Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 30 Juni 2019

MODUL AKIDAK KB 2 PPG PAI




URAIAN MATERI

A. KONSEP TENTANG MUKJIZAT

Terma mukjizat berasal dari Bahasa Arab yang telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu al-Mu’jizat Al-mu’jizat adalah bentuk kata mu’annas (female) dari kata mudhakkar (male) al-mu’jiz. Al-mu’jiz adalah isim fā’il (nama atau sebutan untuk pelaku) dari kata kerja (fi’l) a’jaza . Kata ini terambil dari akar kata ‘ajaza-yu’jizu-ajzan wa ‘ajuzan wa ma’jizan wa ma’jizatan/ma’jazatan, yang secara harfiah antara lain berarti lemah, tidak mampu, tidak berdaya, tidak sanggup, tidak dapat (tidak bias), dan tidak kuasa. Al-‘ajzu adalah lawan dari kata al-qudrah yang berarti sanggup, mampu, atau kuasa. Jadi, al-‘ajzu berarti tidak mampu alias tidak berdaya. Dalam pada itu, istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim diartikan dengan al’ajib, maksudnya sesuatu yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang atau pihak lain tidak ada yang sanggup menanding atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khāriqun lil-‘ādah (أمر خارق للعادة), yakni sesuatu yang menyalahi tradisi.

Dalam al-Qur’an, kata a’jaza dalam berbagai bentuk (derivasinya) terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat. Dan kata ‘ajaza dalam al-Qur’an digunakan untuk beberapa pengertian, di antaranya “tidak mampu” seperti terdapat dalam QS. Al-Māidah/5: 31 dan QS. Al-Jin/72: 12:



“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”


“Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada)Nya dengan lari.”

Dalam kedua ayat di atas, kata ‘ajaza digunakan untuk pengertian tidak mampu atau tidak sanggup. Dalam kamus al-mu’jam al-Wasit}, mukjizat dirumuskan dengan:

 أمر خارق للعادة يظهره الله على يد نبي تأييدا لنبوته

“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat-kebiasaan yang ditampakkan Allah di atas kekuasaan seseorang Nabi untuk memperkuat kenabiannya.”
 
Adapun yang dimaksud dengan mukjizat dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur’an, seperti diformulasikan Manna al-Qattan dan lain-lain ialah:

 أمر خارق للعادة بالتعدي سالم عن المعارضة

 “Sesuatu urusan (hal) yang menyalahi tradisi, dibarengi atau diiringi dengan tantangan atau pertandingan dan terbebas dari perlawanan (menang).” 
Berdasarkan definisi mukjizat di atas, dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat yaitu:

1.   Unsur utama dan pertama mukjizat ialah harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan (khariqun lil ‘adah). Sesuatu (mukjizat) yang tidak menyalahi tradisi, atau kejadiannya sesuai dengan kebiasaan yang umum atau bahkan lazim berlaku, tidak dapat dikatakan mukjizat. Itulah sebabnya mengapa banyak hal aneh yang dikeluarkan oleh ahli-ahli sulap bahkan ahli-ahli sihir tidak dinyatakan sebagai mukjizat (QS. Al-Nisa/4: 171).

Mengingat pada dasarnya tidak menyalahi kebiasaan karena dia tidak sungguhsungguh, dan banyak orang lain yang bisa melakukan hal serupa atau bahkan lebih dari itu. Berbeda dengan kemampuan Nabi ‘Isa almasih menghidupan orang mati yang tidak pernah bisa dilakukan oleh siapa pun. Demikian pula dengan kemukjizatan tongkat Nabi Musa as yang bisa berubah menjadi ular sunggguhan (Thu’banun mubin) (QS. AlA’raf /7:107 dan QS. As-Shura/26: 32). Contoh mukjizat lain ialah kemampuan Nabi Sulaiman as berkomunikasi dengan semua hewan (QS. Al-Anbiya’/21: 81 dan QS. AlMa’idah/5: 110). Begitu pula dengan ketidakterbakaran Nabi Ibrahim as saat dilemparkan ke dalam kawah yang sedang mendidih (QS. Al-Anbiya’/21: 68-69).

Semua peristiwa yang baru disebutkan dinamakan mukjizat, karena semua peristiwa ini memang tidak pernah mentradisi. Maksudnya, masing-masing peristiwa di atas hanya terjadi sekali atau sesekali sepanjang zaman dan untuk orang-orang tertentu saja di tengah-tengah sekian banyak manusia. Atas dasar ini, maka sihir, seperti disinggung di atas, tidak dapat dikatakan sebagai mukjizat karena kejadiannya tidak sungguhan semisal lipatan kertas atau dedaunan menjadi uang, sapu tangan menjadi burung, dan lain-lain. Demikian pula dengan tukang sulap meskipun sering dianggap menyalahi kebiasaan. Sebab sihir, sesuai dengan salah satu makna harfiahnya, berarti dusta alias tipu daya (tidak sesungguhnya). Sedangkan mukjizat adalah sesuatu yang benar-benar terjadi.

2.   Unsur pokok kedua dari mukjizat ialah bahwa mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan. Maksudnya, mukjizat harus diuji dengan melalui pertandingan atau perlawanan sebagaimana layaknya sebuah pertandingan. Untuk membuktikan bahwa itu mukjizat, harus ada upaya konkret lebih dulu dari pihak lain (lawan) untuk menandingi mukjizat itu sendiri. Dan pihak yang menandingi itu harus sepadan atau sebanding dengan yang ditandingi. Jika pihak yang menandingi atau melawan tidak sebanding kelasnya, maka itu bukan lagi mukjizat namanya. Sebab, kekalahan yang diderita pihak lawan yang tidak selevel misalnya, tidak menunjukkan kehebatan si pemenang, dan tidak pula berarti mengisyaratkan ketidakmampuan pihak yang kalah (lawan).

Sebagai contoh, tongkat Nabi Musa as yang dilemparkan menjadi ular sungguhan yang dalam Al-Qur’an dibahasakan dengan thu’banun mubin, itu benar-benar ditandingi oleh sahirin (Para penyihir) yang dikendalikan Fir’aun. Tapi, sihir-sihir yang dikerahkan seluruh kaki tangan Fir’aun itu kemudian ternyata dikalahkan dan tidak pernah mampu mengalahkan mukjizat Allah yang diberikan kepada Nabi Musa as, dalam kaitan ini tongkat yang menjadi ular. 

Mukjizat itu tak terkalahkan. Unsur ketiga dari suatu mukjizat adalah bahwa mukjizat itu setelah dilakukan perlawanan terhadapnya, ternyata tidak terkalahkan untuk selamalamanya. Jika sesuatu/seseorang memiliki kemampuan luar biasa, tetapi hanya terjadi seketika atau dalam waktu tertentu, maka itu tidak dikatakan mukjizat. Katakanlah misalnya seorang petinju kelas berat sekaliber siapapun, tidak dapat dikatakan memiliki mukjizat. Selain karena mukjizat hanya diberikan kepada nabi Allah, juga dalam kenyataannya tidak satu pun petinju kelas berat dunia yang sakti dan abadi dalam artian terus menerus tak terkalahkan sepanjang karirnya sebagai petinju. Demikian pula misalnya dengan pesilat, pegulat, pebulu tangkis, dan lain sebagainya.

Mukjizat sendiri dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: mukjizat yang bersifat material indriawi lagi tidak kekal, dan mukjizat material, logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indriawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indara oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya.

Contohnya, perahu Nabi Nuhas yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim as dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa as yang beralih wujud menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi ‘Isa almasih atas izin Allah, dan lain-lain.  Kesemuanya bersifat material indiriawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat Nabi tersebut berada, dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Ini berbada dengan mukjizat Nabi Muhammad saw. yang sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat dipahami oleh akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang mengunakan akalnya di manapun dan kapan pun. Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu.

Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan pada setiap orang yang ragu di manapun dan kapanpun mereka berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat meterial, karena kematerialan membatasi ruang dan waktunya. Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Sedangkan fungsi mukjizat sendiri adalah sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.”  Perbedaan Penafsiran ayat-ayat mukjizat yang kontroversial di antara para Mufassir telah menjadi kajian yang menarik.

Hal ini berawal dari prinsip penafsiran kesembilan Sir Ahmad Khan (1817-1898) terhadap Al-Qur’an. Dikatakan bahwa tidak ada sesuatupun dalam Al-Qur’an sebagai firman Tuhan (saying of God) yang bertentangan dengan ciptaan Tuhan (creation of God). Karena Al-Qur’an sebagai firman Tuhan tidak mungkin menyalahi hukum alam sebagai ciptaan-Nya. Keselarasan keduanya bersifat esensial. Jika firman Tuhan bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka Al-Qur’an tidak layak disebut firman Tuhan yang suci. Prinsip penafsiran Ahmad Khan ini menghantarkannya pada satu kesimpulan bahwa tidak satupun dalam Al-Qur’an yang bertentangan dengan hukum alam dan akal. Dengan prinsip ini, Ahmad Khan telah menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Al-Qur’an seperti penjelasan mengenai mukjizat para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi Muhammad saw.

Pada akhirnya, Sir Ahmad Khan mengadopsi pendapat Ibnu Rushd yang mengatakan bahwa antara kebenaran menurut akal (al-m’aqul) tidak boleh bertentangan dengan kebenaran menurut wahyu (al-manqul). Jika keduanya terjadi kontradiksi, maka wahyu harus dipahami secara metaforis.  Senada dengan pemahaman Sir Ahmad Khan adalah Rashid Rid}a (1865-1935), mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak akan pernah bertentangan dengan akal sehingga dengan tegas ia mengingkari semua mukjizat Nabi Muhammad saw kecuali Al-Qur’an. Ia menolak hadis-hadis sekalipun s}ah}ihyang menjelaskan tentang mukjizat Nabi Muhammad saw selain Al-Qur’an. Penolakan itu disebabkan karena mukjizat selain Al-Qur’an tidak sesuai dengan akal dan kalaupun ia menerima hadis yang menjelaskan tentang mukjizat, maka ia akan menafsirkan melalui takwil sehingga bisa selaras dengan akal. Sebetulnya, genetik pemikiran Rashid Rida (1865-1935) tentang mukjizat berakar pada pemikiran gurunya, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), yaitu memberikan keleluasaan menggunakan akal (al-ra’yu) dalam menafsirkan teks (al-wahyi).

Muhammad Abduh mengemukakan bahwa dalam menyikapi ayat-ayat yang mutashabih, ulama tafsir terbagi menjadi dua kelompok; pertama  adalah mereka yang menafsirkannya dengan cara menakwilkannya sehingga selaras dengan akal (al-ma’qul). Sementara kelompok kedua adalah para ulama yang mendiamkannya (al-mauquf). Muhammad ‘Abduh, lebih cenderung memilih pada kelompok yang pertama. Hal ini bisa dilihat dalam pendapatnya tentang malaikat, mukjizat dan kejadiaan-kejadian luar biasa lainnya yang diceritakan dalam Al-Qur’an.

Maulana Muhammad Ali (1876-1951), seorang tokoh dan pendiri Ahmadiyah Lahore tidak berbeda jauh dengan pola penafsiran Ahmad Khan, Muhammad ‘Abduh dan Rashid Rid}a, yaitu memberi ruang gerak yang dominan terhadap akal sehingga mengalahkan wahyu. Muhammad Ali berprinsip bahwa mukjizat yang terjadi pada para nabi bukanlah sesuatu yang luar biasa dan suprarasional akan tetapi merupakan hal yang rasional. Mukjizat dalam pengertian sesuatu yang luar biasa adalah bertentangan dengan akal manusia sehingga mustahil terjadi.

Prinsip ini berbeda jauh dengan pendapat M. Quraish Shihab tentang mukjizat, ia mengatakan bahwa mukjizat sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, ialah peristiwa “luar biasa” yang terjadi dari seseorang yang mengaku Nabi sebagai bukti kenabiannya, sebagai tantangan terhadap orang yang meragukannya, dan orang yang ditantang tidak mampu untuk menandingi kehebatan mukjizat tersebut. Pengertian peristiwa yang luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang lumrah terjadi atau yang umum dalam pandangan manusia. Menurutnya, kemustahilan terbagi menjadi dua, yaitu mustahil dalam pandangan akal dan mustahil dalam pandangan kebiasaan. Bila dikatakan bahwa 1+1= 11 atau 1 lebih banyak dari 11 maka pernyataan ini mustahil dalam pandangan akal. Namun, bilamana dikatakan bahwa matahari terbit dari sebelah barat, maka pernyataan ini mustahil dalam pandangan kebiasaan. 

Lebih jauh M. Quraish Shihab berpendapat bahwa secara garis besar mukjizat dapat dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material inderawi lagi tidak kekal, dan mukjizat immaterial, logis lagi bisa dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat Nabi-Nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis mukjizat pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan inderawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indera oleh masyarakat tempat Nabi tersebut menyampaikan.

Hal senada juga diungkapkan oleh Said Aqil Munawar, bahwa mukjizat terbagi dua yaitu mukjizat hissi (material dan iderawi) dan mukjizat ma’nawi (immateral dan logis), karakteristik mukjizat yang kedua ini bersifat immortal, sementara mukjizat yang pertama bersifat temporal. Dan ia mengutip pendapat ulama bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi hal itu dikatakan mukjizat, bila salah satu dari kelima itu tidak terpenuhi, maka itu bukanlah mukjizat; pertama mukjizat ialah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan oleh siapapun selain Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, Tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam. Ketiga, Mukjizat harus menjadi saksi terhadap risalah ilahiyyah yang dibawa oleh orang yang mengaku Nabi, sebagai bukti akan kebenarannya. Keempat, Terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat tersebut. Kelima, Tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut.
Keengganan Maulana Muhammad Ali mengakui terjadinya mukjizat yang bersifat material inderawi dapat dibuktikan dalam menafsirkan Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 69 yang berbunyi:

  )٦٩( َ يم ِ اه َرْبِ ى إ َلَ ا ع ً لام َسَ ا و ًدْرَ ي ب ِ ون ُ ك ُ ار َ ا ن َ ا ي َنْلُق

“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.”

Menurut Muhammad Ali, Al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan secara konkrit bahwa Nabi Ibrahim as dilempar dan dibakar dalam kobaran api, sehingga Allah mengintruksikan kepada api agar tidak membakar Nabi Ibrahim as dalam Al-Qur’an surah al‘Ankabut: 29: 24: 

َكِلَ ي ذ ِ نه ف ِ إ ِ النهار َنِ م ُ اللَّه ُ اه َجْنَأَ ف ُ وه ُقِِّرَ ح ْوَ أ ُ وه ُلُتْ وا اق ُال َ ق ْنَ لا أ ِ إ ِهِمْوَ ق َ اب َوَ ج َ ان َ ا ك َمَف    )٢٤( َ ون ُنِمْؤُ ي ٍمْوَقِ ل ٍ ات َ لآي

“Maka tidak ada jawaban kaumnya (Ibrahim), selain mengatakan, “Bunuhlah atau bakarlah dia”, lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat tandatanda (kebesaran Allah) bagi orang yang beriman.”

Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Nabi Ibrahim as memvonis untuk membunuhnya atau membakarnya, dan Allah menyelamatkan dari kobaran api itu. Akan tetapi dalam ayat tersebut, tidak terdapat redaksi ayat yang secara konkrit menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim as dibakar. 
Dalam Al-Qur’an Surah al-Anbiya: 21: 70:

 ِ ( هِ وا ب ُ اد َرَأَو    )٧٠ َ ين ِرَسْ الأخ ُمُ اه َنْلَعَجَ ا ف ًدْيَك

“Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, Maka Kami menjadikan mereka itu orangorang yang paling rugi”.
Diceritakan bahwa kaum Nabi Ibrahim as hendak memperdaya Nabi Ibrahim as akan tetapi Allah menggagalkannya, dan Maulana Muhammd Ali melanjutkan pada Al-Qur’an surah al-Saffat: 37: 98:

     )٩٨( َ ين ِلَفْ الأس ُمُ اه َنْلَعَجَ ا ف ًدْيَ ك ِهِ وا ب ُ اد َرَأَف

“Maka mereka bermaksud memperdayainya dengan (membakar)nya, (tetapi Allah menyelamatkannya), lalu Kami jadikan mereka orang-orang yang hina.”

Mengacu pada  Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 71 :

      )٧١( َ ين ِمَال َعْلِ ا ل َ يه ِ ا ف َنْكَ ار َ ي ب ِ الهت ِضْ ى الأر َلِ ا إ ً وط ُلَ و ُ اه َنْجهي َنَو

“Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lutke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.”

Dijelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari makar mereka dan merekapun mengalami kehinaan, sedangkan Nabi Ibrahim as dan anak saudaranya Nabi Lutas hijrah ke negara yang aman yaitu Pelestina atau Sham. Empat ayat diatas merupakan data otoritatif dan argumentatif bahwa Nabi Ibrahim as tidak dibakar seperti dalam pemahaman mayoritas penafsir dan kalangan umat Islam lainnya. Menurutnya, pengertian ayat yang menjelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari api adalah menyelamatkan dari kejahatan kaumnya dengan memerintahkan hijrah ke negara lain sebagaimana Allah menyelamatkan Nabi Muhammad saw dari kejahatan kaum musyrik Mekkah dengan memerintahkan hijrah ke Ethiopia dan Yathrib.

Ini berbeda jauh dengan penafsiran M. Quraish Sihab yang menafsirkan ayat-ayat mukjizat dengan jelas. Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat mukjizat berangkat dari prinsip-prinsip penafsiran yang ia bangun, yaitu ketertundukan akal pada wahyu, menurutnya akal dan wahyu mempunyai wilayah masing-masing. Ia meyakini bahwa peristiwa pembakaran yang dialami oleh Nabi Ibrahim as itu merupakan suatu peristiwa “keluarbiasan”, yakni diluar hukum alam yang kita kenal yaitu yang menganut hukum kebiasaan yang sering terjadi disekitar kita, karena itu kita tidak mengetahui hakikat daripada peristiwa itu. Objek akal adalah sesuatu yang terjadi dan sering berulang-rulang kemudian melahirkan hukum alam atau sunnatullah, misalnya air yang mengalir ke tempat yang rendah dan api yang mempunyai daya bakar serta matahari terbit dari barat, semua itu telah memunculkan teori tentang hukum alam dan sebab akibat. Hal ini tentu berseberangan dengan pemaknaan mukjizat.

Penilaian bahwa sesuatu itu mustahil karena akal terpaku pada kebiasaan atau hukum alam yang biasa terjadi di depan mata, atau yang diketahui selama ini. Sehingga, bila ada sesuatu yang berseberangan dengan jalan yang biasa dilihat atau biasa terjadi, boleh jadi kemudian ditolak bahkan mustahil. Dari dulu, mustahil menurut pandangan akal seorang nenek akan melahirkan cucunya. Akan tetapi, kemustahilan itu menjadi rapuh karena kecanggihan tekhnologi rekayasa genetik. Ia mengutip pernyataan David Hume (1711-1776), seorang filosof terkenal dari Inggirs menyatakan bahwa cahaya yang kita lihat ketika meletusnya meriam bukanlah sebab meletusnya meriam. Dan mengutip pendapatnya al Ghazali (10591111) yang berkata bahwa ayam yang berkokok sebelum fajar bukan menjadi sebab terbitnya fajar. Menurut sementara pemikir lain, mungkin apa yang merupakan kebetulan hari ini, bisa jadi merupakan proses dari kebiasaan atau hukum alam. ia juga mengutip riwayat yang mengatakan bahwa Jibril datang ketika itu dan menawarkan pertolongan akan tetapi Nabi Ibrahim as menolaknya karena ia hanya mengharapkan pertolongan Allah swt. 

    1.   Paradigma Saintis dan Filosof Tentang Mukjizat

Mukjizat juga mendapatkan perhatian dan kajian mendalam bagi para Saintis dan Filosof, Salah Satunya yaitu St. Thomas Aquinas (1226-1274) yang mengatakan bahwa Mukjizat merupakan suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh faktor-faktor ilahi. Menurut Aquinas sendiri, di alam semesta ada dua bentuk keteraturan yang berjenjang dan bertingkat. 

Pertama, keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari kehendak dan keinginan Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda tersebut. Namun, Tuhan juga meletakkan keteraturan yang bersifat Kausalitas pada semua benda di alam, benda-benda tersebut tersebut berjalan di atas keteraturan esensial dan alaminya masing-masing. Kedua, keteraturan mutlak Tuhan, dimana berasal dari ilmu dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, walaupun realitas mukjizat “bertentangan” dengan keteraturan dan tatanan alam tapi tak bertolak belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan kehendak Tuhan.

David Hume (1711-1776) mempunyai pendapat lain mengenai Mukjizat. Menurutnya, dalam makalah yang sangat terkenal bertema “Darbore-ye mukjizat (Tentang Mukjizat)”. Pada bagian pertama dalam makalah tersebut David Hume berusaha menunjukkan bahwa kejadian mukjizat dikarenakan bertolak belakang dengan hukum alam maka menjadi sangat kecil kemungkinannya dapat ditetapkan dengan bantuan bukti sejarah yang walaupun bukti itu sangat kuat dan otentik, tapi akan menjadi mungkin bila dijelaskan dengan dalil-dalil rasional tentang keadaan dan proses yang paling sempurna dari kejadiannya. 
Bagian kedua dari makalah tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjizat dapat dibuktikan, walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik dimana digunakan oleh semua orang beragama untuk menyampaikan kejadian mukjizat, tetapi tak satupun yang dapat dijadikan sandaran dan karena itulah kita tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat. Disini jelas bahwa David Hume menolak adanya mukjizat, ada beberapa Argumen David Hume dalam menolak adanya kemungkinan pembuktian mukjizat, berpijak pada dasar-dasar di bawah ini:

2.   Eksperimen ilmiah merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam berargumen tentang masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk penyelesaian segala perbedaan.
3.   Orang yang berakal niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil dan argumen, oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan (kejadian) dengan realitas keseharian kita, maka untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu yang terjadi mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin kuat pula. Kebutuhan akan dalil dan bukti yang kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan dengan subyek masalah yang ajaib, asing, aneh dan bahkan bertentangan dengan hukum-hukum alam, karena dalam hal ini, kita berhadapan dengan dua realitas yang saling bertolak belakang, maka kita terpaksa membandingkan dua realitas tersebut dan kemudian memilih salah satu realitas tersebut yang mengandung tingkat persentase pertentangan yang rendah.
4.   Keyakinan kita kepada bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan empirisitas. Alasan kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para saksi sama sekali tidak berangkat dari hubungan kemestian dan keniscayaan antara bukti-bukti dan realitas peristiwa yang diketahui saling mendahului satu sama lain.
5.   Pertentangan mukjizat dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman kehidupan manusia serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan pembuktiannya. Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, “Jika ada bukti dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan dalil tersebut sebagai dalil versus dalil atau bukti lawan bukti, karena dari satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan otentik sehingga ketika obyek berita dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan dalil yang sempurna.

Ahmad ibn Ish}aq al-Ruwandi (w. akhir abad III H) seorang Filsuf berkebangsaan Yahudi mengatakan Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah swt membantu umat Islam dalam perang Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak? al-Ruwadi juga mengingkari mukjizat Al-Qur’an karena Al-Qur’an bukan persoalan yang luar biasa (Khariq al-‘adah). Orang non-Arab jelas heran dengan balaghah Al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah orang yang paling fasih di kalangan orang Arab. Sehingga daripada membaca kitab suci lebih berguna membaca buku Filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, Logika, serta Obat-obatan. Berdasarkan paparan di atas, makna mukjizat mempunyai perbedaan antara para sainstis, Filosofis, dan tokoh agama. Dengan makna yang berbeda-beda menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam Al-Qur’an.

Makna mukjizat yang berbeda-beda disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda-beda mengenai sesuatu di luar nalar manusia biasa. Para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat mukjizat dalam al-Qur’an mempunyai perbedan penafsiran. Ada mufassir yang mencoba menafsirkan dengan makna majazi seakan-akan rasional dan masuk akal, mufassir lain menafsirkan dengan makna hakiki dan memaknai bahwa mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, ketika memaknai Al-Qur’an sebagai mukjizat Rasulallah saw terdapat kerancuan, dikarenakan memaknai mukjizat para Nabi sebelumnya majazi sedangkan Al-Qur’an secara hakiki. Menerima Al-Qur’an sebagai mukjizat, namun tidak menerima perkara yang luar biasa yang dilakukan oleh para Nabi sebelumnya sebagai mukjizat. 

B. KONSEP TENTANG KAROMAH

Karomah sesungguhnya merupakan istilah yang tidak asing bagi umat muslim, dimana karomah ini merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karena hal tersebut, maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mempercayai adanya karomah yang dimana karomah ini datangnya dari sisi Allah. Karomah ini, mau tidak mau akan membentuk kharisma seseorang di mata umat. Islam mengakui tentang konsep karomah. Karomah untuk kiai dan wali sesungguhnya memanglah ada dan diperbolehkan. Hal ini dikarenakan karomah dianggap sebagai kejadian yang bersifat asumtif dan datang bukan dengan tujuan untuk merusak akidah. Selain itu, Allah menciptakan karomah adalah untuk kekasih-kekasih-Nya.  Salah satu keyakinan tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah yakin atau percaya sepenuhnya akan adanya karomah, yang dimana karomah ini datang dari sisi Allah.

Karomah pada dasarnya merupakan suatu hal yang dianggap bertentangan dengan adat kebiasaan manusia pada umumnya, dan karomah ini hanya diberikan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh. Menurut Syekh Akbar Muhammad Fathurahman, karomah adalah pemberian dari Allah SWT dalam bentuk pertolongan-Nya yang diberikan kepada seseorang yang membela agama Allah. Sifat Karomah adalah kejadian di luar batas kemampuan manusia pada umumnnya atau keluar dari kebiasaan pada umumnnya. Karomah merupakan bagian dari Mawahib (anugerah) Allah yang didapat tanpa melalui proses usaha juga terjadi hanya sesekali saja.  Karamah berasal dari bahasa arab  كرم berarti kemuliaan, keluhuran, dan anugerah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan. Menurut ulama sufi, karamah berarti keadaan luar biasa yang diberikan Allah SWT kepada para wali-Nya. Wali ialah orang yang beriman, bertakwa, dan beramal shaleh kepada Allah SWT. Ulama’ sufi meyakini bahwa para wali mempunyai keistimewaan, misalnya kemampuan melihat hal-hal ghaib yang tidak dimiliki oleh manusia umumnya. Allah SWT dapat memberi karamah kepada orang beriman, takwa, dan beramal shaleh menurut kehendaknya.

Misalnya, Kejadian yang Dialami Seorang Ahli Ilmu pada masa Nabi Sulaiman a.s. Ketika Nabi Sulaiman a.s. sedang duduk di hadapan dengan para tentaranya yang terdiri atas manusia, hewan, dan jin, beliau meminta kepada mereka mendatangkan singgasana Ratu Bulqis. Ada seorang yang berilmu berkata kepada Nabi Sulaiman a.s. menurut sebuah keterangan, orang yang berilmu itu bernama Asif. Perkataan orang berilmu tersebut diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya Q.S. an-Naml: 40,

 َ َنِ م ٌمْلِ ع ُهَدْنِ ي ع ِ الهذ َ ال َق ال َ ق ُهَدْنِ ا ع ًّرِقَتْسُ م ُ آه َ مها ر َلَ ف َكُفْرَ ط َكْيَلِ ده إ َتْرَ ي ْنَ أ َلْبَ ق ِهِ ب َ يك ِ ا آت َنَ أ ِ ابَتِكْال َ ِ  ف َرَفَ ك ْنَمَ و ِهِسْفَنِ ل ُرُكْشَ ا ي َ نهمِإَ ف َرَكَ ش ْنَمَ و ُرُفْكَ أ ْمَ أ ُرُكْشَأَ ي أ ِنَوُلْبَيِ ي ل ِِّبَ ر ِلْضَ ف ْنِ ا م َذَه إ   يِنَ ي غ ِِّبَ نه ر ٌ يم ِرَك  

  “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.

Selain itu, kejadian yang Dialami Maryam binti Imran, Nabi Zakaria a.s. menemukan makanan setiap hadir di mihrab Maryam binti Imran. Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imran: 37,
 َ َ ا ز َهَفهل َكَ ا و ًنَسَ ا ح ً ات َبَ ا ن َهَتَبْنَأَ و ٍنَسَ ح ٍ ول ُبَقِ ا ب َهُّبَ ا ر َهَبهل َقَتَف َ اب َرْحِمْ يها ال ِرَكَ ا ز َهْيَلَ ع َلَخَ ا د َ لهمُ يها ك ِرَك دَجَ و ِ ٍ  ب ُ اء َشَ ي ْنَ م ُقُزْرَ ي َ نه اللَّه ِ إ ِ اللَّه ِدْنِ ع ْنِ م َوُ ه ْتَال َ ا ق َذَ ه ِكَ نهى ل َ أ ُمَيْرَ ا م َ ي َ ال َ ا ق ًقْزِ ا ر َهَدْنِع اب َسِ ح ِرْيَغ

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”

Peristiwa yang disaksikan Nabi Zakaria a.s. merupakan karamah yang dianugerahkan Allah SWT kepada maryam binti Imran. Allah SWT mentakdirkan bahwa pengasuh Maryam adalah pamannya sendiri, yakni Nabi Zakaria a.s. Karomah memang identik dengan hal-hal yang tidak masuk nalar. Akan tetapi ia adalah nyata dan haqq, seperti halnya mukjizat para nabi. Bedanya, jika mukjizat disertai dengan pengakuan kenabian (nubuwwah), pada karomah hal itu tidak ada. Karomah ini oleh Allah diberikan kepada para wali yang benar-benar beriman dan bertakwa hanya kepada Allah. Firma Allah mengenai sifat-sifat dari wali Allah ini yaitu sebagai berikut:

  َ ون ُ تهق َ ي ْوا ُ ان َكَ و ْوا ُنَ ام َ ء َ ين ِ ٱلهذ َ ون ُنَزۡحَ ي ۡمُ ه َ لاَ و ۡمِهۡيَلَ ع ٌف ۡ وَ خ َ لا ِ ٱللَّه َءٓاَيِل ۡ وَ نه أ ِ إ ٓ َ لاَأ

“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”. (QS. Yunus: 62-63).

Berdasarkan ayat di atas, diketahui bahwa sifat-sifat dari wali Allah yaitu: “Orangorang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari akhir serta beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.” Menurut Imam alQusyairi dalam ar-Risalah, seorang wali tidak akan merasa nyaman dan peduli terhadap karomah yang dianugerahkan kepadanya. Meskipun demikian, kadang-kadang dengan adanya karomah, keyakinan mereka semakin bertambah sebab mereka meyakini bahwa semuanya itu berasal dari Allah.

Pengertian dari karomah itu sendiri menurut Abul Qasim al-Qusyairi yaitu karomah merupakan suatu aktivitas yang dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan adat kebiasaan manusia pada umumnya, yaitu dapat juga dianggap sebagai realitas sifat wali-wali Allah tentang sebuah makna kebenaran dalam situasi yang dianggap kurang baik. Karomah ini juga dapat dianggap sebagai hal yang sangat luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada kekasihkekasih pilihanNya. Sedangkan menurut Syeck Ibrahim Al Bajuri dalam kitabnya dijelaskan bahwa karomah adalah sesuatu luar biasa yang tampak dari kekuasaan seorang hamba yang telah jelas kebaikannya yang diteyapkan karena adanya ketekunan didalam mengikuti syariat nabi. 

Selanjutnya Said Hawwa juga menjelaskan bahwa karomah memang benar-benar telah terjadi dan akan tetap terjadi pada wilayah tasawuf. Karomah juga bisa terjadi pada orang yang belum sempurna istiqamahnya. Tapi bagi orang-orang yang benar-benar lurus, istiqamah, dan tampak karomahnya, barangkali karomahnya tersebut identik dengan tanda kewalian. Karomah dapat berarti juga peristiwa yang luar biasa, yang keluar dari hukum alam. Namun karomah tersebut dapat pula berarti merupakan akibat dari suatu sebab tapi masih dalam lingkup manifestasi taufik Allah. 

Adapun dalam kitab Jauharut Tauhid karya Syaik Ibrahim al-Laqqani ini sendiri tertulis atau tergambar berbagai macam tokoh atas bermacam-macam karomah, yaitu dimana salah satunya ialah kisah dari pada Ashabul Kahfi yakni ketujuh orang pemuda keturunan bangsawan dari Rum yang sangat mengkhawatirkan keimanan mereka. Peristiwa ini terjadi sesudah zaman Nabi Isa A.S. Raja mereka tidak sepaham bahkan sangat benci sekali dengan apa yang mereka yakini. Mereka pun keluar menjauhi kerajaan dan masuk kedalam gua lalu tertidur didalamnya selama 309 tahun. Dan itulah salah satu dari pada bentuk karomah yang ada dalam islam versi kitab Jauharut Tauhid karangan Syaikh Ibrahim Al-Laqqani.

Adapun jika kita mengambil contoh lain ialah kejadian yang dialami oleh Maryam Binti Imran R.A. yang selalu mendapatkan makanan di Mihrab, sedangkan Maryam sendiri tidak pernah keluar dari Mihrab. Hal ini diabadikan dalam Q.S. Al-Imran ayat 37. Selain itu, kejadian pada Amir Bin Fuhairah ketika wafat, jasadnya diangkat oleh para malaikat dan disaksikan oleh para sahabatnya Amir bin Thufail.  Kemudian pada buku Meluruskan Pemahaman Tentang Wali karya Abu Fajar Alqalami, dijelaskan bahwa karomah atau kekeramatan disebut juga khariqul ’adah, yaitu suatu kejadian yang dianggap luar biasa. Karomah ini diberikan oleh Allah kepada kekasih-kekasih pilihanNya yang bertakwa, shalih sebagai hujjah agamaNya dan untuk menolong mereka dari usuh-musuh Allah, sebagaimana mukjizat para nabi sebagai hujjah orang-orang yang ingkar kepada Allah. Lebih lanjut lagi, dijelaskan bahwa menurut arti asalnya karomah ialah kemuliaan atau kemurahan hati. Sedangkan menurut istilah perwalian, karomah mempunyai makna kejadian luar biasa (khairqul’adah) yang terjadi pada wali (kekasih-kekasih Allah).

Karomah pemberian Allah itu pada dasarnya adalah sebagian dari mukjizat-mikjizat para nabiNya. Sebagian mukjizat Nabi Muhammad SAW diantaranya yaitu Nabi Muhammad SAW dapat membelah bulan dengan ijin Allah (HR. Bukhari dan Muslim), dan batu-batu kerikil tibatiba mengucapkan tasbih ketika dipegang dan diletakkan ditelapak tangan Nabi SAW (HR. Bazzar dari Abu Dzar). Di samping itu, ada juga sahabat-sahabat Nabi yang termasuk dalam kategori wali Allah dan mempunyai karomah dalam dirinya. Wali Allah sama sekali tidak pernah dengan sengaja menampakkan kekeramatannya di depan orang banyak sekedar agar mendapat pujian. Namun kekeramatannya itu muncul karena hujjah atau dalam keadaan terpaksa. 

Adapun bilamana ada seorang wali Allah yang dimana dirinya hanya mengharapkan untuk mendapatkan karomah, maka wali tersebut tidak termasuk dalam golongan wali yang tinggi derajatnya. Ibnu Athaillah pernah mengatakan bahwa: “Kemahuan yang tinggi tidak sampai menembusi tembok-tembok takdir.” Maksud dari perkataan Ibnu Athaillah ini adalah karomah tidak akan bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan, karena semua yang terjadi di alam raya ini baik hal biasa maupun hal yang luar biasa sumber utamanya adalah takdir yang telah ditetapkan oleh Allah.

Oleh karena hal tersebut, maka pada umumnya apaapa kemauan dari wali tidaklah pernah bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan tersebut.  Selanjutnya, sebagian ciri-ciri seorang hamba yang memiliki karomah diantaranya yaitu: (1) tidak memiliki doa-doa khusus sebagai suatu bacaan; (2) karomah hanya terjadi pada seorang yang sholeh; (3) seseorang yang memiliki karomah tidak pernah secara sengaja mengaku-ngaku bahwa dirinya memiliki karomah. Maksud atau tujuan dari pemberian karomah tersebut kepada para wali ialah: (1) dapat lebih meningkatkan keimanan kepada Allah; (2) masyarakat menjadi lebih percaya kepada seorang wali Allah, yang senantiasa meneruskan perjuangan nabi Muhammad SAW; dan (3) karomah merupakan bukti nyata meninggikan derajat seorang wali agar dirinya selalu tetap istiqomah di jalan Allah.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pada penelitian ini peneliti hendak mengkaji lebih jauh mengenai konsep karomah berdasarkan kitab Jauharut Tauhid karya Syaik Ibrahim al-Laqqani dan buku Meluruskan Pemahaman Tentang Wali Karya Abu Fajar Alqalami. Hal ini bertujuan untuk membandingkan bagaimanakah konsep karomah antara keduanya dengan dihubungkan pada kehidupan nyata sekarang ini. Dengan mengetahui konsep karomah tersebut, diharapkan hal ini akan dapat meningkatkan keimanan serta ketaqwaan kepada Allah SWT, serta tidak akan salah mengenai konsep karomah sesungguhnya, mengingat di era modern ini ditemukan banyak orang-orang yang mengaku-ngaku dirinya memiliki karomah.

Banyak diskusi tentang perwalian menjadi berhenti karena takut salah membahas. Atau diskusi perwalian menjadi dangkal karena bahan materi yang tersedia tidak terlalu banyak. Termasuk diskusi perwalian menjadi terhambat karena yang mengajak diskusi bukan wali dan dihentikan dengan kalimat “la ya’rifu al-wali illa al-wali”, tidak mengetahui kewalian seseorang kecuali seseorang wali”. Nampaknya memang suasana yang demikian butuh pencerahan. Satu sisi memang positif bahwa membincang soal wali bukan hanya sekedar bicara individu manusia saja. Akan tetapi lebih luas karena wali merupakan orang pilihan dan harus dihormati.

Namun jika diskusi membahas wali itu berhenti, maka generasi yang akan datang tidak akan mendapat kisah tentang wali-wali dan bakal tersimpan rapat oleh generasi tua. Bagaimana Syekh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat) memberi dasar tentang pemahaman wali dan karomahnya? Diantara penjelasan Mbah Sholeh Darat tentang wali dan karamah adalah dalam syarh nadzam Jauhar al-Tauhid Syekh Ibrahim Allaqani:

 واثبتن للاوليإ الكرامة ٭ ومن نفاها انبذن كلامه.

Wali menurut Mbah Sholeh Darat adalah seorang ‘arif billah (mengetahui Allah) sekedar derajat dengan menjalankan secara sungguh-sunggu taat kepada Allah dan menjauhi ma’siyat. Artinya para wali itu menjauhi segala macam kemaksiyatan berbarengan dengan selalu bertaubat kepada Allah. Sebab wali itu belum kategori ma’shumin (terjaga) seperti Nabi. Maka wali belum bisa meninggalkan ma’siyat secara penuh.

Makanya mereka disebut waliyullah. Keberadaan wali yang sedemikian agung ini mendapatkan keistimewaan dalam hidupnya. Mereka dalam hidupnya selalu mengingat dan menggantungkan diri, dan menyatukannya pada Allah. Hati selalu menghadap dan pasrah dengan taqdir Allah saja. Itulah definisi sederhana mengenai wali menurut Mbah Sholeh Darat. Adapun karomah menurut Mbah Sholeh Darat sesuatu yang nulayani adat (berbeda dari sewajarnya) jika dilihat secara kasat mata. Mereka yang mendapat karomah selalu menunjukkan kepribadian baik dan meniru jejak Rasulullah dengan bekal syariah dan baik secara ideologi serta perilakunya.

Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak ketika hidup saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut ahlussunnah wal jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab sudah bersepakat mengenai karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat.  Para ulama muhaqqiqin menyampaikan: “Barangsiapa yang tidak nampak karamanya setelah meninggal sebagaimana karamah ketika masih hidup, maka itu tidak benar”.

Imam Sya’roni juga berpesan kepada para Syaikh: “Sesungguhnya Allah SWT itu selalu membuat wakil berupa satu malaikat di dalam kuburnya para wali, yang bertugas mengabulkan seluruh hajat manusia”. Selain itu, seorang waliyullah juga terkadang keluar dari kuburnya untuk mengabulkan hajat manusia yang meminta hajat sebagaimana persaksian karomah para wali itu secara kasat mata (musyahada karamah al-auliya’). Sebagaimana Sayyid Al Aidarusi Al Adnani, Shahib Al Tubani, Sayyid Abdul Qadir Al Jilani, Sayyid Ahmad Al Badawi.  Satu pertanyaan yang dimunculkan oleh Mbah Sholeh Darat dalam Kitab Sabil Al ‘Abid adalah: “Kenapa zaman akhir para wali banyak kelihatan karomahnya? Dan kenapa zaman Sahabat dan Tabi’in tidak nampak wujud karomah wali?”

Oleh Mbah Sholeh dijawab, bahwa zaman akhir ditunjukkan banyak karomah karena manusia di zaman akhir banyak kesalahan (dla’if) keyakinan agamanya. Maka mereka didampingi oleh para wali dengan karomahnya agar semakin kuat keyakinan agamanya dan patuh kepada orang shalih. Dengan demikian, generasi zaman akhir tidak mudah menghina para orang-orang sholih. Berbeda dengan orang-orang zaman al-awwalin (periode Sahabat dan Tabi’in) yang dalam hidupnya masih sangat yakin kepada orang-orang shalih. Sehingga karamah para wali tidak diperlihatkan. Apalagi pada zaman Sahabat, dimana Rasulullah SAW masih hidup bersama mereka. Penjelasan Mbah Sholeh tentang wali ini merupakan dasar dari pemaknaan kata wali dan karomah cukup memberikan pencerahan.

Penjelasan lengkap mengenai wali dalam karya tulis Mbah Sholeh Darat terdapat dalam Kitab Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Ma’rifah al-Adzkiya il Thariqi al-Auliya’ (tebalnya kitab ini 516 halaman). Ini menjadi ‘ibrah bahwa generasi masa kini hendaknya menghormati orang shalih dan selalu ingin dekat kepada orang terkasih. Derajat wali pada hakikatnya titipan dari Allah, bukan predikat yang dipasang secara mandiri dan diumumkan. 

Macam-Macam Karomah 

Macam-macam Karomah itu banyak, tetapi karomah yang paling besar yang dimiliki seorang wali adalah mendapat pertolongan untuk taat dan terjaga dari kemaksiatan dan pertentangan. Diriwayatkan dari Sahal bin Abdullah bahwa dia berkata: “Barang siapa zuhud di dunia ini selama empat puluh lima hari dengan betul-betul tulus keluar dari hatinya dan ikhlas. Maka ia akan mempeoleh karomah. Barang siapa yang tidak memperoleh, maka zuhudnya tidak benar”. Sahal pernah ditanya “Bagaimana karomah itu diperoleh” Dia menjawab “Dia harus mengambil apa yang dia kehendaki seperti dia kehendaki dan dari tempat yang di kehendaki.

Dalam Iqādhul Himami sarah dari al-Hikam disebutkan karomah itu ada dua macam, karomah hissyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air, dan karomah ma’nawiyah seperti terbukanya hijab kelalaian, sucinya hati/kasyaf, nyatanya ‘irfan dan naik pada maqam ihsan. Seseorang mendapatkan karomah hissiyah karena dirinya telah keluar dari kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh manusia, banyak makan, minum, tidur, berpakain indah, campur dengan manusia, banyak bicara, permusuhan dan tengelam dalam ibadah dhahir dan ilmu-ilmu dhahir. Sedangkan karomah ma’nawiyah diperoleh karena dia telah meninggalkan kebiasaan ma’nawiyah seperti cinta pada kedudukan dan kemulyaan, mencari keistimewaan, cinta dunia dan pujian, dengki, ujub, sombong, riya’, tama’ takut miskin dan lain-laim. Jadi barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan hissiyah (jasad) dengan riadhah maka dirinya akan mendapatkan karomah hissiyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air dan lain sebagainya. Dan barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ma’nawi maka akan mendapat karomah ma’nawiyah, seperti kasyaf.

Imam Tajus Subhi menyebutkan dalam Tabaqaatul Qubra Karomah itu bermacam-macam. Imam Taajus Subhi mengatakan “Dugaan saya mengatakan bahwa karomahnya para wali itu lebih dari seratus, saya telah meninggalkan dan mendatangkan sesuatu yang cukup dan sampai bagi orang-orang yang hilang sifat kelalaianya. Macam-macam karomah dari setiap macam karomah sangat banyak dijumpai dalam kisah-kisah yang sangat masyhur dan juga dalam hadits, maka di kemudian hari tidaklah kebenaran tetapi kesesatan setelah datangnya kebenaran dan tidak ada sesuatu setelah penjelasan petunjuk kecuali kemustahilan dan bagi orang-orang yang mendapat pertolongan menerimanya, semoga Allah SWT menjumpakan orang-orang shaleh seperti itu, karena mereka dijalan yang lurus. Seandainya saya menukil tentang perkara yang ada pada orang shaleh maka akan menyesakkan nafas dan kertas. 

Dalam Muqaddimah Thabaqotus Shughra Imam Abdur Ra’uf menjelaskan tentang model-model karomah dalam bentuk lain. Beliau tidak menisbatkan Thabaqatnya dari Sayyid Muhyiddin bin Al-Arabi dalam kitabnya Mawaqiun Nujum tetapi Abdur Ra’uf Munadi meringkas, memilih dan menyuguhkan sekira kitab itu jelas baginya. Imam Abdur Ra’uf Almunadi mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya yang dimaksud dengan kejadian karomah adalah: Bahwa Allah menampakkan keajaibannya kepada kekasihnya (wali).  Adapun Alam ruhani thīn (tanah) yaitu setiap hamba yang memiliki sifat-sifat malaikat yang selalu menghadap Allah dalam kesungguhan perjuangan dan memiliki sifat-sifat yang sempurna seperti Nabi Khidhir, dan hamba sepertinya.

Tidakkah kamu melihat Ibrahim AlKhawas ketika berkumpul dengan Nabi Khidhir, bagaimana berkumpulnya Ibrahim dengannya dijadikan karomah. Maka Ibrahim berkata kepada Nabi Khidhir “Dengan apa aku dapat melihatmu?” Nabi Khidhir menjawab “Dengan kebaikanmu terhadap ibumu”. Maka berkumpul dengan para sayyid menjadikan wali berbahagia, dan nyatalah bahwa Allah SWT menemani para wali, yaitu Allah mengumpulkan para wali dengan hamba yang ta’at dan hamba yang istimewa dan Allah melimpahkan rasa cinta di antara mereka. Menurut buku yang di kutip dari Ensiklopedi Tasawuf karya Azyumardi Azra.

Dalam kosakata Bahasa Indonesia, karamah dikenal dengan istilah keramat. Maka karamah alAwaliyya berarti keramat para wali. Perkataan karamah adalah kosa kata Bahasa arab yang secara Bahasa mengandung tiga pengertian yakni, al-ikrām, kemuliaan atau kehormatan; alTaqdir, penghargaan; dan al-Wala, persahabatan atau pertolongan. Jadi karamah berdasarkan pengertian kebahasaan tersebut adalah kemuliaan, kehormatan dan penghargaan yang dimiliki para wali berkat persahabatan mereka dengan Allah dan pertolongan Allah kepada mereka. Dalam hal ini, karamah termasuk salah satu perlakuan khusus yang diberikan Allah kepada para wali atau hamba-hamba pilihan-Nya. Para ulama sepakat bahwa karamah terjadi pada diri para wali. Menurut al-Hujwiri (w. 465 H/ 1072 M) seorang penulis tasawuf, karamah bisa diberikan kepada seorang wali selama ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama.

Sebab karamah itu merupakan tanda kelurusan seorang wali. Allah tidak akan pernah memberikan karamah kepada orang yang tidak berpegang teguh kepada syari‟at, meskipun ia mengaku dirinya wali. Pengakuan orang menjadi wali dan mendapatkan karamah, padahal ia tidak berpegang teguh kepada syari‟at menunjukan bahwa pengakuannya sebagai wali itu palsu. Sejalan dengan pendapat al-Hujwiri, Syaikh Yusuf Taj al-Khalwat (1699 M) menyatakan, “Kaum arīfun bi Allah (para sufi yang telah ma‟rifat kepada Allah) bersepakat bahwa berpegang kepada syari‟at merupakan syarat memperoleh ke alian. Tanpa berpegang dan mengamalkan syari‟at, seseorang selamanya tidak akan pernah menjadi wali meskipun dapat menunjukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam. Sebab, sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam bisa terjadi pada seseorang yang bukan wali yang dinamakan istidraj. 

Karamah muncul dari seorang yang shaleh yang berpegang kepada syariat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: “Wali Allah adalah orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah. Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan pada diri mereka dan mereka tidak merasa hawatir. Mereka beriman dan bertaqwa kepada Allah, bertaqwa dalam pengertian mentaati firman-firman-Nya, penciptaanNya, izin-Nya, dan kehendak-Nya yang termasuk dalam ruang lingkungan agama. Semua itu kadang-kadang menghasilkan berbagai karamah pada diri mereka sebagai hujjah dalam agama dan bagi kaum muslimin, tetapi karamah tersebut tidak akan pernah ada kecuali dengan menjalankan syari’at yang dibawa Rasulullah saw.

Al-Husayni, penulis kitab Jamharat al-Awliya wa A’lam Ahl al-Tasawwuf, membagi Karamah kedalam dua jenis. Pertama, Karamah al-Hisiyyah atau karamah yang bersifat fisikindrawi. Kedua, Karamah al-Ma’nawiyyah atau karamah yang bersifat maknawi. Karamah yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan atau hukum alam secara fisik-indrawi seperti kemampuan seseorang berjalan diatas air atau berjalan di udara. Karamah yang kedua merupakan sikap istiqamah seorang hamba di dalam menjalin hubungan dengan Allah secara lahiriah maupun secara batiniah yang menyebabkan hijab (tabir) tersingkap dari kalbunya hingga ia mengenal kekasihnya dan merasa ketentraman dengan Allah. Allah memberikan Karamah kepada Maryam, seperti tergambar pada ayat Allah dalam al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 37:

  ُّ َ بَ ا ر َهَبهل َقَتَف اب َرۡحِمۡ َ يها ٱل ِرَكَ ا ز َهۡيَلَ ع َلَخَ ا د َ لهمُ ك ۖيها ِرَكَ ا ز َهَفهل َكَ ا و ٗنَسَ ا ح ً ات َبَ ا ن َهَتَبۢنَأَ و ٖنَسَ ح ٍ ول ُبَقِ ا ب َه ۖ جَ و اٗق ۡ زِ ا ر َهَ ند ِ ع َد َ شَ ن ي َ م ُقُز ۡ رَ ي َ نه ٱللَّه ِ إ ِۖ ٱللَّه ِ ند ِ ع ۡنِ م َوُ ه ۡتَال َ ق ۖاَذََٰ ه ِكَ ل َٰ نهىَ أ ُمَي ۡ رَمََٰ ي َ ال َق  ٍ اب َسِ ح ِرۡيَغِ ب ُءٓا

Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (QS. Ali Imran ayat 37).

Sebagai bentuk ketaatan, Allah memerintahkan Maryam agar selalu menyembah-Nya, selalu bersujud dan ruku kepada-Nya bersama dengan orang-orang yang menyembah Allah. Sampai suatu hari Allah memberikan suatu keajaiban yang tidak disangka-sangka bagi Maryam. Allah memberikan sebuah kemuliyaan terhadapnya sebagaimana yang digambarkan Allah dalam firmannya diatas, bahwasanya Maryam memperoleh makanan yang dikirimkan kepadanya sebagai tanda bahwa Allah telah memberikan kelebihan kepadanya. Sebagian ahli tafs r mengatakan makanan yang diperoleh oleh Maryam adalah buah-buahan musim panas diperolehnya ketika musim dingin, buah-buahan di musim dingin diperolehnya ketika musim panas, ini adalah bukti kekuasaan Allah yang telah Allah anugerahkan kepada hamba pilihan.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa: Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sahi ibnu Zanjilah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Luhai'ah, dari Muhammad ibnu Munkadir, dari Jabir, bahwa Rasulullah saw. Pernah tinggal selama beberapa hari tanpa makan sesuap makananpun hingga kelihatan beliau sangat berat. Lalu beliau berkeliling kerumah istri-istrinya, tetapi tidak menemukan sesuap makananpun pada seseorang diantara mereka. Maka beliau saw. Datang kerumah Fatimah (putrinya), lalu bersabda, "Hai anakku, apakah engkau mempunyai sesuatu makanan yang dapat ku makan? Karena sesungguhnya aku sedang lapar." Fatimah menjawab, "Tidak, demi Allah." Ketika Nabi saw. Pergi dari rumahnya, tiba-tiba Siti Fatimah mendapat kiriman dua buah roti dan sepotong daging dari tetangga wanitanya, lalu Fatimah mengambil sebagian darinya dan diletakan didalam sebuah panci miliknya, dan ia berkata kepada dirinya sendiri, "Demi Allah, aku benar-benar akan mendahulukan Rasulullah saw. Dengan makanan ini dari pada diriku sendiri dan orang-orang yang ada didalam rumahku," padahal mereka semua memerlukan makanan yang cukup. Kemudian Fatimah menyuruh Hasan atau Husain untuk mengundang Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw datang kepadanya, maka ia berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Allah telah memberikan suatu makanan, lalua kusembunyikan buatmu." Nabi saw. bersabda, "Cepat berikanlah kepadaku, hai anakku." Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menyuguhkan panci tersebut dan membukanya. Tiba-tiba panci itu telah penuh berisikan roti dan daging. Ketika Fatimah melihat kearah panci itu, maka ia merasa kaget dan sadar bahwa hal itu adalah berkah dari Allah swt. Karena itu, ia memuji kepada Allah dan mengucapkan salawat buat Nabi-Nya. Lalu Fatimah menyuguhkan makanan tersebut kepada Rasulullah saw. Ketika beliau saw. melihatnya, maka beliau memuji kepada Allah dan bertanya, "Dari manakah makanan ini, hai anakku?" Fatimah menjawab bahwa makanan tersebut dari sisi Allah.

Di antara Karomah para wali yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah apa yang terjadi pada Dzul Qornain yaitu seorang raja yang shalih yang Allah nyatakan: “Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi dan kami telah memberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu”. (Al Kahfi :84) Dan juga dialah yang telah membuat pembatas yang membatasi antara manusia dengan Ya’juj dan Ma’juj hingga hari akhir, kisah ini terdapat dalam surat Al Kahfi:83-98. 

Di antara Karomah para wali juga apa yang terjadi pada kedua orang tua seorang anak yang dibunuh oleh nabi Khidhir yang ketika itu nabi Musa mengatakan: “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih padahal dia tidak membunuh orang lain,” yang kemudian Khidhir menjawabnya: “Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang yang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan menariknya kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi:74)  Apa yang disebutkan di dalam kisah tiga orang yang berlindung kedalam gua namun tiba-tiba jatuhlah batu besar sehingga menutupi pintu gua dan akhirnya mereka tekurung di dalamnya, kemudian mereka bertawassul dengan amalan-amalan shalih masing-masing.

Salah seorang diantara mereka ada yang bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu berbakti kepada kedua orang tuanya, yang kemudian ia berdoa: “Ya Allah jika perbuatan ini semata-mata karena mengharap ridho-Mu maka geserlah batu ini.” Kemudian batu itu bergeser sedikit. Orang kedua pun bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu dengan dia bisa menjaga dirinya dari terjatuh ke dalam perbuatan zina dengan saudara sepupunya, padahal ia mampu untuk melakukan perbuatan itu. Kemudian batu itu bergeser sedikit namun mereka belum bisa keluar.

Kemudian orang yang ketiga bertawassul dengan amalan kebaikannya, yang ketika dulu ia pernah berbuat baik kepada karyawannya yang pergi meninggalkannya tanpa mengambil gajinya terlebih dahulu, kemudian gajinya itu dia kembangkan dengan penuh amanah sampai harta tersebut menjadi banyak, selang beberapa tahun karyawan itu datang kembali untuk mengambil gajinya yang dulu belum ia ambil, kemudian orang itu memberikan semua gajinya yang telah berkembang menjadi harta yang banyak, maka batu pun bergeser sehingga mereka dapat keluar dari gua tersebut, Allah selamatkan mereka dengan sebab tawassul mereka itu. 

Kisah tersebut terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma. Para ulama menyebutkan bahwa kisah di atas termasuk Karomah para wali.  Apa yang terjadi pada Ummul mukminin Khodijah bahwasanya Jibril datang pada Rasulullah dengan menyampaikan salam Allah untuk Khodijah serta menyampaikan berita gembira baginya bahwa ia akan mendapatkan rumah yang terbuat dari permata berlian yang indah di jannah. (HR. Bukhori dari sahabat ‘Aisyah).

Dan ini merupakan dalil bahwa Karomah pun terjadi pada seorang perempuan. 7. Apa yang telah mutawatir tentang berita salafus shalih akan perkara Karomah yang terjadi pada diri mereka, dan generasi setelah mereka.  Mu’jizat terjadinya dengan unsur kesengajaan dan ada kaitannya dengan kenabian, adapun Karomah terjadinya tidak demikian. Karomah terjadinya pada seseorang baik laki-laki maupun perempuan merdeka maupun budak, selama ia seorang yang shalih. Sedang mu’jizat tidaklah terjadi kecuali pada seorang Nabi atau Rasul yang tentunya seorang Nabi atau Rasul adalah seorang laki-laki dan bukan seorang budak. Ada sesuatu yang bukan mu’jizat dan juga bukan Karomah, dia adalah “al-Ahwal al-Syaithoniyyah” (perbuatan syaithon).

Inilah yang banyak menipu kaum muslimin, dengan anggapan bahwa ia Karomah, padahal justru tidak ada kaitannya dengan Karomah, karena karomah datangnya dari Allah sedangkan ia jelas datangnya dari syaithon. Sebagaimana yang terjadi pada Musailamah al-Kadzdzab dan alAswad al-Ansyi (dua orang pendusta di zaman Rasulullah yang mengaku menjadi nabi) dan menyampaikan perkara-perkara yang ghoib, ini jelas merupakan perbuatan syaithon. Demikian pula Karomah para wali disebabkan karena kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka ia pun menjadi wali Allah”. Sedangkan perbuatan syaithon ini dikarenakan kufurnya mereka kepada Allah dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan kepada Allah, dan syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan.

Karomah merupakan suatu pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa susah payah darinya, berbeda dengan perbuatan syaithon, maka ini terjadi dengan susah payah setelah sebelumnya ia berbuat syirik kepada Allah. Karomah para wali tidak bisa disanggah atau dibatalkan dengan sesuatupun. Berbeda dengan perbuatan syaithon yang dapat dibatalkan dengan menyebut nama-nama Allah atau dibacakan ayat kursi atau yang semisalnya dari ayat-ayat Al Qur’an.  Bahkan, Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ada seseorang yang terbang di atas udara kemudian datang seseorang dari Salafushshalih lalu dibacakan ayat kursi kepadanya maka seketika itu dia jatuh dan mati.

Karomah itu tidaklah menjadikan seseorang sombong dan merasa bangga diri, justru dengan adanya Karomah ini menjadikannya semakin bertaqwa kepada Allah dan semakin mensyukuri nikmat Allah. Adapun perbuatan syaithon bisa menjadikan seseorang bangga diri atau sombong dengan kemampuan yang dia miliki serta angkuh terhadap Allah, sehingga jelaslah bagi kita akan hakekat Karomah dan perbuatan syaithon. 

Ada beberapa kelompok yang mengingkari adanya Karomah, yaitu: Jahmiyah, Mu’tazilah’ dan Wahabiyah. Mereka berdalil dengan syubhat-syubhat yang dilandasi dengan akal mereka yang rendah. Mereka mengatakan: “Bahwa terjadinya Karomah itu hanya merupakan perkara yang akan menjadikan kesamaran antara nabi dengan para wali dan antara wali dengan Dajjal.” Bantahan syubhat ini (secara ringkas) adalah:

Pertama: kita yakin dengan keyakinan yang penuh bahwa Karomah itu benar-benar ada berdasarkan dalil baik dari alQur’an maupun Sunnah Nabi dan kenyataan yang ada.

Kedua: ucapan mereka bahwa Karomah dapat menjadikan kesamaran antara wali dengan seorang Nabi, justru tidaklah demikian karena wali sama sekali tidak berkaitan dengan kenabian, dan apa yang terjadi dari Karomah itu dikarenakan kuatnya keimanan dan ketakwaan dia kepada Allah dan disebabkan waro’nya. Sedangkan kesamaan antara wali dengan Dajjal, maka sungguh dapat dilihat dari kehidupan seseorang yang terjadi padanya keluarbiasaan itu.

Kemudian dilihat dari keadaan orang ini apakah dia seorang yang shalih atau seorang yang fasiq. Demikianlah timbangan yang benar di dalam menghukumi seseorang yang terjadi padanya perkara-perkara yang diluar kebiasaan manusia.  Karomah sebagaimana mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang dianugrahkan kepada para kekasih Allah, namun tidak disertai dnegan pengakuan kenabian dari mereka. Lain halnya dengan mukjizat, ketampakannya itu disertai dnegan pengakuan kenabian dari seorang nabi yang membawa risalah kenabiannya. 

Seorang wali itu ia orang yang mengerti dan paham tentang ketuhanan melalui sifat-sifat kesempurnaan-Nya, ia juga orang yang taat menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta menghindari hal-hal yang menghantarkannya pada kenikmatan duniawi dan sahwat. Tampaknya suatu karomah atau kekeramatan dari seorang wali adalah sebagai penghormatan baginya dari Tuhannya dan isyarat atas diterimanya segala perbuatan yang telah dilakukannya sebagai persembahan dan ibadah kepada Tuhannya (Allah Swt). Satu hal lagi, bahwa seorang wali itu adalah umat dari seorang nabi, maka seseorang itu tidak akan menjadi wali tanpa mengakui risalah kenabian dari nabinya tersebut.

Dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan segala ajaran yang dibawa oleh Nabinya. Maka apabila ada seseorang yang dengan sendirinya tanpa mengikuti risalah kenabian dari nabinya, maka dapat dipastikan ia tidak akan dianugrahi karomah, dan tidak akan menjadi seorang wali (kekasih) bagi Tuhan yang Maha Pengasih. Melainkan ia menjadi kekasih dan pemuja para syaithan, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Swt dengan melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, untuk sampaikan kepada orang-orang yang menyangka dirinya menyintai Allah Swt.
 
C. Konsepsi Tentang Sihir

Sihir dalam bahasa Arab tersusun dari huruf   ر, ح, س (siin, kha, dan ra), yang secara bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar. Oleh karenanya kita mengenal istilah ‘waktu sahur’ yang memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, kha dan ra, yang artinya waktu ketika segala sesuatu nampak samar dan remang-remang. Seorang pakar bahasa, alAzhari mengatakan bahwa,  “Akar kata sihir maknanya adalah memalingkan sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada seorang menampakkan keburukan dengan tampilan kebaikan dan menampilkan sesuatu dalam tampilan yang tidak senyatanya maka dikatakan dia telah menyihir sesuatu”. 

Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata ‘sihir’ secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar-benar terjadi ‘riil’, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang memberikan pengaruh baik secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit, atau bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau membuat istri orang lain mencintai dirinya.” Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa sihir hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala sesuatu yang sebabnya samar dan bersifat mengalabui, tanpa adanya hakikat, dan terjadi sebagaimana muslihat dan tipu daya semata.” Al-Laits mengatakan, Sihir adalah suatu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada syaitan dengan bantuannya. Al-Azhari mengemukakan, Dasar pokok sihir adalah memalingkan sesuatu dari hakikat yang sebenarnya kepada yang lainnya. Ibnu Manzur berkata: Seakan-akan tukang sihir memperlihatkan kebathilan dalam wujud kebenaran dan menggambarkan sesuatu tidak seperti hakikat yang sebenarnya.

Dengan demikian, dia telah menyihir sesuatu dari hakikat yang sebenarnya atau memalingkannya. Syamir meriwayatkan dari Ibnu Aisyah, dia mengatakan bahwa orang Arab menyebut sihir itu dengan kata as-Sihr karena ia menghilangkan kesehatan menjadi sakit. Ibnu Faris mengemukakan, Sihir berarti menampakkan kebathilan dalam wujud kebenaran. Di dalam kitab al-Mu’jamul Wasīth disebutkan bahwa sihir adalah sesuatu yang dilakukan secara lembut dan sangat terselubung. Sedangkan di dalam kitab Muhīthul Muhīth disebutkan, sihir adalah tindakan memperlihatkan sesuatu dengan penampilan yang paling bagus, sehingga bisa menipu manusia.

Fakhruddin ar-Razi mengemukakan, menurut istilah Syari’at, sihir hanya khusus berkenaan dengan segala sesuatu yang sebabnya tidak terlihat dan digambarkan tidak seperti hakikat yang sebenarnya, serta berlangsung melalui tipu daya. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, Sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi, perkataan yang dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan sesuatu yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa berinteraksi langsung dengannya. Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada yang bisa mematikan, membuat sakit, membuat seorang suami tidak dapat mencampuri istrinya atau memisahkan pasangan suami istri, atau membuat salah satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak saling mencintainya.

Ibnul Qayyim mengungkapkan, Sihir adalah gabungan dari berbagai pengaruh ruh-ruh jahat, serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya. Dapat disimpulkan bahwa Sihir adalah kesepakatan antara tukang sihir dan syaitan dengan ketentuan bahwa tukang sihir akan melakukan berbagai keharaman atau kesyirikan dengan imbalan pemberian pertolongan syaitan kepadanya dan ketaatan untuk melakukan apa saja yang dimintanya. Di antara tukang sihir itu ada yang menempelkan mushhaf di kedua kakinya, kemudian ia memasuki WC. Ada yang menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan kotoran. Ada juga yang menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan darah haidl. Juga ada yang menulis ayatayat al-Qur’an di kedua telapak kakinya. Ada juga yang menulis Surat al-Faatihah terbalik. Juga ada yang mengerjakan sholat tanpa berwudhu’. Ada yang tetap dalam keadaan junub terus-menerus. Serta ada yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada syaitan dengan dengan tidak menyebut nama Allah pada saat menyembelih, lalu membuang sembelihan itu ke suatu tempat yang telah ditentukan syaitan.

Dan ada juga yang berbicara dengan binatang-binatang dan bersujud kepadanya. Serta ada juga yang menulis mantra dengan lafazh-lafazh yang mengandung berbagai makna kekufuran. Dari sini, tampak jelas oleh kita bahwa jin itu tidak akan membantu dan tidak juga mengabdi kepada seorang penyihir kecuali dengan memberikan imbalan. Setiap kali seorang penyihir meningkatkan kekufuran, maka syaitan akan lebih taat kepadanya dan lebih cepat melaksanakan perintahnya.

Dan jika tukan sihir tidak sungguh-sungguh melaksanakan berbagai hal yang bersifat kufur yang diperintahkan syaitan, maka syaitan akan menolak mengabdi kepadanya serta menentang perintahnya. Dengan demikian, tukang sihir dan syaitan merupakan teman setia yang bertemu dalam rangka perbuatan kemaksitan kepada Allah.  Jika anda perhatikan wajah tukang sihir, maka dengan jelas anda akan melihat kebenaran apa yang telah saya sampaikan, dimana anda akan mendapatkan gelapnya kekufuran yang memenuhi wajahnya, seakan-akan ia merupakan awan hitam yang pekat.

Jika anda mengenali tukang sihir dari dekat, maka anda akan mendapatkannya hidup dalam kesengsaraan jiwa bersama istri dan anak-anaknya, bahkan dengan dirinya sendri sekalipun. Dia tidak bisa tidur nyenyak dan terus merasa gelisah, bahkan dia akan senantiasa merasa cemas dalam tidur. Selain itu seringkali syaitan-syaitan itu akan menyakiti anak-anaknya atau istrinya serta menimbulkan perpecahan dan perselisihan di antara mereka. Mahabesar Allah Yang Mahaagung yang telah berfirman: 

 َ اً يش ِعَ م ُهَ نه ل ِإَ ي ف ِرْكِ ذ ْنَ ع َضَرْعَ أ ْنَمَو كْنَ ض ًة

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”. [Thāhā: 124].
Dunia sihir dan perdukunan telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, mulai dari masyarakat desa hingga menjamah ke daerah kota. Mulai dari sihir pelet, santet, dan “ajiaji” lainnya. Berbagai komentar dan cara pandang pun mulai bermunculan terkait masalah tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya. Sebagai seorang muslim, tidaklah kita memandang sesuatu melainkan dengan kaca mata syariat, terlebih dalam perkara-perkara ghaib, seperti sihir dan yang semisalnya. Marilah kita melihat bagaimanakah syariat Islam yang mulia ini memandang dunia sihir dan ‘antek-antek’-nya.

1. Sebenarnya Adakah Sihir Itu? Sebagaimana yang disinggung di depan, bahwa terdapat persilangan pendapat tentang kebenaran hakikat sihir. ‘Apakah sihir hakiki?’, ‘Apakah orang yang terkena sihir, benar-benar merasakan pengaruhnya?’, ‘Atau kah sihir hanya sebatas tipuan mata dan tipu muslihat semata?’ Abu Abdillah Ar Rozi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan “Kelompok Mu’tazilah mengingkari adanya sihir dalam aqidah mereka. Bahkan mereka tidak segan-segan mengkafirkan orang yang meyakini kebenaran sihir. Adapun ahli sunnah wal jama’ah, meyakini bahwa mungkin saja ada orang yang bisa terbang di angkasa, bisa merubah manusia menjadi keledai, atau sebaliknya. Akan tetapi meskipun demikian ahli sunnah meyakini bahwa segala kejadian tersebut atas izin dan taqdir dari Allah ta’ala”. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka itu (para tukang sihir) tidak akan memberikan bahaya kepada seorang pun melainkan dengan izin dari Allah” (QS. Al-Baqarah: 102).

Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan, “Menurut ahli sunnah wal jama’ah, sihir itu memang ada dan memiliki hakikat, dan Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang demikian ini berbeda dengan keyakinan kelompok Mu’tazilah.”  Inilah keyakinan yang benar, insya Allah. Banyak sekali kejadian, baik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pun masa-masa setelahnya yang menunjukkan secara kasat mata bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al A’shom Al Yahudi hingga beliau jatuh sakit? Kemudian karenanya Allah ta’ala menurunkan surat al-Falaq dan surat alNās (al-mu’awidaztain) sebagai obat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh terhadap orang yang terkena sihir. Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tidak memiliki hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat, “sulapan”, dan yang lainnya. Jenis-jenis sihir yang demikian inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa ulama yang mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat.

Sihir termasuk dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dari kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “[1] menyekutukan Allah, [2] sihir, [3] membunuh seorang yang Allah haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat, [4] mengkonsumsi riba, [5] memakan harta anak yatim, [6] kabur ketika di medan perang, dan [7] menuduh perempuan baik-baik dengan tuduhan zina” (HR. Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al-Baqarah: 102).

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dengan ayat di atas untuk menegaskan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para syaitan mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dengan tujuan agar manusia menyekutukan Allah ta’ala. Syaikh al-Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan sebagai kesyirikan dari dua sisi.
1. Orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta bantuan kepada para syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya, dan betapa banyak orang yang terikat kontrak perjanjian dengan para syaitan tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada mereka, mencintai mereka, ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela memenuhi keinginan-keinginan mereka. 2. Orang yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang mengakungaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah dalam pengakuannya tersebut (syirik dalam rububiyah Allah), karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib melainkan hanya Allah ta’ala semata.

Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir, bisa jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam, dan bisa jadi orang tersebut tidak kafir meskipun dengan perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa besar. Pertama, Tukang sihir yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan tentara-tentara syaitan, yang pada akhirnya orang tersebut bergantung kepada syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan sampai menyembah mereka. Maka yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya perbuatan semacam ini. Kedua, Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan, melainkan dengan obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam ini tidak dikategorikan sebagai kekafiran.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika, di akhir kekhalifahan beliau, mengirimkan surat kepada para gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin ‘Abadah radhiyallahu ‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah kalian (para pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun perempuan”. Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran bagi kita, bahwa hukuman bagi tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya adalah hukuman mati. Terlebih lagi terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang status ke-shahihan-nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang.” 

Dalam kisah Umar di atas pun juga memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa menjadi kewajiban pemerintah tatkala melihat benih-benih kekufuran, hendaklah pemerintah menjadi barisan nomor satu dalam memerangi kekufuran tersebut dan memperingatkan masyarakat tentang bahayanya kekufuran tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.  Inilah yang mungkin menjadi kerancuan di benak masyarakat, yang kemudian kerancuan ini menjadikan mereka membolehkan belajar sihir, karena alasan “keadaan darurat”. Terlebih lagi tatkala sihir yang digunakan untuk mengobati sihir terkadang terbukti manjur dan mujarab.

Bukankah segala sesuatu yang haram pada saat keadaan darurat, akan menjadi mubah? Bukankah ketika di tengah hutan, tidak ada bahan makan, bangkai pun menjadi boleh kita makan? Memang syariat membolehkan perkara yang haram tatkala keadaan darurat, sampai-sampai para ulama membuat sebuah kaidah fiqhiyah, “Keadaan yang darurat dapat merubah hukum larangan menjadi mubah.” Namun kita pelu cermati bahwa para ulama pun juga memberikan catatan kaki terhadap kaidah yang agung ini. Terdapat sedikitnya dua syarat yang harus dipenuhi untuk mengamalkan kaidah ini, yaitu: 1. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkan sihir, selain dengan sihir yang semisal. Pada kenyataannya tidaklah terpenuhi syarat pertama ini.

Syariat telah memberikan obat dan jalan keluar yang lebih syar’i untuk menangkal dan mengobati gangguan sihir. Bukankah syari’at telah menjadikan Al Quran sebagai obat, lah ada dan teruqyah-ruqyah syar’i yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 2. Sihir yang digunakan harus terbukti secara pasti dapat menyembuhkan dan menghilangkan sihir. Dan setiap dari kita tidaklah ada yang dapat memastikan hal ini, karena semua hal tersebut adalah perkara yang ghaib.  Maka dengan ini jelaslah bahwa mempelajari sihir, apapun alasannya adalah terlarang, bahkan diancam dengan kekufuran, Allah ta’ala telah tegaskan di dalam firmannya (yang artinya), “Dan tukang sihir itu tidaklah menang, dari mana pun datangnya.” (QS. Ath Thaahaa: 69).

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini mencakup umum, segala macam kemenangan dan keberuntungan akan ditiadakan dari para tukang sihir, terlebih lagi Allah tekankan dengan firman-Nya, ‘dari mana pun datangnya’. Dan secara umum, tidaklah Allah meniadakan kemenangan dari seseorang, melainkan dari orang kafir. Sihir tidak akan luput dari kehidupan manusia sehari-hari yang digunakan oleh orangorang yang tidak mengerti atau tidak paham mengenai dampak dari perbuatan tersebut. Sihir ini telah tersebar di tengah-tengah peradaban manusia masa kini maupun masa lalu. Mulai dari sihir berupa pelet, santet, gendam dan lain sebagainya.

Padahal telah jelas dalam Al-Quran bahwasannya sihir ini dapat membuat seseorang yang melakukan perbuatan tersebut menjadi kafir (musyrik). Pada hakikatnya kita tidak boleh takut akan adanya sihir ini, karena segala sesuatu itu terjadi hanyalah atas izin Allah Swt semata bukan karena hal lainnya terutama sihir. Akan tetapi banyak orang yang salah dalam memahami sihir sehingga bentuk kebodohan serta kemusyrikan terjadi, orang-orang tersebut beramai-ramai mempraktekan sihir untuk mempermudah suatu urusan di dalam kehidupan sehari-hari. Syetan selalu berusaha untuk memasukan suatu kesan kepada ummat muslim bahwa sihir ini bukanlah suatu perbuatan yang berdampak kepada dosa yang sangat besar.

Bahkan Syetan memberikan pelajaran yang dapat menyentuh perasaan kepada manusia, sehingga mereka menganggap bahwa sihir adalah suatu perbuatan yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencari kebaikan. Misalnya untuk memikat hati seorang wanita ataupun laki-laki yang dilakukan dengan cara guna-guna atau zaman sekarang sering disebut dengan pelet, itu semua diperbolehkan oleh agama karena digunakan untuk kebaikan dengan dalih (menyatukan ummat manusia dalam sebuah perjodohan) sehingga sebagian ummat yang terpedaya mengatakan bahwa semua hal tersebut merupakan muhabbah. Padahal menurut Syara sihir itu merupakan perbuatan kufur dan orang yang bermain-main dengan sihir adalah kafir. Sihir berarti sesuatu yang lembut dan halus (tidak terlihat).

Secara terminologis, sihir adalah suatu perbuatan oleh orang tertentu (disebut tukang sihir) dengan syarat-syarat tertentu mempergunakan peralatan yang tidak lazim untuk dipakai, serta dengan cara yang sangat rahasia, untuk menimbulkan efek jahat dalam diri orang lain yang menjadi korbannya. Sihir dapat dinamai juga santet, teluh, magic, vodoo dan lain sebagainya. Pada umumnya sasaran sihir ini ada dua, ada yang langsung dikenakan kepada diri korban dengan mempengaruhi hati, jiwa dan badannya, untuk disakiti ataupun dibunuh. Ada juga yang dikenakan terhadap harta benda korban untuk dirusak ataupun dimusnahkan serta sihir ini digunakan untuk memutuskan cinta kasih sepasang suami istri (kekasih). Sebelum melakukan sihir biasanya ada kesepakatan antara tukang sihir dengan syetan, syaratnya adalah tukang sihir harus melakukan perbuatan syirik atau kufur. Baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sementara syetan harus melayani tukang sihir, atau menundukan orang yang melayaninya.

Oleh karena itu, tukang sihir menundukan jin tersebut untuk melakukan pekerjaan jahat yang dia inginkan. Dan jika jin tersebut membangkang, maka tukang sihir akan mendekati pemimpin kelompoknya dengan menggunakan sang pemimpin serta meminta pertolongan kepadanya, bukan kepada Allah Swt. Seseorang yang mendatangi tukang sihir (dukun, peramal, paranormal) lalu bertanya kepadanya, dia terkena ancaman tidak diterima shalatnya selama 40 telah jatuh kepada dosa kafir (Syirik kepada Allah Swt).

Sedangkan dalam kamu Mu’zam Al-Mufradat karya Al-Ragib Al-Ashfahani dikatakan terdapat beberapa arti dari kata “Sahara”.

Pertama, gambaran atau tipuan imajinasi yang tidak nyata, seperti halnya yang dilakukan oleh pesulap yang dapat memalingkan pandangan dengan kecepatan tangannya dan juga seperti yang dilakukan oleh seorang pengadu domba, memfitnah dengan ucapan-ucapan manis yang dapat mempengaruhi pandangan orang lain mengenai suatu perkara.

Kedua, meminta pertolongan kepada syetan dengan cara melakukan sebuah ritual mendekatkan diri kepadanya. Ketiga, suatu perbuatan yang dapat membuat seseorang menjadi sedih, senang, takut, penurut dan lain sebagainya yang denganya dapat merubah suatu karakter seseorang. Seperti khimar (hipnotis) akan tetapi hal ini tidak bersifat nyata, hanyalan sebuah ilussi.

Dari ragam dan fenomena pemaknaan tentang sihir, kiranya masih layak untuk dikaji lebih jauh, bagaimana sesungguhnya sihir dalam pandangan para mufasir, ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang berbicara masalah sihir. Sebenarnya, sihir ini telah ada sejak zaman Nabi Sulaiman As. Allah Swt memberikan seatu mukjizat kepada Nabi Sulaiman As yaitu dapat memerintahkan manusia, hewan dan jin sebagai pasukan kerajaannya. Seperti firman Allah Swt dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah 102: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syetan-syetanlha yang kafir (mengerjakan sihir).

Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu pa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya.

Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir. Kalau mereka mengetahui.” 

Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 102 disebutkan bahwa dengan segala kebolehan (Mu‟jizat) yang diberikan Allah Swt kepda Nabi Sulaiman, akan tetapi orang-orang kafir menuduh bahwa Nabi Sulaiman tidak lain hanyalah seorang ahli sihir yang mengajarkan ilmu sihirnya terhadap pengikutnya, padahal semua itu semata-mata hanyalah perbuatan syetan. Sihir dalam kehidupan masa lalu bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang keagamaan dan yang kedua dari sudut pandang non keagamaan. Dalam perkembangannya sudut pandang non keagamaan ini lebih banyak dikedepankan oleh aspek ilmu pengetahuan atau keilmuan di masa modern, dimana ada pergeseran makna yang semula pada dasarnya adalah sihir namun menurut pandangan mereka ini di identikan dengan sulap.

Berbeda halnya menurut ajaran atau pengetahuan keislaman bahwa sulap adalah sulap, sihir adalah sihir. Sihir tetap saja merupakan suatu perbuatan yang dapat merusak aqidah dan tauhid seorang muslim karena dekat sekali dengan kesyirikan. Jika dilihat dalam konteks zaman sekarang dibanyak Negara, termasuk di Barat dan di Timur Tengah, sihir biasanya digambarkan sebagai suatu perbuatan yang memungkinkan pelakunya dapat mengubah sesuatu menjadi benda lain yang di inginkannya. Dalam kisah Nabi Musa As, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran. Para penyihir firaun dapat mengubah tali menjadi ular. Sementara dalam film-film atau novel Barat, seorang penyihir yang biasanya digambarkan bertopi runcing dan bertampang yang buruk dan mengerikan, dapat mengubah seseorang menjadi hewan, ataui apa saja dengan mantra-mantra dan ramuan yang mereka buat.

Mereka juga memiliki sapu terbang untuk membawanya terbang kemana saja. Peradaban modern masa kini hanya percaya bahwa orang yang dapat membuat keajaiban itu hanyalah seorang pesulap, bukanlah seorang penyihir. Dan, sekelompok pesulap itu tidak menggunakan kekuatan magis. Mereka melakukan keanehan-keanehan secara murni sekaligus menggunakan trik atau tipuan mata, dan tidaklah lebih dari semua itu. Sesuatu yang tidak dapat dijawab dengan ilmu pengetahuan, biasanya langsung dikaitkan dengan ketidaklaziman. Dan, ketidaklaziman mudah dikaitkan dengan kekuatan sihir.

Oleh karena itu, berkaitan dengan penafsiran terhadap ilmu sihir perlu dilakukan secara hati-hati dengan terlebih dahulu meninjau masalah sihir melalui sudut ilmu pengetahuan masa kini. Sihir dalam paradigma masa kini telah memunculkan ambiguitas, disatu sisi dipandang sebagai sebuah trik ataupun tipuan karena disamakan dengan sulap akan tetapi dipihak lain menurut sudut pandang agama sihir adalah dimensi kesyirikan yang akan merusak aqidah. Oleh karenanya realitas ini harus diselsaikan, dimurnikan supaya tidak subhat atau tercampur antara sihir dengan sulap.

Fenomena mistis, tentang sihir juga sampai ke masa kita sekarang. Masyarakat sangat menggandrungi tayangan-tayangan televisi yang menyiarkan acara-acara mistis. Mulai dari tayangan yang dikemas dalam film-film sejarah klasikal hingga telenovela-telenovela kehidupan modern. Selain itu, kemunculan tokoh-tokoh mistis seperti Dedi Corbuzer, Romi Rafael dan David Cover Field, menyebabkan antusias masyarakat kepada dunia mistik semakin tajam dan menjurus kepada kesesatan. Bahkan pengaruh tayangan-tayangan tersebut meresap sampai ke anak-anak kecil, yang notabenenya adalah penerus-penerus perjuangan agama dan bangsa. Adapun sihir, sebagaimana tinjauan makna bahasa yang lalu, hanyalah sebuah tipuan pandangan mata.

Kemampuan sihir muncul dari seorang yang kafir, fasik dan munafik. Allah Swt., memang memberikan kelebihan tersebut kepada mereka sebagai istidrâj. Yaitu agar mereka tetap tenggelam dalam kekufuran, kefasikan dan kemunafikannya. Kemampuan sihir seseorang sering digunakan untuk menghancurkan atau menipu. Oleh karenanya, kemampuan sihir ada yang didapatkan dari proses pembelajaran atau latihan dan ada juga lewat bantuan setan. Ada sekelompok orang yang meyakini eksistensi black magic dan white magic. Bila sesuatu yang luar biasa tersebut keluar dari seorang nabi, wali, ulama atau orang yang shalih, maka mereka mengatakan hal itu adalah white magic.

Begitu juga sebaliknya, bila muncul dari seorang dukun, peramal atau non muslim dinamakan black magic. Dari pengertian ini tampak ada kesimpang siuran, sehingga sangat perlu dicari pengertian yang lebih logis. Dalam memahami kenyataan dan pengaruh yang dikeluarkan dari sihir, pendapat para ulama terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Kelompok yang meyakini bahwa sihir mempunyai pengaruh dan benar-benar nyata. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok ahl al-sunnah wa al-jamā’ah. Mereka berpedoman kepada surat al-Baqarah (2): 102 dan riwayat asbāb al-nuzūl surat al-Falaq (113): 4 yaitu, hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn al-Arqam tentang seorang Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham menyihir Nabi Muhammad saw., sehingga beliau sakit dan merasa berbuat sesuatu, padahal tidak.
2. Kelompok yang tidak meyakini keberadaan dari fakta sihir dan juga tidak percaya bahwa sihir itu berpengaruh. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok Muktazilah. Mereka berpedoman kepada surat al-A’rāf (7): 116 dan Thāhā (20): 66-69. Mereka juga berpendapat bahwa jika sihir dapat membuat sesuatu yang luar biasa, seperti berjalan di atas air, terbang di udara atau merubah tanah menjadi emas, maka kehebatan mukjizat akan sirna, sebab keduanya sama-sama sebuah perbuatan yang dilakukan dengan luar biasa.

Di samping itu, manusia tidak perlu susah-susah bekerja, cukup dengan sihir saja maka kebutuhan hidup terpenuhi. Imam al-Zamakhsyâri dalam tafsir al-Kasysyāf mewakili kelompok Muktazilah, menyatakan bahwa sihir sebenarnya sesuatu tipuan yang tidak pernah terjadi dengan sebenarbenarnya. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-falq pada ayat yang mengandung kata al-naffātsāt. Secara zahir, apa yang dilakukan orang-orang yang meniup tali temali dengan membaca mantera-mantera menurutnya tidak mempengaruhi apa-apa.

Jika seseorang ingin mempelajarinya, tentu ia akan mampu dan bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh para tukang sihir tersebut. Imam al-Zamakhsyāri juga menukil sebuah sya'ir yang menyebutkan bahwa mempelajari sihir bukan untuk diamalkan, tetapi untuk mencari kelemahannya. Menurut penulis, ungkapan Imam al-Zamakhsyāri ini, menjadi salah satu sebab yang membuat Imam al-Rāzi termotivasi untuk melakukan penafsiran maksimal terhadap ayat-ayat tentang sihir.

Adapun Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manār mengingkari keberadaan sihir. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-Falaq pada ayat yang berbunyi, wa min syarr al-naffātsāt fi al-'uqad. Menurutnya, yang dimaksud dengan al-naffātsāt adalah orangorang yang mengadu domba antar sesama. Merekalah orang-orang yang memutuskan persaudaraan dan tali silaturrahim. Mereka juga membakar semangat dendam di antara kelompopk- kelompok orang yang telah menjalin ikatan persaudaraan. Mereka ini dinamakan al-namīmah. Sedangkan al-namīmah menurutnya merupakan salah satu cabang dari ilmu sihir. Di samping itu, perbuatan al-namīmah membawa kepada kesesatan, karena orang yang berbuat demikian akan cenderung ingin menyesatkan orang lain.

Pengkaburan kebenaran menjadi kesesatan menurut Syeikh Muhammad Abduh adalah perbuatan sihir. Begitu juga Syeikh Rasyîd Ridha. Sebagai murid Muhammad Abduh, dan banyak memberi komentar dalam tafsir al-Manâr berpendapat bahwa ilmu sihir hanya sebuah kebohongan dan tipu daya belaka. Dia sependapat dengan gurunya Muhammad Abduh dan mengusung pendapat kelompok Muktazilah. Ini ditemukan dalam penafsirannya terhadap surat al-An'ām: 7.

Menurutnya, ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa sihir merupakan perbuatan tipuan dan kebohongan dan tidak dapat memberi manfa'at atau mudharat. Sedangkan terhadap hadis Imam Bukhari yang menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah tersihir, Rasyid Ridhâ mentakwilkannya. Bahwa Rasul tidak tersihir tetapi pandangan istri-istrinya yang tersihir sehingga melihat Nabi saw seolah-olah melakukan sesuatu padahal beliau tidfak melakukannya. Selain itu, menurutnya perawi hadis tersebut dinilai cacat oleh mayoritas ulama. Ibn Kastīr dalam Tafsīr al-Qurān al-'Azhīm menyatakan bahwa ilmu sihir dapat dipelajari dan nyata keberadaannya. Bahkan seseorang yang mahir sihir dapat merubah sesuatu kepada sesuatu yang lain. Tetapi mempelajari ilmu sihir menurutnya makruh karena hanya akan mendatangkan bahaya.  Al-Marāghi dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah: 102 menyatakan bahwa para penyihir sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa karena menggunakan perantara.

Ada yang menggunakan jin dan ada juga yang menggunakan alat-alat yang dibacakan mantera. Semuanya ini membuktikan bahwa sihir ada dan bisa dipelajari. Hanya terdapat perbedaan ulama dalam hukum mempelajarinya. Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi tampil dengan kitab tafsirnya Mafātih al-Ghaib mewakili kalangan mufassir-mufassir ahl al-sunnah wa al-jamā’ah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan perhatian terhadap masalah sihir. Pendapat Imām alRāzi tentang kenyataan sihir berbeda dengan mazhab yang dianutnya, yaitu mazhab ahl alsunnah wa al-jamā’ah. Bahkan, di sisi lain Imām al-Rāzi mewajibkan belajar ilmu sihir, sebagaimana wajib belajar terhadap ilmu-ilmu Agama yang lain. Upayanya ini sangat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2): 102.

Dalam menjelaskan ayat tersebut, Imām al-Rāzi mengaitkannya dengan ayat sebelumnya, yaitu alBaqarah (2): 99-101. Kelompok ayat-ayat tersebut menceritakan tentang keburukan pekerjaan Yahudi. Salah satunya adalah mempelajari sihir dan mengajarkannya guna menghancurkan orang lain.  Menurutnya, Sihir adalah sesuatu yang sebab kemunculannya masih tertutup atau tersembunyi, sehingga yang tergambar bukan hakikat sebenarnya, melainkan sebuah tipu daya dari kebohongan belaka. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sihir hanyalah perbuatan yang memalingkan pandangan orang dari pandangan yang sebenarnya. Dia juga melandasi penafsirannya ini kepada surat al-A’râf (7): 116. Dalam hal ini, terlihat Imâm al-Râzi seolaholah hendak menyatakan bahwa selama seseorang belum mengetahui hakikat sesuatu, maka dia masih tersihir oleh sesuatu itu.

Kemudian Imâm al-Râzi menyatakan bahwa sihir bisa dan wajib dipelajari dan diperbolehkan untuk mengajarkannya, apalagi digunakan untuk menghancurkan sihir juga. Salah satu persoalan yang menjadi perhatian besar tentang sihir adalah semua perbuatan yang memalingkan kondisi dari keadaan yang sebenarnya menjadi keadaan yang samar-samar. Artinya sihir bersifat tipuan terhadap pandangan mata saja. Untuk itu, sihir bisa dipelajari, dan bahkan menurut al-Rāzi mewajibkan belajar semua jenis ilmu sihir, dengan maksud untuk mengetahui hakekatnya dan cara kerjanya. Selain itu, mempelajari sihir dapat mendatangkan manfa’at dan mashlahat. Selain sihir masih ada mukjizat dan karamah, karena ketiganya masuk dalam lingkup khawāriq li al-‘ādah.

Dari penelusuran di atas ditemukan perbedaan mendasar di antara ketiga term tersebut, yaitu: Pertama, Sihir bersumber dari orang yang fasik dan kafir, mukjizat bersumber dari seorang Nabi dan Rasul, sedangkan karamah bersumber dari seorang waliullah yang ta’at mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.  Kedua, Sihir muncul dengan adanya usaha atau memang diusahakan, mukjizat muncul dari qudrat iradat Allah, sedangkan karamah muncul tanpa sebab yang tidak diketahui oleh orangnya.  Ketiga, Sihir diwujudkan untuk menghancurkan orang lain, mukjizat diwujudkan untuk menaklukkan tantangan risalah Nabi atau Rasul, sedangkan karamah terwujud sebagai bukti kemuliaan yang diberikan Allah kepada seseorang. 

Oleh karena ilmu sihir tidak tercela dan tidaklah buruk untuk mempelajarinya, tentunya hukum kafir bagi para ahli sihir perlu ditinjau ulang. Sungguh cepat keputusan untuk mengkafirkan dukun, penyihir, tukang ramal atau apapun namanya, tanpa diselidiki terlebih dahulu, kemanfa’atan sihirnya dan kemashlahatannya. Mengenai pengobatan sihir, Imâm alRâzi membolehkan pengobatan dengan cara nusyrah (jampi-jampi) dan pengobatan dengan cara ruqyah (mantera). Kedua cara pengobatan tersebut diterima, selama berada dalam jalurjalur yang dibenarkan syari’at. Selain itu, seseorang yang memiliki kemahiran dalam nusyrah atau ruqyah harus meyakini terlebih dahulu bahwa apa yang dilakukannya hanyalah mencari sebab-sebab yang telah dibuat Allah, bukan dia yang menentukan sembuh atau tidaknya. Demikian kesimpulan yang dapat penulis simpulkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar