Fungsi
Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Setelah anda mempelajari hadis-hadis dan
ayat-ayat al-Qur’an di atas, anda dapat menyimpulkan bahwa hadis-hadis itu
memperkuat ayat-ayat al-Qur’an yang membahas persoalan yang sama. Demikianlah
memang hadis memiliki beberapa fungsi bila dikaitkan dengan al-Qur’an. Untuk
memperkaya wawasan anda dalam hal ini, anda akan diajak memehami fungsi Hadis
terhadap al-Qur’an. Secara umum fungsi hadis adalah sebagai penjelas (bayân)
terhadap makna al-Qur’an yang umum, global dan mutlak. Sebagaimana firman Allah
swt dalam Surah al-Nahl/16 :
Yang artinya “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”, 12 Secara lebih rinci fungsi penjelasan
(bayân) Hadis terhadap al-Qur’an, dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Bayân Taqrîr
Posisi
Hadis sebagai penguat (taqrîr/ta’kid) keterangan al-Qur’an. Artinya Hadis
menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-Qur’an, sepert Hadis tentang shalat,
zakat, puasa, dan haji. Begitu juga hadis-hadis tentang kepedulian terhadap
anak yatim yang sudah diuraikan di atas menjadi penguat terhadap ayatayat
al-Qur’an yang membahas hal yang sama.
b.
Bayân Tafsîr Hadis sebagai penjelas
(tafsîr) terhadap al-Qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak pada umumnya.
Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai berikut :
1. Tafsîl
al-Mujmal
Hadis memberi penjelasan secara terperinci
pada ayat-ayat al-Qur’an yang masih global (tafsîl al-mujmal= memperinci yang
gelobal), baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama
menyebutnya bayân tafshîl atau bayân tafsîr. Misalnya perintah shalat pada
beberapa ayat dalam al-Qur’an hanya diterangkan secara global “dirikanlah
shalat” tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari
semalam, berapa raka`at, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya.
Perincian itu adanya dalam Hadis Nabi, misalnya sabda Nabi saw : “Shalatlah
sebagaimana engkau melihat aku shalat “. (HR. al-Bukhari) Dalam masalah haji
al-Qur’an hanya menjelaskan secara gelobal, rinciannya dijelaskan Hadis, Nabi
bersabda : ك َس ِاَمنَ وا هخذه " " ِلتَأ هك م “Ambilah (dari padaku)
ibadah hajjimu “. (HR. Muslim)
2. Takhshîsh
al-`Amm
Hadis mengkhususkan (mengecualikan)
ayat-ayat al-Qur’an yang umum, sebagian ulama menyebut bayân takhshîsh.
Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam QS. Al-Nisa’/4: 10 “ Allah
mensyari`atkan bagi mu tentang (bagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang perempuan…”
Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli waris,
baik anak-lelaki, anak perempuan, satu, dan atau banyak, orang tua (bapak dan
ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara atau tidak ada dan
seterusnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian dikhususkan
(takhsîsh) dengan Hadis Nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan para
Nabi, berlainan agama, dan pembunuh.
3. Taqyîd
al-Muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat
al-Qur’an. Artinya al-Qur’an keterangannya secara mutlak, kemudian ditakhshish
dengan Hadis yang khusus. Sebagian ulama menyebut bayân taqyîd. Misalnya firman
Allah dalam QS. Al-Mâidah : 38
Yang artinya “Pencuri lelaki dan pencuri perempuan,
maka potonglah tangan-tangan mereka…” Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di
atas secara mutlak nama tangan tanpa dijelaskan batas tangan yang harus
dipotong apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan mutlak
meliputi hasta dari bahu pundak, lengan, dan sampai telapak tangan. Kemudian
pembatasan itu baharu dijelaskan dengan Hadis ketika ada seorang pencuri
tertangkap dan didatangkan ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan
pemotongan tangan, maka Nabi memerintahkan agar percuri tersebut dipotong pada
pergelangan tangan.
c.
Bayân Tasyrî`î
Hadis
menciptakan hukum syari`at (tasyri`) yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an. Para
ulama berbeda pendapat tentang fungsi Sunah sebagai dalil pada sesuatu hal yang
tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Mayoritas mereka berpendapat bahwa Sunah
berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa Sunah
menetapkan dalil yang terkandung atau tersirat secara implisit dalam teks
al-Qur’an.
Misalnya
keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap binatang yang
bertelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibik dan paman
wanitanya. Hadis tasyri` diterima oleh para ulama karena kapasitas Hadis juga
sebagai wahyu dari Allah swt yang menyatu dengan al-Qur’an, hakekatnya ia juga
merupakan penjelasan secara implisit dalam al-Qur’an.
Jelasnya, hubungan antara
Hadis dan al-Qur’an sangat integral keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan lainnya, karena keduanya berdasrkan wahyu yang datang dari Allah swt
kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya, hanya proses penyampaiannya
dan periwayatannya yang berbeda. Sunnah mempunyai peran yang utama yakni
menjelaskan al-Qur’an baik secara eksplisit atau implisit, sehingga tidak ada
istilah kontra antara satu dengan lain.
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar