Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 30 Juni 2019

KONSEP AL-ASMA AL-HUSNA TENTANG AL-RAHMAN DAN AL-RAHIM


Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Al-Rahmān dan Al-Rahīm

Kata al-Rahmān berasal dari kata Rahīma yang artinya menyayangi atau mengasihi yang terdiri dari huruf Rā, Hā, dan Mim, yang mengandung makna kelemahlembutan, kasih sayang, dan kehalusan. Di dalam al-Qur’an kata al-Rahmān terulang sebanyak 57 kali, sedangkan al-Rahīm sebanyak 95 kali. Apa arti al-Rahmān? Dalam bahasa Inggris, seringkali kata yang digunakan untuk menerjemahkan al-Rahmān adalah merciful atau benefactory.

Namun ada yang perlu kita pahami, bahwa kedua kata tersebut tidak bisa untuk secara sempurna menggantikan makna kata al-Rahmān. Mercy itu maknanya kasih yang diberikan ketika seseorang melakukan suatu kesalahan, padahal al-Rahmān itu tidak hanya diberikan setelah seseorang melakukan kesalahan. Lalu kata benefactory sendiri, hampir tidak pernah dipakai di keseharian, padahal seharusnya terjemahan membuat kita lebih paham.
Al-Rahmān salah satunya berasal dari akar kata al-Rahm, saat seorang perempuan hamil, tempat janin bayinya disebut dengan rahim. Disebut rahim karena janin tersebut dirawat, dilindungi, disayangi dalam berbagai hal. Hubungan sang ibu dan sang bayi kurang lebih seperti ini:

1) Apakah bayi tersebut mengenal/tahu ibunya? Tidak.
2) Apakah bayi tersebut sudah punya rasa cinta/sayang ke ibunya? Tidak.
3)Apakah ibunya sudah memperhatikan, melindungi dan merawat bayinya? Yes,
in every way. The entire life of the child is taken care of by the mother.

Dan bayi tersebut tidak tahu sama sekali bahwa ia sangat disayangi, bahwa ibunya mau melakukan banyak hal untuk bayinya, juga melindunginya dari setiap bahaya.

Kata rahim tersebut melahirkan kata al-Rahmān. Seseorang yang memiliki rahmah, adalah seseorang yang memiliki rasa kasih sayang kepadamu (have compassion towards you), seseorang yang lembut dan mempermudah dirimu (want to be soft and easy with you). Ada saat-saat dimana kita akan mempertanyakan kasih sayang Allah kepada kita. Saat itu, mungkin adalah hari berat dalam hidup kita, saat itu, mungkin iman kita sedang begitu rendah. Saat itu, mungkin juga kamu perlu lagi menengok makna al-Rahmān, mencoba berbaik sangka dan memikirkan kasih sayang dalam bentuk apa yang Allah sedang berikan kepada kita, juga memikirkan betapa banyak hal buruk yang bisa terjadi pada kita, namun Allah menjaga kita dari hal-hal tersebut.
Lafaz al-Rahmān dan al-Rahīm keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar al-Rahmān dengan maksud mubalagah; lafaz al-Rahmān lebih balig (kuat) daripada lafaz al-Rahīm. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini.

Di dalam kitab tafsir sebagian ulama Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa a.s. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, " al-Rahmān artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan alRahīm artinya Yang Maha Penyayang di akhirat." Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah berfirman: 

Yang artinya:

Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43). 

Ibnul Anbari di dalam kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa alRahmān adalah nama ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab Ma'ani Al-Qur'an, bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, al-Rahīm adalah nama Arab, dan alRahmān nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq mengatakan, pendapat ini tidak disukai. Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa lafaz al-Rahmān mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman ibnu Auf r.a. yang menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 

Yang artinya :

Allah Swt. berfirman, "Akulah al-Rahmān (Yang Maha Pemurah), Aku telah menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang siapa yang menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya. 

Al-Qurtubi mengatakan bahwa nas hadis di atas mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka tidak ada maknanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan. Adapun orangorang Arab ingkar terhadap nama al-Rahmān karena kebodohan mereka terhadap Allah dan apa-apa yang diwajibkannya. Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat lain lafaz al-Rahmān dan al-rahīm mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan lafaz nadmana dan nadim, menurut Abu Ubaid.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapan “rajulun gadbanu” ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maful. Abu Ali Al-Farisi mengatakan bahwa al-Rahmān adalah isim yang mengandung makna umum dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt., sedangkan alrahīm hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

Yang artinya :

Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43). 


Ibnu Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain. Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan mereka mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu:

Yang artinya :

Sesungguhnya Allah Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara, dan Dia memberi kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada sikap yang kasar. 

Ibnul Mubarak mengatakan makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi", sedangkan makna ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh AlFarisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Yang artinya:

Barang siapa yang tidak pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya. Salah seorang penyair mengatakan:

Yang artinya :

Allah murka bila kamu tidak meminta kepada-Nya, sedangkan Bani Adam bila diminta pasti marah. 

Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya AtTamimi, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmanir rahim, " al-Rahmān artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun yang mukmin), sedangkan al-Rahīm Maha Penyayang kepada kaum mukmin." Mereka (para ulama ahli tafsir) mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan di dalam firman-Nya: 

Yang artinya :

Kemudian Dia ber-istiwa di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah. (Al-Furqan: 59). Di dalam firman lainnya disebutkan pula:

Yang artinya :

Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arasy. (Thaha: 5). 

Allah menyebut nama al-Rahmān untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua makhluk memperoleh kemurahan rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah Swt. telah berfirman: Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43). Maka Dia mengkhususkan nama al-Rahīm untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa lafaz al-Rahmān mempunyai pengertian mubalagah dalam kasih-sayang, mengingat kasih sayang bersifat umum-baik di dunia maupun di akhirat-bagi semua makhluk-Nya. Sedangkan lafaz al-Rahīm dikhususkan bagi hamba-Nya yang beriman. Akan tetapi, memang di dalam sebuah doa yang ma'sur disebut "Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, Yang Maha Penyayang di dunia dan di akhirat". Nama al-Rahmān hanya khusus bagi Allah Swt. semata, tiada selain-Nya yang berhak menyandang nama ini, sebagaimana dinyata-kan di dalam firman-Nya:

Yang artinya :

Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan narna yang mana saja  kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110). Dalam ayat lainnya lagi Allah Swt. telah berfirman:

Yang artinya :

Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah!" (Az-Zukhruf: 45). 

Ketika Musailamah Al-Kazzab (si pendusta) melancarkan provokasi-nya, dia menamakan dirinya dengan julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya dan membuatnya terkenal dengan julukan al-Kazzab (si pendusta); tidak sekali-kali ia disebut melainkan dengan panggilan Musailamah al-Kazzab, sehingga dia dijadikan sebagai peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan penduduk perkotaan dan penduduk perkampungan serta kalangan orang-orang Badui yang bertempat tinggal di Padang Sahara.

Sebagian ulama menduga bahwa lafaz al-Rahīm lebih balig dari-pada lafaz al-Rahmān, karena lafaz al-Rahīm dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz yang berfungsi sebagai taukid (penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna lebih kuat daripada lafaz yang dikukuhkan. Sebagai bantahannya dapat dikatakan bahwa dalam masalah ini subyeknya bukan termasuk ke dalam Bab "Taukid", melainkan Bab "Na'at" (Sifat); dan apa yang mereka sebutkan tentangnya tidak wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka lafaz al-Rahmān tidak layak disandang selain Allah Swt.

Karena Dialah yang pertama kali menamakan diri-Nya al-Rahmān hingga selain-Nya tidak boleh menyandang sifat ini.  sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam firman-Nya: Katakanlah, 

Yang artinya :

"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110). 

Sesungguhnya Musailamah Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani menamakan dirinya dengan sebutan "al-Rahmān" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia. Adapun lafaz al-Rahīm, maka Allah Swt. menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

Yang artinya :

Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari 'kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah: 128). Sebagaimana Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari asma-asma-Nya. seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

Yang artinya :

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang   bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2). Dapat disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz Allah, alRahmān, al-Razīq, dan al-Khalīq serta lain-lainnya yang sejenis. Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan al-Rahmān karena lafaz ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafaz al-Rahīm.

Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus. Jika ditanyakan, "Bila lafaz al-Rahmān lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz al-Rahīm juga disebut, padahal sudah cukup dengan menyebut al-Rahmān saja?" Telah diriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan dirinya dengan sebutan al-Rahmān selain Dia, maka didatangkanlah lafaz al-Rahīm untuk membantah dugaan yang tidak benar itu, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang berhak disifati dengan julukan al-rahmānirrahīm kecuali hanya Allah semata.

Demikian yang diriwayatkan oleh lbnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya. Tetapi sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab pada mulanya tidak mengenal kata al-Rahmān sebelum Allah memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan itu melalui firmanNya:

Yang artinya :

Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja  kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110). 
Karena itulah orang-orang kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan yaitu ketika Rasulullah Saw. bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan perjanjian) kata bismillāhirrahmānirrahīm (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)?" mereka mengatakan, "Kami tidak mengenal al-Rahmān, tidak pula al-Rahīm." Demikian menurut riwayat Imam Bukhari. Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka adalah, "Kami tidak mengenal al-Rahmān kecuali Rahmān dari Yamamah" (maksudnya Musailamah Al-Kazzab). Allah Swt. telah berfirman: 

Yang artinya :

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman (Pemurah)," mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman). (Al-Furqan: 60). 
Menurut pengertian lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan sikap membangkang, ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena sesungguhnya telah ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan istilah Rahmān. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh mengatakan syair berikut: 

Yang artinya :

Mengapa gadis itu tidak memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman Rabbku berada di tangan kanannya? Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait syairnya: 

Yang artinya :

Kalian terlalu tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian, padahal Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad. lalu talak (putus hubungan). 

Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rahmān adalah wazan fa'lana dari lafaz Rahmān, dan ia termasuk kata-kata Arab.

Ibnu Jarir mengatakan, al-rahmānirrahīm artinya "Yang Maha Lemah Lembut lagi Maha Penyayang kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap orang yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya, yakni mempunyai makna yang sama. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas'adah, dari Auf, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang dilarang bagi selain Dia menyandangnya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abul Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang tiada seorang manusia pun mampu menyandangnya; Allah menamakan diri-Nya dengan isim ini. 

Muhammad Quraish Shihab menyatakan cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan baik al-Rahmān maupun al-Rahīm terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman: “Aku adalah al-Rahmān, Aku menciptakan rahīm, kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya (silaturrahim) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya). (HR. Abudaud dan Attirmizi melalui Abdurrahman bin ‘Áuf).

Quraish menguatkan pendapatnya dengan mengetengahkan pendapat menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w. 395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’ dan Mim, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang.

Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin diantara anggota-anggotanya. Rahmat lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang dirahmati dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak dapat dinamai rahim.

Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak terlaksana karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.

Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya.

Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa pedih sebagaimana rahmat Allah tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”.

Adapun yang menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya.

Hal ini mengurangi kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati. Demikianlah Rahmat Allah Swt. Masih menurut Quraish Shihab, menurut Al-Ghazali buah yang dihasilkan oleh alRahmān pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersanguktan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan, menuju Allah.

Dengan memberinya nasehat secara lemah lembut tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya apapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya, sebagai pengejewantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya”. Sedang buah al-Rahīm menurut Al-Ghazali adalah, “Tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga, sehingga terpenuhi kebutuhannya.

Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihnya itu dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali. Kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah alRahmān (Pemberi Rahmat) karena Dia al-Rahīm (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri kepribadiannya.

Selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat perbedaan dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak disebabkan oleh posisi penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu konsisten dalam perjalannya lagi memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah. Itulah buah yang diharapkan dari bacaan al-Rahmān dan al-Rahīm. 

Sejak kecil kita sudah diajarkan oleh orang tua atau guru kita untuk memulai segala sesuatu dengan membaca Bismillah, namun Bismillah yang kita baca tidak lebih dari sebuah keyaqinan kita tentang keagamaan yang paling terkesan dimasa kanak-kanak dan merupakan kebiasaan yang kita bawa hingga dewasa dan naïfnya kebiasan itu tetap stagnan tanpa pemahaman lebih mengenai makna Bismillah yang sesungguhnya.

Padahal Bismillah bukan hanya ajaran Islam semata, bukan doktrin yang tanpa makna, melainkan adalah sebuah kalimat yang sarat akan makna dan tersaji husus untuk ummat Muhammad demi kebaikan ummatnya. Rosulullah meskipun bergelar al-ummi tapi beliau tidak bodoh. Karena ada Tuhan Allah Yang Maha Cerdas, Maha Baik dan bijaksana dibalik semua ajaran dan anjurannya. Sehingga dalam memerintahkan segala sesuatu pasti ada hikmah dan tujuannya yang tentu saja untuk kebaikan kita sebagai ummatnya, termasuk didalamnya adalah perintah berbismillah dalam memulai setiap aktivitas atau kegiatan yang kita lakukan.

Berangkat dari itu maka rasionalisasi bismillah menjadi sangat penting. Rasionalisasi yang saya maksudkan adalah bagaimana konsep membaca bismilah sebelum melakukan aktivitas seperti yang di anjurkan dalam Islam adalah sebuah teory yang logis dalam menghasilkan energy positif bagi manusia yang produktif, khususnya sebagai khalifah di atas bumi ini.

Rasionalisasi bismillah adalah proses dimana bismillah ternyata adalah konsep yang pas bahkan bagi manusia yang mendewakan logika modernitas. Salah satunya adalah bahwa bismilah ternyata bersinergi dengan konsep ilmu perencanaan, bahkan lebih komplit dalam cara pandangnya karena harus melibatkan kekuatan memandang dengan mata pikiran dan mata hati. Sebab ketika Bismillah menjadi point penting dari prilaku dan akhlaq nabi Muhammad, maka pastilah mengandung kebaikan bagi ummatnya dan itu berlaku tak kenal waktu tak pandang sekarang nanti atau dulu. 

Kebaikan dan efektifivas Bismillah bukan saja mengantar kita pada ke Khusu’an beribadah, tapi juga dalam memberi pencerahan pemikiran dan kepribadian yang kita butuhkan untuk sampai pada gerbang kesuksesan baik financial maupun spiritual. Seorang Maxwell Maltz menuturkan bahwa kita harus mengusahakan diri kita memiliki ke-7 ciri kepribadian untuk bisa menjadi manusia yang sukses menjalani hidup di dunia. Diantaranya adalah Sense of Direction, Understanding, Courage, Chairty, Self-Acceptance, Self-Confidence. Esteem (Self-Esteem).

Dari ketujuh pandangan Maxwell Maltz tersebut sebenarnya secara tersirat sudah diajarkan oleh Bismillah yang kita baca setiap harinya. Bahkan bismillah jauh lebih sempurna memandang arti kesuksesan itu, karena bismillah juga mengajarkan kita bagaimana kita mampu menikmati kesuksesan tersebut dengan konsep bahagia dalam hidup bahkan membawanya hingga ke surga yang kita yaqini adanya.

Bismillah seperti kunci gerbang utama menuju kesempurnaan akhlak kita sehingga dengan kunci itu kita bisa membuka pintu sukses kepribadian kita untuk menjadi kaya, bahagia dan masuk surga. Dalam prakteknya untuk bisa sampai pada titik pengertian itu memang dibutuhkan kemampuan berfikir dan kematangan memaknai bismillah itu sendiri, dan buku ini setidaknya akan membawa kita pada ranah pemikiran dan pemaham tersebut. Singkat memang, tapi setidaknya akan dapat membuka cakrawala berfikir kita di dalam ruang-ruang tafakkur kita.

Soekarno, Presiden Pertama Indonesia berpendapat bahwa kata-kata rahman, rahim yang merupakan sifat prerogatif Tuhan menunjukkan pada kasih sayang Tuhan, namun makna yang jauh berbeda. Kata-kata al-Rahman menurutnya berarti ‘pemurah’ atau kemurahan Tuhan untuk memberikan sesuatu kepada manusia sekalipun manusia tidak beramal kepada Tuhan. Dengan kata lain, al-Rahim menunjukkan kepada pemberian Tuhan sebagai ganjaran dari amal yang diperbuat manusia.

Tanpa amalan maka manusia tidak akan memperoleh ganjaran apa-apa. Soekarno memberi contoh dari sifat al-Rahman Tuhan sebagai berikut:  “Misalnya kita diberi tanah air oleh Tuhan. Kita di-procotkan (dilahirkan, pen.) dari gua qardha ibu, tidak didasar laut, atau tidak di awang-awang, dirgantara. Tidak dirgantara itu angkasa, itu yang dinamakan oleh Ki Dalang Dirgantara. Tidak, kita dilahirkan dalam suatu keadaan yang di situ ada buminya, yang kita bisa hidup di atasnya, yang di situ ada air yang kita bisa hidup. Pendek kata yang dengan satu perkataan, kita simpulkan dengan perkataan tanah air. Salah satu kerahmanan Tuhan kepada kita”. 
 
Dapat disebut bahwa bagi Soekarno tanah air adalah merupakan pemberian Tuhan sebagai aplikasi dari rahmān Tuhan. Oleh karenanya, manusia berkewajiban memelihara dan mempertahankannya. Pemikiran Soekarno tersebut dapat dipahami bahwa Soekarno ingin membangkitkan dan membakar semangat juang rakyatnya dalam membela negara. Hal ini sangat beralasan karena dalam lanjutan pidatonya, Soekarno menyebutkan, “Tanah air ini, saudara-saudara diancam bahaya. Tuhan perintahkan kepada kita, hai buatlah tanah airmu ini terhindar dari bahaya, tanah air ini adalah satu amanah Tuhan dan diancam tanah air ini oleh bahaya, kewajiban kita untuk menyelamatkannya dari bahaya”.

Selain itu Soekarno juga berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kesenangan, karena kesenangan menjalankan sifatnya itu pulalah Tuhan menurunkan agama, oleh karenanya manusia berkewajiban membuat senang kepada Tuhan, yakni dengan cara menjalankan agama, dan menjalankan amar ma’rūf nahī munkar sebagai kewajiban yang diperintahkan Allah. Tuhan bisa menjalankan rahmaniah-Nya. Antara lain terhadap tanah air dan masyarakat ini. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar