Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 30 Juni 2019

KONSEP AL-ASMA AL-HUSNA TENTANG ALLAH


Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Allah

Sebagian ulama Islam berpendapat bahwa kata “Allah” berasal dari kata al-Ilāh. Kata al-Ilāh berarti menyembah (abadu). Kata al-Ilāh juga dapat diderivasi dari kata alih yang berarti ketenangan, kekhawatiran dan rasa cinta yang mendalam. Ketiga makna kata alih mengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengagungkan.

Selain itu, kata Allah bisa dilacak dari kata ilāhun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan dari kata laha-yalihu-laihan, yang berarti Tuhan yang Maha Pelindung, Maha Perkasa. Ilāhun, jamaknya ālihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang mengabdi’, atau hamba atau budak.

Dalam kamus besar bahasa Arab Lisān Al-‘Arab karya Ibn Manzhur, kata kata ilāhun masih umum, ketika ditambah dengan lam ma‘rifah, maka menjadi Al-ilāhun yang tiada lain adalah Allah Swt, yaitu zat yang disembah oleh semua selain-Nya, jamaknya ālihatun. Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi.

Quraish Shihab mengatakan kata Ilāh disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk jamak disebut ulang sebanyak 34 kali. Kata ilāh (tanpa dhamir) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali. Dalam al-Quran kata ilāhun juga dipakai untuk menyebut berhala, hawa nafsu, ataupun dewa-dewa. Semua istilah tersebut dalam al-Quran menggunakan kata ilāhun, jamaknya ālihatun. Allah Swt. menyatakan hawa nafsu yang diikuti orang kafir sebagai ilāhun (QS. AlFurqan, 25: 43).

Allah Swt. menyatakan sesembahan orang musyrik sebagai ilāhun (QS. Hud, 11: 101). Kata ilāhun dan rabbun sesungguhnya warisan bahasa Arab Kuna yang dipertahankan penggunaannya dalam al-Quran, sebagaimana contoh di atas. Orang-orang Arab sebelum Islam, memahami makna kata ilāhun sebagai dewa atau berhala, dan mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Apabila orang Arab Jahiliyah menyebut dewa cinta, maka mereka mengatakan ilāhun al-ḥubbi, dan ilāhatun al-ḥubbi untuk menyebut dewi cinta.

Kaum penyembah berhala (animisme), atau aliran kepercayaan di zaman kita sekarang, sebagaimana orang-orang Arab jahiliyah, menganggap tuhan mereka berjenis kelamin, laki dan perempuan. Kata pertama yang dicatat sejarah dalam pengekspresian ketuhanan adalah kata ilāhah. Kata ini merupakan nama bagi dewa matahari yang disembah oleh masyarakat Arab. Kata ilāhah selanjutnya digunakan untuk mengekspresikan sifat-sifat matahari. Salah satunya adalah kata ulāhah yang berarti terik matahari yang panas. Kata ilāhah juga tidak lepas dari makna keagungan, ketundukan dan bahkan penyembahan. Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Manzhur bahwa masyarakat menamakan matahari dengan ilāhah karena mereka menyembah dan mengagungkan matahari. Dapat disimpulkan bahwa kata ilāh pada awalnya berasal dari kata wilāh (ولاه), yang berarti ketundukan, pengagungan, dan ungkapan penghambaan. Selanjutnya dari kata wilāh (ولاه) diderivasikanlah kata ilāhah yang menjadi nama bagi dewa matahari. Nama dari dewa matahari tersebut selanjutnya berevolusi menjadi kata Allah.

Menurut Ahmad Husnan, kata Ilāh yang berbentuk kata Allah mempunyai arti mengherankan atau menakjubkan, karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang hakikat zat yang Maha Agung itu.

Apapun yang terlintas di dalam benak menyangkut hakikat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentang zat-Nya”.

Dalam pandangan Quraish Shihab kata “Allah” terulang dalam al-Quran sebanyak 2.698 kali. Ada yang berpendapat bahwa kata "Allah" disebutkan lebih dari 2679 kali dalam alQuran. Sedangkan kata "Tuhan" dalam bahasa Arab adalah Ilāh disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali. Hal ini juga menjadi refleksi dari tauhid Uluhiyah dimana kita mengesakan Allah dengan ibadah, dimana tidak menjadi hamba bagi selain-Nya, tidak menyembah malaikat, nabi, wali, bapak-ibu, kita tidak menyembah kecuali Allah semata.

Ibadah kepada Allah berpijak kepada dua hal, yaitu cinta dan pengagungan. Dengan kecintaan akan memunculkan keinginan untuk melaksanakan dan pengagungan akan timbul rasa takut dan khawatir akan dicampakkan, dihinakan dan disiksa-Nya. Kata “Allah” merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan, kata Allah juga merupakan nama bagi zat yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian. Sedangkan kata ahad merupakan sifat bagi ketunggulan yang senantiasa abadi dalam keesaannya.

Ibnu al-‘Arabi (560-638 H) menyebut dan membedakan Tuhan yang dipercayai manusia saat ini meliputi “Tuhan kepercayaan” (ilāh al-mu’taqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilāh al-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al- ilāh fī al-i’tiqad) “Tuhan Kepercayaan” (al-haqq al-i’tiqad), Tuhan yang dalam kepercayaan” (al-haqq al-ladzī fī almu’taqad) dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq a-Makhlūq fī al-i’tiqad). Allah Swt dalam pandangan Islam adalah Allāh Aḥad, bermakna bahwa Tuhan esa dalam segala aspek, dan tak pernah sekalipun mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi, sebagai mana yang ada dalam genus dan karakter, ataupun pluralitas yang real, sebagai mana yang nampak dalam dunia materi.

Keesaan ini juga menegasikan dan mensucikan Tuhan dari hal-hal yang mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki bentuk, kualitas, kuantitas, warna dan segala jenis gambaran akal yang mampu merusak kebersahajaan yang satu. Demikian juga, Ahad mengindikasikan bahwa tak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Tuhan Yang Maha Esa merupakan titik lokus utama ajaran agama Islam dalam segala aspeknya, termasuk akidah dan kalam atau teologi.

Oleh karenanya tidaklah berlebihan, jika khususnya umat Islam Indonesia wajib menjaga Konstitusi Pancasila. Karena semua sila yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah, terutama Sila Kesatu, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada, tak terkecuali dengan Islam. Dari konsep Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep tentang Mu’jizat, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya.

Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.  Tuhan diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan pengertian sebagai sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya. Konsepsi teologi Islam tentang ketuhanan terangkum dalam QS. al-Nās/114: 1-3:

Yang artinya : Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia; Raja manusia; Sembahan manusia (QS. al-Nas/114: 1-3).

Berdasarkan penjelasan dalil naqli di atas, konsep ketuhanan dalam teologi Islam dikenal dengan tiga istilah, yaitu: Rab (Pemelihara), Malik (Raja), dan Ilāh (Sesembahan). Kesemua sebutan tersebut untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kata "Allah" dalam al-Qur'an terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam wahid, ahad, al-Rabb, Al-Ilāh atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum atatu kewajaran beribadah kepada selainNya serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada penjelesan tentang tauhid.

Menurut konsep Islam Tuhan adalah Zat yang Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa. Ia adalah Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Dia abadi yang menentukan takdir dan hakim semesta Alam, Tuhan dikonseptualisasikan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa, hal ini tercantum dalam surat Q.S. Al-Ihlas Menurut Maulana Muhammad Ali, Islamolog asal Lahore Pakistan, kata nama Allah merupakan isim jamid, tak digubah dari perkataan lain. 

Konsep Tuhan dalam Islam bersifat Esa, merupakan keunikan dan final sesuai dengan Pancasila, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama lain, seperti; Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, meskipun sama-sama meyakini Ketuhanan. Hal tersebut juga berbeda dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani maupun dengan tradisi mistik Timur dan Barat. Sebagaimana yang telah djelaskan Syed Naquib al-Attas bahwa:

“The nature of God Understood in Islam is not the same as the conceptions of God Understood in the various religious traditions of the world; nor is it the same as the conceptions of God understood in Greek and Hellenistic philosophical tradition; nor as the conceptions of God understood in Western philosophical or scientific tradition; nor in that of Occidental and Oriental mystical traditions”. 

Konsep Tuhan dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang juga bersifat otentik dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah Yang Maha Esa, Shalih fi kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Al-Attas menjelaskan “The nature of God as revealed in Islam is Derived from Revelation”.  Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”. Bukan Tuhan hasil personifikasi, sebagaimana agama lain melakukannya sebagai juru penyelamat dengan beragam manifestasi namanya, maupun sebagai penebus dosa, Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Ruh Qudus dan sebagainya.

Bukan pula seperti Tuhan dalam konsepsi Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan penggerak yang tidak bergerak, Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang berari bahwa ketika manusia tidak berfikir Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada.  Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, yang sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Allah Yang Maha Esa sebagai Dzat Pencipta makhluk.

Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan “Allah”.

Hal ini dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal, yaitu Tuhan umat Islam adalah Allah Yang Maha Esa tiada berbilang.  Allah SWT, merupakan kata agung (Lafadz al-Jalalah), nama diri (Ism Al-Dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya.

Kata itu tersusun dari empat huruf, yaitu : alif, lam, lam, ha. Jika huruf pertama, alif dihilangkan, tiga huruf lainnya merupakan simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunia) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah). Huruf pertama, alif, merupakan smuber segala sesuatu, dan huruf terakhir, ha (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu.
 
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa Aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif dan lām di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilāh dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta yang tiada sekutu bagi-Nya. Kata Allah adalah satu-satunya Ism ‘Alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci. 

Konsep Allah juga telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra-Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra-Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah” berarti Tuhan dalam konsepsi Injil, yang terdiri atas beberapa aknum. Ketiga, Orang-orang Arab pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”.

Hal ini terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan al-A’sha al-Kabar menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah ke arah monoteisme. Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan.

Tuhan yang haq dalam konsep al-Qur’an adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam alQur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4. Menurut informasi al-Qur’an, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah.

Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Qura’n adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagian dan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian. Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.

Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-Qur’an memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan. Allah juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci, yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali.
Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan.  Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah.

Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci.

Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa. Dalam kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya dengan menggunakan kalimat perintah:
 “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.”  Surah al-Ikhlash ini berisi sebagian al-‘asmā al-husnā. 

Pengertian “Allah Ahad’ adalah Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Sebagian filsuf Arab, di antaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian ‘Allah Ahad’’ adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya dalam sifat-sifat wajib-Nya.
Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati, mengubah namun tidak pernah berubah.  Menurut sebagian pakar bahasa, Allah SWT Berfirman, Qul huwa Allahu Ahad, bukan Qul huwa Allahu Wahīd, karena kata Wahīd termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifatNya. 

Dalam tradisi Ibrani atau Yahudi, Allah disebut dengan nama Yahweh. Kata ini dianggap bukan nama yang sebenarnya, melainkan berasal dari nama ehyeh atu hayah. Dalam kitab Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang disebut sebagai Yahweh dipermasalahkan.

Herlianto mengutip pernyataan Freedman, menyatakan bahwa ternyata asal-usul nama Yahweh itun tidak jelas, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan kaum Kenit yang pagan. Dengan adanya dua kaum tersebut, maka juga ikut mempengaruhi keberagaman orang Israel, dan menyatakan bahwa nama Yahweh berasal dari luar tradisi Ibrani. 

Dari sini nampak bahwa nama Tuhan dalam tradisi Yahudi masih bersifat spekulasi. Sehingga banyak menimbulkan kontroversi di antara mereka. Karena nama Tuhan Yahudi masih problematik, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil sikap untuk tidak menggunakan kata Yahweh sebagai sebutan nama Tuhan mereka. Sebagai gantinya, Kaum yahudi Ortodoks menggunakan sebutan Adoney atau Ha Syem.

Akan tetapi penggunaan nama inipun masih problematik dan menimbulkan kontroversial. Sebabnya, kedua nama tersebut dalam pengucapannya terkadang disamakan dengan Yahweh, atau Tuhan, dan pada beberapa tempat tertentu diartikan sebagai Tuan, bukan Tuhan.  Dalam penyebutan nama Tuhan, ternyata, orang Yahudi tidak hanya menggunakan sebutan Adoney, Ha syem, ataupun Yahweh. Akan tetapi juga ada sebutan lain untuk Tuhan mereka, yaitu El/Elohim atau Eolah.

Dalam tradisi Yunani, nama ini dapat digunakan sebagai nama diri atau nama generik. Kata El, dalam Al-Kitab Perjanjian lama digunakan untuk sebutan Tuhan orang Israel. Dalam The Interpreters Dictionary of Bible, kata El, digunakan sebagai sinonim Yahweh. Adapun kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam bentuk jamak. Elohim kebanyakan digunakan untuk penyebutan gelar, sementara Eolah di artitikan sebagai God (Tuhan).  Menurut, Ellen Kristi, untuk mencari kejelasan tentang Yahweh, dapat ditelusuri dalam Al-Kitab Interlinier (terjemahan langsung) Ibrani-Yunani-Inggris. Dalam teks aslinya, kata Tuhan ternyata ditulis dalam empat huruf mati (tetragramaton) saja, yaitu Y-H-W-H.  Karena terdiri atas konsonan semua, tentu saja tetagramaton ini tidak dapat dibaca.

Namun dari berbagai sumber informasi, nama tersebut ada yang membaca Yahweh, ada pula yang menyebut Yehova. Ada yang menyingkat sebutan Yahweh dengan “Yah”. Misalnya pada ungkapan “Halelu-Yah” (Terpujilah Yah). Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan tersebut, berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang bermacam-macam. Sebagai contoh, di negara Arab, umat kristen menyebut Tuhannya dengan Allah, seperti orang Islam menyebutnya, di Barat umat kristen menyebut Tuhannya dengan God atau Lord. Dalam pandangan Noorsena, kata Allah, meskipun di lingkungan Kristen Arab tidak dipahami sebagai “nama diri”, sebutan ini begitu sentral kedudukannya dalam bahasa Arab.

Jadi, karena dalam tradisi Kristen, Allah tidak dianggap sebagai nama diri (proper name), maka mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan berbagai panggilan. Lafadz Allah dalam tradisi Kristen bukan termasuk ism dzat (nama diri). Buktinya, masih banyak perdebatan seputar nama Allah sebagai nama Tuhan dalam agama Kristen. Sebagai contoh, munculnya kelompok yang menamakan diri Gerakan Nama Suci (Sacred Name Movement), menolak pemakain kata Allah dalam Bible, kemudian mengganti dengan nama Yahweh. Kelompok ini perpandangan bahwa nama Allah adalah bukan nama Tradisi Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab pada abad ke-7 Masehi.

Oleh karena itu, lafadz Allah yang ada dalam Al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus diganti dengan Elohim atau Yahweh. Di Indoneisa, gerakan ini mengganti nama Allah dengan kata Elohim, kata Tuhan di ganti dengan Yahweh dan Yesus di ganti dengan Yesua Hamsyah. Sebagaimana tradisi Yahudi, tradisi Kristen juga tidak hanya mengalamai problem dengan nama Tuhan, tetapi juga mengalami permasalahan ketuhanan Yesus.

Dalam pemikiran Paulus, ia memperoleh suatu metafisik yang serius. Paulus berpandangan, setiap orang yang saleh, ia dapat menyatakan seperti apa yang dikatakan Yesus. Yaitu, Aku dan Bapaku (Tuhan) adalah satu dalam pengertian keserasian total dalam kehendak Tuhan. Para teolog Kristen pun tidak menolak pemikiran ini, bahkan menerima begitu saja semua unsur sebagai satu kesatuan yang transenden. Misalnya, dalam Kitab Kejadian 1:26 menyebut tiga pribadi dalam diri Tuhan.  Konsep ketuhanan Kristen ini, kemudian mengalamai perubahan besar dan mendasar yang kemudian dalam konsili Nicea 325 diputuskan mengenai identitas Tuhan Kristen. Tuhan Bapak, Anak dan Ruhul Qudus merupakan Tuhan Kristen yang mereka sebut dengan Trinitas.

Trinitas ini pun dikalangan mereka juga mengalami problem mendasar, yang kemudian lahirlah Konsili Konstantin pada 381. Dalam konsili ini diputuskan dan di evaluasi mengenai status Tuhan Kristen. Problem ketuhanan dalam Kristen terus menemukan problem yang misterius hingga kini.   Konsep Tuhan dalam tradisi Yahudi dan Kristen inilah yang dikoreksi oleh Islam.

Sayyid Muhammad Behesthi mengatakan, “Al-Qur’an dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa: tiada Tuhan selain Allah.  Konsep tauhid dalam Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak dinyatakan secara konsisten”. Kekeliruan Yahudi dan Nasrani juga dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah: 18).

Yang dimaksud dengan kalimat “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”, menurut Imam Ibnu Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s. Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di dalam Al-Qur’an menandakan bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber dari Allah sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam AlQur’an.

Berkenaan dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam merupakan sumber informasi yang benar yang otoritatif (khabar shadiq). Dengan demikian Konsep Tuhan dalam Islam jelsjels sempurna, karena bersumber pada kitab suci yang otoritatif.  Dalam ajaran al-Qur’an, Allah merupakan Rab (Tuhan Pemelihara) manusia dan seluruh makhluk di alam raya ini. Muhammad Ismail Ibrahim di dalam buku Mu’jam al-Alfāzh wa al-A’lām al-Qur’āniyyah menyebutkan bahwa terdapat beberapa arti kata rabb, di antaranya rabb al-walad, artinya “memelihara anak dengan memberi makan dan mengasuhnya”, rabb asy-syai’, artinya “mengumpulkan dan memilikinya”, serta rabb al-amr, “memperbaikinya”.

Adapun al-Rabb adalah Tuhan dan merupakan salah satu dari nama Allah yang jamaknya arbāb. dalam bahasa Arab, kata rabb berarti “yang memiliki”, “yang menguasai”, “yang menjaga”, “yang memelihara”, “yang membimbing”, “yang mendidik”,  “yang merubah”. Menurut Izutsu Tuhan (Allah) dalam al-Qur'an adalah satu-satunya Wujud yang pantas disebut “wujud”, realitas di mana tidak satupun di seantero dunia ini yang dapat melawan-Nya.

Secara semantik rabb adalah kata fokus tertinggi dalam kosa-kata al-Qur'an, yang menguasai seluruh medan semantik, bahkan seluruh sistem. Kata Allah (rabb) ini dilawankan dengan kata “manusia” (‘abd atau rabbani). Sebab, manusia, sifatnya, perbuatan, psikologi, kewajiban, dan tujuannya juga menjadi pusat perhatian pemikiran al-Qur'an.

Dalam hal ini, bagaimana manusia bereaksi terhadap firman Tuhan menjadi persoalan yang utama. Reaksi manusia terhadap firman Tuhan sangat beragam. Manusia (al-insan) yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah sebagai reaksi atas firman-Nya di dalam al-Qur'an di sebut dengan rabbani. Dalam bahasa Arab maupun al-Qur’an istilah rabbani sama dengan rabbaniyyah, yakni masdar shina’i (masdar bentukan) yang dinisbatkan kepada rabb yang berarti Tuhan. Rabba berasal  رب  - يرب yang berarti:

 نشاء الشيئ من حال الى حال الى حال الثمام

(Mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan pada keadaan lain, sampai kepada keadaan yang sempurna). Huruf Ya’ yang berada di belakangnya adalah ya’ nisbah, (ya’ untuk membangsakan). Artinya, penisbatan tersebut ditujukan kepada rabb atau Allah SWT. Yaitu orang yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah, dan akan diangkat derajatnya yang setinggi-tingginya oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, rabbani adalah orang yang dibangsakan kepada Tuhan. Kata rabbani biasanya juga ditunjukkan kepada manusia sebagai julukan (laqab) manusia rabbani (orang yang dididik Tuhan) atau dapat bermakna semangat berketuhanan, yang merupakan inti dari semua ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan.

Jika tali hubungannya dengan Allah sangat kuat, tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitabnya. Menurut Toshiko Izutsu, ia juga menemukan suatu relasi kata rabb dengan kata-kata lain yang mengindikasikan makna lain terhadap kata rabb, yakni: Tuhan yang menjamin atau memenuhi kebutuhan yang dipelihara, mengawasi di samping juga memperbaiki segala hal, pemimpin, kepala yang diakui kekuasaannya yang berwibawa dan yang semua perintah-perintahnya dipatuhi dan diindahkan, ia juga bermakna raja dan pemilik.

Makna-makna ini adalah relasi rabb dengan sifat-sifatnya. Kata rabb menunjukkan adanya pemaknaan mengenai tauhid Rububiyah dimana adanya unsur mengesakan Allah Swt, dalam mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (Q.S: Al-Zumar: 62; al-Fathir: 3; al-Mulk: 1; al-A’raf: 54).

Menurut Ibnu Qoyyim konsekuensi Rububiyah adalah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejahatannya. Rabb adalah "Tuhan Sang Maha Pencipta", yang meciptakan keseluruhan alam ini tidak hanya sekedar menciptakan tetapi juga di maksudkan sebagai " Sang Maha Pemelihara". Dan juga setiap kejadian tidak lepas dari kekuasaan-Nya sebagai" Sang Maha Pengatur". Dari sisi pengakuan, tidak hanya kaum muslimin yang mengakui adanya Rabb. Banyak orang di dunia barat tidak secara formal beragama tetapi mereka mengakui adanya "Dia" Tuhan Yang Maha Pencipta.  


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar