URAIAN
MATERI
A.
KONSEP TENTANG MUKJIZAT
Terma
mukjizat berasal dari Bahasa Arab yang telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia,
yaitu al-Mu’jizat Al-mu’jizat adalah bentuk kata mu’annas (female) dari kata
mudhakkar (male) al-mu’jiz. Al-mu’jiz adalah isim fā’il (nama atau sebutan
untuk pelaku) dari kata kerja (fi’l) a’jaza . Kata ini terambil dari akar kata ‘ajaza-yu’jizu-ajzan wa ‘ajuzan wa ma’jizan
wa ma’jizatan/ma’jazatan, yang secara harfiah antara lain berarti lemah,
tidak mampu, tidak berdaya, tidak sanggup, tidak dapat (tidak bias), dan tidak
kuasa. Al-‘ajzu adalah lawan dari kata al-qudrah yang berarti sanggup, mampu,
atau kuasa. Jadi, al-‘ajzu berarti tidak mampu alias tidak berdaya. Dalam pada
itu, istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim diartikan dengan al’ajib, maksudnya
sesuatu yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang atau pihak lain
tidak ada yang sanggup menanding atau menyamai sesuatu itu. Juga sering
diartikan dengan amrun khāriqun lil-‘ādah (أمر خارق للعادة), yakni sesuatu yang
menyalahi tradisi.
Dalam
al-Qur’an, kata a’jaza dalam berbagai bentuk (derivasinya) terulang sebanyak 26
kali dalam 21 surat dan 25 ayat. Dan kata ‘ajaza dalam al-Qur’an digunakan
untuk beberapa pengertian, di antaranya “tidak mampu” seperti terdapat dalam
QS. Al-Māidah/5: 31 dan QS. Al-Jin/72: 12:
“Kemudian
Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata
Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung
gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu
jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”
“Dan
sesungguhnya kami mengetahui bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan
diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat
melepaskan diri (daripada)Nya dengan lari.”
Dalam
kedua ayat di atas, kata ‘ajaza digunakan untuk pengertian tidak mampu atau
tidak sanggup. Dalam kamus al-mu’jam al-Wasit}, mukjizat dirumuskan dengan:
أمر خارق للعادة
يظهره الله على يد نبي تأييدا لنبوته
“Sesuatu
(hal atau urusan) yang menyalahi adat-kebiasaan yang ditampakkan Allah di atas
kekuasaan seseorang Nabi untuk memperkuat kenabiannya.”
Adapun
yang dimaksud dengan mukjizat dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur’an,
seperti diformulasikan Manna al-Qattan dan lain-lain ialah:
أمر خارق للعادة
بالتعدي سالم عن المعارضة
“Sesuatu urusan (hal) yang menyalahi tradisi,
dibarengi atau diiringi dengan tantangan atau pertandingan dan terbebas dari
perlawanan (menang).”
Berdasarkan
definisi mukjizat di atas, dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat yaitu:
1. Unsur
utama dan pertama mukjizat ialah harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan
(khariqun lil ‘adah). Sesuatu (mukjizat) yang tidak menyalahi tradisi, atau
kejadiannya sesuai dengan kebiasaan yang umum atau bahkan lazim berlaku, tidak
dapat dikatakan mukjizat. Itulah sebabnya mengapa banyak hal aneh yang
dikeluarkan oleh ahli-ahli sulap bahkan ahli-ahli sihir tidak dinyatakan
sebagai mukjizat (QS. Al-Nisa/4: 171).
Mengingat pada dasarnya tidak menyalahi kebiasaan
karena dia tidak sungguhsungguh, dan banyak orang lain yang bisa melakukan hal
serupa atau bahkan lebih dari itu. Berbeda dengan kemampuan Nabi ‘Isa almasih
menghidupan orang mati yang tidak pernah bisa dilakukan oleh siapa pun.
Demikian pula dengan kemukjizatan tongkat Nabi Musa as yang bisa berubah
menjadi ular sunggguhan (Thu’banun mubin) (QS. AlA’raf /7:107 dan QS.
As-Shura/26: 32). Contoh mukjizat lain ialah kemampuan Nabi Sulaiman as
berkomunikasi dengan semua hewan (QS. Al-Anbiya’/21: 81 dan QS. AlMa’idah/5:
110). Begitu pula dengan ketidakterbakaran Nabi Ibrahim as saat dilemparkan ke
dalam kawah yang sedang mendidih (QS. Al-Anbiya’/21: 68-69).
Semua peristiwa yang baru disebutkan dinamakan
mukjizat, karena semua peristiwa ini memang tidak pernah mentradisi. Maksudnya,
masing-masing peristiwa di atas hanya terjadi sekali atau sesekali sepanjang
zaman dan untuk orang-orang tertentu saja di tengah-tengah sekian banyak
manusia. Atas dasar ini, maka sihir, seperti disinggung di atas, tidak dapat
dikatakan sebagai mukjizat karena kejadiannya tidak sungguhan semisal lipatan
kertas atau dedaunan menjadi uang, sapu tangan menjadi burung, dan lain-lain.
Demikian pula dengan tukang sulap meskipun sering dianggap menyalahi kebiasaan.
Sebab sihir, sesuai dengan salah satu makna harfiahnya, berarti dusta alias
tipu daya (tidak sesungguhnya). Sedangkan mukjizat adalah sesuatu yang
benar-benar terjadi.
2. Unsur
pokok kedua dari mukjizat ialah bahwa mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan.
Maksudnya, mukjizat harus diuji dengan melalui pertandingan atau perlawanan
sebagaimana layaknya sebuah pertandingan. Untuk membuktikan bahwa itu mukjizat,
harus ada upaya konkret lebih dulu dari pihak lain (lawan) untuk menandingi
mukjizat itu sendiri. Dan pihak yang menandingi itu harus sepadan atau sebanding
dengan yang ditandingi. Jika pihak yang menandingi atau melawan tidak sebanding
kelasnya, maka itu bukan lagi mukjizat namanya. Sebab, kekalahan yang diderita
pihak lawan yang tidak selevel misalnya, tidak menunjukkan kehebatan si
pemenang, dan tidak pula berarti mengisyaratkan ketidakmampuan pihak yang kalah
(lawan).
Sebagai contoh, tongkat Nabi Musa as yang dilemparkan
menjadi ular sungguhan yang dalam Al-Qur’an dibahasakan dengan thu’banun mubin,
itu benar-benar ditandingi oleh sahirin (Para penyihir) yang dikendalikan
Fir’aun. Tapi, sihir-sihir yang dikerahkan seluruh kaki tangan Fir’aun itu
kemudian ternyata dikalahkan dan tidak pernah mampu mengalahkan mukjizat Allah
yang diberikan kepada Nabi Musa as, dalam kaitan ini tongkat yang menjadi
ular.
Mukjizat itu tak terkalahkan. Unsur ketiga dari suatu
mukjizat adalah bahwa mukjizat itu setelah dilakukan perlawanan terhadapnya,
ternyata tidak terkalahkan untuk selamalamanya. Jika sesuatu/seseorang memiliki
kemampuan luar biasa, tetapi hanya terjadi seketika atau dalam waktu tertentu,
maka itu tidak dikatakan mukjizat. Katakanlah misalnya seorang petinju kelas
berat sekaliber siapapun, tidak dapat dikatakan memiliki mukjizat. Selain karena
mukjizat hanya diberikan kepada nabi Allah, juga dalam kenyataannya tidak satu
pun petinju kelas berat dunia yang sakti dan abadi dalam artian terus menerus
tak terkalahkan sepanjang karirnya sebagai petinju. Demikian pula misalnya
dengan pesilat, pegulat, pebulu tangkis, dan lain sebagainya.
Mukjizat sendiri dibagi menjadi dua bagian pokok
yaitu: mukjizat yang bersifat material indriawi lagi tidak kekal, dan mukjizat
material, logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi
terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material
dan indriawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau
langsung lewat indara oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan
risalahnya.
Contohnya, perahu Nabi Nuhas yang dibuat atas petunjuk
Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian
dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim as dalam kobaran api yang sangat besar;
tongkat Nabi Musa as yang beralih wujud menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan
oleh Nabi ‘Isa almasih atas izin Allah, dan lain-lain. Kesemuanya bersifat material indiriawi,
sekaligus terbatas pada lokasi tempat Nabi tersebut berada, dan berakhir dengan
wafatnya masing-masing nabi. Ini berbada dengan mukjizat Nabi Muhammad saw.
yang sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat dipahami oleh akal.
Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa
tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang mengunakan
akalnya di manapun dan kapan pun. Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok.
Pertama, para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, ditugaskan untuk masyarakat dan
masa tertentu.
Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa
dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi
Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman,
sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan pada setiap
orang yang ragu di manapun dan kapanpun mereka berada. Jika demikian halnya, tentu
mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat meterial, karena kematerialan
membatasi ruang dan waktunya. Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam
pemikirannya. Sedangkan fungsi mukjizat sendiri adalah sebagai bukti kebenaran
para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu
diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar.
Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.” Perbedaan Penafsiran ayat-ayat mukjizat yang
kontroversial di antara para Mufassir telah menjadi kajian yang menarik.
Hal ini berawal dari prinsip penafsiran kesembilan Sir
Ahmad Khan (1817-1898) terhadap Al-Qur’an. Dikatakan bahwa tidak ada sesuatupun
dalam Al-Qur’an sebagai firman Tuhan (saying of God) yang bertentangan dengan
ciptaan Tuhan (creation of God). Karena Al-Qur’an sebagai firman Tuhan tidak
mungkin menyalahi hukum alam sebagai ciptaan-Nya. Keselarasan keduanya bersifat
esensial. Jika firman Tuhan bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka Al-Qur’an
tidak layak disebut firman Tuhan yang suci. Prinsip penafsiran Ahmad Khan ini
menghantarkannya pada satu kesimpulan bahwa tidak satupun dalam Al-Qur’an yang
bertentangan dengan hukum alam dan akal. Dengan prinsip ini, Ahmad Khan telah
menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Al-Qur’an seperti penjelasan
mengenai mukjizat para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi Muhammad saw.
Pada akhirnya, Sir Ahmad Khan mengadopsi pendapat Ibnu
Rushd yang mengatakan bahwa antara kebenaran menurut akal (al-m’aqul) tidak
boleh bertentangan dengan kebenaran menurut wahyu (al-manqul). Jika keduanya
terjadi kontradiksi, maka wahyu harus dipahami secara metaforis. Senada dengan pemahaman Sir Ahmad Khan adalah
Rashid Rid}a (1865-1935), mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak akan pernah bertentangan
dengan akal sehingga dengan tegas ia mengingkari semua mukjizat Nabi Muhammad
saw kecuali Al-Qur’an. Ia menolak hadis-hadis sekalipun s}ah}ihyang menjelaskan
tentang mukjizat Nabi Muhammad saw selain Al-Qur’an. Penolakan itu disebabkan
karena mukjizat selain Al-Qur’an tidak sesuai dengan akal dan kalaupun ia
menerima hadis yang menjelaskan tentang mukjizat, maka ia akan menafsirkan
melalui takwil sehingga bisa selaras dengan akal. Sebetulnya, genetik pemikiran
Rashid Rida (1865-1935) tentang mukjizat berakar pada pemikiran gurunya,
Muhammad ‘Abduh (1849-1905), yaitu memberikan keleluasaan menggunakan akal
(al-ra’yu) dalam menafsirkan teks (al-wahyi).
Muhammad Abduh mengemukakan bahwa dalam menyikapi
ayat-ayat yang mutashabih, ulama tafsir terbagi menjadi dua kelompok;
pertama adalah mereka yang
menafsirkannya dengan cara menakwilkannya sehingga selaras dengan akal
(al-ma’qul). Sementara kelompok kedua adalah para ulama yang mendiamkannya
(al-mauquf). Muhammad ‘Abduh, lebih cenderung memilih pada kelompok yang
pertama. Hal ini bisa dilihat dalam pendapatnya tentang malaikat, mukjizat dan
kejadiaan-kejadian luar biasa lainnya yang diceritakan dalam Al-Qur’an.
Maulana Muhammad Ali (1876-1951), seorang tokoh dan
pendiri Ahmadiyah Lahore tidak berbeda jauh dengan pola penafsiran Ahmad Khan,
Muhammad ‘Abduh dan Rashid Rid}a, yaitu memberi ruang gerak yang dominan
terhadap akal sehingga mengalahkan wahyu. Muhammad Ali berprinsip bahwa
mukjizat yang terjadi pada para nabi bukanlah sesuatu yang luar biasa dan
suprarasional akan tetapi merupakan hal yang rasional. Mukjizat dalam
pengertian sesuatu yang luar biasa adalah bertentangan dengan akal manusia sehingga
mustahil terjadi.
Prinsip ini berbeda jauh dengan pendapat M. Quraish
Shihab tentang mukjizat, ia mengatakan bahwa mukjizat sebagaimana yang
didefinisikan oleh para ulama, ialah peristiwa “luar biasa” yang terjadi dari
seseorang yang mengaku Nabi sebagai bukti kenabiannya, sebagai tantangan
terhadap orang yang meragukannya, dan orang yang ditantang tidak mampu untuk
menandingi kehebatan mukjizat tersebut. Pengertian peristiwa yang luar biasa
adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang lumrah
terjadi atau yang umum dalam pandangan manusia. Menurutnya, kemustahilan
terbagi menjadi dua, yaitu mustahil dalam pandangan akal dan mustahil dalam
pandangan kebiasaan. Bila dikatakan bahwa 1+1= 11 atau 1 lebih banyak dari 11
maka pernyataan ini mustahil dalam pandangan akal. Namun, bilamana dikatakan
bahwa matahari terbit dari sebelah barat, maka pernyataan ini mustahil dalam
pandangan kebiasaan.
Lebih jauh M. Quraish Shihab berpendapat bahwa secara
garis besar mukjizat dapat dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang
bersifat material inderawi lagi tidak kekal, dan mukjizat immaterial, logis
lagi bisa dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat Nabi-Nabi terdahulu kesemuanya
merupakan jenis mukjizat pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan
inderawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau
langsung lewat indera oleh masyarakat tempat Nabi tersebut menyampaikan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Said Aqil Munawar,
bahwa mukjizat terbagi dua yaitu mukjizat hissi (material dan iderawi) dan
mukjizat ma’nawi (immateral dan logis), karakteristik mukjizat yang kedua ini
bersifat immortal, sementara mukjizat yang pertama bersifat temporal. Dan ia
mengutip pendapat ulama bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi hal itu
dikatakan mukjizat, bila salah satu dari kelima itu tidak terpenuhi, maka itu
bukanlah mukjizat; pertama mukjizat ialah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan
oleh siapapun selain Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, Tidak sesuai dengan
kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam. Ketiga, Mukjizat harus menjadi
saksi terhadap risalah ilahiyyah yang dibawa oleh orang yang mengaku Nabi,
sebagai bukti akan kebenarannya. Keempat, Terjadi bertepatan dengan pengakuan
Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat tersebut. Kelima, Tidak ada
seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut.
Keengganan Maulana Muhammad Ali mengakui terjadinya
mukjizat yang bersifat material inderawi dapat dibuktikan dalam menafsirkan
Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 69 yang berbunyi:
)٦٩( َ يم ِ اه
َرْبِ ى إ َلَ ا ع ً لام َسَ ا و ًدْرَ ي ب ِ ون ُ ك ُ ار َ ا ن َ ا ي َنْلُق
“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu
dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.”
Menurut Muhammad Ali, Al-Qur’an sama sekali tidak
menyebutkan secara konkrit bahwa Nabi Ibrahim as dilempar dan dibakar dalam
kobaran api, sehingga Allah mengintruksikan kepada api agar tidak membakar Nabi
Ibrahim as dalam Al-Qur’an surah al‘Ankabut: 29: 24:
َكِلَ ي ذ ِ نه ف ِ إ ِ النهار َنِ م ُ اللَّه ُ اه َجْنَأَ
ف ُ وه ُقِِّرَ ح ْوَ أ ُ وه ُلُتْ وا اق ُال َ ق ْنَ لا أ ِ إ ِهِمْوَ ق َ اب َوَ
ج َ ان َ ا ك َمَف )٢٤( َ ون ُنِمْؤُ ي ٍمْوَقِ
ل ٍ ات َ لآي
“Maka tidak ada jawaban kaumnya (Ibrahim), selain mengatakan,
“Bunuhlah atau bakarlah dia”, lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sungguh,
pada yang demikian itu pasti terdapat tandatanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang beriman.”
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Nabi Ibrahim as
memvonis untuk membunuhnya atau membakarnya, dan Allah menyelamatkan dari
kobaran api itu. Akan tetapi dalam ayat tersebut, tidak terdapat redaksi ayat
yang secara konkrit menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim as dibakar.
Dalam Al-Qur’an Surah al-Anbiya: 21: 70:
ِ ( هِ وا ب ُ اد َرَأَو )٧٠ َ ين ِرَسْ الأخ ُمُ اه َنْلَعَجَ ا ف ًدْيَك
“Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim,
Maka Kami menjadikan mereka itu orangorang yang paling rugi”.
Diceritakan bahwa kaum Nabi Ibrahim as hendak
memperdaya Nabi Ibrahim as akan tetapi Allah menggagalkannya, dan Maulana
Muhammd Ali melanjutkan pada Al-Qur’an surah al-Saffat: 37: 98:
)٩٨( َ ين ِلَفْ
الأس ُمُ اه َنْلَعَجَ ا ف ًدْيَ ك ِهِ وا ب ُ اد َرَأَف
“Maka mereka bermaksud memperdayainya dengan
(membakar)nya, (tetapi Allah menyelamatkannya), lalu Kami jadikan mereka
orang-orang yang hina.”
Mengacu pada
Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 71 :
)٧١( َ ين ِمَال
َعْلِ ا ل َ يه ِ ا ف َنْكَ ار َ ي ب ِ الهت ِضْ ى الأر َلِ ا إ ً وط ُلَ و ُ اه َنْجهي
َنَو
“Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lutke sebuah
negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.”
Dijelaskan
bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari makar mereka dan merekapun
mengalami kehinaan, sedangkan Nabi Ibrahim as dan anak saudaranya Nabi Lutas
hijrah ke negara yang aman yaitu Pelestina atau Sham. Empat ayat diatas
merupakan data otoritatif dan argumentatif bahwa Nabi Ibrahim as tidak dibakar
seperti dalam pemahaman mayoritas penafsir dan kalangan umat Islam lainnya.
Menurutnya, pengertian ayat yang menjelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi
Ibrahim as dari api adalah menyelamatkan dari kejahatan kaumnya dengan
memerintahkan hijrah ke negara lain sebagaimana Allah menyelamatkan Nabi
Muhammad saw dari kejahatan kaum musyrik Mekkah dengan memerintahkan hijrah ke Ethiopia
dan Yathrib.
Ini
berbeda jauh dengan penafsiran M. Quraish Sihab yang menafsirkan ayat-ayat
mukjizat dengan jelas. Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat mukjizat
berangkat dari prinsip-prinsip penafsiran yang ia bangun, yaitu ketertundukan
akal pada wahyu, menurutnya akal dan wahyu mempunyai wilayah masing-masing. Ia
meyakini bahwa peristiwa pembakaran yang dialami oleh Nabi Ibrahim as itu
merupakan suatu peristiwa “keluarbiasan”, yakni diluar hukum alam yang kita
kenal yaitu yang menganut hukum kebiasaan yang sering terjadi disekitar kita,
karena itu kita tidak mengetahui hakikat daripada peristiwa itu. Objek akal
adalah sesuatu yang terjadi dan sering berulang-rulang kemudian melahirkan
hukum alam atau sunnatullah, misalnya air yang mengalir ke tempat yang rendah
dan api yang mempunyai daya bakar serta matahari terbit dari barat, semua itu
telah memunculkan teori tentang hukum alam dan sebab akibat. Hal ini tentu
berseberangan dengan pemaknaan mukjizat.
Penilaian
bahwa sesuatu itu mustahil karena akal terpaku pada kebiasaan atau hukum alam
yang biasa terjadi di depan mata, atau yang diketahui selama ini. Sehingga,
bila ada sesuatu yang berseberangan dengan jalan yang biasa dilihat atau biasa
terjadi, boleh jadi kemudian ditolak bahkan mustahil. Dari dulu, mustahil
menurut pandangan akal seorang nenek akan melahirkan cucunya. Akan tetapi,
kemustahilan itu menjadi rapuh karena kecanggihan tekhnologi rekayasa genetik.
Ia mengutip pernyataan David Hume (1711-1776), seorang filosof terkenal dari
Inggirs menyatakan bahwa cahaya yang kita lihat ketika meletusnya meriam
bukanlah sebab meletusnya meriam. Dan mengutip pendapatnya al Ghazali
(10591111) yang berkata bahwa ayam yang berkokok sebelum fajar bukan menjadi
sebab terbitnya fajar. Menurut sementara pemikir lain, mungkin apa yang
merupakan kebetulan hari ini, bisa jadi merupakan proses dari kebiasaan atau
hukum alam. ia juga mengutip riwayat yang mengatakan bahwa Jibril datang ketika
itu dan menawarkan pertolongan akan tetapi Nabi Ibrahim as menolaknya karena ia
hanya mengharapkan pertolongan Allah swt.
1. Paradigma
Saintis dan Filosof Tentang Mukjizat
Mukjizat
juga mendapatkan perhatian dan kajian mendalam bagi para Saintis dan Filosof,
Salah Satunya yaitu St. Thomas Aquinas (1226-1274) yang mengatakan bahwa
Mukjizat merupakan suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan
disebabkan oleh faktor-faktor ilahi. Menurut Aquinas sendiri, di alam semesta
ada dua bentuk keteraturan yang berjenjang dan bertingkat.
Pertama,
keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari kehendak
dan keinginan Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda
tersebut. Namun, Tuhan juga meletakkan keteraturan yang bersifat Kausalitas
pada semua benda di alam, benda-benda tersebut tersebut berjalan di atas
keteraturan esensial dan alaminya masing-masing. Kedua, keteraturan mutlak
Tuhan, dimana berasal dari ilmu dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, walaupun
realitas mukjizat “bertentangan” dengan keteraturan dan tatanan alam tapi tak
bertolak belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan kehendak
Tuhan.
David
Hume (1711-1776) mempunyai pendapat lain mengenai Mukjizat. Menurutnya, dalam
makalah yang sangat terkenal bertema “Darbore-ye mukjizat (Tentang Mukjizat)”.
Pada bagian pertama dalam makalah tersebut David Hume berusaha menunjukkan
bahwa kejadian mukjizat dikarenakan bertolak belakang dengan hukum alam maka
menjadi sangat kecil kemungkinannya dapat ditetapkan dengan bantuan bukti
sejarah yang walaupun bukti itu sangat kuat dan otentik, tapi akan menjadi
mungkin bila dijelaskan dengan dalil-dalil rasional tentang keadaan dan proses
yang paling sempurna dari kejadiannya.
Bagian
kedua dari makalah tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjizat
dapat dibuktikan, walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik dimana
digunakan oleh semua orang beragama untuk menyampaikan kejadian mukjizat,
tetapi tak satupun yang dapat dijadikan sandaran dan karena itulah kita tidak
memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik dan dalil yang kuat atas kejadian
mukjizat. Disini jelas bahwa David Hume menolak adanya mukjizat, ada beberapa
Argumen David Hume dalam menolak adanya kemungkinan pembuktian mukjizat,
berpijak pada dasar-dasar di bawah ini:
2. Eksperimen
ilmiah merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam berargumen
tentang masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk
penyelesaian segala perbedaan.
3. Orang
yang berakal niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil dan
argumen, oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan (kejadian) dengan
realitas keseharian kita, maka untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu
yang terjadi mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin kuat pula. Kebutuhan
akan dalil dan bukti yang kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan dengan
subyek masalah yang ajaib, asing, aneh dan bahkan bertentangan dengan
hukum-hukum alam, karena dalam hal ini, kita berhadapan dengan dua realitas
yang saling bertolak belakang, maka kita terpaksa membandingkan dua realitas
tersebut dan kemudian memilih salah satu realitas tersebut yang mengandung
tingkat persentase pertentangan yang rendah.
4. Keyakinan
kita kepada bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan
empirisitas. Alasan kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para
saksi sama sekali tidak berangkat dari hubungan kemestian dan keniscayaan
antara bukti-bukti dan realitas peristiwa yang diketahui saling mendahului satu
sama lain.
5. Pertentangan
mukjizat dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman kehidupan
manusia serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan
pembuktiannya. Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, “Jika
ada bukti dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan
dalil tersebut sebagai dalil versus dalil atau bukti lawan bukti, karena dari
satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan otentik sehingga ketika
obyek berita dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan dalil yang
sempurna.
Ahmad ibn Ish}aq al-Ruwandi (w. akhir abad III H)
seorang Filsuf berkebangsaan Yahudi mengatakan Mukjizat hanya semacam cerita
khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu
dapat bertasbih dan serigala dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah swt
membantu umat Islam dalam perang Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak?
al-Ruwadi juga mengingkari mukjizat Al-Qur’an karena Al-Qur’an bukan persoalan
yang luar biasa (Khariq al-‘adah). Orang non-Arab jelas heran dengan balaghah
Al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad
adalah orang yang paling fasih di kalangan orang Arab. Sehingga daripada
membaca kitab suci lebih berguna membaca buku Filsafat Epicurus, Plato,
Aristoteles, dan buku Astronomi, Logika, serta Obat-obatan. Berdasarkan paparan
di atas, makna mukjizat mempunyai perbedaan antara para sainstis, Filosofis,
dan tokoh agama. Dengan makna yang berbeda-beda menimbulkan penafsiran yang
berbeda dalam Al-Qur’an.
Makna mukjizat yang berbeda-beda disebabkan oleh sudut
pandang yang berbeda-beda mengenai sesuatu di luar nalar manusia biasa. Para
mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat mukjizat dalam al-Qur’an mempunyai
perbedan penafsiran. Ada mufassir yang mencoba menafsirkan dengan makna majazi
seakan-akan rasional dan masuk akal, mufassir lain menafsirkan dengan makna
hakiki dan memaknai bahwa mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa. Namun,
ketika memaknai Al-Qur’an sebagai mukjizat Rasulallah saw terdapat kerancuan,
dikarenakan memaknai mukjizat para Nabi sebelumnya majazi sedangkan Al-Qur’an
secara hakiki. Menerima Al-Qur’an sebagai mukjizat, namun tidak menerima
perkara yang luar biasa yang dilakukan oleh para Nabi sebelumnya sebagai
mukjizat.
B.
KONSEP TENTANG KAROMAH
Karomah
sesungguhnya merupakan istilah yang tidak asing bagi umat muslim, dimana
karomah ini merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karena hal tersebut, maka
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mempercayai adanya karomah yang dimana karomah ini
datangnya dari sisi Allah. Karomah ini, mau tidak mau akan membentuk kharisma
seseorang di mata umat. Islam mengakui tentang konsep karomah. Karomah untuk
kiai dan wali sesungguhnya memanglah ada dan diperbolehkan. Hal ini dikarenakan
karomah dianggap sebagai kejadian yang bersifat asumtif dan datang bukan dengan
tujuan untuk merusak akidah. Selain itu, Allah menciptakan karomah adalah untuk
kekasih-kekasih-Nya. Salah satu
keyakinan tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah yakin atau percaya sepenuhnya
akan adanya karomah, yang dimana karomah ini datang dari sisi Allah.
Karomah
pada dasarnya merupakan suatu hal yang dianggap bertentangan dengan adat
kebiasaan manusia pada umumnya, dan karomah ini hanya diberikan kepada
hamba-hamba Allah yang sholeh. Menurut Syekh Akbar Muhammad Fathurahman,
karomah adalah pemberian dari Allah SWT dalam bentuk pertolongan-Nya yang
diberikan kepada seseorang yang membela agama Allah. Sifat Karomah adalah
kejadian di luar batas kemampuan manusia pada umumnnya atau keluar dari
kebiasaan pada umumnnya. Karomah merupakan bagian dari Mawahib (anugerah) Allah
yang didapat tanpa melalui proses usaha juga terjadi hanya sesekali saja. Karamah berasal dari bahasa arab كرم berarti kemuliaan, keluhuran, dan
anugerah.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat
diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa
karena ketaqwaanya kepada Tuhan. Menurut ulama sufi, karamah berarti keadaan
luar biasa yang diberikan Allah SWT kepada para wali-Nya. Wali ialah orang yang
beriman, bertakwa, dan beramal shaleh kepada Allah SWT. Ulama’ sufi meyakini
bahwa para wali mempunyai keistimewaan, misalnya kemampuan melihat hal-hal
ghaib yang tidak dimiliki oleh manusia umumnya. Allah SWT dapat memberi karamah
kepada orang beriman, takwa, dan beramal shaleh menurut kehendaknya.
Misalnya,
Kejadian yang Dialami Seorang Ahli Ilmu pada masa Nabi Sulaiman a.s. Ketika
Nabi Sulaiman a.s. sedang duduk di hadapan dengan para tentaranya yang terdiri
atas manusia, hewan, dan jin, beliau meminta kepada mereka mendatangkan
singgasana Ratu Bulqis. Ada seorang yang berilmu berkata kepada Nabi Sulaiman
a.s. menurut sebuah keterangan, orang yang berilmu itu bernama Asif. Perkataan
orang berilmu tersebut diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya Q.S. an-Naml: 40,
َ َنِ م ٌمْلِ ع
ُهَدْنِ ي ع ِ الهذ َ ال َق ال َ ق ُهَدْنِ ا ع ًّرِقَتْسُ م ُ آه َ مها ر َلَ ف َكُفْرَ
ط َكْيَلِ ده إ َتْرَ ي ْنَ أ َلْبَ ق ِهِ ب َ يك ِ ا آت َنَ أ ِ ابَتِكْال َ ِ ف َرَفَ ك ْنَمَ و ِهِسْفَنِ ل ُرُكْشَ ا ي َ نهمِإَ
ف َرَكَ ش ْنَمَ و ُرُفْكَ أ ْمَ أ ُرُكْشَأَ ي أ ِنَوُلْبَيِ ي ل ِِّبَ ر ِلْضَ ف
ْنِ ا م َذَه إ يِنَ ي غ ِِّبَ نه ر ٌ يم
ِرَك
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari
Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”.
Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun
berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur
atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka
sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa
yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
Selain
itu, kejadian yang Dialami Maryam binti Imran, Nabi Zakaria a.s. menemukan
makanan setiap hadir di mihrab Maryam binti Imran. Allah berfirman dalam Q.S.
Ali Imran: 37,
َ َ ا ز َهَفهل َكَ
ا و ًنَسَ ا ح ً ات َبَ ا ن َهَتَبْنَأَ و ٍنَسَ ح ٍ ول ُبَقِ ا ب َهُّبَ ا ر َهَبهل
َقَتَف َ اب َرْحِمْ يها ال ِرَكَ ا ز َهْيَلَ ع َلَخَ ا د َ لهمُ يها ك ِرَك دَجَ
و ِ ٍ ب ُ اء َشَ ي ْنَ م ُقُزْرَ ي َ نه اللَّه
ِ إ ِ اللَّه ِدْنِ ع ْنِ م َوُ ه ْتَال َ ا ق َذَ ه ِكَ نهى ل َ أ ُمَيْرَ ا م َ ي
َ ال َ ا ق ًقْزِ ا ر َهَدْنِع اب َسِ ح ِرْيَغ
“Maka
Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya.
Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di
sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?”
Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
Peristiwa
yang disaksikan Nabi Zakaria a.s. merupakan karamah yang dianugerahkan Allah
SWT kepada maryam binti Imran. Allah SWT mentakdirkan bahwa pengasuh Maryam
adalah pamannya sendiri, yakni Nabi Zakaria a.s. Karomah memang identik dengan
hal-hal yang tidak masuk nalar. Akan tetapi ia adalah nyata dan haqq, seperti
halnya mukjizat para nabi. Bedanya, jika mukjizat disertai dengan pengakuan
kenabian (nubuwwah), pada karomah hal itu tidak ada. Karomah ini oleh Allah
diberikan kepada para wali yang benar-benar beriman dan bertakwa hanya kepada
Allah. Firma Allah mengenai sifat-sifat dari wali Allah ini yaitu sebagai
berikut:
َ ون ُ تهق َ ي
ْوا ُ ان َكَ و ْوا ُنَ ام َ ء َ ين ِ ٱلهذ َ ون ُنَزۡحَ ي ۡمُ ه َ لاَ و ۡمِهۡيَلَ
ع ٌف ۡ وَ خ َ لا ِ ٱللَّه َءٓاَيِل ۡ وَ نه أ ِ إ ٓ َ لاَأ
“Ketahuilah
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak
pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa
bertaqwa”. (QS. Yunus: 62-63).
Berdasarkan
ayat di atas, diketahui bahwa sifat-sifat dari wali Allah yaitu: “Orangorang
yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya dan hari akhir serta beriman dengan takdir yang baik maupun yang
buruk.” Menurut Imam alQusyairi dalam ar-Risalah, seorang wali tidak akan
merasa nyaman dan peduli terhadap karomah yang dianugerahkan kepadanya.
Meskipun demikian, kadang-kadang dengan adanya karomah, keyakinan mereka
semakin bertambah sebab mereka meyakini bahwa semuanya itu berasal dari Allah.
Pengertian
dari karomah itu sendiri menurut Abul Qasim al-Qusyairi yaitu karomah merupakan
suatu aktivitas yang dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan adat
kebiasaan manusia pada umumnya, yaitu dapat juga dianggap sebagai realitas
sifat wali-wali Allah tentang sebuah makna kebenaran dalam situasi yang
dianggap kurang baik. Karomah ini juga dapat dianggap sebagai hal yang sangat
luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada kekasihkekasih pilihanNya.
Sedangkan menurut Syeck Ibrahim Al Bajuri dalam kitabnya dijelaskan bahwa
karomah adalah sesuatu luar biasa yang tampak dari kekuasaan seorang hamba yang
telah jelas kebaikannya yang diteyapkan karena adanya ketekunan didalam
mengikuti syariat nabi.
Selanjutnya
Said Hawwa juga menjelaskan bahwa karomah memang benar-benar telah terjadi dan
akan tetap terjadi pada wilayah tasawuf. Karomah juga bisa terjadi pada orang
yang belum sempurna istiqamahnya. Tapi bagi orang-orang yang benar-benar lurus,
istiqamah, dan tampak karomahnya, barangkali karomahnya tersebut identik dengan
tanda kewalian. Karomah dapat berarti juga peristiwa yang luar biasa, yang
keluar dari hukum alam. Namun karomah tersebut dapat pula berarti merupakan
akibat dari suatu sebab tapi masih dalam lingkup manifestasi taufik Allah.
Adapun
dalam kitab Jauharut Tauhid karya Syaik Ibrahim al-Laqqani ini sendiri tertulis
atau tergambar berbagai macam tokoh atas bermacam-macam karomah, yaitu dimana
salah satunya ialah kisah dari pada Ashabul Kahfi yakni ketujuh orang pemuda
keturunan bangsawan dari Rum yang sangat mengkhawatirkan keimanan mereka.
Peristiwa ini terjadi sesudah zaman Nabi Isa A.S. Raja mereka tidak sepaham
bahkan sangat benci sekali dengan apa yang mereka yakini. Mereka pun keluar
menjauhi kerajaan dan masuk kedalam gua lalu tertidur didalamnya selama 309
tahun. Dan itulah salah satu dari pada bentuk karomah yang ada dalam islam
versi kitab Jauharut Tauhid karangan Syaikh Ibrahim Al-Laqqani.
Adapun
jika kita mengambil contoh lain ialah kejadian yang dialami oleh Maryam Binti
Imran R.A. yang selalu mendapatkan makanan di Mihrab, sedangkan Maryam sendiri
tidak pernah keluar dari Mihrab. Hal ini diabadikan dalam Q.S. Al-Imran ayat
37. Selain itu, kejadian pada Amir Bin Fuhairah ketika wafat, jasadnya diangkat
oleh para malaikat dan disaksikan oleh para sahabatnya Amir bin Thufail. Kemudian pada buku Meluruskan Pemahaman
Tentang Wali karya Abu Fajar Alqalami, dijelaskan bahwa karomah atau
kekeramatan disebut juga khariqul ’adah, yaitu suatu kejadian yang dianggap
luar biasa. Karomah ini diberikan oleh Allah kepada kekasih-kekasih pilihanNya
yang bertakwa, shalih sebagai hujjah agamaNya dan untuk menolong mereka dari
usuh-musuh Allah, sebagaimana mukjizat para nabi sebagai hujjah orang-orang
yang ingkar kepada Allah. Lebih lanjut lagi, dijelaskan bahwa menurut arti
asalnya karomah ialah kemuliaan atau kemurahan hati. Sedangkan menurut istilah
perwalian, karomah mempunyai makna kejadian luar biasa (khairqul’adah) yang
terjadi pada wali (kekasih-kekasih Allah).
Karomah
pemberian Allah itu pada dasarnya adalah sebagian dari mukjizat-mikjizat para
nabiNya. Sebagian mukjizat Nabi Muhammad SAW diantaranya yaitu Nabi Muhammad
SAW dapat membelah bulan dengan ijin Allah (HR. Bukhari dan Muslim), dan
batu-batu kerikil tibatiba mengucapkan tasbih ketika dipegang dan diletakkan
ditelapak tangan Nabi SAW (HR. Bazzar dari Abu Dzar). Di samping itu, ada juga
sahabat-sahabat Nabi yang termasuk dalam kategori wali Allah dan mempunyai
karomah dalam dirinya. Wali Allah sama sekali tidak pernah dengan sengaja
menampakkan kekeramatannya di depan orang banyak sekedar agar mendapat pujian.
Namun kekeramatannya itu muncul karena hujjah atau dalam keadaan terpaksa.
Adapun
bilamana ada seorang wali Allah yang dimana dirinya hanya mengharapkan untuk
mendapatkan karomah, maka wali tersebut tidak termasuk dalam golongan wali yang
tinggi derajatnya. Ibnu Athaillah pernah mengatakan bahwa: “Kemahuan yang
tinggi tidak sampai menembusi tembok-tembok takdir.” Maksud dari perkataan Ibnu
Athaillah ini adalah karomah tidak akan bertentangan dengan takdir yang telah
ditetapkan, karena semua yang terjadi di alam raya ini baik hal biasa maupun
hal yang luar biasa sumber utamanya adalah takdir yang telah ditetapkan oleh
Allah.
Oleh
karena hal tersebut, maka pada umumnya apaapa kemauan dari wali tidaklah pernah
bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan tersebut. Selanjutnya, sebagian ciri-ciri seorang hamba
yang memiliki karomah diantaranya yaitu: (1) tidak memiliki doa-doa khusus
sebagai suatu bacaan; (2) karomah hanya terjadi pada seorang yang sholeh; (3)
seseorang yang memiliki karomah tidak pernah secara sengaja mengaku-ngaku bahwa
dirinya memiliki karomah. Maksud atau tujuan dari pemberian karomah tersebut
kepada para wali ialah: (1) dapat lebih meningkatkan keimanan kepada Allah; (2)
masyarakat menjadi lebih percaya kepada seorang wali Allah, yang senantiasa
meneruskan perjuangan nabi Muhammad SAW; dan (3) karomah merupakan bukti nyata
meninggikan derajat seorang wali agar dirinya selalu tetap istiqomah di jalan
Allah.
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan di atas, pada penelitian ini peneliti hendak
mengkaji lebih jauh mengenai konsep karomah berdasarkan kitab Jauharut Tauhid
karya Syaik Ibrahim al-Laqqani dan buku Meluruskan Pemahaman Tentang Wali Karya
Abu Fajar Alqalami. Hal ini bertujuan untuk membandingkan bagaimanakah konsep
karomah antara keduanya dengan dihubungkan pada kehidupan nyata sekarang ini.
Dengan mengetahui konsep karomah tersebut, diharapkan hal ini akan dapat
meningkatkan keimanan serta ketaqwaan kepada Allah SWT, serta tidak akan salah
mengenai konsep karomah sesungguhnya, mengingat di era modern ini ditemukan
banyak orang-orang yang mengaku-ngaku dirinya memiliki karomah.
Banyak
diskusi tentang perwalian menjadi berhenti karena takut salah membahas. Atau
diskusi perwalian menjadi dangkal karena bahan materi yang tersedia tidak
terlalu banyak. Termasuk diskusi perwalian menjadi terhambat karena yang
mengajak diskusi bukan wali dan dihentikan dengan kalimat “la ya’rifu al-wali
illa al-wali”, tidak mengetahui kewalian seseorang kecuali seseorang wali”.
Nampaknya memang suasana yang demikian butuh pencerahan. Satu sisi memang
positif bahwa membincang soal wali bukan hanya sekedar bicara individu manusia
saja. Akan tetapi lebih luas karena wali merupakan orang pilihan dan harus
dihormati.
Namun
jika diskusi membahas wali itu berhenti, maka generasi yang akan datang tidak
akan mendapat kisah tentang wali-wali dan bakal tersimpan rapat oleh generasi
tua. Bagaimana Syekh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat)
memberi dasar tentang pemahaman wali dan karomahnya? Diantara penjelasan Mbah
Sholeh Darat tentang wali dan karamah adalah dalam syarh nadzam Jauhar
al-Tauhid Syekh Ibrahim Allaqani:
واثبتن للاوليإ الكرامة
٭ ومن نفاها انبذن كلامه.
Wali
menurut Mbah Sholeh Darat adalah seorang ‘arif billah (mengetahui Allah)
sekedar derajat dengan menjalankan secara sungguh-sunggu taat kepada Allah dan
menjauhi ma’siyat. Artinya para wali itu menjauhi segala macam kemaksiyatan berbarengan
dengan selalu bertaubat kepada Allah. Sebab wali itu belum kategori ma’shumin
(terjaga) seperti Nabi. Maka wali belum bisa meninggalkan ma’siyat secara
penuh.
Makanya
mereka disebut waliyullah. Keberadaan wali yang sedemikian agung ini mendapatkan
keistimewaan dalam hidupnya. Mereka dalam hidupnya selalu mengingat dan
menggantungkan diri, dan menyatukannya pada Allah. Hati selalu menghadap dan
pasrah dengan taqdir Allah saja. Itulah definisi sederhana mengenai wali
menurut Mbah Sholeh Darat. Adapun karomah menurut Mbah Sholeh Darat sesuatu
yang nulayani adat (berbeda dari sewajarnya) jika dilihat secara kasat mata.
Mereka yang mendapat karomah selalu menunjukkan kepribadian baik dan meniru
jejak Rasulullah dengan bekal syariah dan baik secara ideologi serta
perilakunya.
Karomah
yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak ketika hidup saja. Tetapi
setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut ahlussunnah
wal jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu
diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab sudah bersepakat mengenai
karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat. Para ulama muhaqqiqin menyampaikan:
“Barangsiapa yang tidak nampak karamanya setelah meninggal sebagaimana karamah
ketika masih hidup, maka itu tidak benar”.
Imam
Sya’roni juga berpesan kepada para Syaikh: “Sesungguhnya Allah SWT itu selalu
membuat wakil berupa satu malaikat di dalam kuburnya para wali, yang bertugas
mengabulkan seluruh hajat manusia”. Selain itu, seorang waliyullah juga
terkadang keluar dari kuburnya untuk mengabulkan hajat manusia yang meminta
hajat sebagaimana persaksian karomah para wali itu secara kasat mata (musyahada
karamah al-auliya’). Sebagaimana Sayyid Al Aidarusi Al Adnani, Shahib Al
Tubani, Sayyid Abdul Qadir Al Jilani, Sayyid Ahmad Al Badawi. Satu pertanyaan yang dimunculkan oleh Mbah
Sholeh Darat dalam Kitab Sabil Al ‘Abid adalah: “Kenapa zaman akhir para wali
banyak kelihatan karomahnya? Dan kenapa zaman Sahabat dan Tabi’in tidak nampak
wujud karomah wali?”
Oleh
Mbah Sholeh dijawab, bahwa zaman akhir ditunjukkan banyak karomah karena
manusia di zaman akhir banyak kesalahan (dla’if) keyakinan agamanya. Maka
mereka didampingi oleh para wali dengan karomahnya agar semakin kuat keyakinan
agamanya dan patuh kepada orang shalih. Dengan demikian, generasi zaman akhir
tidak mudah menghina para orang-orang sholih. Berbeda dengan orang-orang zaman
al-awwalin (periode Sahabat dan Tabi’in) yang dalam hidupnya masih sangat yakin
kepada orang-orang shalih. Sehingga karamah para wali tidak diperlihatkan.
Apalagi pada zaman Sahabat, dimana Rasulullah SAW masih hidup bersama mereka.
Penjelasan Mbah Sholeh tentang wali ini merupakan dasar dari pemaknaan kata
wali dan karomah cukup memberikan pencerahan.
Penjelasan
lengkap mengenai wali dalam karya tulis Mbah Sholeh Darat terdapat dalam Kitab
Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Ma’rifah al-Adzkiya il Thariqi al-Auliya’ (tebalnya
kitab ini 516 halaman). Ini menjadi ‘ibrah bahwa generasi masa kini hendaknya
menghormati orang shalih dan selalu ingin dekat kepada orang terkasih. Derajat
wali pada hakikatnya titipan dari Allah, bukan predikat yang dipasang secara
mandiri dan diumumkan.
Macam-Macam
Karomah
Macam-macam
Karomah itu banyak, tetapi karomah yang paling besar yang dimiliki seorang wali
adalah mendapat pertolongan untuk taat dan terjaga dari kemaksiatan dan
pertentangan. Diriwayatkan dari Sahal bin Abdullah bahwa dia berkata: “Barang
siapa zuhud di dunia ini selama empat puluh lima hari dengan betul-betul tulus
keluar dari hatinya dan ikhlas. Maka ia akan mempeoleh karomah. Barang siapa
yang tidak memperoleh, maka zuhudnya tidak benar”. Sahal pernah ditanya
“Bagaimana karomah itu diperoleh” Dia menjawab “Dia harus mengambil apa yang
dia kehendaki seperti dia kehendaki dan dari tempat yang di kehendaki.
Dalam
Iqādhul Himami sarah dari al-Hikam disebutkan karomah itu ada dua macam,
karomah hissyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air, dan karomah
ma’nawiyah seperti terbukanya hijab kelalaian, sucinya hati/kasyaf, nyatanya
‘irfan dan naik pada maqam ihsan. Seseorang mendapatkan karomah hissiyah karena
dirinya telah keluar dari kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh manusia,
banyak makan, minum, tidur, berpakain indah, campur dengan manusia, banyak
bicara, permusuhan dan tengelam dalam ibadah dhahir dan ilmu-ilmu dhahir.
Sedangkan karomah ma’nawiyah diperoleh karena dia telah meninggalkan kebiasaan
ma’nawiyah seperti cinta pada kedudukan dan kemulyaan, mencari keistimewaan,
cinta dunia dan pujian, dengki, ujub, sombong, riya’, tama’ takut miskin dan
lain-laim. Jadi barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan hissiyah
(jasad) dengan riadhah maka dirinya akan mendapatkan karomah hissiyah seperti
terbang di udara, berjalan di atas air dan lain sebagainya. Dan barang siapa
yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ma’nawi maka akan mendapat karomah
ma’nawiyah, seperti kasyaf.
Imam
Tajus Subhi menyebutkan dalam Tabaqaatul Qubra Karomah itu bermacam-macam. Imam
Taajus Subhi mengatakan “Dugaan saya mengatakan bahwa karomahnya para wali itu
lebih dari seratus, saya telah meninggalkan dan mendatangkan sesuatu yang cukup
dan sampai bagi orang-orang yang hilang sifat kelalaianya. Macam-macam karomah
dari setiap macam karomah sangat banyak dijumpai dalam kisah-kisah yang sangat
masyhur dan juga dalam hadits, maka di kemudian hari tidaklah kebenaran tetapi
kesesatan setelah datangnya kebenaran dan tidak ada sesuatu setelah penjelasan
petunjuk kecuali kemustahilan dan bagi orang-orang yang mendapat pertolongan
menerimanya, semoga Allah SWT menjumpakan orang-orang shaleh seperti itu,
karena mereka dijalan yang lurus. Seandainya saya menukil tentang perkara yang
ada pada orang shaleh maka akan menyesakkan nafas dan kertas.
Dalam
Muqaddimah Thabaqotus Shughra Imam Abdur Ra’uf menjelaskan tentang model-model
karomah dalam bentuk lain. Beliau tidak menisbatkan Thabaqatnya dari Sayyid
Muhyiddin bin Al-Arabi dalam kitabnya Mawaqiun Nujum tetapi Abdur Ra’uf Munadi
meringkas, memilih dan menyuguhkan sekira kitab itu jelas baginya. Imam Abdur
Ra’uf Almunadi mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya yang dimaksud dengan
kejadian karomah adalah: Bahwa Allah menampakkan keajaibannya kepada kekasihnya
(wali). Adapun Alam ruhani thīn (tanah)
yaitu setiap hamba yang memiliki sifat-sifat malaikat yang selalu menghadap
Allah dalam kesungguhan perjuangan dan memiliki sifat-sifat yang sempurna
seperti Nabi Khidhir, dan hamba sepertinya.
Tidakkah
kamu melihat Ibrahim AlKhawas ketika berkumpul dengan Nabi Khidhir, bagaimana
berkumpulnya Ibrahim dengannya dijadikan karomah. Maka Ibrahim berkata kepada
Nabi Khidhir “Dengan apa aku dapat melihatmu?” Nabi Khidhir menjawab “Dengan
kebaikanmu terhadap ibumu”. Maka berkumpul dengan para sayyid menjadikan wali
berbahagia, dan nyatalah bahwa Allah SWT menemani para wali, yaitu Allah
mengumpulkan para wali dengan hamba yang ta’at dan hamba yang istimewa dan
Allah melimpahkan rasa cinta di antara mereka. Menurut buku yang di kutip dari
Ensiklopedi Tasawuf karya Azyumardi Azra.
Dalam
kosakata Bahasa Indonesia, karamah dikenal dengan istilah keramat. Maka karamah
alAwaliyya berarti keramat para wali. Perkataan karamah adalah kosa kata Bahasa
arab yang secara Bahasa mengandung tiga pengertian yakni, al-ikrām, kemuliaan
atau kehormatan; alTaqdir, penghargaan; dan al-Wala, persahabatan atau
pertolongan. Jadi karamah berdasarkan pengertian kebahasaan tersebut adalah
kemuliaan, kehormatan dan penghargaan yang dimiliki para wali berkat
persahabatan mereka dengan Allah dan pertolongan Allah kepada mereka. Dalam hal
ini, karamah termasuk salah satu perlakuan khusus yang diberikan Allah kepada
para wali atau hamba-hamba pilihan-Nya. Para ulama sepakat bahwa karamah
terjadi pada diri para wali. Menurut al-Hujwiri (w. 465 H/ 1072 M) seorang
penulis tasawuf, karamah bisa diberikan kepada seorang wali selama ia tidak
melanggar ketentuan-ketentuan agama.
Sebab
karamah itu merupakan tanda kelurusan seorang wali. Allah tidak akan pernah
memberikan karamah kepada orang yang tidak berpegang teguh kepada syari‟at,
meskipun ia mengaku dirinya wali. Pengakuan orang menjadi wali dan mendapatkan
karamah, padahal ia tidak berpegang teguh kepada syari‟at menunjukan bahwa
pengakuannya sebagai wali itu palsu. Sejalan dengan pendapat al-Hujwiri, Syaikh
Yusuf Taj al-Khalwat (1699 M) menyatakan, “Kaum arīfun bi Allah (para sufi yang
telah ma‟rifat kepada Allah) bersepakat bahwa berpegang kepada syari‟at
merupakan syarat memperoleh ke alian. Tanpa berpegang dan mengamalkan syari‟at,
seseorang selamanya tidak akan pernah menjadi wali meskipun dapat menunjukan sesuatu
yang bertentangan dengan hukum alam. Sebab, sesuatu yang bertentangan dengan
hukum alam bisa terjadi pada seseorang yang bukan wali yang dinamakan
istidraj.
Karamah
muncul dari seorang yang shaleh yang berpegang kepada syariat. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: “Wali Allah adalah
orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah. Ingatlah sesungguhnya wali-wali
Allah itu tidak ada ketakutan pada diri mereka dan mereka tidak merasa hawatir.
Mereka beriman dan bertaqwa kepada Allah, bertaqwa dalam pengertian mentaati
firman-firman-Nya, penciptaanNya, izin-Nya, dan kehendak-Nya yang termasuk
dalam ruang lingkungan agama. Semua itu kadang-kadang menghasilkan berbagai
karamah pada diri mereka sebagai hujjah dalam agama dan bagi kaum muslimin,
tetapi karamah tersebut tidak akan pernah ada kecuali dengan menjalankan
syari’at yang dibawa Rasulullah saw.
Al-Husayni,
penulis kitab Jamharat al-Awliya wa A’lam Ahl al-Tasawwuf, membagi Karamah
kedalam dua jenis. Pertama, Karamah al-Hisiyyah atau karamah yang bersifat
fisikindrawi. Kedua, Karamah al-Ma’nawiyyah atau karamah yang bersifat maknawi.
Karamah yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan atau
hukum alam secara fisik-indrawi seperti kemampuan seseorang berjalan diatas air
atau berjalan di udara. Karamah yang kedua merupakan sikap istiqamah seorang
hamba di dalam menjalin hubungan dengan Allah secara lahiriah maupun secara
batiniah yang menyebabkan hijab (tabir) tersingkap dari kalbunya hingga ia
mengenal kekasihnya dan merasa ketentraman dengan Allah. Allah memberikan
Karamah kepada Maryam, seperti tergambar pada ayat Allah dalam al-Qur‟an surat
Ali Imran ayat 37:
ُّ َ بَ ا ر َهَبهل َقَتَف اب َرۡحِمۡ َ يها ٱل ِرَكَ
ا ز َهۡيَلَ ع َلَخَ ا د َ لهمُ ك ۖيها ِرَكَ ا ز َهَفهل َكَ ا و ٗنَسَ ا ح ً ات َبَ
ا ن َهَتَبۢنَأَ و ٖنَسَ ح ٍ ول ُبَقِ ا ب َه ۖ جَ و اٗق ۡ زِ ا ر َهَ ند ِ ع َد َ
شَ ن ي َ م ُقُز ۡ رَ ي َ نه ٱللَّه ِ إ ِۖ ٱللَّه ِ ند ِ ع ۡنِ م َوُ ه ۡتَال َ ق
ۖاَذََٰ ه ِكَ ل َٰ نهىَ أ ُمَي ۡ رَمََٰ ي َ ال َق ٍ اب َسِ ح ِرۡيَغِ ب ُءٓا
Maka
Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya
pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati
makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu
memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi
Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa hisab. (QS. Ali Imran ayat 37).
Sebagai
bentuk ketaatan, Allah memerintahkan Maryam agar selalu menyembah-Nya, selalu
bersujud dan ruku kepada-Nya bersama dengan orang-orang yang menyembah Allah.
Sampai suatu hari Allah memberikan suatu keajaiban yang tidak disangka-sangka
bagi Maryam. Allah memberikan sebuah kemuliyaan terhadapnya sebagaimana yang
digambarkan Allah dalam firmannya diatas, bahwasanya Maryam memperoleh makanan
yang dikirimkan kepadanya sebagai tanda bahwa Allah telah memberikan kelebihan
kepadanya. Sebagian ahli tafs r mengatakan makanan yang diperoleh oleh Maryam
adalah buah-buahan musim panas diperolehnya ketika musim dingin, buah-buahan di
musim dingin diperolehnya ketika musim panas, ini adalah bukti kekuasaan Allah
yang telah Allah anugerahkan kepada hamba pilihan.
Ibnu
Katsir menjelaskan bahwa: Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Sahi ibnu Zanjilah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Saleh, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Luhai'ah, dari Muhammad
ibnu Munkadir, dari Jabir, bahwa Rasulullah saw. Pernah tinggal selama beberapa
hari tanpa makan sesuap makananpun hingga kelihatan beliau sangat berat. Lalu
beliau berkeliling kerumah istri-istrinya, tetapi tidak menemukan sesuap
makananpun pada seseorang diantara mereka. Maka beliau saw. Datang kerumah
Fatimah (putrinya), lalu bersabda, "Hai anakku, apakah engkau mempunyai
sesuatu makanan yang dapat ku makan? Karena sesungguhnya aku sedang
lapar." Fatimah menjawab, "Tidak, demi Allah." Ketika Nabi saw.
Pergi dari rumahnya, tiba-tiba Siti Fatimah mendapat kiriman dua buah roti dan
sepotong daging dari tetangga wanitanya, lalu Fatimah mengambil sebagian
darinya dan diletakan didalam sebuah panci miliknya, dan ia berkata kepada
dirinya sendiri, "Demi Allah, aku benar-benar akan mendahulukan Rasulullah
saw. Dengan makanan ini dari pada diriku sendiri dan orang-orang yang ada
didalam rumahku," padahal mereka semua memerlukan makanan yang cukup.
Kemudian Fatimah menyuruh Hasan atau Husain untuk mengundang Rasulullah saw.
Ketika Rasulullah saw datang kepadanya, maka ia berkata, "Demi Allah,
sesungguhnya Allah telah memberikan suatu makanan, lalua kusembunyikan
buatmu." Nabi saw. bersabda, "Cepat berikanlah kepadaku, hai
anakku." Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menyuguhkan panci
tersebut dan membukanya. Tiba-tiba panci itu telah penuh berisikan roti dan
daging. Ketika Fatimah melihat kearah panci itu, maka ia merasa kaget dan sadar
bahwa hal itu adalah berkah dari Allah swt. Karena itu, ia memuji kepada Allah
dan mengucapkan salawat buat Nabi-Nya. Lalu Fatimah menyuguhkan makanan
tersebut kepada Rasulullah saw. Ketika beliau saw. melihatnya, maka beliau
memuji kepada Allah dan bertanya, "Dari manakah makanan ini, hai
anakku?" Fatimah menjawab bahwa makanan tersebut dari sisi Allah.
Di
antara Karomah para wali yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah apa yang
terjadi pada Dzul Qornain yaitu seorang raja yang shalih yang Allah nyatakan:
“Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi dan kami
telah memberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu”. (Al Kahfi :84)
Dan juga dialah yang telah membuat pembatas yang membatasi antara manusia
dengan Ya’juj dan Ma’juj hingga hari akhir, kisah ini terdapat dalam surat Al
Kahfi:83-98.
Di
antara Karomah para wali juga apa yang terjadi pada kedua orang tua seorang
anak yang dibunuh oleh nabi Khidhir yang ketika itu nabi Musa mengatakan:
“Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih padahal dia tidak membunuh orang lain,”
yang kemudian Khidhir menjawabnya: “Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya
adalah orang yang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan menariknya kepada
kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi:74)
Apa yang disebutkan di dalam kisah tiga orang yang berlindung kedalam
gua namun tiba-tiba jatuhlah batu besar sehingga menutupi pintu gua dan
akhirnya mereka tekurung di dalamnya, kemudian mereka bertawassul dengan
amalan-amalan shalih masing-masing.
Salah
seorang diantara mereka ada yang bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu
berbakti kepada kedua orang tuanya, yang kemudian ia berdoa: “Ya Allah jika
perbuatan ini semata-mata karena mengharap ridho-Mu maka geserlah batu ini.”
Kemudian batu itu bergeser sedikit. Orang kedua pun bertawassul dengan amalan
shalihnya yaitu dengan dia bisa menjaga dirinya dari terjatuh ke dalam
perbuatan zina dengan saudara sepupunya, padahal ia mampu untuk melakukan
perbuatan itu. Kemudian batu itu bergeser sedikit namun mereka belum bisa
keluar.
Kemudian
orang yang ketiga bertawassul dengan amalan kebaikannya, yang ketika dulu ia
pernah berbuat baik kepada karyawannya yang pergi meninggalkannya tanpa
mengambil gajinya terlebih dahulu, kemudian gajinya itu dia kembangkan dengan
penuh amanah sampai harta tersebut menjadi banyak, selang beberapa tahun
karyawan itu datang kembali untuk mengambil gajinya yang dulu belum ia ambil,
kemudian orang itu memberikan semua gajinya yang telah berkembang menjadi harta
yang banyak, maka batu pun bergeser sehingga mereka dapat keluar dari gua
tersebut, Allah selamatkan mereka dengan sebab tawassul mereka itu.
Kisah
tersebut terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari
sahabat Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma. Para ulama menyebutkan bahwa
kisah di atas termasuk Karomah para wali.
Apa yang terjadi pada Ummul mukminin Khodijah bahwasanya Jibril datang
pada Rasulullah dengan menyampaikan salam Allah untuk Khodijah serta
menyampaikan berita gembira baginya bahwa ia akan mendapatkan rumah yang
terbuat dari permata berlian yang indah di jannah. (HR. Bukhori dari sahabat
‘Aisyah).
Dan
ini merupakan dalil bahwa Karomah pun terjadi pada seorang perempuan. 7. Apa
yang telah mutawatir tentang berita salafus shalih akan perkara Karomah yang
terjadi pada diri mereka, dan generasi setelah mereka. Mu’jizat terjadinya dengan unsur kesengajaan
dan ada kaitannya dengan kenabian, adapun Karomah terjadinya tidak demikian.
Karomah terjadinya pada seseorang baik laki-laki maupun perempuan merdeka
maupun budak, selama ia seorang yang shalih. Sedang mu’jizat tidaklah terjadi
kecuali pada seorang Nabi atau Rasul yang tentunya seorang Nabi atau Rasul
adalah seorang laki-laki dan bukan seorang budak. Ada sesuatu yang bukan
mu’jizat dan juga bukan Karomah, dia adalah “al-Ahwal al-Syaithoniyyah”
(perbuatan syaithon).
Inilah
yang banyak menipu kaum muslimin, dengan anggapan bahwa ia Karomah, padahal
justru tidak ada kaitannya dengan Karomah, karena karomah datangnya dari Allah
sedangkan ia jelas datangnya dari syaithon. Sebagaimana yang terjadi pada
Musailamah al-Kadzdzab dan alAswad al-Ansyi (dua orang pendusta di zaman Rasulullah
yang mengaku menjadi nabi) dan menyampaikan perkara-perkara yang ghoib, ini
jelas merupakan perbuatan syaithon. Demikian pula Karomah para wali disebabkan
karena kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka ia pun menjadi wali Allah”.
Sedangkan perbuatan syaithon ini dikarenakan kufurnya mereka kepada Allah
dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan kepada Allah, dan
syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan.
Karomah
merupakan suatu pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa
susah payah darinya, berbeda dengan perbuatan syaithon, maka ini terjadi dengan
susah payah setelah sebelumnya ia berbuat syirik kepada Allah. Karomah para
wali tidak bisa disanggah atau dibatalkan dengan sesuatupun. Berbeda dengan
perbuatan syaithon yang dapat dibatalkan dengan menyebut nama-nama Allah atau
dibacakan ayat kursi atau yang semisalnya dari ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan, Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ada
seseorang yang terbang di atas udara kemudian datang seseorang dari
Salafushshalih lalu dibacakan ayat kursi kepadanya maka seketika itu dia jatuh
dan mati.
Karomah
itu tidaklah menjadikan seseorang sombong dan merasa bangga diri, justru dengan
adanya Karomah ini menjadikannya semakin bertaqwa kepada Allah dan semakin
mensyukuri nikmat Allah. Adapun perbuatan syaithon bisa menjadikan seseorang
bangga diri atau sombong dengan kemampuan yang dia miliki serta angkuh terhadap
Allah, sehingga jelaslah bagi kita akan hakekat Karomah dan perbuatan
syaithon.
Ada
beberapa kelompok yang mengingkari adanya Karomah, yaitu: Jahmiyah, Mu’tazilah’
dan Wahabiyah. Mereka berdalil dengan syubhat-syubhat yang dilandasi dengan
akal mereka yang rendah. Mereka mengatakan: “Bahwa terjadinya Karomah itu hanya
merupakan perkara yang akan menjadikan kesamaran antara nabi dengan para wali
dan antara wali dengan Dajjal.” Bantahan syubhat ini (secara ringkas) adalah:
Pertama:
kita yakin dengan keyakinan yang penuh bahwa Karomah itu benar-benar ada
berdasarkan dalil baik dari alQur’an maupun Sunnah Nabi dan kenyataan yang ada.
Kedua:
ucapan mereka bahwa Karomah dapat menjadikan kesamaran antara wali dengan
seorang Nabi, justru tidaklah demikian karena wali sama sekali tidak berkaitan
dengan kenabian, dan apa yang terjadi dari Karomah itu dikarenakan kuatnya
keimanan dan ketakwaan dia kepada Allah dan disebabkan waro’nya. Sedangkan
kesamaan antara wali dengan Dajjal, maka sungguh dapat dilihat dari kehidupan
seseorang yang terjadi padanya keluarbiasaan itu.
Kemudian
dilihat dari keadaan orang ini apakah dia seorang yang shalih atau seorang yang
fasiq. Demikianlah timbangan yang benar di dalam menghukumi seseorang yang
terjadi padanya perkara-perkara yang diluar kebiasaan manusia. Karomah sebagaimana mukjizat adalah sesuatu
yang luar biasa yang dianugrahkan kepada para kekasih Allah, namun tidak
disertai dnegan pengakuan kenabian dari mereka. Lain halnya dengan mukjizat,
ketampakannya itu disertai dnegan pengakuan kenabian dari seorang nabi yang
membawa risalah kenabiannya.
Seorang wali itu ia orang yang mengerti dan paham
tentang ketuhanan melalui sifat-sifat kesempurnaan-Nya, ia juga orang yang taat
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta menghindari hal-hal
yang menghantarkannya pada kenikmatan duniawi dan sahwat. Tampaknya suatu
karomah atau kekeramatan dari seorang wali adalah sebagai penghormatan baginya
dari Tuhannya dan isyarat atas diterimanya segala perbuatan yang telah
dilakukannya sebagai persembahan dan ibadah kepada Tuhannya (Allah Swt). Satu
hal lagi, bahwa seorang wali itu adalah umat dari seorang nabi, maka seseorang
itu tidak akan menjadi wali tanpa mengakui risalah kenabian dari nabinya
tersebut.
Dan
mengikutinya dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan segala ajaran yang dibawa
oleh Nabinya. Maka apabila ada seseorang yang dengan sendirinya tanpa mengikuti
risalah kenabian dari nabinya, maka dapat dipastikan ia tidak akan dianugrahi
karomah, dan tidak akan menjadi seorang wali (kekasih) bagi Tuhan yang Maha
Pengasih. Melainkan ia menjadi kekasih dan pemuja para syaithan, sebagaimana
telah diisyaratkan oleh Allah Swt dengan melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad
Saw, untuk sampaikan kepada orang-orang yang menyangka dirinya menyintai Allah
Swt.
C.
Konsepsi Tentang Sihir
Sihir
dalam bahasa Arab tersusun dari huruf ر,
ح, س (siin, kha, dan ra), yang secara bahasa bermakna segala sesuatu yang
sebabnya nampak samar. Oleh karenanya kita mengenal istilah ‘waktu sahur’ yang
memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, kha dan ra, yang artinya waktu ketika
segala sesuatu nampak samar dan remang-remang. Seorang pakar bahasa, alAzhari
mengatakan bahwa, “Akar kata sihir
maknanya adalah memalingkan sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada seorang
menampakkan keburukan dengan tampilan kebaikan dan menampilkan sesuatu dalam
tampilan yang tidak senyatanya maka dikatakan dia telah menyihir sesuatu”.
Para
ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata ‘sihir’ secara
istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar-benar terjadi
‘riil’, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar
terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang memberikan pengaruh baik
secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit, atau
bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau membuat istri orang
lain mencintai dirinya.” Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa sihir
hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya.
Sebagaimana
dikatakan oleh Abu Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala sesuatu yang sebabnya
samar dan bersifat mengalabui, tanpa adanya hakikat, dan terjadi sebagaimana
muslihat dan tipu daya semata.” Al-Laits mengatakan, Sihir adalah suatu
perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada syaitan dengan bantuannya.
Al-Azhari mengemukakan, Dasar pokok sihir adalah memalingkan sesuatu dari
hakikat yang sebenarnya kepada yang lainnya. Ibnu Manzur berkata: Seakan-akan
tukang sihir memperlihatkan kebathilan dalam wujud kebenaran dan menggambarkan
sesuatu tidak seperti hakikat yang sebenarnya.
Dengan
demikian, dia telah menyihir sesuatu dari hakikat yang sebenarnya atau
memalingkannya. Syamir meriwayatkan dari Ibnu Aisyah, dia mengatakan bahwa
orang Arab menyebut sihir itu dengan kata as-Sihr karena ia menghilangkan
kesehatan menjadi sakit. Ibnu Faris mengemukakan, Sihir berarti menampakkan
kebathilan dalam wujud kebenaran. Di dalam kitab al-Mu’jamul Wasīth disebutkan
bahwa sihir adalah sesuatu yang dilakukan secara lembut dan sangat terselubung.
Sedangkan di dalam kitab Muhīthul Muhīth disebutkan, sihir adalah tindakan
memperlihatkan sesuatu dengan penampilan yang paling bagus, sehingga bisa
menipu manusia.
Fakhruddin
ar-Razi mengemukakan, menurut istilah Syari’at, sihir hanya khusus berkenaan
dengan segala sesuatu yang sebabnya tidak terlihat dan digambarkan tidak
seperti hakikat yang sebenarnya, serta berlangsung melalui tipu daya. Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, Sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi,
perkataan yang dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan sesuatu
yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa
berinteraksi langsung dengannya. Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada
yang bisa mematikan, membuat sakit, membuat seorang suami tidak dapat
mencampuri istrinya atau memisahkan pasangan suami istri, atau membuat salah
satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak saling mencintainya.
Ibnul
Qayyim mengungkapkan, Sihir adalah gabungan dari berbagai pengaruh ruh-ruh
jahat, serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya. Dapat disimpulkan
bahwa Sihir adalah kesepakatan antara tukang sihir dan syaitan dengan ketentuan
bahwa tukang sihir akan melakukan berbagai keharaman atau kesyirikan dengan
imbalan pemberian pertolongan syaitan kepadanya dan ketaatan untuk melakukan
apa saja yang dimintanya. Di antara tukang sihir itu ada yang menempelkan
mushhaf di kedua kakinya, kemudian ia memasuki WC. Ada yang menulis ayat-ayat
al-Qur’an dengan kotoran. Ada juga yang menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan
menggunakan darah haidl. Juga ada yang menulis ayatayat al-Qur’an di kedua
telapak kakinya. Ada juga yang menulis Surat al-Faatihah terbalik. Juga ada yang
mengerjakan sholat tanpa berwudhu’. Ada yang tetap dalam keadaan junub
terus-menerus. Serta ada yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada
syaitan dengan dengan tidak menyebut nama Allah pada saat menyembelih, lalu
membuang sembelihan itu ke suatu tempat yang telah ditentukan syaitan.
Dan
ada juga yang berbicara dengan binatang-binatang dan bersujud kepadanya. Serta
ada juga yang menulis mantra dengan lafazh-lafazh yang mengandung berbagai
makna kekufuran. Dari sini, tampak jelas oleh kita bahwa jin itu tidak akan
membantu dan tidak juga mengabdi kepada seorang penyihir kecuali dengan
memberikan imbalan. Setiap kali seorang penyihir meningkatkan kekufuran, maka
syaitan akan lebih taat kepadanya dan lebih cepat melaksanakan perintahnya.
Dan
jika tukan sihir tidak sungguh-sungguh melaksanakan berbagai hal yang bersifat
kufur yang diperintahkan syaitan, maka syaitan akan menolak mengabdi kepadanya
serta menentang perintahnya. Dengan demikian, tukang sihir dan syaitan
merupakan teman setia yang bertemu dalam rangka perbuatan kemaksitan kepada
Allah. Jika anda perhatikan wajah tukang
sihir, maka dengan jelas anda akan melihat kebenaran apa yang telah saya
sampaikan, dimana anda akan mendapatkan gelapnya kekufuran yang memenuhi
wajahnya, seakan-akan ia merupakan awan hitam yang pekat.
Jika
anda mengenali tukang sihir dari dekat, maka anda akan mendapatkannya hidup
dalam kesengsaraan jiwa bersama istri dan anak-anaknya, bahkan dengan dirinya
sendri sekalipun. Dia tidak bisa tidur nyenyak dan terus merasa gelisah, bahkan
dia akan senantiasa merasa cemas dalam tidur. Selain itu seringkali
syaitan-syaitan itu akan menyakiti anak-anaknya atau istrinya serta menimbulkan
perpecahan dan perselisihan di antara mereka. Mahabesar Allah Yang Mahaagung
yang telah berfirman:
َ اً يش ِعَ م ُهَ
نه ل ِإَ ي ف ِرْكِ ذ ْنَ ع َضَرْعَ أ ْنَمَو كْنَ ض ًة
“Dan
barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit”. [Thāhā: 124].
Dunia
sihir dan perdukunan telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, mulai dari
masyarakat desa hingga menjamah ke daerah kota. Mulai dari sihir pelet, santet,
dan “ajiaji” lainnya. Berbagai komentar dan cara pandang pun mulai bermunculan
terkait masalah tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya. Sebagai seorang muslim,
tidaklah kita memandang sesuatu melainkan dengan kaca mata syariat, terlebih
dalam perkara-perkara ghaib, seperti sihir dan yang semisalnya. Marilah kita
melihat bagaimanakah syariat Islam yang mulia ini memandang dunia sihir dan
‘antek-antek’-nya.
1.
Sebenarnya Adakah Sihir Itu? Sebagaimana yang disinggung di depan, bahwa
terdapat persilangan pendapat tentang kebenaran hakikat sihir. ‘Apakah sihir
hakiki?’, ‘Apakah orang yang terkena sihir, benar-benar merasakan
pengaruhnya?’, ‘Atau kah sihir hanya sebatas tipuan mata dan tipu muslihat
semata?’ Abu Abdillah Ar Rozi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan
“Kelompok Mu’tazilah mengingkari adanya sihir dalam aqidah mereka. Bahkan
mereka tidak segan-segan mengkafirkan orang yang meyakini kebenaran sihir.
Adapun ahli sunnah wal jama’ah, meyakini bahwa mungkin saja ada orang yang bisa
terbang di angkasa, bisa merubah manusia menjadi keledai, atau sebaliknya. Akan
tetapi meskipun demikian ahli sunnah meyakini bahwa segala kejadian tersebut
atas izin dan taqdir dari Allah ta’ala”. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan mereka itu (para tukang sihir) tidak akan memberikan bahaya kepada seorang
pun melainkan dengan izin dari Allah” (QS. Al-Baqarah: 102).
Al
Qurthubi rahimahullahu mengatakan, “Menurut ahli sunnah wal jama’ah, sihir itu
memang ada dan memiliki hakikat, dan Allah Maha Menciptakan segala sesuatu
sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang demikian ini berbeda dengan keyakinan
kelompok Mu’tazilah.” Inilah keyakinan
yang benar, insya Allah. Banyak sekali kejadian, baik di masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pun masa-masa setelahnya yang menunjukkan
secara kasat mata bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh. Bukankah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al
A’shom Al Yahudi hingga beliau jatuh sakit? Kemudian karenanya Allah ta’ala
menurunkan surat al-Falaq dan surat alNās (al-mu’awidaztain) sebagai obat bagi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sangat jelas menunjukkan
bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh terhadap orang yang terkena sihir.
Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tidak memiliki
hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat,
“sulapan”, dan yang lainnya. Jenis-jenis sihir yang demikian inilah yang
dimaksudkan oleh perkataan beberapa ulama yang mengatakan bahwa sihir tidaklah
memiliki hakikat.
Sihir
termasuk dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jauhilah dari kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara
tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “[1] menyekutukan
Allah, [2] sihir, [3] membunuh seorang yang Allah haramkan untuk dibunuh,
kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat, [4] mengkonsumsi riba, [5]
memakan harta anak yatim, [6] kabur ketika di medan perang, dan [7] menuduh
perempuan baik-baik dengan tuduhan zina” (HR. Bukhari dan Muslim, dari shahabat
Abu Hurairah). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Nabi Sulaiman
tidaklah kafir, akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan
sihir kepada manusia” (Al-Baqarah: 102).
Imam
Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dengan ayat di atas untuk menegaskan bahwa
orang yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para
syaitan mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dengan tujuan agar manusia
menyekutukan Allah ta’ala. Syaikh al-Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu
sihir dapat dikategorikan sebagai kesyirikan dari dua sisi.
1.
Orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta bantuan kepada
para syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya, dan betapa banyak
orang yang terikat kontrak perjanjian dengan para syaitan tersebut akhirnya
menyandarkan hati kepada mereka, mencintai mereka, ber-taqarrub kepada mereka,
atau bahkan sampai rela memenuhi keinginan-keinginan mereka. 2. Orang yang
mempelajari dan mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang mengakungaku
mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah dalam
pengakuannya tersebut (syirik dalam rububiyah Allah), karena tidak ada yang
mengetahui perkara ghaib melainkan hanya Allah ta’ala semata.
Syaikh
Ibnu ’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir, bisa
jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam, dan bisa jadi orang tersebut
tidak kafir meskipun dengan perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa
besar. Pertama, Tukang sihir yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan
tentara-tentara syaitan, yang pada akhirnya orang tersebut bergantung kepada
syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan sampai menyembah mereka. Maka
yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya perbuatan semacam ini. Kedua,
Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan, melainkan dengan
obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam ini tidak
dikategorikan sebagai kekafiran.
Umar
bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika, di akhir kekhalifahan
beliau, mengirimkan surat kepada para gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh
Bajalah bin ‘Abadah radhiyallahu ‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang
berbunyi): ‘Hendaklah kalian (para pemerintah gubernur) membunuh para tukang
sihir, baik laki-laki ataupun perempuan”. Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu
di atas memberikan pelajaran bagi kita, bahwa hukuman bagi tukang sihir dan
‘antek-antek’-nya adalah hukuman mati. Terlebih lagi terdapat sebuah riwayat,
meskipun riwayat tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang status ke-shahihan-nya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukuman bagi tukang sihir
adalah dipenggal dengan pedang.”
Dalam
kisah Umar di atas pun juga memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa
menjadi kewajiban pemerintah tatkala melihat benih-benih kekufuran, hendaklah
pemerintah menjadi barisan nomor satu dalam memerangi kekufuran tersebut dan
memperingatkan masyarakat tentang bahayanya kekufuran tersebut, sebagaimana
yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Inilah yang mungkin menjadi kerancuan di
benak masyarakat, yang kemudian kerancuan ini menjadikan mereka membolehkan
belajar sihir, karena alasan “keadaan darurat”. Terlebih lagi tatkala sihir
yang digunakan untuk mengobati sihir terkadang terbukti manjur dan mujarab.
Bukankah
segala sesuatu yang haram pada saat keadaan darurat, akan menjadi mubah?
Bukankah ketika di tengah hutan, tidak ada bahan makan, bangkai pun menjadi
boleh kita makan? Memang syariat membolehkan perkara yang haram tatkala keadaan
darurat, sampai-sampai para ulama membuat sebuah kaidah fiqhiyah, “Keadaan yang
darurat dapat merubah hukum larangan menjadi mubah.” Namun kita pelu cermati
bahwa para ulama pun juga memberikan catatan kaki terhadap kaidah yang agung
ini. Terdapat sedikitnya dua syarat yang harus dipenuhi untuk mengamalkan
kaidah ini, yaitu: 1. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkan sihir, selain
dengan sihir yang semisal. Pada kenyataannya tidaklah terpenuhi syarat pertama
ini.
Syariat
telah memberikan obat dan jalan keluar yang lebih syar’i untuk menangkal dan
mengobati gangguan sihir. Bukankah syari’at telah menjadikan Al Quran sebagai
obat, lah ada dan teruqyah-ruqyah syar’i yang telah diajarkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. 2. Sihir yang digunakan harus terbukti secara
pasti dapat menyembuhkan dan menghilangkan sihir. Dan setiap dari kita tidaklah
ada yang dapat memastikan hal ini, karena semua hal tersebut adalah perkara
yang ghaib. Maka dengan ini jelaslah
bahwa mempelajari sihir, apapun alasannya adalah terlarang, bahkan diancam
dengan kekufuran, Allah ta’ala telah tegaskan di dalam firmannya (yang
artinya), “Dan tukang sihir itu tidaklah menang, dari mana pun datangnya.” (QS.
Ath Thaahaa: 69).
Syaikh
Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya menyatakan
bahwa ayat ini mencakup umum, segala macam kemenangan dan keberuntungan akan
ditiadakan dari para tukang sihir, terlebih lagi Allah tekankan dengan
firman-Nya, ‘dari mana pun datangnya’. Dan secara umum, tidaklah Allah
meniadakan kemenangan dari seseorang, melainkan dari orang kafir. Sihir tidak
akan luput dari kehidupan manusia sehari-hari yang digunakan oleh orangorang
yang tidak mengerti atau tidak paham mengenai dampak dari perbuatan tersebut.
Sihir ini telah tersebar di tengah-tengah peradaban manusia masa kini maupun
masa lalu. Mulai dari sihir berupa pelet, santet, gendam dan lain sebagainya.
Padahal
telah jelas dalam Al-Quran bahwasannya sihir ini dapat membuat seseorang yang
melakukan perbuatan tersebut menjadi kafir (musyrik). Pada hakikatnya kita
tidak boleh takut akan adanya sihir ini, karena segala sesuatu itu terjadi
hanyalah atas izin Allah Swt semata bukan karena hal lainnya terutama sihir.
Akan tetapi banyak orang yang salah dalam memahami sihir sehingga bentuk
kebodohan serta kemusyrikan terjadi, orang-orang tersebut beramai-ramai
mempraktekan sihir untuk mempermudah suatu urusan di dalam kehidupan
sehari-hari. Syetan selalu berusaha untuk memasukan suatu kesan kepada ummat
muslim bahwa sihir ini bukanlah suatu perbuatan yang berdampak kepada dosa yang
sangat besar.
Bahkan
Syetan memberikan pelajaran yang dapat menyentuh perasaan kepada manusia,
sehingga mereka menganggap bahwa sihir adalah suatu perbuatan yang harus
ditempuh oleh manusia untuk mencari kebaikan. Misalnya untuk memikat hati
seorang wanita ataupun laki-laki yang dilakukan dengan cara guna-guna atau
zaman sekarang sering disebut dengan pelet, itu semua diperbolehkan oleh agama
karena digunakan untuk kebaikan dengan dalih (menyatukan ummat manusia dalam
sebuah perjodohan) sehingga sebagian ummat yang terpedaya mengatakan bahwa
semua hal tersebut merupakan muhabbah. Padahal menurut Syara sihir itu
merupakan perbuatan kufur dan orang yang bermain-main dengan sihir adalah
kafir. Sihir berarti sesuatu yang lembut dan halus (tidak terlihat).
Secara
terminologis, sihir adalah suatu perbuatan oleh orang tertentu (disebut tukang
sihir) dengan syarat-syarat tertentu mempergunakan peralatan yang tidak lazim
untuk dipakai, serta dengan cara yang sangat rahasia, untuk menimbulkan efek
jahat dalam diri orang lain yang menjadi korbannya. Sihir dapat dinamai juga
santet, teluh, magic, vodoo dan lain sebagainya. Pada umumnya sasaran sihir ini
ada dua, ada yang langsung dikenakan kepada diri korban dengan mempengaruhi
hati, jiwa dan badannya, untuk disakiti ataupun dibunuh. Ada juga yang
dikenakan terhadap harta benda korban untuk dirusak ataupun dimusnahkan serta
sihir ini digunakan untuk memutuskan cinta kasih sepasang suami istri
(kekasih). Sebelum melakukan sihir biasanya ada kesepakatan antara tukang sihir
dengan syetan, syaratnya adalah tukang sihir harus melakukan perbuatan syirik
atau kufur. Baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sementara
syetan harus melayani tukang sihir, atau menundukan orang yang melayaninya.
Oleh
karena itu, tukang sihir menundukan jin tersebut untuk melakukan pekerjaan
jahat yang dia inginkan. Dan jika jin tersebut membangkang, maka tukang sihir
akan mendekati pemimpin kelompoknya dengan menggunakan sang pemimpin serta
meminta pertolongan kepadanya, bukan kepada Allah Swt. Seseorang yang
mendatangi tukang sihir (dukun, peramal, paranormal) lalu bertanya kepadanya,
dia terkena ancaman tidak diterima shalatnya selama 40 telah jatuh kepada dosa
kafir (Syirik kepada Allah Swt).
Sedangkan
dalam kamu Mu’zam Al-Mufradat karya Al-Ragib Al-Ashfahani dikatakan terdapat
beberapa arti dari kata “Sahara”.
Pertama,
gambaran atau tipuan imajinasi yang tidak nyata, seperti halnya yang dilakukan
oleh pesulap yang dapat memalingkan pandangan dengan kecepatan tangannya dan
juga seperti yang dilakukan oleh seorang pengadu domba, memfitnah dengan
ucapan-ucapan manis yang dapat mempengaruhi pandangan orang lain mengenai suatu
perkara.
Kedua,
meminta pertolongan kepada syetan dengan cara melakukan sebuah ritual
mendekatkan diri kepadanya. Ketiga, suatu perbuatan yang dapat membuat
seseorang menjadi sedih, senang, takut, penurut dan lain sebagainya yang
denganya dapat merubah suatu karakter seseorang. Seperti khimar (hipnotis) akan
tetapi hal ini tidak bersifat nyata, hanyalan sebuah ilussi.
Dari
ragam dan fenomena pemaknaan tentang sihir, kiranya masih layak untuk dikaji
lebih jauh, bagaimana sesungguhnya sihir dalam pandangan para mufasir, ketika
menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang berbicara masalah sihir. Sebenarnya, sihir
ini telah ada sejak zaman Nabi Sulaiman As. Allah Swt memberikan seatu mukjizat
kepada Nabi Sulaiman As yaitu dapat memerintahkan manusia, hewan dan jin
sebagai pasukan kerajaannya. Seperti firman Allah Swt dalam Al-Quran Surat
Al-Baqarah 102: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada
masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan
sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya
syetan-syetanlha yang kafir (mengerjakan sihir).
Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang
malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami
hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari
dari kedua malaikat itu pa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan
antara seorang (suami) dengan isterinya.
Dan
mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada
seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang
tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi sesungguhnya
mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan
sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya dengan sihir. Kalau mereka mengetahui.”
Dalam
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 102 disebutkan bahwa dengan segala kebolehan
(Mu‟jizat) yang diberikan Allah Swt kepda Nabi Sulaiman, akan tetapi
orang-orang kafir menuduh bahwa Nabi Sulaiman tidak lain hanyalah seorang ahli
sihir yang mengajarkan ilmu sihirnya terhadap pengikutnya, padahal semua itu
semata-mata hanyalah perbuatan syetan. Sihir dalam kehidupan masa lalu bisa
dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang keagamaan dan yang kedua
dari sudut pandang non keagamaan. Dalam perkembangannya sudut pandang non
keagamaan ini lebih banyak dikedepankan oleh aspek ilmu pengetahuan atau
keilmuan di masa modern, dimana ada pergeseran makna yang semula pada dasarnya
adalah sihir namun menurut pandangan mereka ini di identikan dengan sulap.
Berbeda
halnya menurut ajaran atau pengetahuan keislaman bahwa sulap adalah sulap,
sihir adalah sihir. Sihir tetap saja merupakan suatu perbuatan yang dapat
merusak aqidah dan tauhid seorang muslim karena dekat sekali dengan kesyirikan.
Jika dilihat dalam konteks zaman sekarang dibanyak Negara, termasuk di Barat
dan di Timur Tengah, sihir biasanya digambarkan sebagai suatu perbuatan yang
memungkinkan pelakunya dapat mengubah sesuatu menjadi benda lain yang di
inginkannya. Dalam kisah Nabi Musa As, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran.
Para penyihir firaun dapat mengubah tali menjadi ular. Sementara dalam
film-film atau novel Barat, seorang penyihir yang biasanya digambarkan bertopi
runcing dan bertampang yang buruk dan mengerikan, dapat mengubah seseorang
menjadi hewan, ataui apa saja dengan mantra-mantra dan ramuan yang mereka buat.
Mereka
juga memiliki sapu terbang untuk membawanya terbang kemana saja. Peradaban
modern masa kini hanya percaya bahwa orang yang dapat membuat keajaiban itu
hanyalah seorang pesulap, bukanlah seorang penyihir. Dan, sekelompok pesulap
itu tidak menggunakan kekuatan magis. Mereka melakukan keanehan-keanehan secara
murni sekaligus menggunakan trik atau tipuan mata, dan tidaklah lebih dari
semua itu. Sesuatu yang tidak dapat dijawab dengan ilmu pengetahuan, biasanya
langsung dikaitkan dengan ketidaklaziman. Dan, ketidaklaziman mudah dikaitkan
dengan kekuatan sihir.
Oleh
karena itu, berkaitan dengan penafsiran terhadap ilmu sihir perlu dilakukan
secara hati-hati dengan terlebih dahulu meninjau masalah sihir melalui sudut
ilmu pengetahuan masa kini. Sihir dalam paradigma masa kini telah memunculkan
ambiguitas, disatu sisi dipandang sebagai sebuah trik ataupun tipuan karena
disamakan dengan sulap akan tetapi dipihak lain menurut sudut pandang agama
sihir adalah dimensi kesyirikan yang akan merusak aqidah. Oleh karenanya
realitas ini harus diselsaikan, dimurnikan supaya tidak subhat atau tercampur
antara sihir dengan sulap.
Fenomena
mistis, tentang sihir juga sampai ke masa kita sekarang. Masyarakat sangat
menggandrungi tayangan-tayangan televisi yang menyiarkan acara-acara mistis.
Mulai dari tayangan yang dikemas dalam film-film sejarah klasikal hingga
telenovela-telenovela kehidupan modern. Selain itu, kemunculan tokoh-tokoh
mistis seperti Dedi Corbuzer, Romi Rafael dan David Cover Field, menyebabkan
antusias masyarakat kepada dunia mistik semakin tajam dan menjurus kepada
kesesatan. Bahkan pengaruh tayangan-tayangan tersebut meresap sampai ke
anak-anak kecil, yang notabenenya adalah penerus-penerus perjuangan agama dan
bangsa. Adapun sihir, sebagaimana tinjauan makna bahasa yang lalu, hanyalah
sebuah tipuan pandangan mata.
Kemampuan
sihir muncul dari seorang yang kafir, fasik dan munafik. Allah Swt., memang
memberikan kelebihan tersebut kepada mereka sebagai istidrâj. Yaitu agar mereka
tetap tenggelam dalam kekufuran, kefasikan dan kemunafikannya. Kemampuan sihir
seseorang sering digunakan untuk menghancurkan atau menipu. Oleh karenanya,
kemampuan sihir ada yang didapatkan dari proses pembelajaran atau latihan dan
ada juga lewat bantuan setan. Ada sekelompok orang yang meyakini eksistensi
black magic dan white magic. Bila sesuatu yang luar biasa tersebut keluar dari
seorang nabi, wali, ulama atau orang yang shalih, maka mereka mengatakan hal
itu adalah white magic.
Begitu
juga sebaliknya, bila muncul dari seorang dukun, peramal atau non muslim
dinamakan black magic. Dari pengertian ini tampak ada kesimpang siuran,
sehingga sangat perlu dicari pengertian yang lebih logis. Dalam memahami
kenyataan dan pengaruh yang dikeluarkan dari sihir, pendapat para ulama terbagi
dalam dua kelompok, yaitu:
1.
Kelompok yang meyakini bahwa sihir mempunyai pengaruh dan benar-benar nyata.
Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok ahl al-sunnah wa
al-jamā’ah. Mereka berpedoman kepada surat al-Baqarah (2): 102 dan riwayat
asbāb al-nuzūl surat al-Falaq (113): 4 yaitu, hadis yang diriwayatkan oleh Zaid
ibn al-Arqam tentang seorang Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham menyihir
Nabi Muhammad saw., sehingga beliau sakit dan merasa berbuat sesuatu, padahal
tidak.
2.
Kelompok yang tidak meyakini keberadaan dari fakta sihir dan juga tidak percaya
bahwa sihir itu berpengaruh. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari
kelompok Muktazilah. Mereka berpedoman kepada surat al-A’rāf (7): 116 dan Thāhā
(20): 66-69. Mereka juga berpendapat bahwa jika sihir dapat membuat sesuatu
yang luar biasa, seperti berjalan di atas air, terbang di udara atau merubah
tanah menjadi emas, maka kehebatan mukjizat akan sirna, sebab keduanya
sama-sama sebuah perbuatan yang dilakukan dengan luar biasa.
Di
samping itu, manusia tidak perlu susah-susah bekerja, cukup dengan sihir saja
maka kebutuhan hidup terpenuhi. Imam al-Zamakhsyâri dalam tafsir al-Kasysyāf
mewakili kelompok Muktazilah, menyatakan bahwa sihir sebenarnya sesuatu tipuan
yang tidak pernah terjadi dengan sebenarbenarnya. Ini ditemukan ketika dia
menafsirkan surat al-falq pada ayat yang mengandung kata al-naffātsāt. Secara
zahir, apa yang dilakukan orang-orang yang meniup tali temali dengan membaca
mantera-mantera menurutnya tidak mempengaruhi apa-apa.
Jika
seseorang ingin mempelajarinya, tentu ia akan mampu dan bisa melakukan seperti
yang dilakukan oleh para tukang sihir tersebut. Imam al-Zamakhsyāri juga
menukil sebuah sya'ir yang menyebutkan bahwa mempelajari sihir bukan untuk
diamalkan, tetapi untuk mencari kelemahannya. Menurut penulis, ungkapan Imam
al-Zamakhsyāri ini, menjadi salah satu sebab yang membuat Imam al-Rāzi
termotivasi untuk melakukan penafsiran maksimal terhadap ayat-ayat tentang
sihir.
Adapun
Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manār mengingkari keberadaan sihir. Ini
ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-Falaq pada ayat yang berbunyi, wa min
syarr al-naffātsāt fi al-'uqad. Menurutnya, yang dimaksud dengan al-naffātsāt
adalah orangorang yang mengadu domba antar sesama. Merekalah orang-orang yang
memutuskan persaudaraan dan tali silaturrahim. Mereka juga membakar semangat
dendam di antara kelompopk- kelompok orang yang telah menjalin ikatan
persaudaraan. Mereka ini dinamakan al-namīmah. Sedangkan al-namīmah menurutnya
merupakan salah satu cabang dari ilmu sihir. Di samping itu, perbuatan
al-namīmah membawa kepada kesesatan, karena orang yang berbuat demikian akan
cenderung ingin menyesatkan orang lain.
Pengkaburan
kebenaran menjadi kesesatan menurut Syeikh Muhammad Abduh adalah perbuatan
sihir. Begitu juga Syeikh Rasyîd Ridha. Sebagai murid Muhammad Abduh, dan banyak
memberi komentar dalam tafsir al-Manâr berpendapat bahwa ilmu sihir hanya
sebuah kebohongan dan tipu daya belaka. Dia sependapat dengan gurunya Muhammad
Abduh dan mengusung pendapat kelompok Muktazilah. Ini ditemukan dalam
penafsirannya terhadap surat al-An'ām: 7.
Menurutnya,
ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa sihir merupakan perbuatan tipuan
dan kebohongan dan tidak dapat memberi manfa'at atau mudharat. Sedangkan
terhadap hadis Imam Bukhari yang menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah tersihir,
Rasyid Ridhâ mentakwilkannya. Bahwa Rasul tidak tersihir tetapi pandangan
istri-istrinya yang tersihir sehingga melihat Nabi saw seolah-olah melakukan
sesuatu padahal beliau tidfak melakukannya. Selain itu, menurutnya perawi hadis
tersebut dinilai cacat oleh mayoritas ulama. Ibn Kastīr dalam Tafsīr al-Qurān
al-'Azhīm menyatakan bahwa ilmu sihir dapat dipelajari dan nyata keberadaannya.
Bahkan seseorang yang mahir sihir dapat merubah sesuatu kepada sesuatu yang
lain. Tetapi mempelajari ilmu sihir menurutnya makruh karena hanya akan
mendatangkan bahaya. Al-Marāghi dalam
penafsirannya terhadap surat al-Baqarah: 102 menyatakan bahwa para penyihir
sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa karena menggunakan perantara.
Ada
yang menggunakan jin dan ada juga yang menggunakan alat-alat yang dibacakan
mantera. Semuanya ini membuktikan bahwa sihir ada dan bisa dipelajari. Hanya
terdapat perbedaan ulama dalam hukum mempelajarinya. Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi
tampil dengan kitab tafsirnya Mafātih al-Ghaib mewakili kalangan
mufassir-mufassir ahl al-sunnah wa al-jamā’ah banyak memberikan kontribusi
pemikiran dan perhatian terhadap masalah sihir. Pendapat Imām alRāzi tentang
kenyataan sihir berbeda dengan mazhab yang dianutnya, yaitu mazhab ahl alsunnah
wa al-jamā’ah. Bahkan, di sisi lain Imām al-Rāzi mewajibkan belajar ilmu sihir,
sebagaimana wajib belajar terhadap ilmu-ilmu Agama yang lain. Upayanya ini
sangat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah Swt., dalam surat
al-Baqarah (2): 102.
Dalam
menjelaskan ayat tersebut, Imām al-Rāzi mengaitkannya dengan ayat sebelumnya,
yaitu alBaqarah (2): 99-101. Kelompok ayat-ayat tersebut menceritakan tentang
keburukan pekerjaan Yahudi. Salah satunya adalah mempelajari sihir dan
mengajarkannya guna menghancurkan orang lain.
Menurutnya, Sihir adalah sesuatu yang sebab kemunculannya masih tertutup
atau tersembunyi, sehingga yang tergambar bukan hakikat sebenarnya, melainkan
sebuah tipu daya dari kebohongan belaka. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sihir
hanyalah perbuatan yang memalingkan pandangan orang dari pandangan yang
sebenarnya. Dia juga melandasi penafsirannya ini kepada surat al-A’râf (7):
116. Dalam hal ini, terlihat Imâm al-Râzi seolaholah hendak menyatakan bahwa
selama seseorang belum mengetahui hakikat sesuatu, maka dia masih tersihir oleh
sesuatu itu.
Kemudian
Imâm al-Râzi menyatakan bahwa sihir bisa dan wajib dipelajari dan diperbolehkan
untuk mengajarkannya, apalagi digunakan untuk menghancurkan sihir juga. Salah
satu persoalan yang menjadi perhatian besar tentang sihir adalah semua
perbuatan yang memalingkan kondisi dari keadaan yang sebenarnya menjadi keadaan
yang samar-samar. Artinya sihir bersifat tipuan terhadap pandangan mata saja.
Untuk itu, sihir bisa dipelajari, dan bahkan menurut al-Rāzi mewajibkan belajar
semua jenis ilmu sihir, dengan maksud untuk mengetahui hakekatnya dan cara
kerjanya. Selain itu, mempelajari sihir dapat mendatangkan manfa’at dan
mashlahat. Selain sihir masih ada mukjizat dan karamah, karena ketiganya masuk
dalam lingkup khawāriq li al-‘ādah.
Dari
penelusuran di atas ditemukan perbedaan mendasar di antara ketiga term
tersebut, yaitu: Pertama, Sihir bersumber dari orang yang fasik dan kafir,
mukjizat bersumber dari seorang Nabi dan Rasul, sedangkan karamah bersumber
dari seorang waliullah yang ta’at mengerjakan perintahNya dan menjauhi
laranganNya. Kedua, Sihir muncul dengan
adanya usaha atau memang diusahakan, mukjizat muncul dari qudrat iradat Allah,
sedangkan karamah muncul tanpa sebab yang tidak diketahui oleh orangnya. Ketiga, Sihir diwujudkan untuk menghancurkan
orang lain, mukjizat diwujudkan untuk menaklukkan tantangan risalah Nabi atau
Rasul, sedangkan karamah terwujud sebagai bukti kemuliaan yang diberikan Allah
kepada seseorang.
Oleh
karena ilmu sihir tidak tercela dan tidaklah buruk untuk mempelajarinya,
tentunya hukum kafir bagi para ahli sihir perlu ditinjau ulang. Sungguh cepat
keputusan untuk mengkafirkan dukun, penyihir, tukang ramal atau apapun namanya,
tanpa diselidiki terlebih dahulu, kemanfa’atan sihirnya dan kemashlahatannya.
Mengenai pengobatan sihir, Imâm alRâzi membolehkan pengobatan dengan cara
nusyrah (jampi-jampi) dan pengobatan dengan cara ruqyah (mantera). Kedua cara
pengobatan tersebut diterima, selama berada dalam jalurjalur yang dibenarkan
syari’at. Selain itu, seseorang yang memiliki kemahiran dalam nusyrah atau
ruqyah harus meyakini terlebih dahulu bahwa apa yang dilakukannya hanyalah
mencari sebab-sebab yang telah dibuat Allah, bukan dia yang menentukan sembuh
atau tidaknya. Demikian kesimpulan yang dapat penulis simpulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar