MODUL AKIDAH KB 1
URAIAN MATERI
A. Pengertian
Al-Asmā Al-Husnā
Nama-nama Allah yang
Indah atau Al-Asma al-Husna secara
bahasa terdiri dari dua suku kata, yaitu al-asmā dan al-husnā. Kata asmā
merupakan bentuk jamak dari mufrad (tunggal) ism yang berarti nama diri atau
lafẓun yu’ayyinu syakhṣan au ḥayawānan au syaian (nama diri seseorang,
binatang, atau sesuatu), sedangkan al-husnā berarti yang paling bagus, baik,
cantik, jadi secara bahasa al-Asmā' al- Ḥusnā berarti nama-nama yang terbaik.
Namun secara langsung,
Atabik Ali dan Zuhdi Muhdlor dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia mengartikan
al-Asmā' al-Ḥusnā dengan nama-nama Allah yang berjumlah 99 (sembilanpuluh Sembilan). Istilah ini diambil dari beberapa ayat
al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah mempunyai berbagai nama yang terbaik,
melalui nama itu, umat Islam bisa mengetahui keagungan Allah dan menyeru dengan
nama-nama tersebut ketika berdo’a atau mengharap kepada-Nya.
Selain itu, kata al-ḥusnā
menunjukkan bahwa nama-nama yang disandang Allah menunjukkan sifat-sifat yang
amat sempurna dan tidak sedikitpun tercemar dengan kekurangan. Sebagai contoh,
bagi manusia kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi seperti
otot-otot yang berfungsi dengan baik, dengan kata lain manusia membutuhkan hal
tersebut untuk memiliki kekuatan, dengan meneladani Allah Yang Maha Kuat
(al-Qawiyyu).
Bekenaan dengan jumlah
bilangan al- Asmā' al-Ḥusnā, para ulama yang merujuk kepada al-Qur’an mempunyai
hitungan yang berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan oleh Pakar Tafsir dari
Indonesia, Muhammad Quraish Shihab,
bahwa al-Thabathabai dalam tafsirnya
AlMīzān menyatakan bahwa jumlah al-Asmā' al-Ḥusnā itu ada sebanyak 127 (seratus dua puluh tujuh) nama. Ibnu Barjam al-Andalusi lebih sedikit
banyak dari al-Thabathabai menyebutkan dalam karyanya Syarh al-Asmā' Al-Husnā
dengan menghimpun 132 nama populer
yang termasuk dalam al-Asmā' al-Husnā.
Al-Qurthubi
dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ia menghimpun dalam bukunya Al-Kitab al-Asna
fī Syarh al-Asmā' al-Husnā, hingga mencapai lebih dari dua ratus (200) nama, baik yang sudah disepakati,
maupun yang masih diperselisihkan dan yang bersumber dari ulama-ulama
sebelumnya. Adapun Riwayat yang populer menyebutkan bahwa bilangan al-Asmā' al-Ḥusnā
adalah sembilan puluh sembilan. Pada subbab di bawah ini, akan dipaparkan empat
al-Asmā' al-Ḥusnā saja dari sembilanpuluh Sembilan, yaitu Allah, alRahman,
al-Rahim, dan al-Malik.
B. Konsep Al-Asmā'
Al-Husnā Tentang Allah
Sebagian ulama Islam
berpendapat bahwa kata “Allah” berasal dari kata al-Ilāh. Kata al-Ilāh berarti
menyembah (abadu). Kata al-Ilāh juga dapat diderivasi dari kata alih yang
berarti ketenangan, kekhawatiran dan rasa cinta yang mendalam. Ketiga makna
kata alih mengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengagungkan.
Selain itu, kata Allah
bisa dilacak dari kata ilāhun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai
pecahan dari kata laha-yalihu-laihan, yang berarti Tuhan yang Maha Pelindung,
Maha Perkasa. Ilāhun, jamaknya ālihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha,
yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilāhun
artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang
mengabdi’, atau hamba atau budak.
Dalam kamus besar bahasa
Arab Lisān Al-‘Arab karya Ibn Manzhur, kata kata ilāhun masih umum, ketika
ditambah dengan lam ma‘rifah, maka menjadi Al-ilāhun yang tiada lain adalah
Allah Swt, yaitu zat yang disembah oleh semua selain-Nya, jamaknya ālihatun.
Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi.
Quraish Shihab mengatakan
kata Ilāh disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam
bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk jamak disebut ulang sebanyak 34
kali. Kata ilāh (tanpa dhamir) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali.
Dalam al-Quran kata ilāhun juga dipakai untuk menyebut berhala, hawa nafsu,
ataupun dewa-dewa. Semua istilah tersebut dalam al-Quran menggunakan kata
ilāhun, jamaknya ālihatun. Allah Swt. menyatakan hawa nafsu yang diikuti orang
kafir sebagai ilāhun (QS. AlFurqan, 25: 43).
Allah Swt. menyatakan
sesembahan orang musyrik sebagai ilāhun (QS. Hud, 11: 101). Kata ilāhun dan
rabbun sesungguhnya warisan bahasa Arab Kuna yang dipertahankan penggunaannya
dalam al-Quran, sebagaimana contoh di atas. Orang-orang Arab sebelum Islam,
memahami makna kata ilāhun sebagai dewa atau berhala, dan mereka gunakan dalam
percakapan sehari-hari. Apabila orang Arab Jahiliyah menyebut dewa cinta, maka
mereka mengatakan ilāhun al-ḥubbi, dan ilāhatun al-ḥubbi untuk menyebut dewi
cinta.
Kaum penyembah berhala
(animisme), atau aliran kepercayaan di zaman kita sekarang, sebagaimana
orang-orang Arab jahiliyah, menganggap tuhan mereka berjenis kelamin, laki dan
perempuan. Kata pertama yang dicatat sejarah dalam pengekspresian ketuhanan
adalah kata ilāhah. Kata ini
merupakan nama bagi dewa matahari
yang disembah oleh masyarakat Arab. Kata ilāhah selanjutnya digunakan untuk
mengekspresikan sifat-sifat matahari. Salah satunya adalah kata ulāhah yang berarti terik matahari yang panas. Kata ilāhah juga
tidak lepas dari makna keagungan, ketundukan dan bahkan penyembahan.
Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Manzhur bahwa masyarakat menamakan matahari dengan
ilāhah karena mereka menyembah dan mengagungkan matahari. Dapat disimpulkan
bahwa kata ilāh pada awalnya berasal dari kata wilāh (ولاه), yang berarti
ketundukan, pengagungan, dan ungkapan penghambaan. Selanjutnya dari kata wilāh
(ولاه) diderivasikanlah kata ilāhah yang menjadi nama bagi dewa matahari. Nama
dari dewa matahari tersebut selanjutnya berevolusi menjadi kata Allah.
Menurut Ahmad Husnan,
kata Ilāh yang berbentuk kata Allah mempunyai arti mengherankan atau
menakjubkan, karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila
dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang
hakikat zat yang Maha Agung itu.
Apapun yang terlintas di
dalam benak menyangkut hakikat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu
sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan,
“Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentang
zat-Nya”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata “Allah” terulang dalam al-Quran
sebanyak 2.698 kali. Ada yang berpendapat bahwa kata "Allah"
disebutkan lebih dari 2679 kali
dalam alQuran. Sedangkan kata "Tuhan"
dalam bahasa Arab adalah Ilāh disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini
dalam bentuk tatsniyah 2 kali
dan ālihah dalam bentuk jama'
disebut ulang sebanyak 34 kali. Hal
ini juga menjadi refleksi dari tauhid Uluhiyah dimana kita mengesakan Allah
dengan ibadah, dimana tidak menjadi hamba bagi selain-Nya, tidak menyembah
malaikat, nabi, wali, bapak-ibu, kita tidak menyembah kecuali Allah semata.
Ibadah kepada Allah
berpijak kepada dua hal, yaitu cinta dan pengagungan. Dengan kecintaan akan
memunculkan keinginan untuk melaksanakan dan pengagungan akan timbul rasa takut
dan khawatir akan dicampakkan, dihinakan dan disiksa-Nya. Kata “Allah” merupakan
nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan
Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam,
selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa
kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk
kekurangan, kata Allah juga merupakan nama bagi zat yang wajib wujud yang
berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian. Sedangkan kata ahad merupakan
sifat bagi ketunggulan yang senantiasa abadi dalam keesaannya.
Ibnu al-‘Arabi (560-638
H) menyebut dan membedakan Tuhan yang dipercayai manusia saat ini meliputi
“Tuhan kepercayaan” (ilāh al-mu’taqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilāh
al-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al- ilāh fī al-i’tiqad) “Tuhan
Kepercayaan” (al-haqq al-i’tiqad), Tuhan yang dalam kepercayaan” (al-haqq
al-ladzī fī almu’taqad) dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq
a-Makhlūq fī al-i’tiqad). Allah Swt dalam pandangan Islam adalah Allāh Aḥad,
bermakna bahwa Tuhan esa dalam segala aspek, dan tak pernah sekalipun
mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi, sebagai mana yang ada dalam
genus dan karakter, ataupun pluralitas yang real, sebagai mana yang nampak
dalam dunia materi.
Keesaan ini juga menegasikan
dan mensucikan Tuhan dari hal-hal yang mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki
bentuk, kualitas, kuantitas, warna dan segala jenis gambaran akal yang mampu
merusak kebersahajaan yang satu. Demikian juga, Ahad mengindikasikan bahwa tak
ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Tuhan Yang
Maha Esa merupakan titik lokus utama ajaran agama Islam dalam segala aspeknya,
termasuk akidah dan kalam atau teologi.
Oleh karenanya tidaklah
berlebihan, jika khususnya umat Islam Indonesia wajib menjaga Konstitusi
Pancasila. Karena semua sila yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan
ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah, terutama
Sila Kesatu, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Konsep Tuhan merupakan konsep
yang mendasar bagi setiap agama yang ada, tak terkecuali dengan Islam. Dari
konsep Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa tersebut, lahirlah konsep-konsep
Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian,
konsep tentang Mu’jizat, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep
penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya.
Dikarenakan begitu
sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun,
tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan. Tuhan diartikan oleh Kamus Besar Bahasa
Indonesia dengan pengertian sebagai sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah
oleh manusia sebagai Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya. Konsepsi
teologi Islam tentang ketuhanan terangkum dalam QS. al-Nās/114: 1-3:
Katakanlah: "Aku
berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia; Raja manusia;
Sembahan manusia (QS. al-Nas/114: 1-3).
Berdasarkan penjelasan
dalil naqli di atas, konsep ketuhanan dalam teologi Islam dikenal dengan tiga
istilah, yaitu: Rab (Pemelihara), Malik (Raja), dan Ilāh (Sesembahan). Kesemua
sebutan tersebut untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Kata "Allah" dalam al-Qur'an terulang sebanyak 2697 kali.
Belum lagi kata-kata semacam wahid, ahad, al-Rabb, Al-Ilāh atau kalimat yang
menafikan adanya sekutu bagi-Nya dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum
atatu kewajaran beribadah kepada selainNya serta penegasian lain yang semuanya
mengarah kepada penjelesan tentang tauhid.
Menurut konsep Islam
Tuhan adalah Zat yang Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa. Ia adalah Pencipta yang
Maha Kuasa dan Maha Tahu. Dia abadi yang menentukan takdir dan hakim semesta
Alam, Tuhan dikonseptualisasikan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa, hal ini tercantum
dalam surat Q.S. Al-Ihlas Menurut Maulana Muhammad Ali, Islamolog asal Lahore
Pakistan, kata nama Allah merupakan isim jamid, tak digubah dari perkataan
lain. Konsep Tuhan dalam Islam bersifat Esa, merupakan keunikan dan final
sesuai dengan Pancasila, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama
lain, seperti; Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, meskipun sama-sama
meyakini Ketuhanan. Hal tersebut juga berbeda dengan konsep Tuhan dalam tradisi
filsafat Yunani maupun dengan tradisi mistik Timur dan Barat. Sebagaimana yang
telah djelaskan Syed Naquib al-Attas bahwa:
“The
nature of God Understood in Islam is not the same as the conceptions of God
Understood in the various religious traditions of the world; nor is it the same
as the conceptions of God understood in Greek and Hellenistic philosophical
tradition; nor as the conceptions of God understood in Western philosophical or
scientific tradition; nor in that of Occidental and Oriental mystical
traditions”.
Konsep Tuhan dalam Islam
otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang juga bersifat otentik
dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah Yang Maha Esa, Shalih fi kulli zaman wa
makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Al-Attas menjelaskan “The nature of
God as revealed in Islam is Derived from Revelation”. Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”.
Bukan Tuhan hasil personifikasi, sebagaimana agama lain melakukannya sebagai
juru penyelamat dengan beragam manifestasi namanya, maupun sebagai penebus
dosa, Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Ruh Qudus dan sebagainya.
Bukan pula seperti Tuhan
dalam konsepsi Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan
penggerak yang tidak bergerak, Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang
berari bahwa ketika manusia tidak berfikir Tuhan, maka Tuhan itu tidak
ada. Tuhan adalah Dzat yang transenden
dan mutlak, yang sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak tepat
manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai
personifikasi ataupun atribusi kepada Allah Yang Maha Esa sebagai Dzat Pencipta
makhluk.
Istilah nama Allah
sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam.
Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat
menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak
terdapat problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun,
dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan “Allah”.
Hal ini dikarenakan nama
Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an,
dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili).
Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan
soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal, yaitu Tuhan umat Islam adalah
Allah Yang Maha Esa tiada berbilang.
Allah SWT, merupakan kata agung (Lafadz al-Jalalah), nama diri (Ism
Al-Dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya.
Kata itu tersusun dari
empat huruf, yaitu : alif, lam, lam, ha. Jika huruf pertama, alif dihilangkan,
tiga huruf lainnya merupakan simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam
nyata (dunia) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur
(barzakh) dan surga; akhirat (akhirah). Huruf pertama, alif, merupakan smuber
segala sesuatu, dan huruf terakhir, ha (Dia), adalah sifat Allah yang paling
sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu.
Secara kebahasaan, kata
Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal
dari bahasa Aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang disembah)
dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan
penambahan huruf Alif dan lām di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka
kata Allah dari kata al-ilāh dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka
Kuasa, dan Pencipta Alam semesta yang tiada sekutu bagi-Nya. Kata Allah adalah
satu-satunya Ism ‘Alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat
yang Maha Suci.
Konsep Allah juga telah
ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu menerangkan masalah makna
relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus.
Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini
terlihat orang-orang Arab pra-Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana
yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra-Islam yang
menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri.
Di sini tentu saja
“Allah” berarti Tuhan dalam konsepsi Injil, yang terdiri atas beberapa aknum.
Ketiga, Orang-orang Arab pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi
yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”.
Hal ini terjadi ketika
seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan al-A’sha al-Kabar menulis puisi
pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah ke arah monoteisme. Konsep
Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat
diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan
bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari
langit, tempat menggantungkan harapan.
Tuhan
yang haq dalam konsep al-Qur’an adalah Allah. Hal ini
dinyatakan antara lain dalam surat Ali
Imran ayat 62, surat Shad 35 dan
65, surat Muhammad ayat 19. Dalam
alQur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada
Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud
ayat 84 dan surat al Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana
dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Menurut informasi al-Qur’an, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar
Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi
melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah.
Hal ini berarti konsep
tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Qura’n adalah
esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagian dan tidak
pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian. Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak
dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang
mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha
illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap
tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari
al-Qur’an memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari
Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik
menjalani kehidupan. Allah juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan
selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci, yang maha mulia;
daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali.
Para filsuf dizaman kuno
menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak
pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa
manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari
kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut
istilah-istilah yang mereka tentukan.
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah.
Kata itu mungkin pula
berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang
disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa.
Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu,
maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa,
Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam
atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci.
Nama-nama lain sekaligus
mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti
al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa. Dalam
kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum
Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa
Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan
nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah
al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya
dengan menggunakan kalimat perintah:
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha
Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan.” Surah al-Ikhlash ini
berisi sebagian al-‘asmā al-husnā. Pengertian “Allah Ahad’ adalah Allah itu
satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Abbas
dan sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad
adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Sebagian
filsuf Arab, di antaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian ‘Allah Ahad’’
adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-Nya,
serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya dalam sifat-sifat wajib-Nya.
Dia wajib bersifat ada
dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati, mengubah namun
tidak pernah berubah. Menurut sebagian
pakar bahasa, Allah SWT Berfirman, Qul huwa Allahu Ahad, bukan Qul huwa Allahu
Wahīd, karena kata Wahīd termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin
yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi,
baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifatNya.
Dalam tradisi Ibrani atau Yahudi, Allah disebut dengan nama Yahweh. Kata ini dianggap bukan nama
yang sebenarnya, melainkan berasal dari nama ehyeh atu hayah. Dalam
kitab Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang disebut sebagai Yahweh
dipermasalahkan.
Herlianto mengutip
pernyataan Freedman, menyatakan bahwa ternyata asal-usul nama Yahweh itun tidak
jelas, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan kaum Kenit
yang pagan. Dengan adanya dua kaum tersebut, maka juga ikut mempengaruhi
keberagaman orang Israel, dan menyatakan bahwa nama Yahweh berasal dari luar tradisi Ibrani.
Dari sini nampak bahwa
nama Tuhan dalam tradisi Yahudi masih bersifat spekulasi. Sehingga banyak
menimbulkan kontroversi di antara mereka. Karena nama Tuhan Yahudi masih problematik,
maka kaum Yahudi ortodoks mengambil sikap untuk tidak menggunakan kata Yahweh
sebagai sebutan nama Tuhan mereka.
Sebagai gantinya, Kaum yahudi Ortodoks
menggunakan sebutan Adoney atau Ha Syem.
Akan tetapi penggunaan
nama inipun masih problematik dan menimbulkan kontroversial. Sebabnya, kedua
nama tersebut dalam pengucapannya terkadang disamakan dengan Yahweh, atau
Tuhan, dan pada beberapa tempat tertentu diartikan sebagai Tuan, bukan
Tuhan. Dalam penyebutan nama Tuhan,
ternyata, orang Yahudi tidak hanya menggunakan sebutan Adoney, Ha syem, ataupun
Yahweh. Akan tetapi juga ada sebutan lain untuk Tuhan mereka, yaitu El/Elohim
atau Eolah.
Dalam tradisi Yunani,
nama ini dapat digunakan sebagai nama diri atau nama generik. Kata El, dalam
Al-Kitab Perjanjian lama digunakan untuk sebutan Tuhan orang Israel. Dalam The Interpreters Dictionary of Bible,
kata El, digunakan sebagai sinonim
Yahweh. Adapun kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam
bentuk jamak. Elohim kebanyakan digunakan untuk penyebutan gelar, sementara
Eolah di artitikan sebagai God (Tuhan).
Menurut, Ellen Kristi, untuk mencari kejelasan tentang Yahweh, dapat
ditelusuri dalam Al-Kitab Interlinier (terjemahan langsung) Ibrani-Yunani-Inggris.
Dalam teks aslinya, kata Tuhan ternyata ditulis dalam empat huruf mati
(tetragramaton) saja, yaitu Y-H-W-H.
Karena terdiri atas konsonan semua, tentu saja tetagramaton ini tidak
dapat dibaca.
Namun dari berbagai
sumber informasi, nama tersebut ada yang membaca Yahweh, ada pula yang menyebut
Yehova. Ada yang menyingkat sebutan Yahweh dengan “Yah”. Misalnya pada ungkapan
“Halelu-Yah” (Terpujilah Yah). Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan tersebut,
berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang bermacam-macam. Sebagai
contoh, di negara Arab, umat kristen menyebut Tuhannya dengan Allah, seperti
orang Islam menyebutnya, di Barat umat kristen menyebut Tuhannya dengan God
atau Lord. Dalam pandangan Noorsena, kata Allah, meskipun di lingkungan Kristen
Arab tidak dipahami sebagai “nama diri”, sebutan ini begitu sentral
kedudukannya dalam bahasa Arab.
Jadi, karena dalam
tradisi Kristen, Allah tidak dianggap sebagai nama diri (proper name), maka
mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan berbagai panggilan. Lafadz
Allah dalam tradisi Kristen bukan termasuk ism dzat (nama diri). Buktinya,
masih banyak perdebatan seputar nama Allah sebagai nama Tuhan dalam agama
Kristen. Sebagai contoh, munculnya kelompok yang menamakan diri Gerakan Nama
Suci (Sacred Name Movement), menolak pemakain kata Allah dalam Bible, kemudian
mengganti dengan nama Yahweh. Kelompok ini perpandangan bahwa nama Allah adalah
bukan nama Tradisi Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab
pada abad ke-7 Masehi.
Oleh karena itu, lafadz
Allah yang ada dalam Al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus diganti
dengan Elohim atau Yahweh. Di Indoneisa, gerakan ini mengganti nama Allah
dengan kata Elohim, kata Tuhan di ganti dengan Yahweh dan Yesus di ganti dengan
Yesua Hamsyah. Sebagaimana tradisi Yahudi, tradisi Kristen juga tidak hanya
mengalamai problem dengan nama Tuhan, tetapi juga mengalami permasalahan
ketuhanan Yesus.
Dalam pemikiran Paulus,
ia memperoleh suatu metafisik yang serius. Paulus berpandangan, setiap orang
yang saleh, ia dapat menyatakan seperti apa yang dikatakan Yesus. Yaitu, Aku
dan Bapaku (Tuhan) adalah satu dalam pengertian keserasian total dalam kehendak
Tuhan. Para teolog Kristen pun tidak menolak pemikiran ini, bahkan menerima
begitu saja semua unsur sebagai satu kesatuan yang transenden. Misalnya, dalam
Kitab Kejadian 1:26 menyebut tiga pribadi dalam diri Tuhan. Konsep ketuhanan Kristen ini, kemudian
mengalamai perubahan besar dan mendasar yang kemudian dalam konsili Nicea 325
diputuskan mengenai identitas Tuhan Kristen. Tuhan Bapak, Anak dan Ruhul Qudus
merupakan Tuhan Kristen yang mereka sebut dengan Trinitas.
Trinitas ini pun
dikalangan mereka juga mengalami problem mendasar, yang kemudian lahirlah
Konsili Konstantin pada 381. Dalam konsili ini diputuskan dan di evaluasi
mengenai status Tuhan Kristen. Problem ketuhanan dalam Kristen terus menemukan
problem yang misterius hingga kini.
Konsep Tuhan dalam tradisi Yahudi dan Kristen inilah yang dikoreksi oleh
Islam.
Sayyid Muhammad Behesthi
mengatakan, “Al-Qur’an dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa: tiada Tuhan
selain Allah. Konsep tauhid dalam
Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari
segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak
dinyatakan secara konsisten”. Kekeliruan Yahudi dan Nasrani juga dengan jelas
dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan:
‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah: 18).
Yang dimaksud dengan
kalimat “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”, menurut Imam Ibnu
Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s. Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang
bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan
konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di dalam Al-Qur’an menandakan
bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber dari Allah
sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam AlQur’an.
Berkenaan dengan
al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam merupakan sumber informasi yang benar
yang otoritatif (khabar shadiq). Dengan demikian Konsep Tuhan dalam Islam
jelsjels sempurna, karena bersumber pada kitab suci yang otoritatif. Dalam ajaran al-Qur’an, Allah merupakan Rab
(Tuhan Pemelihara) manusia dan seluruh makhluk di alam raya ini. Muhammad
Ismail Ibrahim di dalam buku Mu’jam al-Alfāzh wa al-A’lām al-Qur’āniyyah
menyebutkan bahwa terdapat beberapa arti kata rabb, di antaranya rabb al-walad,
artinya “memelihara anak dengan memberi makan dan mengasuhnya”, rabb asy-syai’,
artinya “mengumpulkan dan memilikinya”, serta rabb al-amr, “memperbaikinya”.
Adapun al-Rabb adalah
Tuhan dan merupakan salah satu dari nama Allah yang jamaknya arbāb. dalam
bahasa Arab, kata rabb berarti “yang memiliki”, “yang menguasai”, “yang
menjaga”, “yang memelihara”, “yang membimbing”, “yang mendidik”, “yang merubah”. Menurut Izutsu Tuhan (Allah)
dalam al-Qur'an adalah satu-satunya Wujud yang pantas disebut “wujud”, realitas
di mana tidak satupun di seantero dunia ini yang dapat melawan-Nya.
Secara semantik rabb
adalah kata fokus tertinggi dalam kosa-kata al-Qur'an, yang menguasai seluruh
medan semantik, bahkan seluruh sistem. Kata Allah (rabb) ini dilawankan dengan
kata “manusia” (‘abd atau rabbani). Sebab, manusia, sifatnya, perbuatan,
psikologi, kewajiban, dan tujuannya juga menjadi pusat perhatian pemikiran
al-Qur'an.
Dalam hal ini, bagaimana
manusia bereaksi terhadap firman Tuhan menjadi persoalan yang utama. Reaksi
manusia terhadap firman Tuhan sangat beragam. Manusia (al-insan) yang alim dan
selalu taat kepada perintah Allah sebagai reaksi atas firman-Nya di dalam
al-Qur'an di sebut dengan rabbani. Dalam bahasa Arab maupun al-Qur’an istilah
rabbani sama dengan rabbaniyyah, yakni masdar shina’i (masdar bentukan) yang
dinisbatkan kepada rabb yang berarti Tuhan. Rabba berasal رب - يرب
yang berarti:
نشاء الشيئ من حال الى حال الى حال الثمام
(Mengembangkan sesuatu
dari suatu keadaan pada keadaan lain, sampai kepada keadaan yang sempurna). Huruf
Ya’ yang berada di belakangnya adalah ya’ nisbah, (ya’ untuk membangsakan).
Artinya, penisbatan tersebut ditujukan kepada rabb atau Allah SWT. Yaitu orang
yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah, dan akan diangkat derajatnya
yang setinggi-tingginya oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, rabbani
adalah orang yang dibangsakan kepada Tuhan. Kata rabbani biasanya juga ditunjukkan kepada manusia sebagai julukan
(laqab) manusia rabbani (orang yang dididik Tuhan) atau dapat bermakna semangat
berketuhanan, yang merupakan inti dari semua ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan.
Jika tali hubungannya
dengan Allah sangat kuat, tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitabnya.
Menurut Toshiko Izutsu, ia juga menemukan suatu relasi kata rabb dengan
kata-kata lain yang mengindikasikan makna lain terhadap kata rabb, yakni: Tuhan
yang menjamin atau memenuhi kebutuhan yang dipelihara, mengawasi di samping
juga memperbaiki segala hal, pemimpin, kepala yang diakui kekuasaannya yang
berwibawa dan yang semua perintah-perintahnya dipatuhi dan diindahkan, ia juga
bermakna raja dan pemilik.
Makna-makna ini adalah
relasi rabb dengan sifat-sifatnya. Kata rabb menunjukkan adanya pemaknaan
mengenai tauhid Rububiyah dimana adanya unsur mengesakan Allah Swt, dalam
mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (Q.S: Al-Zumar: 62; al-Fathir:
3; al-Mulk: 1; al-A’raf: 54).
Menurut Ibnu Qoyyim
konsekuensi Rububiyah adalah adanya perintah dan larangan kepada hamba,
membalas yang berbuat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas
kejahatannya. Rabb adalah "Tuhan Sang Maha Pencipta", yang meciptakan
keseluruhan alam ini tidak hanya sekedar menciptakan tetapi juga di maksudkan
sebagai " Sang Maha Pemelihara". Dan juga setiap kejadian tidak lepas
dari kekuasaan-Nya sebagai" Sang Maha Pengatur". Dari sisi pengakuan,
tidak hanya kaum muslimin yang mengakui adanya Rabb. Banyak orang di dunia
barat tidak secara formal beragama tetapi mereka mengakui adanya
"Dia" Tuhan Yang Maha Pencipta.
C. Konsep Al-Asmā'
Al-Husnā Tentang Al-Rahmān dan Al-Rahīm
Kata al-Rahmān berasal
dari kata Rahīma yang artinya menyayangi atau mengasihi yang terdiri dari huruf
Rā, Hā, dan Mim, yang mengandung makna kelemahlembutan, kasih sayang, dan
kehalusan. Di dalam al-Qur’an kata al-Rahmān
terulang sebanyak 57 kali, sedangkan
al-Rahīm sebanyak 95 kali. Apa arti al-Rahmān? Dalam
bahasa Inggris, seringkali kata yang digunakan untuk menerjemahkan al-Rahmān adalah merciful atau benefactory.
Namun ada yang perlu kita
pahami, bahwa kedua kata tersebut tidak bisa untuk secara sempurna menggantikan
makna kata al-Rahmān. Mercy itu maknanya kasih yang diberikan ketika seseorang
melakukan suatu kesalahan, padahal al-Rahmān itu tidak hanya diberikan setelah
seseorang melakukan kesalahan. Lalu kata benefactory sendiri, hampir tidak
pernah dipakai di keseharian, padahal seharusnya terjemahan membuat kita lebih
paham.
Al-Rahmān salah satunya
berasal dari akar kata al-Rahm, saat seorang perempuan hamil, tempat janin
bayinya disebut dengan rahim. Disebut rahim karena janin tersebut dirawat,
dilindungi, disayangi dalam berbagai hal. Hubungan sang ibu dan sang bayi
kurang lebih seperti ini:
1) Apakah bayi tersebut
mengenal/tahu ibunya? Tidak.
2) Apakah bayi tersebut
sudah punya rasa cinta/sayang ke ibunya? Tidak.
3)Apakah ibunya sudah
memperhatikan, melindungi dan merawat bayinya? Yes,in every way. The entire
life of the child is taken care of by the mother.
Dan bayi tersebut tidak
tahu sama sekali bahwa ia sangat disayangi, bahwa ibunya mau melakukan banyak
hal untuk bayinya, juga melindunginya dari setiap bahaya.
Kata rahim tersebut
melahirkan kata al-Rahmān. Seseorang yang memiliki rahmah, adalah seseorang
yang memiliki rasa kasih sayang kepadamu (have compassion towards you),
seseorang yang lembut dan mempermudah dirimu (want to be soft and easy with
you). Ada saat-saat dimana kita akan mempertanyakan kasih sayang Allah kepada
kita. Saat itu, mungkin adalah hari berat dalam hidup kita, saat itu, mungkin
iman kita sedang begitu rendah. Saat itu, mungkin juga kamu perlu lagi menengok
makna al-Rahmān, mencoba berbaik sangka dan memikirkan kasih sayang dalam
bentuk apa yang Allah sedang berikan kepada kita, juga memikirkan betapa banyak
hal buruk yang bisa terjadi pada kita, namun Allah menjaga kita dari hal-hal
tersebut.
Lafaz al-Rahmān dan
al-Rahīm keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar al-Rahmān
dengan maksud mubalagah; lafaz al-Rahmān lebih balig (kuat) daripada lafaz
al-Rahīm. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan
adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini.
Di dalam kitab tafsir
sebagian ulama Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian
tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa
a.s. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, " al-Rahmān artinya Yang Maha
Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan alRahīm artinya Yang Maha Penyayang
di akhirat." Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa
lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak
dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah
berfirman:
Dan adalah Dia Maha
Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43).
Ibnul Anbari di dalam
kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa alRahmān adalah nama
ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab Ma'ani
Al-Qur'an, bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, al-Rahīm adalah nama Arab, dan
alRahmān nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq
mengatakan, pendapat ini tidak disukai. Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang
menunjukkan bahwa lafaz al-Rahmān mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang
diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman
ibnu Auf r.a. yang menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
Allah Swt. berfirman,
"Akulah al-Rahmān (Yang Maha Pemurah), Aku telah menciptakan rahim dan Aku
belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang siapa yang menghubungkannya,
niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan barang siapa yang memutuskannya,
niscaya Aku putus (jauh) darinya.
Al-Qurtubi mengatakan
bahwa nas hadis di atas mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka tidak ada
maknanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan. Adapun orangorang Arab
ingkar terhadap nama al-Rahmān karena kebodohan mereka terhadap Allah dan
apa-apa yang diwajibkannya. Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut
pendapat lain lafaz al-Rahmān dan al-rahīm mempunyai makna yang sama;
perihalnya sama dengan lafaz nadmana dan nadim, menurut Abu Ubaid.
Menurut pendapat yang
lainnya lagi, sebuah isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang
ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah
fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapan “rajulun gadbanu” ditujukan kepada
seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan
makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maful. Abu Ali Al-Farisi
mengatakan bahwa al-Rahmān adalah isim yang mengandung makna umum dipakai untuk
semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt., sedangkan alrahīm
hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang
terkandung di dalam firman-Nya:
Dan adalah Dia Maha
Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43).
Ibnu Abbas mengatakan
bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah lembut, sedangkan
salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni lebih kuat
makna rahmat-nya daripada yang lain. Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan
lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan
mereka mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana
pengertian yang terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu:
Sesungguhnya Allah
Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara, dan Dia memberi
kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada sikap yang
kasar.
Ibnul Mubarak mengatakan
makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi", sedangkan makna
ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah
melalui hadis Abu Saleh AlFarisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah r.a. yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang tidak
pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya. Salah seorang
penyair mengatakan:
Allah murka bila kamu
tidak meminta kepada-Nya, sedangkan Bani Adam bila diminta pasti marah.
Ibnu Jarir mengatakan
bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya AtTamimi, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmanir rahim, "
al-Rahmān artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun
yang mukmin), sedangkan al-Rahīm Maha Penyayang kepada kaum mukmin."
Mereka (para ulama ahli tafsir) mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan
di dalam firman-Nya:
Kemudian Dia ber-istiwa
di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah. (Al-Furqan: 59). Di dalam firman
lainnya disebutkan pula:
Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arasy. (Thaha: 5).
Allah menyebut nama
al-Rahmān untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua makhluk memperoleh
kemurahan rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah Swt. telah berfirman: Dan adalah
Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43). Maka Dia
mengkhususkan nama al-Rahīm untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan
bahwa lafaz al-Rahmān mempunyai pengertian mubalagah dalam kasih-sayang, mengingat
kasih sayang bersifat umum-baik di dunia maupun di akhirat-bagi semua
makhluk-Nya. Sedangkan lafaz al-Rahīm dikhususkan bagi hamba-Nya yang beriman.
Akan tetapi, memang di dalam sebuah doa yang ma'sur disebut "Yang Maha
Pemurah di dunia dan di akhirat, Yang Maha Penyayang di dunia dan di
akhirat". Nama al-Rahmān hanya khusus bagi Allah Swt. semata, tiada
selain-Nya yang berhak menyandang nama ini, sebagaimana dinyata-kan di dalam
firman-Nya:
Katakanlah, "Serulah
Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan narna yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna
(nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110). Dalam ayat lainnya lagi Allah
Swt. telah berfirman:
Dan tanyakanlah kepada
rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, "Adakah Kami
menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah!"
(Az-Zukhruf: 45).
Ketika Musailamah
Al-Kazzab (si pendusta) melancarkan provokasi-nya, dia menamakan dirinya dengan
julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya dan membuatnya
terkenal dengan julukan al-Kazzab (si pendusta); tidak sekali-kali ia disebut
melainkan dengan panggilan Musailamah al-Kazzab, sehingga dia dijadikan sebagai
peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan penduduk perkotaan dan penduduk
perkampungan serta kalangan orang-orang Badui yang bertempat tinggal di Padang
Sahara.
Sebagian ulama menduga
bahwa lafaz al-Rahīm lebih balig dari-pada lafaz al-Rahmān, karena lafaz
al-Rahīm dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz yang
berfungsi sebagai taukid (penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna lebih
kuat daripada lafaz yang dikukuhkan. Sebagai bantahannya dapat dikatakan bahwa
dalam masalah ini subyeknya bukan termasuk ke dalam Bab "Taukid",
melainkan Bab "Na'at" (Sifat); dan apa yang mereka sebutkan
tentangnya tidak wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka lafaz al-Rahmān
tidak layak disandang selain Allah Swt.
Karena Dialah yang
pertama kali menamakan diri-Nya al-Rahmān hingga selain-Nya tidak boleh
menyandang sifat ini. sebagaimana yang
telah dijelaskan di dalam firman-Nya: Katakanlah,
"Serulah Allah atau
serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul
husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).
Sesungguhnya Musailamah
Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani menamakan dirinya dengan
sebutan "al-Rahmān" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau
mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia. Adapun lafaz
al-Rahīm, maka Allah Swt. menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini,
sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya telah datang
kepada kalian seorang rasul dari 'kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya
penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah:
128). Sebagaimana Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari
asma-asma-Nya. seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan),
karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2). Dapat
disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh
selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz
Allah, alRahmān, al-Razīq, dan al-Khalīq serta lain-lainnya yang sejenis.
Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan al-Rahmān
karena lafaz ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafaz al-Rahīm.
Karena penyebutan nama
pertama harus dilakukan dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya
diprioritaskan yang lebih khusus. Jika ditanyakan, "Bila lafaz al-Rahmān
lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz al-Rahīm juga disebut, padahal sudah
cukup dengan menyebut al-Rahmān saja?" Telah diriwayatkan dari Ata
Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan
dirinya dengan sebutan al-Rahmān selain Dia, maka didatangkanlah lafaz al-Rahīm
untuk membantah dugaan yang tidak benar itu, karena sesungguhnya tiada seorang
pun yang berhak disifati dengan julukan al-rahmānirrahīm kecuali hanya Allah
semata.
Demikian yang
diriwayatkan oleh lbnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang
mengulasnya. Tetapi sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa
orang-orang Arab pada mulanya tidak mengenal kata al-Rahmān sebelum Allah
memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan itu melalui firmanNya:
Katakanlah, "Serulah
Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna
(nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).
Karena itulah orang-orang
kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan yaitu ketika
Rasulullah Saw. bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan
perjanjian) kata bismillāhirrahmānirrahīm (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang)?" mereka mengatakan, "Kami tidak mengenal
al-Rahmān, tidak pula al-Rahīm." Demikian menurut riwayat Imam Bukhari.
Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka adalah, "Kami tidak
mengenal al-Rahmān kecuali Rahmān dari Yamamah" (maksudnya Musailamah
Al-Kazzab). Allah Swt. telah berfirman:
Dan apabila dikatakan
kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman (Pemurah),"
mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami akan sujud
kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan
(perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman). (Al-Furqan: 60).
Menurut pengertian
lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan sikap membangkang,
ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena sesungguhnya telah
ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan istilah
Rahmān. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh
mengatakan syair berikut:
Mengapa gadis itu tidak
memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman Rabbku berada di tangan
kanannya? Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait
syairnya:
Kalian terlalu
tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian, padahal
Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad. lalu talak (putus
hubungan).
Ibnu Jarir mengatakan
bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah
menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa Rahmān adalah wazan fa'lana dari lafaz Rahmān, dan ia termasuk
kata-kata Arab.
Ibnu Jarir mengatakan,
al-rahmānirrahīm artinya "Yang Maha Lemah Lembut lagi Maha Penyayang
kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap orang
yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya,
yakni mempunyai makna yang sama. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu
Mas'adah, dari Auf, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang
dilarang bagi selain Dia menyandangnya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah
menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abul
Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang tiada
seorang manusia pun mampu menyandangnya; Allah menamakan diri-Nya dengan isim
ini.
Muhammad Quraish Shihab
menyatakan cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan baik al-Rahmān maupun
al-Rahīm terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman: “Aku adalah al-Rahmān, Aku menciptakan rahīm, kuambilkan untuknya nama
yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya (silaturrahim) akan
Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan
(rahmat-Ku baginya). (HR. Abudaud dan Attirmizi melalui Abdurrahman bin
‘Áuf).
Quraish menguatkan
pendapatnya dengan mengetengahkan pendapat menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w.
395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’ dan Mim, mengandung
makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturahim
adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan
kasih sayang.
Kerabat juga dinamai
rahim, karena kasih sayang yang terjalin diantara anggota-anggotanya. Rahmat
lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang dirahmati dan setiap yang
dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak dapat
dinamai rahim.
Di sisi lain siapa yang
bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak
melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak terlaksana
karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi
kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang
demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Rahmat yang menghiasi
diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya.
Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati.
Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak
demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi
makna rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya.
Rahmat yang tidak
dibarengi oleh rasa pedih sebagaimana rahmat Allah tidak berkurang karena
kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil
rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi
secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan
sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami
oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”.
Adapun yang menunjukkan
kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan
kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan
rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa
saat ia mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu
dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan
dirinya.
Hal ini mengurangi
kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan
diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi
kepentingan yang dirahmati. Demikianlah Rahmat Allah Swt. Masih menurut Quraish
Shihab, menurut Al-Ghazali buah yang
dihasilkan oleh alRahmān pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan
merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini
mengantar yang bersanguktan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan, menuju
Allah.
Dengan memberinya nasehat
secara lemah lembut tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa
dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap
kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya,
sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya apapun untuk menghilangkannya
sesuai kemampuannya, sebagai pengejewantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka
jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya”. Sedang buah
al-Rahīm menurut Al-Ghazali adalah, “Tidak membiarkan seorang yang butuh
kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir
disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan
menampik kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang
ketiga, sehingga terpenuhi kebutuhannya.
Kalau semua itu tidak
berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan
rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda
kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihnya itu
dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali. Kita juga dapat berkata
bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah alRahmān (Pemberi Rahmat)
karena Dia al-Rahīm (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan berusaha
memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri
kepribadiannya.
Selanjutnya ia tak akan
ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa
membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan serta memberi pula
rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang
mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan
cahaya dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat
perbedaan dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak
disebabkan oleh posisi penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu
konsisten dalam perjalannya lagi memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah.
Itulah buah yang diharapkan dari bacaan al-Rahmān dan al-Rahīm.
Sejak kecil kita sudah
diajarkan oleh orang tua atau guru kita untuk memulai segala sesuatu dengan
membaca Bismillah, namun Bismillah
yang kita baca tidak lebih dari sebuah keyaqinan kita tentang keagamaan yang
paling terkesan dimasa kanak-kanak dan merupakan kebiasaan yang kita bawa
hingga dewasa dan naïfnya kebiasan itu tetap stagnan tanpa pemahaman lebih
mengenai makna Bismillah yang sesungguhnya.
Padahal Bismillah bukan
hanya ajaran Islam semata, bukan doktrin yang tanpa makna, melainkan adalah sebuah kalimat yang sarat akan makna dan
tersaji husus untuk ummat Muhammad demi kebaikan ummatnya. Rosulullah
meskipun bergelar al-ummi tapi beliau tidak bodoh. Karena ada Tuhan Allah Yang
Maha Cerdas, Maha Baik dan bijaksana dibalik semua ajaran dan anjurannya.
Sehingga dalam memerintahkan segala sesuatu pasti ada hikmah dan tujuannya yang
tentu saja untuk kebaikan kita sebagai ummatnya, termasuk didalamnya adalah
perintah berbismillah dalam memulai setiap aktivitas atau kegiatan yang kita
lakukan.
Berangkat dari itu maka
rasionalisasi bismillah menjadi sangat penting. Rasionalisasi yang saya
maksudkan adalah bagaimana konsep membaca bismilah sebelum melakukan aktivitas
seperti yang di anjurkan dalam Islam adalah sebuah teory yang logis dalam
menghasilkan energy positif bagi manusia yang produktif, khususnya sebagai
khalifah di atas bumi ini.
Rasionalisasi
bismillah adalah proses dimana bismillah ternyata adalah konsep
yang pas bahkan bagi manusia yang mendewakan logika modernitas. Salah satunya
adalah bahwa bismilah ternyata bersinergi dengan konsep ilmu perencanaan,
bahkan lebih komplit dalam cara pandangnya karena harus melibatkan kekuatan
memandang dengan mata pikiran dan mata hati. Sebab ketika Bismillah menjadi
point penting dari prilaku dan akhlaq nabi Muhammad, maka pastilah mengandung
kebaikan bagi ummatnya dan itu berlaku tak kenal waktu tak pandang sekarang
nanti atau dulu.
Kebaikan
dan efektifivas Bismillah bukan saja mengantar kita pada ke
Khusu’an beribadah, tapi juga dalam memberi pencerahan pemikiran dan
kepribadian yang kita butuhkan untuk sampai pada gerbang kesuksesan baik
financial maupun spiritual. Seorang Maxwell Maltz menuturkan bahwa kita harus
mengusahakan diri kita memiliki ke-7 ciri kepribadian untuk bisa menjadi
manusia yang sukses menjalani hidup di dunia. Diantaranya adalah Sense
of Direction, Understanding, Courage, Chairty, Self-Acceptance,
Self-Confidence. Esteem (Self-Esteem).
Dari ketujuh pandangan Maxwell Maltz tersebut sebenarnya
secara tersirat sudah diajarkan oleh Bismillah yang kita baca setiap harinya.
Bahkan bismillah jauh lebih sempurna memandang arti kesuksesan itu, karena
bismillah juga mengajarkan kita bagaimana kita mampu menikmati kesuksesan
tersebut dengan konsep bahagia dalam hidup bahkan membawanya hingga ke surga
yang kita yaqini adanya.
Bismillah seperti kunci
gerbang utama menuju kesempurnaan akhlak kita sehingga dengan kunci itu kita
bisa membuka pintu sukses kepribadian kita untuk menjadi kaya, bahagia dan
masuk surga. Dalam prakteknya untuk bisa sampai pada titik pengertian itu
memang dibutuhkan kemampuan berfikir dan kematangan memaknai bismillah itu
sendiri, dan buku ini setidaknya akan membawa kita pada ranah pemikiran dan
pemaham tersebut. Singkat memang, tapi setidaknya akan dapat membuka cakrawala
berfikir kita di dalam ruang-ruang tafakkur kita.
Soekarno,
Presiden Pertama Indonesia berpendapat bahwa kata-kata rahman, rahim yang
merupakan sifat prerogatif Tuhan menunjukkan pada kasih sayang Tuhan, namun
makna yang jauh berbeda. Kata-kata
al-Rahman menurutnya berarti ‘pemurah’
atau kemurahan Tuhan untuk memberikan sesuatu kepada manusia sekalipun manusia
tidak beramal kepada Tuhan. Dengan kata lain, al-Rahim menunjukkan kepada
pemberian Tuhan sebagai ganjaran dari amal yang diperbuat manusia.
Tanpa amalan maka manusia
tidak akan memperoleh ganjaran apa-apa. Soekarno memberi contoh dari sifat
al-Rahman Tuhan sebagai berikut:
“Misalnya kita diberi tanah air oleh Tuhan. Kita di-procotkan (dilahirkan,
pen.) dari gua qardha ibu, tidak didasar laut, atau tidak di awang-awang,
dirgantara. Tidak dirgantara itu angkasa, itu yang dinamakan oleh Ki Dalang
Dirgantara. Tidak, kita dilahirkan dalam suatu keadaan yang di situ ada
buminya, yang kita bisa hidup di atasnya, yang di situ ada air yang kita bisa
hidup. Pendek kata yang dengan satu perkataan, kita simpulkan dengan perkataan
tanah air. Salah satu kerahmanan Tuhan kepada kita”.
Dapat disebut bahwa bagi Soekarno tanah air adalah merupakan pemberian Tuhan sebagai aplikasi dari rahmān Tuhan. Oleh karenanya,
manusia berkewajiban memelihara dan mempertahankannya. Pemikiran Soekarno
tersebut dapat dipahami bahwa Soekarno ingin membangkitkan dan membakar
semangat juang rakyatnya dalam membela negara. Hal ini sangat beralasan karena
dalam lanjutan pidatonya, Soekarno menyebutkan, “Tanah air ini, saudara-saudara
diancam bahaya. Tuhan perintahkan kepada kita, hai buatlah tanah airmu ini
terhindar dari bahaya, tanah air ini adalah satu amanah Tuhan dan diancam tanah
air ini oleh bahaya, kewajiban kita untuk menyelamatkannya dari bahaya”.
Selain itu Soekarno juga
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kesenangan, karena kesenangan menjalankan
sifatnya itu pulalah Tuhan menurunkan agama, oleh karenanya manusia berkewajiban
membuat senang kepada Tuhan, yakni dengan cara menjalankan agama, dan
menjalankan amar ma’rūf nahī munkar sebagai kewajiban yang diperintahkan Allah.
Tuhan bisa menjalankan rahmaniah-Nya. Antara lain terhadap tanah air dan
masyarakat ini.
D. Konsep Al-Asmā'
Al-Husnā Tentang Al-Malik
Setelah al-Rabb, maka
sifat Allah yang menyusul adalah al-Malik,
yang secara umum diartikan raja atau
penguasa. Penempatan susunannya seperti ini sejalan dengan penempatannya dengan
sekian banyak ayat al-Qur'an, antara lain pada surah al-Fatihah dan surah
al-Hasyar. Oleh karena rahmat yang dicurahkan Allah kepada hamba-hambaNya dan
yang dilukiskan dengan kata Raḥmān itu disebabkan karena Dia juga Raḥīm,
memiliki sifat Raḥmān yang melekat pada diriNya.
Namun siapa yang memiliki
sifat rahmat, belum tentu memiliki sifat kekuasaan dan hanya Allah yang
memiliki yakni memiliki kekuasaan dan kerajaan serta kepemilikan. Kata
"Malik" mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh
kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Kata "Malik" yang biasa
diterjemahkan raja adalah yang menguasai dan menangani perintah dan larangan,
anugerah dan pencabutan. Karena itu, biasanya kerajaan terarah kepada manusia,
tidak kepada barang yang sifatya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Salah satu kata
"Malik" dalam al-Qur'an adalah yang terdapat dalam surah al-Nās,
yakni "Malikin-nas" (Raja manusia). Dalam Al-Qur'an, tanda-tanda
kepemilikan kerajaan adalah kehadiran banyak pihak kepadaNya untuk bermohon
agar dipenuhi kebutuhannya atau untuk menyampaikan persoalanpersoalan besar
agar dapat tertanggulangi. Allah SWT melukiskan betapa Yang Maha Kuasa itu
melayani kebutuhan makhlukNya.
Sebagaimana yang
difirmankan dalam al-Qur'an: "Setiap yang di langit dan di bumi bermohon
kepadaNya. Setiap saat dia dalam kesibukan (memenuhi kebutuhan mereka) (QS.
al-Rahmān ayat 29). Kata "Malik" terdiri dari tiga huruf yakni Mim,
Lam, dan Ka. Yang rangkaiannya mengandung makna kekuatan dan keshahihan. Kata
Malik pada mulanya berarti ikatan dan penguatan. Kata Malik terulang di dalam al-Qur'an sebanyak 5 (lima) kali, dua di antaranya dirangkaikan dengan kata
"hak" dalam arti yang "pasti dan sempurna," yaitu terdapat
dalam surah Thaha ayat 114 dan surah al-Mukminun ayat 122, “Dan adapun kerajaan
Allah mencakup kerajaan lagit dan bumi.” Allah berfirman dalam surah alZukhruf
ayat 85: "Maha suci Allah yang milik-Nya kerajaan/kekuasaan langit dan
bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Disisi-Nya pengetahuan tentang kiamat
dan hanya kepadaNya kamu di kembalikan".
Demikian pula Allah juga
pemilik kerajaan akhirat, hal tersebut terdapat dalam surah al-an'am ayat 73
dan surah al-Hajj ayat 56: "Dan milikNya kerajaan/kekuasaan pada hari
ditiup sangkakala " "Kerajaan pada hari itu (kiamat) adalah milik Allah".
Imam Al-Gazali menjelaskan arti "Malik" yang berarti raja yang
merupakan salah satu nama Asmaul Husna dengan menyatakan bahwa
"Malik" adalah yang tidak butuh pada zat dan sifat-Nya segala yang
wujud, bahkan Dia adalah yang butuh kepadaNya segala sesuatu yang menyangkut
segala sesuatu, baik pada zatNya, sifatNya, wujudNya dan kesinambungan
eksistensinya.
Bahkan wujud segala
sesuatu, bersumber dari-Nya, atau dari sesuatu bersumber dari-Nya. maka segala
sesuatu selain-Nya menjadi milikNya dalam zat dan sifatnya dan membutuhkanNya.
Demikianlah itu raja yang mutlak". Disini terlihat perbedaan antara
"Malik" yang berarti "Raja" dan "Maalik" yang
diartikan "pemilik". Seseorang pemilik belum tentu menjadi raja,
sebaliknya pemilikan seorang raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang
bukan raja. Oleh karenanya, Allah adalah raja sekaligus pemilik.
Kepemilikan Allah berbeda
dengan kepemilikan makhluk/manusia. Allah swt berwewenang penuh untuk melakukan
apa saja terhdap apa yang dimilikiNya. Al-Mulku berakar pada kata mim, lam, dan
kaf yang mengandung makna pokok “keabsahan dan kemampuan”. Dari makna yang
pertama terbentuk kerja malaka yamliku mulkan artinya menguasai. Dari sini
diperoleh kata malik dan mulk masing-masing artinya raja dan kekuasaan.
Dalam al-Qur’an
penggunaannya bisa dilihat pada surat Al-Baqaraah ayat 247. “Dan Nabi mereka
berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Alloh telah membangkitkan untuk kamu
Thalut sebagai “malik” Mereka menjawab, “Bagaimana ia mempunyai mulku atas
kami, padahal kami lah yang berhak memegang mulki darinya, karena ia tidak
memiliki kekayaan”. Ayat ini menceritakan penolakan Bani Israil atas
kepemimpinan Thalut, karena memandang Thalut tidak memiliki apa yang menurut
mereka menjadi syarat kepemimpinan. Menurut ilmu politik dan ilmu Negara
sendiri malik, dalam hal ini adalah raja, diartikan sebagai seorang yang
mewarisi kekuasaan dari penguasa sebelumnya, kekuasaannya disebut mulk,
kerajaan.
Pengertian
Malik menurut al-Qur’an adalah lebih luas, ia bermakna
raja, tapi juga pemilik kekuasaan, artinya bukan hanya penguasaan akan tetapi
juga kepemilikan. Pengertian tersebut dapat di lihat dalam QS. 3: 26;
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai Tuhan yang memiliki kekuasaan! Engkaulah
yang memberi kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang
mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah juga
yangmemuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang menghinakan
siapa yang Engkau kehendaki.
Dalam kekuasaan Engkau
sajalah adanya segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap
sesuatu”. Dalam ayat tersebut digambarkan bahwa Alloh pemilik dari kekuasaan
(malik-ul mulki) dan memberikan dan mencabut kekuasaan tersebut kepada siapa
yang dikehendakinya. Sedangkan dalam QS. 59: 23, dikatakan bahwa Alloh adalah
Al-Malik. Dengan melihat ayat tersebut bisa kita simpulkan bahwa suatu
kekuasaan hakekatnya adalah milik Alloh SWT dan manusia hanyalah berkuasa
dengan izin dari Alloh SWT. Ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan kata ini secara
umum, artinya tidak hanya merujuk kepada suatu kekuasaan politik saja.
E. Konsep Al-Asmā'
Al-Husnā dalam Pancasila
Konsepsi teologis dalam
Pancasila tidak bisa dipahami dalam vacuum, sebab konsepsi teologis Pancasila,
betapapun murni dan transendentalnya, dihasilkan oleh para pemikir yang hidup
dalam semangat zaman tertentu. Apa yang kemudian dikenal sebagai Pancasila saat
ini, dirintis dalam beberapa tahapan zaman yang diwarnai oleh gerakan-gerakan
sosial-politis bahkan teologis yang sangat kritis terhadap zaman sebelumnya.
Dalam hal ini, menurut
penulis, sangat penting untuk menelusuri konsepsi teologis Pancasila menurut
perumus Pancasila itu sendiri, yaitu Soekarno, untuk dijelaskan kepada generasi
penerus bangsa melalui Pancasila. Soekarno dalam berbagai karyanya, baik
ceramah maupun tulisan, banyak mengungkapkan tentang teologi Pancasila,
terlebih lagi tentang teologi Islam. Soekarno menyampaikan pidatonya di Sidang
BPUPKI pada 1 Juni 1945, ketika itu Soekarno menjelaskan tentang prinsip
teologi atau Ketuhanan dalam penyusunan dasar negara: “Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut pentunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan.
Hendaklah negara
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan
cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni
dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang
bertuhan. Marilah kita amalkan, jalannya agama, baik Islam maupun Kristen,
dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati
satu sama lain.”
Bagi Soekarno, Tuhan
adalah kekuatan, kekuatan yang tidak ada tandingannya. Oleh karenanya, Soekarno
menghendaki negara Indonesia merupakan negara yang memiliki teologi ketuhanan,
bukan seluleristik ataupun ateistik. Namun demikian, temuan penulis, teologi
bagi bangsa itu merupakan suatu bentuk berketuhanan yang dicirikan oleh dua
corak teologi, yaitu: berkebudayaan dan berperadaban.
Teologi berkebudayaan
merupakan suatu corak teologi yang inklusifistik, dengan tiada egoisme agama.
Teologi yang berkeadaban, suatu teologi yang pluralis, saling
hormat-menghormati antar satu agama ataupun keyakinan yang tumbuhkembang di
Nusantara ini. Uniknya, malah Soekarno
menganggap suatu keanehan bahwa ada orang yang berpendapat, orang yang intelek
tidak percaya adanya Tuhan (ateistik).
Karena, menurut Soekarno, makna intelek itu adalah otak,
atau orang intelek itu adalah orang yang berpendidikan. Selanjutnya Soekarno
menganggap, beliau dianggap intelek karena telah menyandang gelar insinyur dan
16 doktor dari berbagai jurusan ilmu, serta mendapat gelar professor. Pernah
ada yang bertanya, “Bung Karno yang intelek, yang professor dan menyandang 16
doktor, mengapa percaya adanya Tuhan? Apa bukti adanya Tuhan?” Dengan lantang
dan penuh keyakinan, Soekarno memberi jawaban:
“Ya, jikalau saya harus membuktikan kepada saudara bahwa Tuhan itu ada,
saya tidak bisa, tetapi bisa membuktikan kepada diriku sendiri, kepada ku
sendiri bahwa Tuhan ada, bahkan saya sering bercakap-cakap dengan Tuhan. Saya
sering meminta kepada zat itu, itupun belum merupakan bukti Tuhan itu ada.
Bahwa saya sering meminta kepada zat itu dan zat itu memberikan kepadaku apa
yang kuminta. Nah, itulah bagiku satu bukti yang nyata bahwa Tuhan itu ada”.
Selanjutnya Soekarno
menjelaskan, beliau sering memohon sesuatu kepada zat yang dinamakan Allah
Subhanahu wata’ala, dan apa yang Soekarno minta diberikan. Oleh karenanya, bagi
Soekarno itu sudah merupakan bukti yang kuat, yang teguh, yang nyata, yang
tidak dapat dibantah bahwa yang Soekarno minta itu ada, bahwa Tuhan itu pasti
ada. Berdasarkan pengalaman tersebut, dalam setiap pidatonya selalu memuji dan
mengharapkan pertolongan Tuhan.
Sebagai contoh ketika
Soekarno berceramah dihadapan para mahasiswa di Universitas Katolik Bandung, tanggal
16 Januari 1961: “Nah, saya yang di
dalam hal yang demikian itu, sebagai tadi saya katakana, selalu, ya, mohon dari
taufik hidayah daripada Tuhan, mana ada kekuatan yang lebih besar daripada yang
berasal daripada Tuhan? Saya selalu berkata di dalam pidato-pidato saya, bahwa
dengan bantuan Tuhan saya bisa menyelenggarakan ini, tanpa bantuan Tuhan saya
tidak bisa menyelenggarakan ini, saudara-saudara”.
Seandainya orang ingin
menjumpai dengan Tuhan, orang itu tidak harus naik setinggitingginya, cukup
hanya turun ke dalam hatinya, demikian menurut Soekarno. Manusia dianugerahkan
akal atau rasio oleh Tuhan. Dengan rasionya manusia mampu menciptakan alatalat
canggih yang dapat membawa manusia naik ke langit, dapat sampai ke planet yang
manusia inginkan.
Otak manusia semakin
berkembang, namun menurut Soekarno setinggi apapun perkembangan otak manusia
itu tidak akan mampu menjadikan manusia dapat bertemu dengan Tuhan, sebagaimana
Nabi Muhammad yang dapat berhadapan langsung dengan Tuhan, itu pun atas seizin
Allah.
Menurut Soekarno
sebagaimana disampaikan dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj di Istana Negara,
pada tanggal 16 Januari 1961: “Kalau kita hendak menjumpai Tuhan
saudara-saudara, meskipun kita memakai explorer, meskipun kita memakai sputnik,
meskipun kita memakai alat perkakas apapun yang kita bisa sampai mendarat di
bintang-bintangnya Bima Sakti, kalau kita tidak turun di dalam hati kita
malahan kita tidak akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala.
Profesor botak yang
membikin perkakas, atau ingenieur botak yang membikin perkakas yang membawa
manusia ke bulan, belum tentu dia berjumpa dengan Tuhan; tetapi ambillah orang
yang hina-hina, kadang-kadang dia berjumpa dengan Tuhan meskipun dengan tidak
dengan dia punya pancaindera”.
Menurut Soekarno yang
penting bagi manusia untuk dapat berjumpa dengan Tuhan adalah dalam rangka
meningkatkan keimanan. Tuhan tidak di mana-mana, Tuhan itu Esa, tetapi ada di
mana-mana. Siapa saja yang berkeinginan untuk bertemu dengan Tuhan, tidak harus
manusia naik ke langit setinggi-tingginya dengan memakai berbagai macam
peralatan.
Manusia boleh saja
bercita-cita untuk dapat bertemu dengan Tuhan Sang Pencipta, namun menurut
Soekarno manusia harus turun, turun ke sini (dengan penuh keyakinan sambil
Soekarno menunjuk ke dadanya), turun ke dalam hatinya. Soekarno bicara tentang
hati, berbicara soal hati berarti berbicara soal keimanan. Iman menyangkut hati
seseorang, menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai
satu-satunya arah dan tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali
hidupnya yang autentik dan tentunya tidak mengalami penyimpangan.
Manusia harus hidup
sejalan dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia
untuk “bertemu” dengan Tuhan. Manusia
merupakan hamba Allah, berarti manusia harus selalu menyesuaikan kepada
keinginan Tuhannya. Keyakinan akan menjadikan manusia untuk selalu berbuat
baik, baik untuk dirinya, manusia, dan kepada Tuhannya. Hal ini menunjukkan
penghambaan manusia kepada Tuhan dikarenakan manusia merupakan makhluk yang
dhaif.
Bagi Soekarno, tanpa
adanya keyakinan pastilah seseorang tidak akan mampu bertemu dengan Tuhannya,
sekalipun memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa. Kemudian Soekarno
juga menegaskan bahwa manusia hanya dapat berjumpa dengan Tuhannya apabila
telah mengerjakan segala yang diperintahkan Tuhan dan meninggalkan segala
larangannya. Selain itu, dapat dipahami bahwa kalimat “berjumpa dengan Tuhan”
yang dimaksud oleh Soekarno adalah mampu merasakan bahwa Tuhan itu ada, dan yakin
sekalipun manusia tidak dapat melihat Tuhan dan tentu Tuhan melihatnya.
Dengan demikian berjumpa
dengan Tuhan bukanlah dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam makna majazi,
sebagaimana ungkapan Soekarno di atas.
Islam menghendaki agar supaya manusia sujud kepada Tuhan, mem-persatukan
diri dengan Tuhan, tetapi juga mempersatukan dengan semua manusia, dan dalam
Islam bahkan banyak hukum yang mengatur antara sesama manusia, menjadikan
manusia sebagai insan masyarakat.
Manusia diberi hak oleh
Tuhan untuk menjadi makhluk yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari
malaikat. Islam tidak mengajarkan setiap manusia untuk mementingkan diri
sendiri, di sinilah menjadikan Islam sebagai agama kemanusiaan. Menurut
Soekarno, dalam ajaran Islam banyak sekali membahas hukum-hukum yang berkaitan
dengan kemasyarakatan. Menurut agama Islam, manusia dilatih dan dididik dalam
rangka mempersiapkan manusia untuk kemasyarakatan.
Oleh karenanya, manusia
ditakdirkan Tuhan sebagai makhluk yang tinggi derajat dan martabatnya. Yang
mempersatukan manusia dengan Tuhannya.
Faisal Ismail dalam Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim
Acceptance of the Pancasila (1995), sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful
Arif, Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, menjelaskan, Bung Karno
menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau Ahad sebagai basis etik keempat sila
di atasnya. Sebab di dalam pemikirannya, Pancasila memiliki dimensi politik dan
etis.
Dimensi politik merupakan
tugas utama Negara meliputi kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan
kesejahteraan sosial. Sisi dimensi etis bersifat religius karena sejak awal,
bangsa Indonesia berketuhanan. Menurut Bung Karno dan dalam Pancasila,
kebangsaan ini tidak menegasikan atas Islam. Tapi, menjadi blok historis yang
memayungi semua ideologi, demi satu cita-cita: merdeka. Ini juga terkait dengan
sum-sum ide Pancasila itu sendiri yang merupakan sintesis antar-ideologi. Sintesis
ini terjadi tidak hanya demi kompromi politik antargolongan, melainkan cerminan
dari cara pikir masyarakat yang eklektik. Islam selalu memberi dan menerima
dari nasionalisme dan sebaliknya.
Menurut Syaiful Arif,
konsepsi hubungan agama dan negara menurut dasar negara sangat strategis baik
bagi umat beragama maupun kalangan nasionalis. Konsepsi itu merujuk pada
hubungan toleransi kembar di mana negara dan agama saling menjaga jarak,
sekaligus mendukung di ranah masing-masing. Negara melindungi kebebasan
beragama dan memfasilitasi kehidupan sosialnya. Sementara itu, agama menguatkan
negara melalui pengembangan etika politik yang mendukung keadaban publik.
Persis seperti ditegaskan
Imam al-Ghazali: Negara dan agama merupakan saudara kembar. Salah satunya tak
bisa hidup, tanpa lainnya. Agama menjadi dasar bagi masyarakat dan negara
melindunginya. Keselarasan antara konsepsi Pancasila dan Islam ini juga
terdapat pada desain politik yang diawali transendensi (ketuhanan) dan diakhiri
transformasi (keadilan sosial). Inilah alasan Kuntowijoyo menyebut demokrasi
Pancasila sebagai teo-demokrasi: demokrasi berketuhanan.
Di dalam desain ini,
makna politik menurut Islam dan Pancasila bertemu dalam satu kata: keadilan
sosial. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila sepadan dengan worldview nilai
teologi Islam berupa prinsip tauhid. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu
bentuk tanda keimanan seluruh rakyat Indonesia. Iman menyangkut hati seseorang,
menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya
arah dan tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali hidupnya yang
autentik dan tentunya tidak mengalami penyimpangan. Manusia harus hidup sejalan
dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia untuk
“bertemu” dengan Tuhan.
Sumber : http://ppg.siagapendis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar