1.
Pengamatan
(Observation)
Observasi
adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan dengan
mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, objektif dan
rasional terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sebagai sasaran
pengamatan.[1]
Alat yang digunakan dalam observasi disebut pedoman observasi
Tujuan utama observasi adalah:
a. Untuk
mengumpulkan data dan inforamsi mengenai suatu fenomena, baik yang berupa
peristiwa maupun tindakan, baik dalam situasi yang sesungguhnya maupun dalam
situasi buatan
b. Untuk mengukur
perilaku kelas (baik perilaku guru maupun peserta didik), interaksi antara
peserta didik dan guru, dan faktor-faktor yang dapat diamati lainnya, terutama
kecakapan sosial (social skill)
Dalam evaluasi
pembelajaran, observasi dapat digunakan untuk menilai proses dan hasil belajar
peserta didik pada waktu belajar belajar, berdiskusi, mengerjakan tugas, dan
lain-lain. Selain itu, observasi juga dapat digunakan untuk menilai penampilan
guru dalam mengajar, suasana kelas, hubungan sosial sesama, hubungan sosial
sesama peserta didik, hubungan guru dengan peserta didik, dan perilaku sosial
lainnya
Observasi mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:
1) Mempunyai arah
dan tujuan yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan observasi
tidak menyimpang dari permasalahan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya
evaluator harus menggunakan alat yang disebut dengan pedoman observasi.
2) Bersifat
ilmiah, yaitu dilakukan secara sistematis, logis, kritis, objektif, dan
rasional.
3) Terdapat
berbagai aspek yang akan diobservasi.
4) Praktis
penggunaannya.
Dilihat dari
kerangka kerjanya, observasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a) Observasi
berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai observer telah ditetapkan
terlebih dahulu berdasarkan kerangka kerja yang berisi faktor yang telah diatur
kategorisasinya. Isi dan luas materi observasi telah ditetapkan dan dibatasi
dengan jelas dan tegas.
b) Observasi tak
berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai obeserver tidak dibatasi oleh
suatu kerangka kerja yang pasti. Kegiatan obeservasi hanya dibatasi oleh tujuan
observasi itu sendiri.
Apabila dilihat
dari teknis pelaksaannya, observasi dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu:
1) Observasi
langsung, observasi yang dilakukan secara langsung terhadap objek yang
diselidiki.
2) Observasi tak
langsung, yaitu observasi yang dilakukan melalui perantara, baik teknik maupun
alat tertentu.
3) Observasi
partisipasi, yaitu observasi yang dilakukan dengan cara ikut ambil bagian atau
melibatkan diri dalam situasi objek yang diteliti.
Adapaun langkah-langkah
penyusunan pedoman observasi adalah sebagai berikut:
a) Merumuskan
tujuan observasi
b) Membuat lay-out
atau kisi-kisi observasi
c) Menyusun
pedoman observasi
d) Menyusun
aspek-aspek yang akan diobservasi, baik yang berkenaan proses belajar peserta
didik dan kepribadiaanya maupun penampilan guru dalam pembelajaran
e) Melakukan uji
coba pedoman observasi untuk melihat kelemahan-kelemahan pedoman observasi
f) Merifisi
pedoman obsevasi berdasarkan hasil uji coba
g) Melaksanakan
observasi pada saat kegiatan berlangsung
h) Mengolah dan
menafsirkan hasil observasi.[2]
Proses penilaian dengan observasi
banyak digunakan. Hal ini dikarenakan observasi penggunaannya praktis. Selain
itu observasi bersifat ilmiah, yaitu dilakukan secara sistematis, logis,
kritis, objektif, dan rasional. Karakteristik lain dari observasi yang menjadi
daya tarik tersendiri yaitu observasi mempunyai arah dan tujuan yang jelas.
2. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah komunikasi langsung antara yang
mewancarai dan yang diwancarai.[3] Secara umum, yang dimaksud dengan wawancara adalah
cara menghimpun bahan keterangan yang dikakukan dengan melakukan tanya jawab
lisan secara sepihak, berhadapan muka dan dengan arah serta tujuan yang telah
ditentukan.
Ada dua jenis
wawancara yang dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi, yaitu:
a. Wawancara
terpimpin (guided interview), yang juga sering dikenal dengan istilah
wawancara berstruktur (structured interview) atau wawancara sistematis (systematic
interview), yaitu wawancara yang dilakukan oleh evaluator dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu. Jadi, dalam hal ini
responden pada waktu menjawab pertanyaan tinggal memilih jawaban yang sudah
disediakan oleh evaluator.[4]
b. Wawncara tidak
terpimpin (un-guided interview), yang sering dikenal dengan istlah
wawancara sederhana (simple interview) atau wawancara tidak sistematis (non-systematic
interview) atau wawancara bebas, diamana responden mempunyai kebebasan
untuk mengutarakan pendapatnya, tanpa dibatasi oleh patokan-patokan yang telah dibuat
oleh evaluator. Dalam wawancara bebas, pewancara selaku evaluator mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik atau orang tuanya tanpa dikendalikan
oleh pedoman tertentu, mereka dengan bebas mengemukakan jawabannya. Hanya saja
pada saat menganilis dan menarik kesimpulan hasil wawancara bebas ini evaluator
akan dihadapkan kesulitan-kesulitan, terutama apabila jawaban mereka beraneka
ragam. Mengingat bahwa daya ingat manusia itu dibatasi ruang dan waktu, maka
sebaiknya hasil wawancara itu dicatat seketika.[5]
Adapun tujuan dari
dilakukannya wawancara adalah sebagai berikut:
1) Untuk
memperoleh informasi secara langsung guna menjelaskan suatu hal atau situasi
dan kondisi tertentu
2) Untuk
melengkapi suatu penyelidikan ilmiah
3) Untuk
memperoleh data agar dapat mempengaruhi situasi atau orang tertentu
Dalam wawancara terdapat kelebihan dan kelemahan.
Diantara kelebihannya adalah:
a) Pewancara
sebagai evaluator (dalam hal ini guru, dosen dan lain-lain) dapat berkomunikasi
secara langsung, dengan peserta didik, sehingga informasi yang diperoleh dapat
diketahui objektivitasnya, juga dapat diperoleh hasil penilaian yang lebih
lengkap dan mendalam
b) Pelaksanaan
wawancara lebih fleksibel, dinamis, dan personal
c) Data dapat
diperoleh baik dalam bentuk kualitatif maupun kuantitatif
d) Dapat
memperbaiki proses dan hasil belajar
Sedang di antara kelemahan dari wawancara:
1) Jika jumlah
peserta didik cukup banyak, maka proses wawancara banyak menggunakan waktu,
tenaga, dan biaya
2) Adakalanya
wawancara terjadi berlarut-larut tanpa arah, sehingga data kurang dapat
memenuhi apa yang diharapkan
3) Sering timbul
sikap kurang baik dari peserta didik yang diwancarai dan sikap overaction dari
guru sebagai pewawancara, karena itu perlu adanya adaptasi diri antara
pewancara dengan orang yang diwawancarai.[6]
3. Angket (Questionnare)
Angket juga
dapat digunakan sebagai alat bantu dalam rangka penilaian hasil belajar.
Berbeda dengan wawancara, dimana penilai (evaluator) berhadapan secara langsung
(face to face) dengan peserta didik atau dengan pihak lainnya, maka
dengan menggunakan angket, pnegumpulan data sebagai bahan penilai hasil belajar
jauh lebih praktis, menghemat waktu dan tenaga. Hanya saja, jawaban yang
diberikan seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang sebanarnya.[7]
Ditinjau dari segi yang memberikan jawaban, angket dibedakan menjadi 2
macam:
a. Angket
langsung
b. Angket tidak
langsung
Sedangkan kalau ditinjau dari segi cara memberikan jawaban, angket
dibedakan menjadi 2 macam:
1) Angket
tertutup
2) Angket
terbuka
Adapu kalau titinjau dari strukturnya, angket
dibedakan menjadi 2 macam:
a)
Angket terstruktur
b)
Angket tidak terstruktur
Sedang cara untuk pengembangan angket dapt dilakukan dengan cara
beberapa poin di bawah ini:
i.
Merumuskan tujuan
ii.
Merumuskan kegiatan
iii.
Menyusun langkah-langkah
iv.
Menyusun kisi-kisi
v.
Menyusun panduan angket
vi.
Menyusun alat penilaian
[1] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran:
Prinsip, Teknik, Prosedur, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 158
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik
dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta),
hlm. 220
[6] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik,
Prosedur, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar