Konsep Al-Asmā'
Al-Husnā Tentang Allah
Sebagian ulama Islam
berpendapat bahwa kata “Allah” berasal dari kata al-Ilāh. Kata al-Ilāh berarti
menyembah (abadu). Kata al-Ilāh juga dapat diderivasi dari kata alih yang
berarti ketenangan, kekhawatiran dan rasa cinta yang mendalam. Ketiga makna
kata alih mengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengagungkan.
Selain itu, kata Allah
bisa dilacak dari kata ilāhun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai
pecahan dari kata laha-yalihu-laihan, yang berarti Tuhan yang Maha Pelindung,
Maha Perkasa. Ilāhun, jamaknya ālihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha,
yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilāhun
artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang
mengabdi’, atau hamba atau budak.
Dalam kamus besar bahasa
Arab Lisān Al-‘Arab karya Ibn Manzhur, kata kata ilāhun masih umum, ketika
ditambah dengan lam ma‘rifah, maka menjadi Al-ilāhun yang tiada lain adalah
Allah Swt, yaitu zat yang disembah oleh semua selain-Nya, jamaknya ālihatun.
Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi.
Quraish Shihab mengatakan
kata Ilāh disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam
bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk jamak disebut ulang sebanyak 34
kali. Kata ilāh (tanpa dhamir) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali.
Dalam al-Quran kata ilāhun juga dipakai untuk menyebut berhala, hawa nafsu,
ataupun dewa-dewa. Semua istilah tersebut dalam al-Quran menggunakan kata
ilāhun, jamaknya ālihatun. Allah Swt. menyatakan hawa nafsu yang diikuti orang
kafir sebagai ilāhun (QS. AlFurqan, 25: 43).
Allah Swt. menyatakan
sesembahan orang musyrik sebagai ilāhun (QS. Hud, 11: 101). Kata ilāhun dan
rabbun sesungguhnya warisan bahasa Arab Kuna yang dipertahankan penggunaannya
dalam al-Quran, sebagaimana contoh di atas. Orang-orang Arab sebelum Islam,
memahami makna kata ilāhun sebagai dewa atau berhala, dan mereka gunakan dalam
percakapan sehari-hari. Apabila orang Arab Jahiliyah menyebut dewa cinta, maka
mereka mengatakan ilāhun al-ḥubbi, dan ilāhatun al-ḥubbi untuk menyebut dewi
cinta.
Kaum penyembah berhala
(animisme), atau aliran kepercayaan di zaman kita sekarang, sebagaimana
orang-orang Arab jahiliyah, menganggap tuhan mereka berjenis kelamin, laki dan
perempuan. Kata pertama yang dicatat sejarah dalam pengekspresian ketuhanan
adalah kata ilāhah. Kata ini
merupakan nama bagi dewa matahari
yang disembah oleh masyarakat Arab. Kata ilāhah selanjutnya digunakan untuk
mengekspresikan sifat-sifat matahari. Salah satunya adalah kata ulāhah yang berarti terik matahari yang panas. Kata ilāhah juga
tidak lepas dari makna keagungan, ketundukan dan bahkan penyembahan.
Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Manzhur bahwa masyarakat menamakan matahari dengan
ilāhah karena mereka menyembah dan mengagungkan matahari. Dapat disimpulkan
bahwa kata ilāh pada awalnya berasal dari kata wilāh (ولاه), yang berarti
ketundukan, pengagungan, dan ungkapan penghambaan. Selanjutnya dari kata wilāh
(ولاه) diderivasikanlah kata ilāhah yang menjadi nama bagi dewa matahari. Nama
dari dewa matahari tersebut selanjutnya berevolusi menjadi kata Allah.
Menurut Ahmad Husnan,
kata Ilāh yang berbentuk kata Allah mempunyai arti mengherankan atau
menakjubkan, karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila
dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang
hakikat zat yang Maha Agung itu.
Apapun yang terlintas di
dalam benak menyangkut hakikat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu
sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan,
“Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentang
zat-Nya”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata “Allah” terulang dalam al-Quran
sebanyak 2.698 kali. Ada yang berpendapat bahwa kata "Allah"
disebutkan lebih dari 2679 kali
dalam alQuran. Sedangkan kata "Tuhan"
dalam bahasa Arab adalah Ilāh disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini
dalam bentuk tatsniyah 2 kali
dan ālihah dalam bentuk jama'
disebut ulang sebanyak 34 kali. Hal
ini juga menjadi refleksi dari tauhid Uluhiyah dimana kita mengesakan Allah
dengan ibadah, dimana tidak menjadi hamba bagi selain-Nya, tidak menyembah
malaikat, nabi, wali, bapak-ibu, kita tidak menyembah kecuali Allah semata.
Ibadah kepada Allah
berpijak kepada dua hal, yaitu cinta dan pengagungan. Dengan kecintaan akan
memunculkan keinginan untuk melaksanakan dan pengagungan akan timbul rasa takut
dan khawatir akan dicampakkan, dihinakan dan disiksa-Nya. Kata “Allah”
merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan
keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi
dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga
mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan
menegasikan segala bentuk kekurangan, kata Allah juga merupakan nama bagi zat
yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian. Sedangkan
kata ahad merupakan sifat bagi ketunggulan yang senantiasa abadi dalam
keesaannya.
Ibnu al-‘Arabi (560-638
H) menyebut dan membedakan Tuhan yang dipercayai manusia saat ini meliputi
“Tuhan kepercayaan” (ilāh al-mu’taqad), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilāh
al-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al- ilāh fī al-i’tiqad) “Tuhan
Kepercayaan” (al-haqq al-i’tiqad), Tuhan yang dalam kepercayaan” (al-haqq
al-ladzī fī almu’taqad) dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq
a-Makhlūq fī al-i’tiqad). Allah Swt dalam pandangan Islam adalah Allāh Aḥad,
bermakna bahwa Tuhan esa dalam segala aspek, dan tak pernah sekalipun
mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi, sebagai mana yang ada dalam
genus dan karakter, ataupun pluralitas yang real, sebagai mana yang nampak
dalam dunia materi.
Keesaan ini juga menegasikan
dan mensucikan Tuhan dari hal-hal yang mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki
bentuk, kualitas, kuantitas, warna dan segala jenis gambaran akal yang mampu
merusak kebersahajaan yang satu. Demikian juga, Ahad mengindikasikan bahwa tak
ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Tuhan Yang
Maha Esa merupakan titik lokus utama ajaran agama Islam dalam segala aspeknya,
termasuk akidah dan kalam atau teologi.
Oleh karenanya tidaklah
berlebihan, jika khususnya umat Islam Indonesia wajib menjaga Konstitusi Pancasila.
Karena semua sila yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan ajaran Islam
yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah, terutama Sila Kesatu,
yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar
bagi setiap agama yang ada, tak terkecuali dengan Islam. Dari konsep Allah
sebagai Tuhan Yang Maha Esa tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview
yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep tentang
Mu’jizat, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan,
konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya.
Dikarenakan begitu
sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun,
tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan. Tuhan diartikan oleh Kamus Besar Bahasa
Indonesia dengan pengertian sebagai sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah
oleh manusia sebagai Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya. Konsepsi
teologi Islam tentang ketuhanan terangkum dalam QS. al-Nās/114: 1-3:
Yang artinya : Katakanlah, "Aku
berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia; Raja manusia;
Sembahan manusia (QS. al-Nas/114: 1-3).
Berdasarkan penjelasan
dalil naqli di atas, konsep ketuhanan dalam teologi Islam dikenal dengan tiga
istilah, yaitu: Rab (Pemelihara), Malik (Raja), dan Ilāh (Sesembahan). Kesemua
sebutan tersebut untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Kata "Allah" dalam al-Qur'an terulang sebanyak 2697 kali.
Belum lagi kata-kata semacam wahid, ahad, al-Rabb, Al-Ilāh atau kalimat yang
menafikan adanya sekutu bagi-Nya dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum
atatu kewajaran beribadah kepada selainNya serta penegasian lain yang semuanya
mengarah kepada penjelesan tentang tauhid.
Menurut konsep Islam
Tuhan adalah Zat yang Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa. Ia adalah Pencipta yang
Maha Kuasa dan Maha Tahu. Dia abadi yang menentukan takdir dan hakim semesta
Alam, Tuhan dikonseptualisasikan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa, hal ini tercantum
dalam surat Q.S. Al-Ihlas Menurut Maulana Muhammad Ali, Islamolog asal Lahore
Pakistan, kata nama Allah merupakan isim jamid, tak digubah dari perkataan
lain.
Konsep Tuhan dalam Islam bersifat Esa, merupakan keunikan dan final
sesuai dengan Pancasila, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama
lain, seperti; Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, meskipun sama-sama
meyakini Ketuhanan. Hal tersebut juga berbeda dengan konsep Tuhan dalam tradisi
filsafat Yunani maupun dengan tradisi mistik Timur dan Barat. Sebagaimana yang
telah djelaskan Syed Naquib al-Attas bahwa:
“The
nature of God Understood in Islam is not the same as the conceptions of God
Understood in the various religious traditions of the world; nor is it the same
as the conceptions of God understood in Greek and Hellenistic philosophical
tradition; nor as the conceptions of God understood in Western philosophical or
scientific tradition; nor in that of Occidental and Oriental mystical
traditions”.
Konsep Tuhan dalam Islam
otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang juga bersifat otentik
dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah Yang Maha Esa, Shalih fi kulli zaman wa
makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Al-Attas menjelaskan “The nature of
God as revealed in Islam is Derived from Revelation”. Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”.
Bukan Tuhan hasil personifikasi, sebagaimana agama lain melakukannya sebagai
juru penyelamat dengan beragam manifestasi namanya, maupun sebagai penebus
dosa, Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Ruh Qudus dan sebagainya.
Bukan pula seperti Tuhan
dalam konsepsi Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan
penggerak yang tidak bergerak, Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang
berari bahwa ketika manusia tidak berfikir Tuhan, maka Tuhan itu tidak
ada. Tuhan adalah Dzat yang transenden
dan mutlak, yang sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak tepat
manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai
personifikasi ataupun atribusi kepada Allah Yang Maha Esa sebagai Dzat Pencipta
makhluk.
Istilah nama Allah
sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam.
Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat
menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak
terdapat problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun,
dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan “Allah”.
Hal ini dikarenakan nama
Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an,
dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili).
Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan
soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal, yaitu Tuhan umat Islam adalah
Allah Yang Maha Esa tiada berbilang.
Allah SWT, merupakan kata agung (Lafadz al-Jalalah), nama diri (Ism
Al-Dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya.
Kata itu tersusun dari
empat huruf, yaitu : alif, lam, lam, ha. Jika huruf pertama, alif dihilangkan,
tiga huruf lainnya merupakan simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam
nyata (dunia) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur
(barzakh) dan surga; akhirat (akhirah). Huruf pertama, alif, merupakan smuber
segala sesuatu, dan huruf terakhir, ha (Dia), adalah sifat Allah yang paling
sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu.
Secara kebahasaan, kata
Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal
dari bahasa Aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang disembah)
dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan
penambahan huruf Alif dan lām di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka
kata Allah dari kata al-ilāh dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka
Kuasa, dan Pencipta Alam semesta yang tiada sekutu bagi-Nya. Kata Allah adalah
satu-satunya Ism ‘Alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat
yang Maha Suci.
Konsep Allah juga telah
ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu menerangkan masalah makna
relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus.
Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini
terlihat orang-orang Arab pra-Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana
yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra-Islam yang
menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja
“Allah” berarti Tuhan dalam konsepsi Injil, yang terdiri atas beberapa aknum.
Ketiga, Orang-orang Arab pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi
yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”.
Hal ini terjadi ketika
seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan al-A’sha al-Kabar menulis puisi
pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah ke arah monoteisme. Konsep
Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat
diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan
bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari
langit, tempat menggantungkan harapan.
Tuhan
yang haq dalam konsep al-Qur’an adalah Allah. Hal ini
dinyatakan antara lain dalam surat Ali
Imran ayat 62, surat Shad 35 dan
65, surat Muhammad ayat 19. Dalam
alQur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada
Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud
ayat 84 dan surat al Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana
dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Menurut informasi al-Qur’an, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar
Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi
melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah.
Hal ini berarti konsep
tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Qura’n adalah
esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagian dan tidak
pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian. Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak
dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang
mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha
illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap
tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari
al-Qur’an memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari
Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik
menjalani kehidupan. Allah juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan
selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci, yang maha mulia;
daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali.
Para filsuf dizaman kuno
menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak
pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa
manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari
kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut
istilah-istilah yang mereka tentukan.
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah.
Kata itu mungkin pula
berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang
disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa.
Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu,
maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa,
Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam
atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci.
Nama-nama lain sekaligus
mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti
al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa. Dalam
kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum
Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa
Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan
nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah
al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya
dengan menggunakan kalimat perintah:
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha
Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan.” Surah al-Ikhlash ini
berisi sebagian al-‘asmā al-husnā.
Pengertian “Allah Ahad’ adalah Allah itu
satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Abbas
dan sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad
adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Sebagian
filsuf Arab, di antaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian ‘Allah Ahad’’
adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan
keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya dalam
sifat-sifat wajib-Nya.
Dia wajib bersifat ada
dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati, mengubah namun
tidak pernah berubah. Menurut sebagian
pakar bahasa, Allah SWT Berfirman, Qul huwa Allahu Ahad, bukan Qul huwa Allahu
Wahīd, karena kata Wahīd termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin
yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi,
baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifatNya.
Dalam tradisi Ibrani atau Yahudi, Allah disebut dengan nama Yahweh. Kata ini dianggap bukan nama
yang sebenarnya, melainkan berasal dari nama ehyeh atu hayah. Dalam
kitab Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang disebut sebagai Yahweh
dipermasalahkan.
Herlianto mengutip
pernyataan Freedman, menyatakan bahwa ternyata asal-usul nama Yahweh itun tidak
jelas, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan kaum Kenit
yang pagan. Dengan adanya dua kaum tersebut, maka juga ikut mempengaruhi
keberagaman orang Israel, dan menyatakan bahwa nama Yahweh berasal dari luar tradisi Ibrani.
Dari sini nampak bahwa
nama Tuhan dalam tradisi Yahudi masih bersifat spekulasi. Sehingga banyak
menimbulkan kontroversi di antara mereka. Karena nama Tuhan Yahudi masih
problematik, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil sikap untuk tidak menggunakan
kata Yahweh sebagai sebutan nama Tuhan
mereka. Sebagai gantinya, Kaum yahudi
Ortodoks menggunakan sebutan Adoney
atau Ha Syem.
Akan tetapi penggunaan
nama inipun masih problematik dan menimbulkan kontroversial. Sebabnya, kedua
nama tersebut dalam pengucapannya terkadang disamakan dengan Yahweh, atau
Tuhan, dan pada beberapa tempat tertentu diartikan sebagai Tuan, bukan Tuhan. Dalam penyebutan nama Tuhan, ternyata, orang
Yahudi tidak hanya menggunakan sebutan Adoney, Ha syem, ataupun Yahweh. Akan
tetapi juga ada sebutan lain untuk Tuhan mereka, yaitu El/Elohim atau Eolah.
Dalam tradisi Yunani,
nama ini dapat digunakan sebagai nama diri atau nama generik. Kata El, dalam
Al-Kitab Perjanjian lama digunakan untuk sebutan Tuhan orang Israel. Dalam The Interpreters Dictionary of Bible,
kata El, digunakan sebagai sinonim
Yahweh. Adapun kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam
bentuk jamak. Elohim kebanyakan digunakan untuk penyebutan gelar, sementara
Eolah di artitikan sebagai God (Tuhan).
Menurut, Ellen Kristi, untuk mencari kejelasan tentang Yahweh, dapat
ditelusuri dalam Al-Kitab Interlinier (terjemahan langsung)
Ibrani-Yunani-Inggris. Dalam teks aslinya, kata Tuhan ternyata ditulis dalam
empat huruf mati (tetragramaton) saja, yaitu Y-H-W-H. Karena terdiri atas konsonan semua, tentu
saja tetagramaton ini tidak dapat dibaca.
Namun dari berbagai
sumber informasi, nama tersebut ada yang membaca Yahweh, ada pula yang menyebut
Yehova. Ada yang menyingkat sebutan Yahweh dengan “Yah”. Misalnya pada ungkapan
“Halelu-Yah” (Terpujilah Yah). Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan tersebut,
berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang bermacam-macam. Sebagai
contoh, di negara Arab, umat kristen menyebut Tuhannya dengan Allah, seperti
orang Islam menyebutnya, di Barat umat kristen menyebut Tuhannya dengan God
atau Lord. Dalam pandangan Noorsena, kata Allah, meskipun di lingkungan Kristen
Arab tidak dipahami sebagai “nama diri”, sebutan ini begitu sentral
kedudukannya dalam bahasa Arab.
Jadi, karena dalam
tradisi Kristen, Allah tidak dianggap sebagai nama diri (proper name), maka
mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan berbagai panggilan. Lafadz
Allah dalam tradisi Kristen bukan termasuk ism dzat (nama diri). Buktinya,
masih banyak perdebatan seputar nama Allah sebagai nama Tuhan dalam agama
Kristen. Sebagai contoh, munculnya kelompok yang menamakan diri Gerakan Nama
Suci (Sacred Name Movement), menolak pemakain kata Allah dalam Bible, kemudian
mengganti dengan nama Yahweh. Kelompok ini perpandangan bahwa nama Allah adalah
bukan nama Tradisi Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab
pada abad ke-7 Masehi.
Oleh karena itu, lafadz
Allah yang ada dalam Al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus diganti
dengan Elohim atau Yahweh. Di Indoneisa, gerakan ini mengganti nama Allah
dengan kata Elohim, kata Tuhan di ganti dengan Yahweh dan Yesus di ganti dengan
Yesua Hamsyah. Sebagaimana tradisi Yahudi, tradisi Kristen juga tidak hanya
mengalamai problem dengan nama Tuhan, tetapi juga mengalami permasalahan
ketuhanan Yesus.
Dalam pemikiran Paulus, ia
memperoleh suatu metafisik yang serius. Paulus berpandangan, setiap orang yang
saleh, ia dapat menyatakan seperti apa yang dikatakan Yesus. Yaitu, Aku dan
Bapaku (Tuhan) adalah satu dalam pengertian keserasian total dalam kehendak
Tuhan. Para teolog Kristen pun tidak menolak pemikiran ini, bahkan menerima
begitu saja semua unsur sebagai satu kesatuan yang transenden. Misalnya, dalam
Kitab Kejadian 1:26 menyebut tiga pribadi dalam diri Tuhan. Konsep ketuhanan Kristen ini, kemudian
mengalamai perubahan besar dan mendasar yang kemudian dalam konsili Nicea 325
diputuskan mengenai identitas Tuhan Kristen. Tuhan Bapak, Anak dan Ruhul Qudus
merupakan Tuhan Kristen yang mereka sebut dengan Trinitas.
Trinitas ini pun
dikalangan mereka juga mengalami problem mendasar, yang kemudian lahirlah
Konsili Konstantin pada 381. Dalam konsili ini diputuskan dan di evaluasi
mengenai status Tuhan Kristen. Problem ketuhanan dalam Kristen terus menemukan
problem yang misterius hingga kini.
Konsep Tuhan dalam tradisi Yahudi dan Kristen inilah yang dikoreksi oleh
Islam.
Sayyid Muhammad Behesthi
mengatakan, “Al-Qur’an dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa: tiada Tuhan
selain Allah. Konsep tauhid dalam
Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari
segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang
tidak dinyatakan secara konsisten”. Kekeliruan Yahudi dan Nasrani juga dengan
jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani
mengatakan: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah:
18).
Yang dimaksud dengan
kalimat “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”, menurut Imam Ibnu
Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s. Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang
bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan
konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di dalam Al-Qur’an menandakan
bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber dari Allah
sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam AlQur’an.
Berkenaan dengan
al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam merupakan sumber informasi yang benar
yang otoritatif (khabar shadiq). Dengan demikian Konsep Tuhan dalam Islam
jelsjels sempurna, karena bersumber pada kitab suci yang otoritatif. Dalam ajaran al-Qur’an, Allah merupakan Rab
(Tuhan Pemelihara) manusia dan seluruh makhluk di alam raya ini. Muhammad
Ismail Ibrahim di dalam buku Mu’jam al-Alfāzh wa al-A’lām al-Qur’āniyyah
menyebutkan bahwa terdapat beberapa arti kata rabb, di antaranya rabb al-walad,
artinya “memelihara anak dengan memberi makan dan mengasuhnya”, rabb asy-syai’,
artinya “mengumpulkan dan memilikinya”, serta rabb al-amr, “memperbaikinya”.
Adapun al-Rabb adalah
Tuhan dan merupakan salah satu dari nama Allah yang jamaknya arbāb. dalam
bahasa Arab, kata rabb berarti “yang memiliki”, “yang menguasai”, “yang
menjaga”, “yang memelihara”, “yang membimbing”, “yang mendidik”, “yang merubah”. Menurut Izutsu Tuhan (Allah)
dalam al-Qur'an adalah satu-satunya Wujud yang pantas disebut “wujud”, realitas
di mana tidak satupun di seantero dunia ini yang dapat melawan-Nya.
Secara semantik rabb
adalah kata fokus tertinggi dalam kosa-kata al-Qur'an, yang menguasai seluruh
medan semantik, bahkan seluruh sistem. Kata Allah (rabb) ini dilawankan dengan
kata “manusia” (‘abd atau rabbani). Sebab, manusia, sifatnya, perbuatan,
psikologi, kewajiban, dan tujuannya juga menjadi pusat perhatian pemikiran
al-Qur'an.
Dalam hal ini, bagaimana
manusia bereaksi terhadap firman Tuhan menjadi persoalan yang utama. Reaksi
manusia terhadap firman Tuhan sangat beragam. Manusia (al-insan) yang alim dan
selalu taat kepada perintah Allah sebagai reaksi atas firman-Nya di dalam
al-Qur'an di sebut dengan rabbani. Dalam bahasa Arab maupun al-Qur’an istilah
rabbani sama dengan rabbaniyyah, yakni masdar shina’i (masdar bentukan) yang
dinisbatkan kepada rabb yang berarti Tuhan. Rabba berasal رب - يرب
yang berarti:
نشاء الشيئ من حال الى حال الى حال الثمام
(Mengembangkan sesuatu
dari suatu keadaan pada keadaan lain, sampai kepada keadaan yang sempurna). Huruf
Ya’ yang berada di belakangnya adalah ya’ nisbah, (ya’ untuk membangsakan).
Artinya, penisbatan tersebut ditujukan kepada rabb atau Allah SWT. Yaitu orang
yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah, dan akan diangkat derajatnya
yang setinggi-tingginya oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, rabbani
adalah orang yang dibangsakan kepada Tuhan. Kata rabbani biasanya juga ditunjukkan kepada manusia sebagai julukan
(laqab) manusia rabbani (orang yang dididik Tuhan) atau dapat bermakna semangat
berketuhanan, yang merupakan inti dari semua ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan.
Jika tali hubungannya
dengan Allah sangat kuat, tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitabnya.
Menurut Toshiko Izutsu, ia juga menemukan suatu relasi kata rabb dengan
kata-kata lain yang mengindikasikan makna lain terhadap kata rabb, yakni: Tuhan
yang menjamin atau memenuhi kebutuhan yang dipelihara, mengawasi di samping
juga memperbaiki segala hal, pemimpin, kepala yang diakui kekuasaannya yang
berwibawa dan yang semua perintah-perintahnya dipatuhi dan diindahkan, ia juga
bermakna raja dan pemilik.
Makna-makna ini adalah
relasi rabb dengan sifat-sifatnya. Kata rabb menunjukkan adanya pemaknaan
mengenai tauhid Rububiyah dimana adanya unsur mengesakan Allah Swt, dalam
mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (Q.S: Al-Zumar: 62; al-Fathir:
3; al-Mulk: 1; al-A’raf: 54).
Menurut Ibnu Qoyyim
konsekuensi Rububiyah adalah adanya perintah dan larangan kepada hamba,
membalas yang berbuat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas
kejahatannya. Rabb adalah "Tuhan Sang Maha Pencipta", yang meciptakan
keseluruhan alam ini tidak hanya sekedar menciptakan tetapi juga di maksudkan
sebagai " Sang Maha Pemelihara". Dan juga setiap kejadian tidak lepas
dari kekuasaan-Nya sebagai" Sang Maha Pengatur". Dari sisi pengakuan,
tidak hanya kaum muslimin yang mengakui adanya Rabb. Banyak orang di dunia
barat tidak secara formal beragama tetapi mereka mengakui adanya
"Dia" Tuhan Yang Maha Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar