Ikhlas
Salah satu contoh sifat terpuji yang telah
termaktub dalam al Qur’an ialah sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), ikhlas dapat diartikan sebagai hati yang bersih atau hati
yang tulus. Ikhlas merupakan sebuah pangkal dan puncak dari segala tujuan.
Dalam kata ikhlas terdapat sebuah kondisi di mana seseorang dapat mengosongkan
diri dari berbagai kehendak dan keinginan yang dimiliki serta mengabaikan
segala amal yang telah dilakukan.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut
bahasa ialah bersih dari kotoran. Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan
ialah orang yang benar-benar menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa
menyekutukan-Nya. Dalam hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya sebagai
bagian dari riya’ maupun sum’ah.
Sedangkan menurut istilah, ikhlas dapat
diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha Allah
semata dalam menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan memurnikan niatnya
dari hal-hal yang dapat merusak niat itu sendiri. Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani
manusia, yang dalam hati nurani itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat
ialah sebagai sebuah pengikat amal yang di sana amal seseorang dipertaruhkan.
Bagi mereka yang mengabaikan kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk
mendapatkan kesia-siaan dari amalnya.
Karena ikhlas ialah melakukan amalan
dengan niat yang murni hanya untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak
lagi mengharap balasan kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang
tidak lagi memiliki rasa ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh
pujian, merasa istimewa, merasa lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan
pentingnya pemupukan sifat ikhlas tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa
firman-Nya sebagai berikut: - Surah Ghafir (QS.40: 14)
Artinya:
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepadaNya,
meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.
- Kajian Tafsir
a. Tafsir
Jalalain
Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari memurnikan
(mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan agama Allah dari segala
macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai keikhlasan ibadah
kalian kepada Allah SWT.
b.Tafsir Ibnu
Katsir Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir
dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan
(mengikhlaskan) penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang
kafir maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal
ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits yang
relevan, diantaranya ialah:
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni
Urwah ibnuz Zubair), dari Abuz Zubair alias Muhammad ibnu Muslim seorang guru
di Mekah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnuz Zubair selalu mengucapkan doa
berikut seusai dalam salatnya, yaitu: Tidak ada Tuhan selain Allah semata,
tiada sekutu bagi-Nya, bagiNya kerajaan dan bagiNya segala puji, dan Dia
Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah
selain kepada-Nya, milik-Nyalah semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik.
Tidak ada Tuhan selain Allah, (kami nyatakan ini dengan) memurnikan penyembahan
hanya kepada-Nya, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). Lalu Ibnuz
Zubair mengatakan bahwa Rasulullah Saw selalu mengucapkan doa tersebut setiap
usai salatnya. Di dalam kitab sahih
disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa Rasulullah Saw. setiap usai mengerjakan
salat fardunya mengucapkan doa berikut:
“Tidak ada Tuhan selain Allah semata,
tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah
Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak
menyembah selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia, dan pujian yang
baik. Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan ketaatan kepada-Nya,
meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya)”.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ar-Rabi', telah menceritakan kepada kami Al-Khasib
ibnu Nasih, telah menceritakan kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam
ibnu Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan
diperkenankan.
Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan doa dari
orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk. Berdasarkan beberapa penafsiran di
atas, dapat difahami bahwa islam telah mengajarkan konsep keikhlasan melalui
firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kemurnian hati, niat dan
amalan hanya mengharap ridla Allah SWT. Dengan hadirnya keikhlasan dalam
menjalankan setiap amalan, maka seorang tidak akan lagi menghiraukan apapun
yang mungkin akan mempengaruhi keikhlasannya tersebut, seperti tanggapan,
komentar mapun tindakan orang lain yang mungkin tidak menyukainya.
- Surat
Gahfir SQ 40: 65 Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya sifat ikhlas yang kedua
ialah ayat ke 65 pada Surah Ghafir yang berbunyi:
Artinya: Dialah Yang hidup kekal, tiada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan
memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
-
Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini
ditafsirkan dengan makna: (Dialah Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia,
maka serulah Dia) sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari
kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)
Berdasarkan teks di atas, dapat
ditafsirkan bahwa Allah merupakan satu-satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah
menjadi sebuah keharusan bagi seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya
kepada-Nya dengan segala ketulusan.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Selanjutnya, ayat ini
juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan menafsirkan beberapa penggal ayat
terlebih dahulu, barulah kemudian penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun
penafsiran berdasarkan penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam
kitab Tafsir Ibnu Katsir ialah sebagai berikut: Dialah Yang hidup kekal, tiada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65)
Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali
dan selama-lamanya, Dia tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang
Terakhir, dan Yang Maha lahir lagi Maha batin. Tiada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65) Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan
bagi-Nya.
“maka sembahlah Dia dengan memurnikan
ibadah kepada-Nya”. (Ghafir: 65) dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada
Tuhan yang wajib disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam. Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa dalam
mengucapkan kalimat “Tiada Tuhan (yang waib disembah) selain Allah” hendaklah
seseorang tersebut mengikutinya dengan kalimat “Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam”. Beberapa ulama’ tersebut diantaranya ialah Ibnu Jarir dan Abu
Usamah. Hal ini sejalan dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui Hisyam Ibnu Urwah, Hajjaj ibnu Abu Usman
dan Musa ibnu Uqbah; ketiga-tiganya dari Abuz Zubair, dari Abdullah ibnuz
Zubair yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. selalu mengucapkan doa
berikut seusai tiap salatnya, yaitu:
“Tidak
ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya”
Berdasarkan penafsiran dari ayat di atas, dapat difahami bahwa keikhlasan dalam
beribadah dan beramal berarti memurnikan ibadah dan amalan kita hanya untuk
Allah semata, dengan meng-Esakan-Nya dan tanpa menyekutukannya.
- Surat Al A’raf ayat 29
Ayat ketiga yang
menjelaskan tentang keikhlasan ialah ayat ke 29 surah Al A’raf yang berbunyi:
Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan
keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap
sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya.
Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu
akan kembali kepada-Nya)".
- Kajian Tafsir
1. Tafsir
Jalalain
Dalam
tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut: (Katakanlah,
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu perbuatan yang adil.
(Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada lafal bil qisthi, yang
artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan luruskanlah dirimu."
Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan menyimpan taqdir yakni:
Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di setiap salatmu) ikhlaslah kamu
kepada-Nya di dalam sujudmu (dan sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya
(dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan.
(Sebagaimana Dia menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah
merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya Dia akan
mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup kembali.
Berdasarkan
penafsiran di atas, kata “mengikhlaskan ketaan kepada-Nya” diartikan sebagai
kondisi di mana seorang hamba hendaknya hanya menujukan ibadahnya untuk Allah
semata dan bukan untuk yang lainnya. Memurnikan ibadah hanya kepada Allah bukan
kepada yang lainnya.
2. Tafsir
Al Mishbah
Dalam
kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki penafsiran
sebagai berikut: Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah.
Katakanlah, "Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia
menyuruh kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia
juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masingmasing kalian
akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia menciptakan kalian
dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa, kalian akan dikembalikan
kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan semua nikmat yang ada di sekeliling
kalian."
c. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam
tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang berbunyi:
Yang
berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” ini ditafsirkan
bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan berada pada jalan yang
lurus dalam segala perkara.
Selanjutnya,
pada potongan ayat 29 yang kedua, yang berbunyi:
Yang
berarti: “Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di setiap
salat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian
kepada-Nya”, Dalam kitab tafsir Ibnu
Katsir potongan ayat ini ditafsirkan dengan penjelasan sebagai berikut:
“Allah
memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan
mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizatmukjizat dalam menyampaikan
apa yang mereka terima dari Allah dan syariat-syariat yang mereka datangkan.
Allah memerintahkan kepada kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya.
Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam
amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan secara
benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal dikerjakan dengan
ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”
Selanjutnya,
potongan ayat 29 yang terakhir yang berbunyi:
Yang
berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian
pula) kalian akan kembali (kepada-Nya) Makna
penggalan ayat ini masih diperselisihkan.
Menurut Ibnu Abu Nujaih melalui
riwayatnya dari Mujahid menyebutkan bahwa makna firman-Nya: Sebagaimana Dia
telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali
(kepada-Nya). (Al-A'raf: 29) ialah, kelak Allah akan menghidupkan kalian
sesudah kalian mati.
Adapun menurut Al-Hasan Al-Basri, penggalan ayat di atas
memiliki makna “sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini,
demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat dalam keadaan
hidup”. Selanjutnya Qatadah mengatakan bahwa Firman Allah tersebut dimaknai
dengan penjelasan bahwa “Allah memulai penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan
mereka. Sebelum itu mereka tidak ada, kemudian mereka mati, lalu Allah
mengembalikan mereka dalam keadaan hidup”.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi
mengatakan bahwa penggalan ayat tersebut memiliki makna bahwa “barang siapa
yang sejak semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan
menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya semula sejak permulaan kejadiannya, sekalipun
ia mengamalkan amalan ahli kebahagiaan (ahli surga). Barang siapa yang sejak
semula ditakdirkan bahagia oleh Allah, maka ia akan dikembalikan kepada apa
yang telah ditakdirkan untuknya sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan
orang-orang yang celaka (penghuni neraka).
Sebagaimana para ahli sihir
mengamalkan amalan orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan
menjadi orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.” As Saddi mengatakan, bahwa makna dari
penggalan ayat tersebut ialah “sebagaimana Kami menciptakan kalian; sebagian
dari kalian ada yang mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang
disesatkan. Maka demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian
pulalah keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.”
Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini
dikaitkan secara erat dengan syarat diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT.
Syarat dari diterimanya sebuah amal ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi
rukun-rukunnya serta dilaksanakan dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridla
Allah semata, tanpa penyekutuan sedikitpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar