Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 14 Juni 2019

EPISTEMOLOGI ILMU DAN BAHASANNYA


Epistemologi Ilmu
Secara etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Yaitu Episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan.[1] 

Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat, yakni epistemology dan Ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. 

Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.[2]

Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemology merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan. 

Sedangkan pengetahuan yang tidak ilmiah adalah masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini, berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran, seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). 

Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.[3]

Filsafat Bacon mempunyai peran penting dalam metode induksi dan sistematisasi prosedur ilmiah menurut Russel, dasar filsafatnya sepenuhnya bersifat praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah. 

Bacon mengritik filsafat Yunani yang menurutnya lebih menekankan perenungan dan akibatnya tidak mempunyai praktis bagi kehidupan manusia. la menyatakan, "The great mistake of Greek philosophers was that they spent so much time in theory, so little in observation ".[4]
Karena itu, usaha yang ia lakukan pertama kali adalah menegaskan tujuan pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan dan tidak akan bermakna kecuali ia mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia meraih kehidupan yang lebih baik, 

 "Knowledge is power, it is not opinion to be held, but a work to be done, 1 am laboring to lay the fondation not of any sector, of doctrine, but of utility and power".[5]

Sikap khas Bacon mengenai ciri dan tugas filsafat tampak paling mencolok dalam Novum Organum. Pengetahuan dan kuasa manusia didekatkannya satu sama lain, menurutnya, alam tidak dapat dikuasai kecuali dengan jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam, manusia perlu mengenalnya terlebih dahulu dan untuk mengetahui alam diperlukan observasi, pengukuran, penjelasan, dan pembuktian.[6]


[1] Imam Wahyudi. Pengantar Epistemologi. (Yogyakarta: Faisal Foundation, Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007). Hlm. 1
[2] Ibid. Imam Wahyudi. Hlm. 3
[3] Idzam Fautanu. Filsafat Ilmu. (Jakarta: Referensi, 2012). Hlm. 163
[4] Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah atas Cara Kerja  Ilmu-ilmu, (Jakarta: Gramedia, 1991). Hlm. 137.
[5] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013). Cet 12. Hlm. 150
[6] Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985). Hlm. 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar