Kehidupan
Anak Yatim
Sungguh bahagia seorang anak yang lahir
kedunia dan mendapatkan kasih sayang lahir dan batin dari kedua orang tuanya.
Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang, dukungan dan nasehat akan tumbuh
menjadi orang yang mampu mengatasi persoalan hidup di kemudian hari.
Namun tidak semua anak selalu beruntung
memiliki kedua orang tua. Ada anak yang ketika lahir, ayah dan ibunya masih ada
tetapi selagi dia masih membutuhkan kasih sayang dari keduanya dan masih ingin
bermanja-manja tiba-tiba harus menghadapi kenyataan, menerima musibah kematian
ayahnya atau ibunya. Ada pula anak-anak yang sejak lahir sudah tidak mempunyai
ayah atau ibu.
Setiap anak lahir dengan membawa potensi-potensi fisik, psikis, moral,
intelektual, dan spiritual yang dapat dikembangkan dan akan sangat
dipengaruhi oleh lingkungannya. Ibarat kertas yang masih putih bersih, apa saja
bisa digoreskan di atasnya, tulisan yang indah, gambar yang elok, atau
sebaliknya coretan-coretan yang tidak jelas, maupun lukisan yang buruk dapat
dituangkan diatas kertas tersebut.
Begitulah, setiap anak sedikit banyak
terpengaruh oleh orang tua atau lingkungannya di waktu kecil. Seorang anak yang
dibesarkan oleh orang yang baik dan di lingkungan yang baik, maka akan
terbentuk pada dirinya kepribadian yang baik. Sebaliknya jika dibesarkan oleh
orang yang berkepribadian buruk dan tinggal di lingkungan yang buruk, maka akan
lahir darinya kepribadian yang buruk.
Setiap anak memiliki karakter khas yang
merupakan hasil bentukan di masa kecil. Bisa berupa karakter yang baik, bisa
juga berupa karakter yang kurang baik. Bisa berupa karakter yang sulit diubah,
bisa juga karakter yang mudah sekali untuk diubah.
Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang
orang tua akan berbeda dengan karakternya dengan anak yang tidak atau sedikit
mendapatkan kasih sayang orang tuanya karena telah meninggal. Karena itulah kita
sangat dianjurkan untuk mau memberikan kasih sayang kepada anak yatim dengan
berbagai cara sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dalam hal ini harus disadari
bahwa anak yatim adalah anak belum menemukan pijakan yang utuh kepada siapa dia
seharusnya menyandarkan kehidupan dan mengharapkan kasih sayang. Oleh
karenanya, dia perlu dihibur, dikuatkan mentalnya, dan ditunjukkan kepada
hakikat cinta dan kasih sayang yang bermuara kepada Allah SWT.
Anak yang tidak atau jarang mendapatkan
sentuhan kasih sayang, adakalanya memiliki karakter yang kurang kondusif bagi
kemajuan atau kesuksesan hidupnya di masa depan. Salah satu penyebabnya adalah
karena telah terbentuknya zona aman (comfort zone) atas karakter yang telah
tertanam pada dirinya sejak kecil itu. Sebagai misal persepsi anak tentang sabar.
Telah tertanam dalam dirinya bahwa apa-apa yang dialaminya adalah bagian dari
takdir Allah SWT yang harus diterima dengan sabar.
Namun karena penanaman yang kurang tepat,
kesabarannya itu tidak berbuah pada kegigihan/kemandirian dalam menjalani
kehidupan. Dia mengidentikan sabar dengan pasrah atau nrimo yang berkonotasi
pasif. Dan dia memiliki persepsi bahwa sabar itu hanya dilakukan di kala
menerima musibah saja. Padahal kapan pun, baik di kala susah maupun senang, seorang
hamba Allah dituntut untuk bersabar.
Namun apakah anak yang kurang mendapat
sentuhan kasih sayang orang tuanya akan selalu tumbuh dengan kepribadian yang
tidak mendorong pada kesuksesan? Data empiris menunjukkan tidaklah selalu
demikian. Hal ini dikarenakan apa yang berpengaruh pada dirinya tidak terbatas
dari kedua orang tuanya, melainkan juga lingkungan hidupnya dan pendidikan yang
diperolehnya. Sebaliknya kita menyaksikan banyak anak yang tumbuh dengan
belaian kasih sayang orang tua yang "berlebih", malah tumbuh dengan
kepribadian yang labil.
Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang
ketika lahir sudah menjadi yatim karena ayahnya telah wafat pada saat dia masih
dalam kandungan ibunya, kemudian 6 tahun sesudah itu ibunya wafat menyusul
kepergian sang ayah, adalah kisah yang patut menjadi cerminan dan sumber
motivasi. Dia hanya sebentar mendapat sentuhan dan belaian kasih sayang dari
ibunya, namun dia dibesarkan di tengah keluarga terhormat, yang disegani oleh
kaumnya.
Sepeninggal ibunya dia dipelihara oleh kakeknya, Abdul Muttalib
seorang tokoh keagamaan yang dipercaya memegang kunci Ka’bah, selama dua tahun.
Berikutnya sampai beranjak dewasa dia dipelihara oleh pamannya, Abu Talib
seorang pedagang, yang memberinya pengalaman penting sebagai calon pemimpin,
yakni perjalanan dagang ke berbagai negeri sehingga memberinya bekal wawasan
yang luas. Pribadi dan akhlak yang muncul dari dirinya tentu merupakan
perpaduan dari watak yang diwarisinya dari kedua orang tuanya dan
persentuhannya dengan orang-orang di sekitarnya.
Dalam bahasa agama, semua itu adalah
karena kehendak dan bimbingan Allah SWT, yang Maha Pengasih Maha Penyayang,
melebihi kasih sayang seorang pendidik yang terbaik sekalipun. Karena itu
kehilangan seorang ayah atau ibu, bukanlah akhir dari sebuah kehidupan. Meski
terasa berat, kehilangan seorang ayah atau ibu adalah bentuk ujian agar
seseorang bisa menemukan sumber cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya, yang
tidak pernah lapuk, tidak pernah lekang, dan tidak terukur dan terbatasi oleh
dimensi ruang dan waktu, yang abadi, dan tidak fana sebagaimana kasih sayang
seorang ibu di dunia ini.
Kehadiran seorang ibu adalah wasilah dari
cinta Allah SWT. Allah SWT berkehendak menunjukkan keagungan cintaNya, maka
diutuslah seorang ibu. Seorang ibu yang memahami akan esensi ini, maka ia
merasa bahwa kehadirannya adalah amanah dariNya, sehingga ia berusaha
mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya sesuai dengan petunjuk-petunjuk
yang diberikanNya. Dia tidak akan pernah mengharapkan imbal jasa, pamrih, atau
menuntut balas. Dia tidak ingin disanjung dan dipuji karena pemilik segala puji
hanyalah Allah yang menurunkan sifat rahman dan rahimNya itu.
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar