Konsep Al-Asmā'
Al-Husnā Tentang Al-Malik
Setelah al-Rabb, maka
sifat Allah yang menyusul adalah al-Malik,
yang secara umum diartikan raja atau
penguasa. Penempatan susunannya seperti ini sejalan dengan penempatannya dengan
sekian banyak ayat al-Qur'an, antara lain pada surah al-Fatihah dan surah
al-Hasyar. Oleh karena rahmat yang dicurahkan Allah kepada hamba-hambaNya dan
yang dilukiskan dengan kata Raḥmān itu disebabkan karena Dia juga Raḥīm,
memiliki sifat Raḥmān yang melekat pada diriNya.
Namun siapa yang memiliki
sifat rahmat, belum tentu memiliki sifat kekuasaan dan hanya Allah yang
memiliki yakni memiliki kekuasaan dan kerajaan serta kepemilikan. Kata
"Malik" mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh
kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Kata "Malik" yang biasa
diterjemahkan raja adalah yang menguasai dan menangani perintah dan larangan,
anugerah dan pencabutan. Karena itu, biasanya kerajaan terarah kepada manusia,
tidak kepada barang yang sifatya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Salah satu kata
"Malik" dalam al-Qur'an adalah yang terdapat dalam surah al-Nās,
yakni "Malikin-nas" (Raja manusia). Dalam Al-Qur'an, tanda-tanda
kepemilikan kerajaan adalah kehadiran banyak pihak kepadaNya untuk bermohon
agar dipenuhi kebutuhannya atau untuk menyampaikan persoalanpersoalan besar
agar dapat tertanggulangi. Allah SWT melukiskan betapa Yang Maha Kuasa itu
melayani kebutuhan makhlukNya.
Sebagaimana yang
difirmankan dalam al-Qur'an: "Setiap yang di langit dan di bumi bermohon
kepadaNya. Setiap saat dia dalam kesibukan (memenuhi kebutuhan mereka) (QS.
al-Rahmān ayat 29). Kata "Malik" terdiri dari tiga huruf yakni Mim,
Lam, dan Ka. Yang rangkaiannya mengandung makna kekuatan dan keshahihan. Kata
Malik pada mulanya berarti ikatan dan penguatan. Kata Malik terulang di dalam al-Qur'an sebanyak 5 (lima) kali, dua di antaranya dirangkaikan dengan kata
"hak" dalam arti yang "pasti dan sempurna," yaitu terdapat
dalam surah Thaha ayat 114 dan surah al-Mukminun ayat 122, “Dan adapun kerajaan
Allah mencakup kerajaan lagit dan bumi.” Allah berfirman dalam surah alZukhruf
ayat 85: "Maha suci Allah yang milik-Nya kerajaan/kekuasaan langit dan
bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Disisi-Nya pengetahuan tentang kiamat
dan hanya kepadaNya kamu di kembalikan".
Demikian pula Allah juga
pemilik kerajaan akhirat, hal tersebut terdapat dalam surah al-an'am ayat 73
dan surah al-Hajj ayat 56: "Dan milikNya kerajaan/kekuasaan pada hari
ditiup sangkakala " "Kerajaan pada hari itu (kiamat) adalah milik Allah".
Imam Al-Gazali menjelaskan arti "Malik" yang berarti raja yang
merupakan salah satu nama Asmaul Husna dengan menyatakan bahwa
"Malik" adalah yang tidak butuh pada zat dan sifat-Nya segala yang
wujud, bahkan Dia adalah yang butuh kepadaNya segala sesuatu yang menyangkut
segala sesuatu, baik pada zatNya, sifatNya, wujudNya dan kesinambungan
eksistensinya.
Bahkan wujud segala
sesuatu, bersumber dari-Nya, atau dari sesuatu bersumber dari-Nya. maka segala
sesuatu selain-Nya menjadi milikNya dalam zat dan sifatnya dan membutuhkanNya.
Demikianlah itu raja yang mutlak". Disini terlihat perbedaan antara "Malik"
yang berarti "Raja" dan "Maalik" yang diartikan
"pemilik". Seseorang pemilik belum tentu menjadi raja, sebaliknya
pemilikan seorang raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang bukan raja.
Oleh karenanya, Allah adalah raja sekaligus pemilik.
Kepemilikan Allah berbeda
dengan kepemilikan makhluk/manusia. Allah swt berwewenang penuh untuk melakukan
apa saja terhdap apa yang dimilikiNya. Al-Mulku berakar pada kata mim, lam, dan
kaf yang mengandung makna pokok “keabsahan dan kemampuan”. Dari makna yang
pertama terbentuk kerja malaka yamliku mulkan artinya menguasai. Dari sini
diperoleh kata malik dan mulk masing-masing artinya raja dan kekuasaan.
Dalam al-Qur’an
penggunaannya bisa dilihat pada surat Al-Baqaraah ayat 247. “Dan Nabi mereka
berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Alloh telah membangkitkan untuk kamu
Thalut sebagai “malik” Mereka menjawab, “Bagaimana ia mempunyai mulku atas
kami, padahal kami lah yang berhak memegang mulki darinya, karena ia tidak
memiliki kekayaan”. Ayat ini menceritakan penolakan Bani Israil atas
kepemimpinan Thalut, karena memandang Thalut tidak memiliki apa yang menurut
mereka menjadi syarat kepemimpinan. Menurut ilmu politik dan ilmu Negara
sendiri malik, dalam hal ini adalah raja, diartikan sebagai seorang yang
mewarisi kekuasaan dari penguasa sebelumnya, kekuasaannya disebut mulk,
kerajaan.
Pengertian
Malik menurut al-Qur’an adalah lebih luas, ia bermakna
raja, tapi juga pemilik kekuasaan, artinya bukan hanya penguasaan akan tetapi
juga kepemilikan. Pengertian tersebut dapat di lihat dalam QS. 3: 26;
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai Tuhan yang memiliki kekuasaan! Engkaulah
yang memberi kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang
mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah juga yangmemuliakan
siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang menghinakan siapa yang Engkau
kehendaki.
Dalam kekuasaan Engkau
sajalah adanya segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap
sesuatu”. Dalam ayat tersebut digambarkan bahwa Alloh pemilik dari kekuasaan
(malik-ul mulki) dan memberikan dan mencabut kekuasaan tersebut kepada siapa
yang dikehendakinya. Sedangkan dalam QS. 59: 23, dikatakan bahwa Alloh adalah
Al-Malik. Dengan melihat ayat tersebut bisa kita simpulkan bahwa suatu
kekuasaan hakekatnya adalah milik Alloh SWT dan manusia hanyalah berkuasa
dengan izin dari Alloh SWT. Ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan kata ini secara
umum, artinya tidak hanya merujuk kepada suatu kekuasaan politik saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar