Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 30 Juni 2019

KONSEP AL-ASMA AL-HUSNA DALAM PANCASILA


 Konsep Al-Asmā' Al-Husnā dalam Pancasila


Konsepsi teologis dalam Pancasila tidak bisa dipahami dalam vacuum, sebab konsepsi teologis Pancasila, betapapun murni dan transendentalnya, dihasilkan oleh para pemikir yang hidup dalam semangat zaman tertentu. Apa yang kemudian dikenal sebagai Pancasila saat ini, dirintis dalam beberapa tahapan zaman yang diwarnai oleh gerakan-gerakan sosial-politis bahkan teologis yang sangat kritis terhadap zaman sebelumnya.


Dalam hal ini, menurut penulis, sangat penting untuk menelusuri konsepsi teologis Pancasila menurut perumus Pancasila itu sendiri, yaitu Soekarno, untuk dijelaskan kepada generasi penerus bangsa melalui Pancasila. Soekarno dalam berbagai karyanya, baik ceramah maupun tulisan, banyak mengungkapkan tentang teologi Pancasila, terlebih lagi tentang teologi Islam. Soekarno menyampaikan pidatonya di Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, ketika itu Soekarno menjelaskan tentang prinsip teologi atau Ketuhanan dalam penyusunan dasar negara:  “Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut pentunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan.


Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan. Marilah kita amalkan, jalannya agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.” 


Bagi Soekarno, Tuhan adalah kekuatan, kekuatan yang tidak ada tandingannya. Oleh karenanya, Soekarno menghendaki negara Indonesia merupakan negara yang memiliki teologi ketuhanan, bukan seluleristik ataupun ateistik. Namun demikian, temuan penulis, teologi bagi bangsa itu merupakan suatu bentuk berketuhanan yang dicirikan oleh dua corak teologi, yaitu: berkebudayaan dan berperadaban.


Teologi berkebudayaan merupakan suatu corak teologi yang inklusifistik, dengan tiada egoisme agama. Teologi yang berkeadaban, suatu teologi yang pluralis, saling hormat-menghormati antar satu agama ataupun keyakinan yang tumbuhkembang di Nusantara ini.  Uniknya, malah Soekarno menganggap suatu keanehan bahwa ada orang yang berpendapat, orang yang intelek tidak percaya adanya Tuhan (ateistik).


Karena, menurut Soekarno, makna intelek itu adalah otak, atau orang intelek itu adalah orang yang berpendidikan. Selanjutnya Soekarno menganggap, beliau dianggap intelek karena telah menyandang gelar insinyur dan 16 doktor dari berbagai jurusan ilmu, serta mendapat gelar professor. Pernah ada yang bertanya, “Bung Karno yang intelek, yang professor dan menyandang 16 doktor, mengapa percaya adanya Tuhan? Apa bukti adanya Tuhan?” Dengan lantang dan penuh keyakinan, Soekarno memberi jawaban:  “Ya, jikalau saya harus membuktikan kepada saudara bahwa Tuhan itu ada, saya tidak bisa, tetapi bisa membuktikan kepada diriku sendiri, kepada ku sendiri bahwa Tuhan ada, bahkan saya sering bercakap-cakap dengan Tuhan. Saya sering meminta kepada zat itu, itupun belum merupakan bukti Tuhan itu ada. Bahwa saya sering meminta kepada zat itu dan zat itu memberikan kepadaku apa yang kuminta. Nah, itulah bagiku satu bukti yang nyata bahwa Tuhan itu ada”.   


Selanjutnya Soekarno menjelaskan, beliau sering memohon sesuatu kepada zat yang dinamakan Allah Subhanahu wata’ala, dan apa yang Soekarno minta diberikan. Oleh karenanya, bagi Soekarno itu sudah merupakan bukti yang kuat, yang teguh, yang nyata, yang tidak dapat dibantah bahwa yang Soekarno minta itu ada, bahwa Tuhan itu pasti ada. Berdasarkan pengalaman tersebut, dalam setiap pidatonya selalu memuji dan mengharapkan pertolongan Tuhan.


Sebagai contoh ketika Soekarno berceramah dihadapan para mahasiswa di Universitas Katolik Bandung, tanggal 16 Januari 1961:  “Nah, saya yang di dalam hal yang demikian itu, sebagai tadi saya katakana, selalu, ya, mohon dari taufik hidayah daripada Tuhan, mana ada kekuatan yang lebih besar daripada yang berasal daripada Tuhan? Saya selalu berkata di dalam pidato-pidato saya, bahwa dengan bantuan Tuhan saya bisa menyelenggarakan ini, tanpa bantuan Tuhan saya tidak bisa menyelenggarakan ini, saudara-saudara”.


Seandainya orang ingin menjumpai dengan Tuhan, orang itu tidak harus naik setinggitingginya, cukup hanya turun ke dalam hatinya, demikian menurut Soekarno. Manusia dianugerahkan akal atau rasio oleh Tuhan. Dengan rasionya manusia mampu menciptakan alatalat canggih yang dapat membawa manusia naik ke langit, dapat sampai ke planet yang manusia inginkan.


Otak manusia semakin berkembang, namun menurut Soekarno setinggi apapun perkembangan otak manusia itu tidak akan mampu menjadikan manusia dapat bertemu dengan Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad yang dapat berhadapan langsung dengan Tuhan, itu pun atas seizin Allah.


Menurut Soekarno sebagaimana disampaikan dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj di Istana Negara, pada tanggal 16 Januari 1961: “Kalau kita hendak menjumpai Tuhan saudara-saudara, meskipun kita memakai explorer, meskipun kita memakai sputnik, meskipun kita memakai alat perkakas apapun yang kita bisa sampai mendarat di bintang-bintangnya Bima Sakti, kalau kita tidak turun di dalam hati kita malahan kita tidak akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala.


Profesor botak yang membikin perkakas, atau ingenieur botak yang membikin perkakas yang membawa manusia ke bulan, belum tentu dia berjumpa dengan Tuhan; tetapi ambillah orang yang hina-hina, kadang-kadang dia berjumpa dengan Tuhan meskipun dengan tidak dengan dia punya pancaindera”.  


Menurut Soekarno yang penting bagi manusia untuk dapat berjumpa dengan Tuhan adalah dalam rangka meningkatkan keimanan. Tuhan tidak di mana-mana, Tuhan itu Esa, tetapi ada di mana-mana. Siapa saja yang berkeinginan untuk bertemu dengan Tuhan, tidak harus manusia naik ke langit setinggi-tingginya dengan memakai berbagai macam peralatan.


Manusia boleh saja bercita-cita untuk dapat bertemu dengan Tuhan Sang Pencipta, namun menurut Soekarno manusia harus turun, turun ke sini (dengan penuh keyakinan sambil Soekarno menunjuk ke dadanya), turun ke dalam hatinya. Soekarno bicara tentang hati, berbicara soal hati berarti berbicara soal keimanan. Iman menyangkut hati seseorang, menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah dan tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali hidupnya yang autentik dan tentunya tidak mengalami penyimpangan.


Manusia harus hidup sejalan dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia untuk “bertemu” dengan Tuhan.  Manusia merupakan hamba Allah, berarti manusia harus selalu menyesuaikan kepada keinginan Tuhannya. Keyakinan akan menjadikan manusia untuk selalu berbuat baik, baik untuk dirinya, manusia, dan kepada Tuhannya. Hal ini menunjukkan penghambaan manusia kepada Tuhan dikarenakan manusia merupakan makhluk yang dhaif.


Bagi Soekarno, tanpa adanya keyakinan pastilah seseorang tidak akan mampu bertemu dengan Tuhannya, sekalipun memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa. Kemudian Soekarno juga menegaskan bahwa manusia hanya dapat berjumpa dengan Tuhannya apabila telah mengerjakan segala yang diperintahkan Tuhan dan meninggalkan segala larangannya. Selain itu, dapat dipahami bahwa kalimat “berjumpa dengan Tuhan” yang dimaksud oleh Soekarno adalah mampu merasakan bahwa Tuhan itu ada, dan yakin sekalipun manusia tidak dapat melihat Tuhan dan tentu Tuhan melihatnya.


Dengan demikian berjumpa dengan Tuhan bukanlah dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam makna majazi, sebagaimana ungkapan Soekarno di atas.  Islam menghendaki agar supaya manusia sujud kepada Tuhan, mem-persatukan diri dengan Tuhan, tetapi juga mempersatukan dengan semua manusia, dan dalam Islam bahkan banyak hukum yang mengatur antara sesama manusia, menjadikan manusia sebagai insan masyarakat.


Manusia diberi hak oleh Tuhan untuk menjadi makhluk yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari malaikat. Islam tidak mengajarkan setiap manusia untuk mementingkan diri sendiri, di sinilah menjadikan Islam sebagai agama kemanusiaan. Menurut Soekarno, dalam ajaran Islam banyak sekali membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Menurut agama Islam, manusia dilatih dan dididik dalam rangka mempersiapkan manusia untuk kemasyarakatan.


Oleh karenanya, manusia ditakdirkan Tuhan sebagai makhluk yang tinggi derajat dan martabatnya. Yang mempersatukan manusia dengan Tuhannya.  Faisal Ismail dalam Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila (1995), sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Arif, Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, menjelaskan, Bung Karno menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau Ahad sebagai basis etik keempat sila di atasnya. Sebab di dalam pemikirannya, Pancasila memiliki dimensi politik dan etis.


Dimensi politik merupakan tugas utama Negara meliputi kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan kesejahteraan sosial. Sisi dimensi etis bersifat religius karena sejak awal, bangsa Indonesia berketuhanan. Menurut Bung Karno dan dalam Pancasila, kebangsaan ini tidak menegasikan atas Islam. Tapi, menjadi blok historis yang memayungi semua ideologi, demi satu cita-cita: merdeka. Ini juga terkait dengan sum-sum ide Pancasila itu sendiri yang merupakan sintesis antar-ideologi. Sintesis ini terjadi tidak hanya demi kompromi politik antargolongan, melainkan cerminan dari cara pikir masyarakat yang eklektik. Islam selalu memberi dan menerima dari nasionalisme dan sebaliknya.


Menurut Syaiful Arif, konsepsi hubungan agama dan negara menurut dasar negara sangat strategis baik bagi umat beragama maupun kalangan nasionalis. Konsepsi itu merujuk pada hubungan toleransi kembar di mana negara dan agama saling menjaga jarak, sekaligus mendukung di ranah masing-masing. Negara melindungi kebebasan beragama dan memfasilitasi kehidupan sosialnya. Sementara itu, agama menguatkan negara melalui pengembangan etika politik yang mendukung keadaban publik.


Persis seperti ditegaskan Imam al-Ghazali: Negara dan agama merupakan saudara kembar. Salah satunya tak bisa hidup, tanpa lainnya. Agama menjadi dasar bagi masyarakat dan negara melindunginya. Keselarasan antara konsepsi Pancasila dan Islam ini juga terdapat pada desain politik yang diawali transendensi (ketuhanan) dan diakhiri transformasi (keadilan sosial). Inilah alasan Kuntowijoyo menyebut demokrasi Pancasila sebagai teo-demokrasi: demokrasi berketuhanan.


Di dalam desain ini, makna politik menurut Islam dan Pancasila bertemu dalam satu kata: keadilan sosial. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila sepadan dengan worldview nilai teologi Islam berupa prinsip tauhid. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu bentuk tanda keimanan seluruh rakyat Indonesia. Iman menyangkut hati seseorang, menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah dan tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali hidupnya yang autentik dan tentunya tidak mengalami penyimpangan. Manusia harus hidup sejalan dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia untuk “bertemu” dengan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar