Epistemologi Ilmu
Secara
etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Yaitu Episteme dan logos.
Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan
sistematik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah pengetahuan
sistematik tentang pengetahuan.[1]
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat
dua cabang filsafat, yakni epistemology dan Ontology (on = being, wujud, apa + logos
=
teori), ontology (teori tentang apa). Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses
kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat
pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah.
Adapun yang tergolong ilmiah ialah
yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi
pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa,
sehingga memenuhi
asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis.
Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau
validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.[2]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan
salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah
hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemology
merupakan disiplin
filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.
Sedangkan pengetahuan yang tidak ilmiah adalah masih tergolong prailmiah. Dalam
hal ini,
berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau
di luar kesadaran, seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Dengan
kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas
prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian
diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.[3]
Filsafat Bacon mempunyai peran penting
dalam metode induksi dan sistematisasi prosedur ilmiah menurut Russel, dasar
filsafatnya sepenuhnya bersifat praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada
manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah.
Bacon mengritik filsafat Yunani
yang menurutnya lebih menekankan perenungan dan akibatnya tidak mempunyai
praktis bagi kehidupan manusia. la menyatakan, "The great mistake of Greek philosophers was that they spent so much time in
theory, so little in observation ".[4]
Karena itu, usaha yang ia lakukan pertama kali adalah menegaskan tujuan
pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan dan tidak akan bermakna kecuali ia mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia meraih kehidupan yang
lebih baik,
"Knowledge is power, it is
not opinion to be held, but a work to be done, 1 am laboring to lay the
fondation not of any sector, of doctrine, but of utility and power".[5]
Sikap khas Bacon mengenai ciri dan tugas
filsafat tampak paling mencolok dalam Novum Organum. Pengetahuan dan kuasa manusia
didekatkannya satu sama lain, menurutnya, alam tidak
dapat dikuasai kecuali dengan jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam,
manusia perlu mengenalnya terlebih dahulu dan untuk mengetahui alam diperlukan
observasi, pengukuran, penjelasan, dan pembuktian.[6]
[1] Imam Wahyudi. Pengantar
Epistemologi. (Yogyakarta: Faisal Foundation, Badan Penerbit Filsafat UGM,
2007). Hlm. 1
[2] Ibid. Imam Wahyudi. Hlm. 3
[3]
Idzam Fautanu. Filsafat Ilmu. (Jakarta: Referensi, 2012). Hlm. 163
[4] Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu,
(Jakarta: Gramedia, 1991). Hlm. 137.
[5]
Amsal Bakhtiar.
Filsafat Ilmu. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013). Cet 12. Hlm. 150
[6] Endang
Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985).
Hlm. 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar