Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 12 Juni 2019

BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH DAN PEMIKIRANNYA


A.    Biografi Muhammad ‘Abduh 

Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh Hasan Khairullah. Tokoh ini akrab dipanggil dengan sebutan muhammad abduh. Ia dilahirkan di sebuah kampung bernama Mahallat Nasr, Syubra Khit, provinsi Al-Bahirah, Mesir pada tahun 1266 H (1849). Ayahnya berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir, sedangkan ibunya adalah orang Arab, yang menurut riwayat, silsilah ibunya sampai pada Umar bin Khattab ra.

Pendidikan Muhammad ‘Abduh di mulai dengan belajar menulis dan membaca di rumah.Setelah beliau hapal kitab suci Al-qur’an pada tahun 1863 ayahnya mengirimnya ke Thamta untuk meluruskan bacaan dan tajwid di masjid al-Ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhammad ‘Abduh kembali ke Mahallat Nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar. Tentang pengalamannya ini ‘Abduh menceritakan: “Satu setengah tahun saya belajar di mesjid Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak  kita untuk menghapal istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak merasa penting apa kita meengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.” Inilah salah satu yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam bidang pendidikan.

Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Tiga tahun kemudian, ketika Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir tahun 1871 M, Muhammad ‘Abduh giat belajar dan mendengar segala ide pembaharuan darinya. ‘Abduh mulai memperluas studinya sampai meliputi ilmu filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani adalah seseorang yang aktif memberikan dorongan kepada murid-murid untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu. ‘Abduh memutar jalur hidupnya dari tasawuf yang bersifat pantang dunia , lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik.

Abduh menyelesaikan studinya pada tahun 1877, dan mengajar pertama kali di Al-Azhar. Puncak karir Muhammad ‘Abduh dalam pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan adalah ketika ia ditugaskan menjadi seorang mufti pertama Mesir. Posisi ini diperolehnya pada 03 Juni 1899 M. 

Beliau meninggal pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan hormat di Kairo dan Alexandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang kepada dirinya. Meskipun ‘Abduh mendapat serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang reformatif, namun Mesir dan Islam merasa kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam spiritualnya.[1]

B.     Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Pendidikan Islam

Mayoritas peneliti sepakat bahwa Muhamamd Abduh adalah seorang reformis atau pembaharu pendidikan Islam. Sebagai seorang reformis, Muhammad ‘Abduh memandang bahwa pendidikan merupakan elemen penting bagi masyarakat Islam untuk kembali mendapatkan martabat yang telah lama hilang. Muhammad ‘Abduh ingin berperan di dalam kebangkitan peradaban umat yang tengah dihantam oleh badai keterbelakangan. Ia melihat bahwa jalan menuju itu adalah “pendidikan”, tetapi bukan setiap pendidikan, melainkan pendidikan yang berasaskan referensi keagamaan Islam.

a.      Pemikirannya tentang Orientasi pembaharuan pendidikan ala Barat 

Kontak kebudayaan antara Mesir dan kebudayaan yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte menimbulkan kesadaraan umat Islam bahwa mereka telah tertinggal jauh dari Eropa. Kesadaran ini menimbulkan berbagai pergerakan pembaharuan dari kalangan umat Islam, salah satu pelopornya adalah Muhammad Ali Pasya.

Setelah Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, ia tidak mengalami kesukaran dalam merealisasikan konsep pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan. Sebagai penguasa Mesir, ia mengirim orang-orang Mesir untuk menuntut ilmu ke Eropa, terutama ke Paris. 

Sementara di Kairo sendiri, didirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah militer, teknik, kedokteran, apoteker, pertanian, dll. Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammad Ali ini berorentasi pada pendidikan Barat, dan jauh dari ruh Islam, karena mengenyampingkan pendidikan Islam. Sementara di Al-Azhar, sebagai benteng pendidikan ke-Islaman, terus bersikeras pada corak tradisionalnya. Realitas ini menyebabkan adanya dualisme pendidikan di Mesir.

Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhammad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah Mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali dan masing-masing berdiri sendiri.
 
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkan para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.

b.      Pemikiran Pembaharuan pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh

Salah satu proyek terbesar Muhammad ‘Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan. 

Muhammad ‘Abduh melihat adanya segi-segi negatif bentuk pemikiran yang muncul dan ia mengkritik kedua corak lembaga pendidikan yang berkembang di Mesir saat itu. ‘Abduh memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern.

Sementara pola fikir yang kedua, Muhammad ‘Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tanpa nilai “religius” merupakan bahaya yang mengancam sendi agama dan moral. Maka muncul Ide untuk menyelaraskan atau memperkecil dualisme pendidikan ini. Ia berupaya untuk menjadikan dua pola pendidikan tersebut dapat saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.

Dalam upayanya membenahi sitem pendidikan terutama di Mesir, Muhammad ‘Abduh mengadopsi pemikiran teman sekaligus mentornya Jamaluddin Al-Afghani. Ia cenderung menggunakan metode –metode yang didasarkan pada filsafat rasionalis. Pendidikan agama yang berkaitan dengan tauhid dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nalar, seperti yang diperolehnya dari Al-Afghani. Hal ini berbeda jauh dengan metode yang sudah mapan dilakukan di Mesir yaitu metode hafalan.

Muhammad ‘Abduh juga tidak segan-segan memasukkan materi pendidikan Barat dalam kurikulum dipadukan dengan pendidikan Islam. Sebagai contoh ; ia memasukkan pelajaran Sejarah Kemajuan Eropa dan Prancis karangan Guizot. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad ‘Abduh dalam kurikulum Al-Azhar diniatkan sebagai contoh bagi perguruan Islam lain di dunia sebab Al-Azhar adalah lambang pendidikan dunia Islam.

Gibb melalui Modern Trends in Islam,[2] menjelaskan bahwa menurut Muhammad ‘Abduh ada empat agenda pembaruan, terutama di bidang pendidikan Islam, yaitu:
1)      Purifikasi : Pemurnian ajaran Islam mendapat perhatian serius dari Muhammad ‘Abduh berkaitan dengan munculnya bid'ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim.

2)      Reformasi : Muhammad ‘Abduh, dalam mereformasi pendidikan tinggi Islam terkonsentrasi pada universitas almamaternya, Al-Azhar. Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu agama untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.

Nurcholish Majid menjelaskan bahwa usaha awal reformasi Muhammad ‘Abduh adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang hilang diharapkan dapat hidup kembali.
3)      Pembelaan Islam: Muhammad ‘Abduh, melalui Risalah Tauhid-nya tetap mempertahankan jati diri Islam. Usahanya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Abduh, terlihat tidak pernah menaruh perhatian pada paham-paham ateis atau anti agama yang marak di Eropa. Ia lebih tertarik untuk memperhatikan serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.

4)      Reformulasi : Agenda ini dilaksanakan Abduh dengan membuka kembali pintu ijtihad. Karena menurutnya, kemunduran umat Islam disebabkan dua faktor: eksternal dan internal, yakni kejumudan umat Islam sendiri. Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, sebenarnya manusia tercipta dalam keadaan tidak terkekang, termasuk dalam hal berpikir.

Langkah yang ditempuh Muhammad ‘Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya menyelaraskan dan menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini dilakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usahanya tersebut, maka didirikanlah suatu lembaga yakni “Majlis Pendidikan Tinggi”.

Dalam pandangan Muhammad ‘Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Dengan membuka pintu ijtihad, kebangunan akal akan dapat ditingkatkan. Ilmu pengetahuan harus dimajukan di kalangan rakyat hingga mereka dapat berlomba dengan masyarakat Barat. Karena jika Islam ditafsirkan sebaik-baiknya dan difahami secara benar, tidak satu pun dalam ajaran Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan.



[1] Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern dalam Islam, alih bahasa Machnun Husein. Cet. III;( Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 80
[2] Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern dalam Islam, alih bahasa Machnun Husein. Cet. III; (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar