Konsep Al-Asmā'
Al-Husnā dalam Pancasila
Konsepsi teologis dalam
Pancasila tidak bisa dipahami dalam vacuum, sebab konsepsi teologis Pancasila,
betapapun murni dan transendentalnya, dihasilkan oleh para pemikir yang hidup
dalam semangat zaman tertentu. Apa yang kemudian dikenal sebagai Pancasila saat
ini, dirintis dalam beberapa tahapan zaman yang diwarnai oleh gerakan-gerakan
sosial-politis bahkan teologis yang sangat kritis terhadap zaman sebelumnya.
Dalam hal ini, menurut
penulis, sangat penting untuk menelusuri konsepsi teologis Pancasila menurut
perumus Pancasila itu sendiri, yaitu Soekarno, untuk dijelaskan kepada generasi
penerus bangsa melalui Pancasila. Soekarno dalam berbagai karyanya, baik
ceramah maupun tulisan, banyak mengungkapkan tentang teologi Pancasila,
terlebih lagi tentang teologi Islam. Soekarno menyampaikan pidatonya di Sidang
BPUPKI pada 1 Juni 1945, ketika itu Soekarno menjelaskan tentang prinsip
teologi atau Ketuhanan dalam penyusunan dasar negara: “Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut pentunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan.
Hendaklah negara
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan
cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni
dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang
bertuhan. Marilah kita amalkan, jalannya agama, baik Islam maupun Kristen,
dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah
hormat-menghormati satu sama lain.”
Bagi Soekarno, Tuhan
adalah kekuatan, kekuatan yang tidak ada tandingannya. Oleh karenanya, Soekarno
menghendaki negara Indonesia merupakan negara yang memiliki teologi ketuhanan,
bukan seluleristik ataupun ateistik. Namun demikian, temuan penulis, teologi
bagi bangsa itu merupakan suatu bentuk berketuhanan yang dicirikan oleh dua
corak teologi, yaitu: berkebudayaan dan berperadaban.
Teologi berkebudayaan
merupakan suatu corak teologi yang inklusifistik, dengan tiada egoisme agama.
Teologi yang berkeadaban, suatu teologi yang pluralis, saling
hormat-menghormati antar satu agama ataupun keyakinan yang tumbuhkembang di
Nusantara ini. Uniknya, malah Soekarno
menganggap suatu keanehan bahwa ada orang yang berpendapat, orang yang intelek
tidak percaya adanya Tuhan (ateistik).
Karena, menurut Soekarno, makna intelek itu adalah otak,
atau orang intelek itu adalah orang yang berpendidikan. Selanjutnya Soekarno
menganggap, beliau dianggap intelek karena telah menyandang gelar insinyur dan
16 doktor dari berbagai jurusan ilmu, serta mendapat gelar professor. Pernah
ada yang bertanya, “Bung Karno yang intelek, yang professor dan menyandang 16
doktor, mengapa percaya adanya Tuhan? Apa bukti adanya Tuhan?” Dengan lantang
dan penuh keyakinan, Soekarno memberi jawaban:
“Ya, jikalau saya harus membuktikan kepada saudara bahwa Tuhan itu ada,
saya tidak bisa, tetapi bisa membuktikan kepada diriku sendiri, kepada ku
sendiri bahwa Tuhan ada, bahkan saya sering bercakap-cakap dengan Tuhan. Saya
sering meminta kepada zat itu, itupun belum merupakan bukti Tuhan itu ada.
Bahwa saya sering meminta kepada zat itu dan zat itu memberikan kepadaku apa
yang kuminta. Nah, itulah bagiku satu bukti yang nyata bahwa Tuhan itu
ada”.
Selanjutnya Soekarno
menjelaskan, beliau sering memohon sesuatu kepada zat yang dinamakan Allah
Subhanahu wata’ala, dan apa yang Soekarno minta diberikan. Oleh karenanya, bagi
Soekarno itu sudah merupakan bukti yang kuat, yang teguh, yang nyata, yang
tidak dapat dibantah bahwa yang Soekarno minta itu ada, bahwa Tuhan itu pasti
ada. Berdasarkan pengalaman tersebut, dalam setiap pidatonya selalu memuji dan
mengharapkan pertolongan Tuhan.
Sebagai contoh ketika
Soekarno berceramah dihadapan para mahasiswa di Universitas Katolik Bandung,
tanggal 16 Januari 1961: “Nah, saya yang
di dalam hal yang demikian itu, sebagai tadi saya katakana, selalu, ya, mohon
dari taufik hidayah daripada Tuhan, mana ada kekuatan yang lebih besar daripada
yang berasal daripada Tuhan? Saya selalu berkata di dalam pidato-pidato saya,
bahwa dengan bantuan Tuhan saya bisa menyelenggarakan ini, tanpa bantuan Tuhan
saya tidak bisa menyelenggarakan ini, saudara-saudara”.
Seandainya orang ingin
menjumpai dengan Tuhan, orang itu tidak harus naik setinggitingginya, cukup
hanya turun ke dalam hatinya, demikian menurut Soekarno. Manusia dianugerahkan
akal atau rasio oleh Tuhan. Dengan rasionya manusia mampu menciptakan alatalat
canggih yang dapat membawa manusia naik ke langit, dapat sampai ke planet yang
manusia inginkan.
Otak manusia semakin
berkembang, namun menurut Soekarno setinggi apapun perkembangan otak manusia
itu tidak akan mampu menjadikan manusia dapat bertemu dengan Tuhan, sebagaimana
Nabi Muhammad yang dapat berhadapan langsung dengan Tuhan, itu pun atas seizin
Allah.
Menurut Soekarno
sebagaimana disampaikan dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj di Istana Negara,
pada tanggal 16 Januari 1961: “Kalau kita hendak menjumpai Tuhan
saudara-saudara, meskipun kita memakai explorer, meskipun kita memakai sputnik,
meskipun kita memakai alat perkakas apapun yang kita bisa sampai mendarat di
bintang-bintangnya Bima Sakti, kalau kita tidak turun di dalam hati kita
malahan kita tidak akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala.
Profesor botak yang
membikin perkakas, atau ingenieur botak yang membikin perkakas yang membawa
manusia ke bulan, belum tentu dia berjumpa dengan Tuhan; tetapi ambillah orang
yang hina-hina, kadang-kadang dia berjumpa dengan Tuhan meskipun dengan tidak
dengan dia punya pancaindera”.
Menurut Soekarno yang
penting bagi manusia untuk dapat berjumpa dengan Tuhan adalah dalam rangka
meningkatkan keimanan. Tuhan tidak di mana-mana, Tuhan itu Esa, tetapi ada di
mana-mana. Siapa saja yang berkeinginan untuk bertemu dengan Tuhan, tidak harus
manusia naik ke langit setinggi-tingginya dengan memakai berbagai macam
peralatan.
Manusia boleh saja
bercita-cita untuk dapat bertemu dengan Tuhan Sang Pencipta, namun menurut
Soekarno manusia harus turun, turun ke sini (dengan penuh keyakinan sambil
Soekarno menunjuk ke dadanya), turun ke dalam hatinya. Soekarno bicara tentang
hati, berbicara soal hati berarti berbicara soal keimanan. Iman menyangkut hati
seseorang, menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai
satu-satunya arah dan tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali
hidupnya yang autentik dan tentunya tidak mengalami penyimpangan.
Manusia harus hidup
sejalan dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia
untuk “bertemu” dengan Tuhan. Manusia
merupakan hamba Allah, berarti manusia harus selalu menyesuaikan kepada
keinginan Tuhannya. Keyakinan akan menjadikan manusia untuk selalu berbuat
baik, baik untuk dirinya, manusia, dan kepada Tuhannya. Hal ini menunjukkan
penghambaan manusia kepada Tuhan dikarenakan manusia merupakan makhluk yang
dhaif.
Bagi Soekarno, tanpa
adanya keyakinan pastilah seseorang tidak akan mampu bertemu dengan Tuhannya,
sekalipun memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa. Kemudian Soekarno
juga menegaskan bahwa manusia hanya dapat berjumpa dengan Tuhannya apabila
telah mengerjakan segala yang diperintahkan Tuhan dan meninggalkan segala
larangannya. Selain itu, dapat dipahami bahwa kalimat “berjumpa dengan Tuhan”
yang dimaksud oleh Soekarno adalah mampu merasakan bahwa Tuhan itu ada, dan
yakin sekalipun manusia tidak dapat melihat Tuhan dan tentu Tuhan melihatnya.
Dengan demikian berjumpa
dengan Tuhan bukanlah dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam makna majazi,
sebagaimana ungkapan Soekarno di atas.
Islam menghendaki agar supaya manusia sujud kepada Tuhan, mem-persatukan
diri dengan Tuhan, tetapi juga mempersatukan dengan semua manusia, dan dalam
Islam bahkan banyak hukum yang mengatur antara sesama manusia, menjadikan
manusia sebagai insan masyarakat.
Manusia diberi hak oleh
Tuhan untuk menjadi makhluk yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari
malaikat. Islam tidak mengajarkan setiap manusia untuk mementingkan diri
sendiri, di sinilah menjadikan Islam sebagai agama kemanusiaan. Menurut
Soekarno, dalam ajaran Islam banyak sekali membahas hukum-hukum yang berkaitan
dengan kemasyarakatan. Menurut agama Islam, manusia dilatih dan dididik dalam
rangka mempersiapkan manusia untuk kemasyarakatan.
Oleh karenanya, manusia
ditakdirkan Tuhan sebagai makhluk yang tinggi derajat dan martabatnya. Yang
mempersatukan manusia dengan Tuhannya.
Faisal Ismail dalam Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim
Acceptance of the Pancasila (1995), sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful
Arif, Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, menjelaskan, Bung Karno
menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau Ahad sebagai basis etik keempat sila
di atasnya. Sebab di dalam pemikirannya, Pancasila memiliki dimensi politik dan
etis.
Dimensi politik merupakan
tugas utama Negara meliputi kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan
kesejahteraan sosial. Sisi dimensi etis bersifat religius karena sejak awal,
bangsa Indonesia berketuhanan. Menurut Bung Karno dan dalam Pancasila,
kebangsaan ini tidak menegasikan atas Islam. Tapi, menjadi blok historis yang
memayungi semua ideologi, demi satu cita-cita: merdeka. Ini juga terkait dengan
sum-sum ide Pancasila itu sendiri yang merupakan sintesis antar-ideologi. Sintesis
ini terjadi tidak hanya demi kompromi politik antargolongan, melainkan cerminan
dari cara pikir masyarakat yang eklektik. Islam selalu memberi dan menerima
dari nasionalisme dan sebaliknya.
Menurut Syaiful Arif,
konsepsi hubungan agama dan negara menurut dasar negara sangat strategis baik
bagi umat beragama maupun kalangan nasionalis. Konsepsi itu merujuk pada
hubungan toleransi kembar di mana negara dan agama saling menjaga jarak,
sekaligus mendukung di ranah masing-masing. Negara melindungi kebebasan
beragama dan memfasilitasi kehidupan sosialnya. Sementara itu, agama menguatkan
negara melalui pengembangan etika politik yang mendukung keadaban publik.
Persis seperti ditegaskan
Imam al-Ghazali: Negara dan agama merupakan saudara kembar. Salah satunya tak
bisa hidup, tanpa lainnya. Agama menjadi dasar bagi masyarakat dan negara
melindunginya. Keselarasan antara konsepsi Pancasila dan Islam ini juga terdapat
pada desain politik yang diawali transendensi (ketuhanan) dan diakhiri
transformasi (keadilan sosial). Inilah alasan Kuntowijoyo menyebut demokrasi
Pancasila sebagai teo-demokrasi: demokrasi berketuhanan.
Di dalam desain ini,
makna politik menurut Islam dan Pancasila bertemu dalam satu kata: keadilan
sosial. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila sepadan dengan worldview nilai
teologi Islam berupa prinsip tauhid. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu
bentuk tanda keimanan seluruh rakyat Indonesia. Iman menyangkut hati seseorang,
menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya
arah dan tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali hidupnya yang
autentik dan tentunya tidak mengalami penyimpangan. Manusia harus hidup sejalan
dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia untuk
“bertemu” dengan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar