Evaluasi non-tes merupakan penilaian atau evaluasi
hasil belajar peserta didik yang dilakukan dengan tanpa ”menguji” peserta
didik, melainkan dilakukan dengan menggunakan pengamatan secara sistematis (observation),
melakukan wawancara (interview), menyebarkan angket (questionnaire)
dan memeriksa atau meniliti dokumen-dokumen (documentary analysis).[1]
Instrument untuk memperoleh hasil belajar non-tes terutama
dilakukan untuk mengukur hasil belajar yang berkenaan dengan soft skill,
terutama yang berhubungan dengan apa yang dapat dibuat atau dikerjakan oleh
peserta didik dari apa yang diketahui atau dipahaminya. Dengan kata
lain, instrument seperti itu terutama berhubungan dengan penampilan yang dapat
diamati dari pada pengetahuan dan proses mental lainnya yang tidak dapat
diamati dengan panca indra.
Selain itu,
instrument seperti ini memang merupakan satu kesatuan dengan instrument
lainnya, karena tes pada umumnya mengukur apa yang diketahui, dipahami atau
yang dapat dikuasai oleh peserta didik dalam tingkatan proses mental yang lebih
tinggi. Akan tetapi, belum ada jaminan bahwa mereka memiliki mental itu dalam
mendemonstrasikan dalam tingkah lakunya. Dengan demikian, instrument non-tes
merupakan bagian dari alat ukur hasil peserta didik.[2]
Sedangkan Menurut Widiyoko, (2009)[3]
teknik evaluasi non tes biasanya digunakan untuk mengukur hasil belajar yang
berkenaan dengan soft skill, terutama
yang berhubungan dengan apa yang dapat dibuat atau dikerjakan oleh peserta
didik. Hal tersebut diperoleh dari hasil pemahaman yang mereka dapatkan selama
proes pembelajaran berlangsung. Dengan kata lain, instrument ini berhubungan
dengan penampilan yang dapat diamati, dari pada pengetahuan dan proses mental
lainnya yang tidak dapat diamati dengan panca indra.
Jadi dari pendapat ahli diatas dapat dipahami bahwa teknik
pengukuran serta penilaian yang menggunakan non tes akan memberikan gambaran
tentang proses pengetahuan seta proses
mental yang terdapat di dalam diri siswa. Kebanyakan seorang guru mengabaikan
proses mental ini. Hal tersebut dikarenakan para guru menganggap bahwa
ketuntasan siswa dalam pembelajaran itu hanya berdasarkan atas kemampuan
kognitif, sehingga proses mental kurang diperhatikan.
[1] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 76
[2], Widoyoko,S. Eko Putra., Evaluasi Program Pembelajaran:
Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Didik, (Yogyakarta: Pustaka Belajar:
2009), hlm. 104
[3] Widoyoko,S. Eko Putra. Evaluasi Program Pembelajaran:
Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Didik………………….. hlm 105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar