Konsep Al-Asmā'
Al-Husnā Tentang Al-Rahmān dan Al-Rahīm
Kata al-Rahmān berasal
dari kata Rahīma yang artinya menyayangi atau mengasihi yang terdiri dari huruf
Rā, Hā, dan Mim, yang mengandung makna kelemahlembutan, kasih sayang, dan
kehalusan. Di dalam al-Qur’an kata al-Rahmān
terulang sebanyak 57 kali, sedangkan
al-Rahīm sebanyak 95 kali. Apa arti al-Rahmān? Dalam
bahasa Inggris, seringkali kata yang digunakan untuk menerjemahkan al-Rahmān adalah merciful atau benefactory.
Namun ada yang perlu kita
pahami, bahwa kedua kata tersebut tidak bisa untuk secara sempurna menggantikan
makna kata al-Rahmān. Mercy itu maknanya kasih yang diberikan ketika seseorang
melakukan suatu kesalahan, padahal al-Rahmān itu tidak hanya diberikan setelah
seseorang melakukan kesalahan. Lalu kata benefactory sendiri, hampir tidak
pernah dipakai di keseharian, padahal seharusnya terjemahan membuat kita lebih
paham.
Al-Rahmān salah satunya
berasal dari akar kata al-Rahm, saat seorang perempuan hamil, tempat janin
bayinya disebut dengan rahim. Disebut rahim karena janin tersebut dirawat,
dilindungi, disayangi dalam berbagai hal. Hubungan sang ibu dan sang bayi
kurang lebih seperti ini:
1) Apakah bayi tersebut
mengenal/tahu ibunya? Tidak.
2) Apakah bayi tersebut
sudah punya rasa cinta/sayang ke ibunya? Tidak.
3)Apakah ibunya sudah
memperhatikan, melindungi dan merawat bayinya? Yes,
in every way. The entire
life of the child is taken care of by the mother.
Dan bayi tersebut tidak
tahu sama sekali bahwa ia sangat disayangi, bahwa ibunya mau melakukan banyak
hal untuk bayinya, juga melindunginya dari setiap bahaya.
Kata rahim tersebut melahirkan
kata al-Rahmān. Seseorang yang memiliki rahmah, adalah seseorang yang memiliki
rasa kasih sayang kepadamu (have compassion towards you), seseorang yang lembut
dan mempermudah dirimu (want to be soft and easy with you). Ada saat-saat
dimana kita akan mempertanyakan kasih sayang Allah kepada kita. Saat itu,
mungkin adalah hari berat dalam hidup kita, saat itu, mungkin iman kita sedang
begitu rendah. Saat itu, mungkin juga kamu perlu lagi menengok makna al-Rahmān,
mencoba berbaik sangka dan memikirkan kasih sayang dalam bentuk apa yang Allah
sedang berikan kepada kita, juga memikirkan betapa banyak hal buruk yang bisa
terjadi pada kita, namun Allah menjaga kita dari hal-hal tersebut.
Lafaz al-Rahmān dan
al-Rahīm keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar al-Rahmān
dengan maksud mubalagah; lafaz al-Rahmān lebih balig (kuat) daripada lafaz
al-Rahīm. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan
adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini.
Di dalam kitab tafsir
sebagian ulama Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian
tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa
a.s. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, " al-Rahmān artinya Yang Maha
Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan alRahīm artinya Yang Maha Penyayang
di akhirat." Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa
lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak
dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah
berfirman:
Yang artinya:
Dan adalah Dia Maha
Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43).
Ibnul Anbari di dalam
kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa alRahmān adalah nama
ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab Ma'ani
Al-Qur'an, bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, al-Rahīm adalah nama Arab, dan
alRahmān nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq
mengatakan, pendapat ini tidak disukai. Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang
menunjukkan bahwa lafaz al-Rahmān mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang
diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman
ibnu Auf r.a. yang menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
Yang artinya :
Allah Swt. berfirman,
"Akulah al-Rahmān (Yang Maha Pemurah), Aku telah menciptakan rahim dan Aku
belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang siapa yang menghubungkannya,
niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan barang siapa yang memutuskannya,
niscaya Aku putus (jauh) darinya.
Al-Qurtubi mengatakan
bahwa nas hadis di atas mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka tidak ada
maknanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan. Adapun orangorang Arab
ingkar terhadap nama al-Rahmān karena kebodohan mereka terhadap Allah dan
apa-apa yang diwajibkannya. Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut
pendapat lain lafaz al-Rahmān dan al-rahīm mempunyai makna yang sama;
perihalnya sama dengan lafaz nadmana dan nadim, menurut Abu Ubaid.
Menurut pendapat yang
lainnya lagi, sebuah isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang
ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah
fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapan “rajulun gadbanu” ditujukan kepada
seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan
makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maful. Abu Ali Al-Farisi
mengatakan bahwa al-Rahmān adalah isim yang mengandung makna umum dipakai untuk
semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt., sedangkan alrahīm
hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang
terkandung di dalam firman-Nya:
Yang artinya :
Dan adalah Dia Maha Penyayang
kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43).
Ibnu Abbas mengatakan
bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah lembut, sedangkan
salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni lebih kuat
makna rahmat-nya daripada yang lain. Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan
lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan
mereka mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana
pengertian yang terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu:
Yang artinya :
Sesungguhnya Allah
Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara, dan Dia memberi
kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada sikap yang
kasar.
Ibnul Mubarak mengatakan
makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi", sedangkan makna
ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah
melalui hadis Abu Saleh AlFarisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah r.a. yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Yang artinya:
Barang siapa yang tidak
pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya. Salah seorang
penyair mengatakan:
Yang artinya :
Allah murka bila kamu
tidak meminta kepada-Nya, sedangkan Bani Adam bila diminta pasti marah.
Ibnu Jarir mengatakan
bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya AtTamimi, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmanir rahim, "
al-Rahmān artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun
yang mukmin), sedangkan al-Rahīm Maha Penyayang kepada kaum mukmin."
Mereka (para ulama ahli tafsir) mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan
di dalam firman-Nya:
Yang artinya :
Kemudian Dia ber-istiwa
di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah. (Al-Furqan: 59). Di dalam firman
lainnya disebutkan pula:
Yang artinya :
Tuhan Yang Maha Pemurah
bersemayam di atas Arasy. (Thaha: 5).
Allah menyebut nama al-Rahmān
untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua makhluk memperoleh kemurahan
rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah Swt. telah berfirman: Dan adalah Dia Maha
Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43). Maka Dia mengkhususkan
nama al-Rahīm untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa lafaz
al-Rahmān mempunyai pengertian mubalagah dalam kasih-sayang, mengingat kasih
sayang bersifat umum-baik di dunia maupun di akhirat-bagi semua makhluk-Nya.
Sedangkan lafaz al-Rahīm dikhususkan bagi hamba-Nya yang beriman. Akan tetapi,
memang di dalam sebuah doa yang ma'sur disebut "Yang Maha Pemurah di dunia
dan di akhirat, Yang Maha Penyayang di dunia dan di akhirat". Nama
al-Rahmān hanya khusus bagi Allah Swt. semata, tiada selain-Nya yang berhak
menyandang nama ini, sebagaimana dinyata-kan di dalam firman-Nya:
Yang artinya :
Katakanlah, "Serulah
Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan narna yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna
(nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110). Dalam ayat lainnya lagi Allah
Swt. telah berfirman:
Yang artinya :
Dan tanyakanlah kepada
rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, "Adakah Kami
menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah!"
(Az-Zukhruf: 45).
Ketika Musailamah
Al-Kazzab (si pendusta) melancarkan provokasi-nya, dia menamakan dirinya dengan
julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya dan membuatnya
terkenal dengan julukan al-Kazzab (si pendusta); tidak sekali-kali ia disebut
melainkan dengan panggilan Musailamah al-Kazzab, sehingga dia dijadikan sebagai
peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan penduduk perkotaan dan penduduk
perkampungan serta kalangan orang-orang Badui yang bertempat tinggal di Padang
Sahara.
Sebagian ulama menduga bahwa
lafaz al-Rahīm lebih balig dari-pada lafaz al-Rahmān, karena lafaz al-Rahīm
dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz yang berfungsi
sebagai taukid (penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna lebih kuat
daripada lafaz yang dikukuhkan. Sebagai bantahannya dapat dikatakan bahwa dalam
masalah ini subyeknya bukan termasuk ke dalam Bab "Taukid", melainkan
Bab "Na'at" (Sifat); dan apa yang mereka sebutkan tentangnya tidak
wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka lafaz al-Rahmān tidak layak
disandang selain Allah Swt.
Karena Dialah yang
pertama kali menamakan diri-Nya al-Rahmān hingga selain-Nya tidak boleh
menyandang sifat ini. sebagaimana yang
telah dijelaskan di dalam firman-Nya: Katakanlah,
Yang artinya :
"Serulah Allah atau
serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul
husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).
Sesungguhnya Musailamah
Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani menamakan dirinya dengan
sebutan "al-Rahmān" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau
mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia. Adapun lafaz
al-Rahīm, maka Allah Swt. menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini,
sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Yang artinya :
Sesungguhnya telah datang
kepada kalian seorang rasul dari 'kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya
penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah:
128). Sebagaimana Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari
asma-asma-Nya. seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
Yang artinya :
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan),
karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2). Dapat
disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh
selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz
Allah, alRahmān, al-Razīq, dan al-Khalīq serta lain-lainnya yang sejenis.
Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan
al-Rahmān karena lafaz ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafaz
al-Rahīm.
Karena penyebutan nama
pertama harus dilakukan dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya
diprioritaskan yang lebih khusus. Jika ditanyakan, "Bila lafaz al-Rahmān
lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz al-Rahīm juga disebut, padahal sudah
cukup dengan menyebut al-Rahmān saja?" Telah diriwayatkan dari Ata
Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan
dirinya dengan sebutan al-Rahmān selain Dia, maka didatangkanlah lafaz al-Rahīm
untuk membantah dugaan yang tidak benar itu, karena sesungguhnya tiada seorang
pun yang berhak disifati dengan julukan al-rahmānirrahīm kecuali hanya Allah
semata.
Demikian yang
diriwayatkan oleh lbnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya.
Tetapi sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab
pada mulanya tidak mengenal kata al-Rahmān sebelum Allah memperkenalkan
diri-Nya dengan sebutan itu melalui firmanNya:
Yang artinya :
Katakanlah, "Serulah
Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna
(nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).
Karena itulah orang-orang
kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan yaitu ketika
Rasulullah Saw. bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan
perjanjian) kata bismillāhirrahmānirrahīm (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang)?" mereka mengatakan, "Kami tidak mengenal
al-Rahmān, tidak pula al-Rahīm." Demikian menurut riwayat Imam Bukhari.
Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka adalah, "Kami tidak
mengenal al-Rahmān kecuali Rahmān dari Yamamah" (maksudnya Musailamah
Al-Kazzab). Allah Swt. telah berfirman:
Yang artinya :
Dan apabila dikatakan
kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman (Pemurah),"
mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami akan sujud
kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan
(perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman). (Al-Furqan: 60).
Menurut pengertian
lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan sikap membangkang,
ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena sesungguhnya telah
ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan istilah
Rahmān. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh
mengatakan syair berikut:
Yang artinya :
Mengapa gadis itu tidak
memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman Rabbku berada di tangan
kanannya? Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait
syairnya:
Yang artinya :
Kalian terlalu
tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian, padahal
Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad. lalu talak (putus
hubungan).
Ibnu Jarir mengatakan
bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah
menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa Rahmān adalah wazan fa'lana dari lafaz Rahmān, dan ia termasuk
kata-kata Arab.
Ibnu Jarir mengatakan,
al-rahmānirrahīm artinya "Yang Maha Lemah Lembut lagi Maha Penyayang
kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap orang
yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya,
yakni mempunyai makna yang sama. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu
Mas'adah, dari Auf, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang
dilarang bagi selain Dia menyandangnya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah
menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abul
Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang tiada
seorang manusia pun mampu menyandangnya; Allah menamakan diri-Nya dengan isim
ini.
Muhammad Quraish Shihab
menyatakan cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan baik al-Rahmān maupun
al-Rahīm terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman: “Aku adalah al-Rahmān, Aku menciptakan rahīm, kuambilkan untuknya nama
yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya (silaturrahim) akan
Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku
baginya). (HR. Abudaud dan Attirmizi melalui Abdurrahman bin ‘Áuf).
Quraish menguatkan
pendapatnya dengan mengetengahkan pendapat menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w.
395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’ dan Mim, mengandung makna
“kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturahim adalah
hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih
sayang.
Kerabat juga dinamai
rahim, karena kasih sayang yang terjalin diantara anggota-anggotanya. Rahmat
lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang dirahmati dan setiap yang
dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak dapat
dinamai rahim.
Di sisi lain siapa yang
bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak
melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak terlaksana
karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi
kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang
demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Rahmat yang menghiasi
diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya.
Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati.
Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak
demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi
makna rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya.
Rahmat yang tidak
dibarengi oleh rasa pedih sebagaimana rahmat Allah tidak berkurang karena
kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil
rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi
secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan
sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami
oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”.
Adapun yang menunjukkan
kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan
kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan
rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa
saat ia mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu
dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan
dirinya.
Hal ini mengurangi
kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan
diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi
kepentingan yang dirahmati. Demikianlah Rahmat Allah Swt. Masih menurut Quraish
Shihab, menurut Al-Ghazali buah yang
dihasilkan oleh alRahmān pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan
merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini
mengantar yang bersanguktan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan,
menuju Allah.
Dengan memberinya nasehat
secara lemah lembut tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa
dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap
kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya,
sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya apapun untuk menghilangkannya
sesuai kemampuannya, sebagai pengejewantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka
jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya”. Sedang buah
al-Rahīm menurut Al-Ghazali adalah, “Tidak membiarkan seorang yang butuh
kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir
disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik
kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga,
sehingga terpenuhi kebutuhannya.
Kalau semua itu tidak
berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan
rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda
kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihnya itu
dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali. Kita juga dapat berkata
bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah alRahmān (Pemberi Rahmat)
karena Dia al-Rahīm (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan berusaha
memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri
kepribadiannya.
Selanjutnya ia tak akan
ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa
membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan serta memberi pula
rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang
mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya
dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat perbedaan
dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak disebabkan oleh
posisi penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu konsisten dalam
perjalannya lagi memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah. Itulah
buah yang diharapkan dari bacaan al-Rahmān dan al-Rahīm.
Sejak kecil kita sudah
diajarkan oleh orang tua atau guru kita untuk memulai segala sesuatu dengan
membaca Bismillah, namun Bismillah
yang kita baca tidak lebih dari sebuah keyaqinan kita tentang keagamaan yang
paling terkesan dimasa kanak-kanak dan merupakan kebiasaan yang kita bawa
hingga dewasa dan naïfnya kebiasan itu tetap stagnan tanpa pemahaman lebih
mengenai makna Bismillah yang sesungguhnya.
Padahal Bismillah bukan
hanya ajaran Islam semata, bukan doktrin yang tanpa makna, melainkan adalah sebuah kalimat yang sarat akan makna dan
tersaji husus untuk ummat Muhammad demi kebaikan ummatnya. Rosulullah
meskipun bergelar al-ummi tapi beliau tidak bodoh. Karena ada Tuhan Allah Yang
Maha Cerdas, Maha Baik dan bijaksana dibalik semua ajaran dan anjurannya.
Sehingga dalam memerintahkan segala sesuatu pasti ada hikmah dan tujuannya yang
tentu saja untuk kebaikan kita sebagai ummatnya, termasuk didalamnya adalah
perintah berbismillah dalam memulai setiap aktivitas atau kegiatan yang kita
lakukan.
Berangkat dari itu maka
rasionalisasi bismillah menjadi sangat penting. Rasionalisasi yang saya
maksudkan adalah bagaimana konsep membaca bismilah sebelum melakukan aktivitas
seperti yang di anjurkan dalam Islam adalah sebuah teory yang logis dalam
menghasilkan energy positif bagi manusia yang produktif, khususnya sebagai
khalifah di atas bumi ini.
Rasionalisasi
bismillah adalah proses dimana bismillah ternyata adalah konsep
yang pas bahkan bagi manusia yang mendewakan logika modernitas. Salah satunya
adalah bahwa bismilah ternyata bersinergi dengan konsep ilmu perencanaan,
bahkan lebih komplit dalam cara pandangnya karena harus melibatkan kekuatan
memandang dengan mata pikiran dan mata hati. Sebab ketika Bismillah menjadi
point penting dari prilaku dan akhlaq nabi Muhammad, maka pastilah mengandung
kebaikan bagi ummatnya dan itu berlaku tak kenal waktu tak pandang sekarang
nanti atau dulu.
Kebaikan
dan efektifivas Bismillah bukan saja mengantar kita pada ke
Khusu’an beribadah, tapi juga dalam memberi pencerahan pemikiran dan
kepribadian yang kita butuhkan untuk sampai pada gerbang kesuksesan baik
financial maupun spiritual. Seorang Maxwell Maltz menuturkan bahwa kita harus
mengusahakan diri kita memiliki ke-7 ciri kepribadian untuk bisa menjadi
manusia yang sukses menjalani hidup di dunia. Diantaranya adalah Sense
of Direction, Understanding, Courage, Chairty, Self-Acceptance,
Self-Confidence. Esteem (Self-Esteem).
Dari ketujuh pandangan Maxwell Maltz tersebut sebenarnya
secara tersirat sudah diajarkan oleh Bismillah yang kita baca setiap harinya.
Bahkan bismillah jauh lebih sempurna memandang arti kesuksesan itu, karena
bismillah juga mengajarkan kita bagaimana kita mampu menikmati kesuksesan
tersebut dengan konsep bahagia dalam hidup bahkan membawanya hingga ke surga
yang kita yaqini adanya.
Bismillah seperti kunci
gerbang utama menuju kesempurnaan akhlak kita sehingga dengan kunci itu kita
bisa membuka pintu sukses kepribadian kita untuk menjadi kaya, bahagia dan
masuk surga. Dalam prakteknya untuk bisa sampai pada titik pengertian itu
memang dibutuhkan kemampuan berfikir dan kematangan memaknai bismillah itu
sendiri, dan buku ini setidaknya akan membawa kita pada ranah pemikiran dan
pemaham tersebut. Singkat memang, tapi setidaknya akan dapat membuka cakrawala
berfikir kita di dalam ruang-ruang tafakkur kita.
Soekarno,
Presiden Pertama Indonesia berpendapat bahwa kata-kata rahman, rahim yang
merupakan sifat prerogatif Tuhan menunjukkan pada kasih sayang Tuhan, namun
makna yang jauh berbeda. Kata-kata
al-Rahman menurutnya berarti ‘pemurah’
atau kemurahan Tuhan untuk memberikan sesuatu kepada manusia sekalipun manusia
tidak beramal kepada Tuhan. Dengan kata lain, al-Rahim menunjukkan kepada
pemberian Tuhan sebagai ganjaran dari amal yang diperbuat manusia.
Tanpa amalan maka manusia
tidak akan memperoleh ganjaran apa-apa. Soekarno memberi contoh dari sifat
al-Rahman Tuhan sebagai berikut:
“Misalnya kita diberi tanah air oleh Tuhan. Kita di-procotkan (dilahirkan,
pen.) dari gua qardha ibu, tidak didasar laut, atau tidak di awang-awang,
dirgantara. Tidak dirgantara itu angkasa, itu yang dinamakan oleh Ki Dalang
Dirgantara. Tidak, kita dilahirkan dalam suatu keadaan yang di situ ada
buminya, yang kita bisa hidup di atasnya, yang di situ ada air yang kita bisa
hidup. Pendek kata yang dengan satu perkataan, kita simpulkan dengan perkataan
tanah air. Salah satu kerahmanan Tuhan kepada kita”.
Dapat disebut bahwa bagi Soekarno tanah air adalah merupakan pemberian Tuhan sebagai aplikasi dari rahmān Tuhan. Oleh karenanya,
manusia berkewajiban memelihara dan mempertahankannya. Pemikiran Soekarno
tersebut dapat dipahami bahwa Soekarno ingin membangkitkan dan membakar
semangat juang rakyatnya dalam membela negara. Hal ini sangat beralasan karena
dalam lanjutan pidatonya, Soekarno menyebutkan, “Tanah air ini, saudara-saudara
diancam bahaya. Tuhan perintahkan kepada kita, hai buatlah tanah airmu ini
terhindar dari bahaya, tanah air ini adalah satu amanah Tuhan dan diancam tanah
air ini oleh bahaya, kewajiban kita untuk menyelamatkannya dari bahaya”.
Selain itu Soekarno juga
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kesenangan, karena kesenangan menjalankan
sifatnya itu pulalah Tuhan menurunkan agama, oleh karenanya manusia berkewajiban
membuat senang kepada Tuhan, yakni dengan cara menjalankan agama, dan
menjalankan amar ma’rūf nahī munkar sebagai kewajiban yang diperintahkan Allah.
Tuhan bisa menjalankan rahmaniah-Nya. Antara lain terhadap tanah air dan
masyarakat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar