni bahasa arab seringkali menjadikan pemahaman terhadap ayat tersebut kurang sempurna, atau bahkan dikuatirkan terjadi kesalahpahaman.

Kesalahpahaman  terhadap pembacaan terjemah secara umum dapat disebabkan beberapa hal;
1)   Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemah  secara tepat  atau utuh ke dalam bahasa lain. Ini dikarenakan  setiap bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing. Contoh kata; anta dan anti( mudzakkar dan muannats) tidak dapat diterjemah secara utuh dengan kata kamu, anda atau  engkau. Demikian juga misalnya kata insanun dan basyarun tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.
2)   Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang tepat dan keterbatasan penerjemah dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.
3)   Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan membentuk karakteristik bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa arab memiliki jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah.

Pola memiliki dua jumlah tersebut tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Karena itu apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam penterjemahan al Qur’an  belum dapat dikatakan  mampu mewakili seluruh maksud ayatayatnya. Apalagi bahwa al Qur’an itu adalah kalamullah yang memiliki keagungan dalam bahasa dan kandungannya, maka terasa tidak mungkin sebuah terjemahan al Qur’an mampu menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. 

Namun demikian bukan berarti terjemah al Qur’an tidak penting, akan tetapi adanya terjemah al-Qur’an sekedar membantu untuk melakukan tadabbur (renungan) khususnya bagi bangsa ‘ajam (non arab) yang tidak memiliki kemampuan bahasa arab secara baik. Selain itu, untuk mengurangi keterbatasan bahasa maka dilakukan terjemah tafsiriyah atau maknawiyah sebagaimana telah dijelaskan di atas.
  
4.    Muhkamat dan Mutasyabihat.

Kata Muhkam dari segi etimologi berasal dari akar kata hakama-yahkamu-hukman berarti menetapkan, memutuskan, memisahkan. Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi ahkama-yuhkimu-ihkaam yang berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan memisahkan antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang hak dan yang batil, antara benar dan salah. 

Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada  kesamaan antara dua hal.  Menurut Manna’ Al-Qaththan secara terminologi muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedang mutashâbih adalah ayat yang pada hakekatnya hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak makna, dan membutuhkan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.4 Ayat al-Qur’an yang seringkali digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan  muhkamat dan mutasyabihat tercantum pada  surat ali Imran (QS 3:7) :


Artinya: Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada aya-tayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Ayat Alquran tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat itu. Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihaat bisa ditakwil seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang boleh ditakwil itu pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang berhak melakukannya.

Karena takwil itu sesuatu yang sulit, maka diperlukan syarat keahlian tertentu, antara lain pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab. Takwil dapat dilakukan dengan syarat tetap memperhatikan kaidah kebahasaan dan tidak hanya mengandalkan akal (ra’yu) saja. Karena dengan takwil akan memudahkan dalam mencerna dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman sekarang dan akan datang.

Menurut Al-Raghib al-Isfahani dalam kitab Mufrad fii alfaadzi al Qur’an mengemukakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kata dan kosa katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir tidak saja digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya.

Penggunaan takwil bukan berarti tanpa kaidah dan dasar-dasar keilmuan dan juga hanya diterapkan teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu. Takwil bisa diterima selama kandungan yang ditentukan untuk memaknai susunan kata dalam suatu ayat telah dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya Alquran. Walaupun pada periode berikutnya, maksud kata dikenal secara luas bisa dimaknai lain, yakni selama pesan yang digunakan untuk ayat yang ditakwil itu dipahami dari akar kata redaksi bahasa ayat itu. 

Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata Thayran (طيرا) pada surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang terambil dari kata thaara “yathiiru” berarti terbang kemudian beliau memahami kata tersebut dengan sejenis virus atau bakteri yang beterbangan.

Pada ayat yang berbicara tentang dzat Allah yang tercantum pada surat al Nuur  الله  نورالسماوات والَرض (Allah adalah cahaya langit dan bumi) dengan tujuan agar dzat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai dengan ayat: ليس كمثله شيئ... (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya) (QS. Asy-Syura [42]: 11. Pada penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan Prof. Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam Tafsir 

Al - Mizan menakwilkannya sebagai kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol dengan baik. Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.  

Refrensi Bacaan :

Didawi, M (1992). Ilmut Tarjamah bainan Nazhariyah wa al-Tathbiq. Tunis: Darul Maarif li ath Thabaah wa al Nasyr. Hal;37

M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur‟an, Jilid 2,  (Jakarta: Lentera Hati, 2011), 554.

Manzhur, I.( 1300 H) Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir :66

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1995), 91

Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum ..., 208 5 . Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an Menurut Mutazilah,

Terjemahan oleh Abdurrahman dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), 209.

SUMBER :


#PPGPAI2019


Tidak ada komentar:

Posting Komentar