Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 29 Juni 2019

IKHLAS DALAM ILMU AL-QUR'AN


Ikhlas


Salah satu contoh sifat terpuji yang telah termaktub dalam al Qur’an ialah sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas dapat diartikan sebagai hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas merupakan sebuah pangkal dan puncak dari segala tujuan. Dalam kata ikhlas terdapat sebuah kondisi di mana seseorang dapat mengosongkan diri dari berbagai kehendak dan keinginan yang dimiliki serta mengabaikan segala amal yang telah dilakukan. 


Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut bahasa ialah bersih dari kotoran. Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan ialah orang yang benar-benar menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa menyekutukan-Nya. Dalam hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya sebagai bagian dari riya’ maupun sum’ah. 


Sedangkan menurut istilah, ikhlas dapat diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha Allah semata dalam menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan memurnikan niatnya dari hal-hal yang dapat merusak niat itu sendiri.  Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani manusia, yang dalam hati nurani itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat ialah sebagai sebuah pengikat amal yang di sana amal seseorang dipertaruhkan. Bagi mereka yang mengabaikan kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk mendapatkan kesia-siaan dari amalnya. 


Karena ikhlas ialah melakukan amalan dengan niat yang murni hanya untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak lagi mengharap balasan kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang tidak lagi memiliki rasa ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh pujian, merasa istimewa, merasa lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan pentingnya pemupukan sifat ikhlas tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa firman-Nya sebagai berikut: - Surah Ghafir (QS.40: 14)


Artinya:  Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya. 

- Kajian Tafsir 

a. Tafsir Jalalain 

Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan agama Allah dari segala macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai keikhlasan ibadah kalian kepada Allah SWT. 


b.Tafsir Ibnu 

Katsir Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan) penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang kafir maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits yang relevan, diantaranya ialah:

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Urwah ibnuz Zubair), dari Abuz Zubair alias Muhammad ibnu Muslim seorang guru di Mekah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnuz Zubair selalu mengucapkan doa berikut seusai dalam salatnya, yaitu: Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagiNya kerajaan dan bagiNya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya, milik-Nyalah semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah, (kami nyatakan ini dengan) memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). Lalu Ibnuz Zubair mengatakan bahwa Rasulullah Saw selalu mengucapkan doa tersebut setiap usai salatnya.  Di dalam kitab sahih disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa Rasulullah Saw. setiap usai mengerjakan salat fardunya mengucapkan doa berikut:


“Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan ketaatan kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya)”.


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi', telah menceritakan kepada kami Al-Khasib ibnu Nasih, telah menceritakan kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam ibnu Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan diperkenankan. 


Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan doa dari orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk. Berdasarkan beberapa penafsiran di atas, dapat difahami bahwa islam telah mengajarkan konsep keikhlasan melalui firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kemurnian hati, niat dan amalan hanya mengharap ridla Allah SWT. Dengan hadirnya keikhlasan dalam menjalankan setiap amalan, maka seorang tidak akan lagi menghiraukan apapun yang mungkin akan mempengaruhi keikhlasannya tersebut, seperti tanggapan, komentar mapun tindakan orang lain yang mungkin tidak menyukainya. 

- Surat Gahfir SQ 40: 65 Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya sifat ikhlas yang kedua ialah ayat ke 65 pada Surah Ghafir yang berbunyi:


Artinya: Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. 

- Kajian Tafsir 

a. Tafsir Jalalain 

Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan dengan makna: (Dialah Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia, maka serulah Dia) sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)

Berdasarkan teks di atas, dapat ditafsirkan bahwa Allah merupakan satu-satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah menjadi sebuah keharusan bagi seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya kepada-Nya dengan segala ketulusan. 

b. Tafsir Ibnu Katsir 

Selanjutnya, ayat ini juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan menafsirkan beberapa penggal ayat terlebih dahulu, barulah kemudian penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun penafsiran berdasarkan penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir ialah sebagai berikut: Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65) 

Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang Maha lahir lagi Maha batin. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65) Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya.


“maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya”. (Ghafir: 65) dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa dalam mengucapkan kalimat “Tiada Tuhan (yang waib disembah) selain Allah” hendaklah seseorang tersebut mengikutinya dengan kalimat “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. Beberapa ulama’ tersebut diantaranya ialah Ibnu Jarir dan Abu Usamah. Hal ini sejalan dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui Hisyam Ibnu Urwah, Hajjaj ibnu Abu Usman dan Musa ibnu Uqbah; ketiga-tiganya dari Abuz Zubair, dari Abdullah ibnuz Zubair yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. selalu mengucapkan doa berikut seusai tiap salatnya, yaitu:

 “Tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya” Berdasarkan penafsiran dari ayat di atas, dapat difahami bahwa keikhlasan dalam beribadah dan beramal berarti memurnikan ibadah dan amalan kita hanya untuk Allah semata, dengan meng-Esakan-Nya dan tanpa menyekutukannya.  

- Surat Al A’raf ayat 29 

Ayat ketiga yang menjelaskan tentang keikhlasan ialah ayat ke 29 surah Al A’raf yang berbunyi:

Katakanlah:  "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepada-Nya)". 

- Kajian Tafsir

1.  Tafsir Jalalain

Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut: (Katakanlah, "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu perbuatan yang adil. (Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada lafal bil qisthi, yang artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan luruskanlah dirimu." Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan menyimpan taqdir yakni: Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di setiap salatmu) ikhlaslah kamu kepada-Nya di dalam sujudmu (dan sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya (dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan. (Sebagaimana Dia menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup kembali. 
Berdasarkan penafsiran di atas, kata “mengikhlaskan ketaan kepada-Nya” diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hendaknya hanya menujukan ibadahnya untuk Allah semata dan bukan untuk yang lainnya. Memurnikan ibadah hanya kepada Allah bukan kepada yang lainnya.

2.  Tafsir Al Mishbah

Dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki penafsiran sebagai berikut: Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah. Katakanlah, "Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia menyuruh kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masingmasing kalian akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia menciptakan kalian dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa, kalian akan dikembalikan kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan semua nikmat yang ada di sekeliling kalian."

c. Tafsir Ibnu Katsir

Dalam tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang berbunyi:

Yang berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” ini ditafsirkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan berada pada jalan yang lurus dalam segala perkara. 

Selanjutnya, pada potongan ayat 29 yang kedua, yang berbunyi:

Yang berarti: “Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di setiap salat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya”,  Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir potongan ayat ini ditafsirkan dengan penjelasan sebagai berikut:


“Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizatmukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.” 


Selanjutnya, potongan ayat 29 yang terakhir yang berbunyi: 

Yang berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pula) kalian akan kembali (kepada-Nya) Makna penggalan ayat ini masih diperselisihkan. 

Menurut Ibnu Abu Nujaih melalui riwayatnya dari Mujahid menyebutkan bahwa makna firman-Nya: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali (kepada-Nya). (Al-A'raf: 29) ialah, kelak Allah akan menghidupkan kalian sesudah kalian mati. 

Adapun menurut Al-Hasan Al-Basri, penggalan ayat di atas memiliki makna “sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini, demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat dalam keadaan hidup”. Selanjutnya Qatadah mengatakan bahwa Firman Allah tersebut dimaknai dengan penjelasan bahwa “Allah memulai penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan mereka. Sebelum itu mereka tidak ada, kemudian mereka mati, lalu Allah mengembalikan mereka dalam keadaan hidup”. 

Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa penggalan ayat tersebut memiliki makna bahwa “barang siapa yang sejak semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya semula sejak permulaan kejadiannya, sekalipun ia mengamalkan amalan ahli kebahagiaan (ahli surga). Barang siapa yang sejak semula ditakdirkan bahagia oleh Allah, maka ia akan dikembalikan kepada apa yang telah ditakdirkan untuknya sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan orang-orang yang celaka (penghuni neraka). 

Sebagaimana para ahli sihir mengamalkan amalan orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan menjadi orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.”  As Saddi mengatakan, bahwa makna dari penggalan ayat tersebut ialah “sebagaimana Kami menciptakan kalian; sebagian dari kalian ada yang mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang disesatkan. Maka demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian pulalah keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.” 


Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini dikaitkan secara erat dengan syarat diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT. Syarat dari diterimanya sebuah amal ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi rukun-rukunnya serta dilaksanakan dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridla Allah semata, tanpa penyekutuan sedikitpun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar