Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 10 Juni 2019

Dampak Sisdiknas no 20 terhadap independensi pendidikan


Menurut Henry Giroux dan Aronowitz, Pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Hal ini tercermin dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 yakni, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Sedangkan pendidikan menurut Muhammad athiyah Al-Abrosy yang dikutib oleh Ramayulis, pendidikan islam adalah usaha mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaanya, mahir dalam pekerjaanya, manis tutur katanya baik dengan lisan ataupun tulisan.[1]
Jika kita menyimak definisi pendidikan yang tercantum dalam UU SISDIKNAS, dan ketika dikomparasikan dengan definisi dari ahli pendidikan Islam, maka secara tidak langsung mengartikan bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat.Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Hal ini sesuai dengan paradigma liberal memisahkan masalah masyarakat yakni persoalan ekonomi dan politik dengan proses pendidikan yang ada.
Begitu pula yang tercantum dalam Pasal 3 yang berbunyi, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk  watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk  berkembangnya potensi peserta didik  agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak  mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis  serta bertanggung jawab.
Dalam tataran konsep pendidikan dan idealisme pemerintah memang seperti yang dipaparkan di atas, akan tetapi realitasnya, independensi  pendidikan di Indonesia sering terganggu oleh kepentingan oknum atau pemerintah itu sendiri. Entah sadar atau tidak sadar, terencana ataupun tidak terencana, namun faktalah yang membuktikannya.
Seperti halnya berita yang dilansir oleh Antara yang isi berita tersebut adalah,  Wakil Ketua I Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Budiharjo mengatakan kepentingan politik praktis seharusnya tidak masuk ke dunia pendidikan apalagi sampai menjadi soal dalam ujian nasional (UN). "KPAI menyayangkan adanya soal tentang Gubernur DKI Joko Widodo dalam soal UN.Apalagi diduga soal itu ada kepentingan politik praktis," kata Budiharjo di Jakarta, Selasa.Budi mengatakan soal mengenai tokoh tertentu dalam UN tidak menjadi masalah asalkan komprehensif dan tidak tunggal.Banyak tokoh dalam sejarah Indonesia yang layak masuk dalam soal UN. Masalahnya, kata Budi, soal dalam UN bahasa Indonesia yang diujikan Senin (14/4) hanya mencantumkan tokohJokowi, tidak ada tokoh lain."Kalau walikota atau gubernur terbaik kan Indonesia juga tidak hanya satu. Apalagi momennya juga setelah pemilihan legislatif menjelang pemilihan presiden," tuturnya.[2]
Ini adalah contoh kecil dari busungnya pendidikan di Indonesia, kerikil-kerikil kecil yang mengganggu perputaran roda system pendidikan Indonesia.Masih banyak - terutama di daerah-daerah.Seperti upaya menodai pendidikan melalui intervensi pendidikan seperti proyek berbau politis, ancaman-ancaman terhadap civitas pendidikan, atau maneuver-manuver politik melalui organisasi profesi pendidik. Jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, maka UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 hanya sebatas tulisan tanpa makna. Dan biaya yang dianggarkan dalam proses legislasi UURI no 20 tahun 2003, yang tentunya bermilyar menjadi mubadzir. Dan tujuan pendidikan nasional tidak tercapai disebabkan kepentingan sesaat dan kepentingan para penguasa.


[1] Ramayulis, 1998, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta Pusat: hlm 3-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar