A. Biografi Naquib Al-Attas
Nama
lengkap Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib bin Ali bin
Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas. Beliau dilahirkan di Bogor, Jawa
Barat pada tanggal 5 September 1931. Pada waktu itu Indonesia berada dibawah
kolonialisme Belanda.
Bila
dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara
inheren. Sebab dari kedua belah pihak,baik pihak ayah maupun pihak ibu
merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih
keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di
Johor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang
mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.
Pada usia
lima tahun, Syed Muhammad Naquib dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah
Dasar Ngee Hang (1936-1941). Pada masa pendidikan Jepang, dia kembali ke
Jawa untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-‘Urwatu Al-Wutsqa,
Sukabumi (1941-1945). Setelah Perang Dunia II pada 1946, Syed Muhammad Naquib
kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di Bukit
Zahra School kemudian di English College (1946-1951).
Setelah itu, beliau mengikuti
pendidikan militer, pertama di Erron Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal
Millitary Academy, Sandhurst, Inggris. Selain mengikuti pendidikan
militer, Al-Attas juga sering pergi ke Negara-negara Eropa lainnya (terutama
Spanyol) dan Afrika Utara untuk mengunjungi tempat-tempat yang terkenal dengan
tradisi intelektual, seni, dan gaya bangunan keislamannya. Setelah tamat dai
Sandhurst, Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor resimen tentara kerajaan
Malaya. Al-Attas mendapatkan gelar M.A. pada 1962 dari Universitas McGill, Montreal.
Sedangkan gelar Ph.D. diperoleh dari Universitas London 1965.[1]
B. Pemikiran Naquib Al-Attas Tentang
Pendidikan Islam
Syed Muhammad
Naquib al-Attas adalah salah seorang
cendekiawan dan filsuf muslim dari Malaysia yang menguasai teologi,
filsafat, metafisika, sejarah dan literatur. Kepakarannya dalam bidang-bidang
tersebut tidak diragukan lagi dan sudah diakui oleh berbagai
kalangan intelektual. Berikut merupakan sebagian dari
pemikiran-pemikiran yang beliau gagas.[2]
1.
Makna dan
Tujuan Pendidikan
Makna dan
tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Secara umum ada dua
pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat
keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi
kemayarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama
dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk system pemerintahan demokratis,
oligarkis maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi
kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan
minat pelajar.
Ada
tiga istilah yang dianggap memiliki arti
yang dekat dan tepat dengan makna pendidikan. Ketiga
istilah itu adalah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang masing-masing
memiliki karakteristik makna disamping mempunyai
kesesuaian dalam pengertian pendidikan Islam.
a. Makna tarbiyah dalam rangka
pendidikan Islam
Menurut
Najib Khalid al-Amir ada lima sisi dari
pengertian tarbiyah secara berkesinambungan yang
satu sama lain berbeda sesuai
dengan pembentukannya yaitu:
1) Tarbiyah adalah
menyampaikan sesuatu untuk mencapai kesempurnaan.
Bentuk penyampaian satu dengan yang lain
berbeda sesuai dengan cara pembentukannya.
2) Tarbiyah adalah menentukan tujuan
melalui persiapan sesuai dengan batas kemampuan untuk mencapai kesempurnaan.
3) Tarbiyah adalah sesuatu yang
dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit oleh seorang pendidik
(murabbi).
4) Tarbiyah dilakukan
secara berkesinambungan. Artinya tahapan-tahapan
sejalan dengan kehidupan, tidak berhenti
pada batas tertentu, terhitung dari buaian sampai liang
lahat.
5) Tarbiyah adalah tujuan
terpenting dalam kehidupan baik secara individu maupun keseluruhan.
b. Makna ta’lim dalam rangka pendidikan
Islam
Adapun al
ta’lim secara etimologis berasal dari kata kerja “allama” yang berarti
mengajar. Jadi makna ta’lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa
arab dinyatakan Tarbiyah wa ta’lim berarti “pendidikan dan
pengajaran”. Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “al tarbiyah al
Islamiyah”.
c. Makna ta’dib dalam rangka pendidikan
Islam
Adapun
ta’dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “addaba” yang berarti
memberi adab mendidik (Yunus, 1972: 37). Istilah ini dalam
kaitan dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib
al-Attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib merupakan istilah ynag dianggap
tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa
arti pendidikan adalah meresapkan dan menambahkan adab pada manusia.
Dalam
bukunya yang lain, beliau menyebutkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah
untuk menghasilkan manusia-manusia yang baik. Orang yang baik disini adalah
adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan
material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang
diterimanya.” Maka, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam
didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab.
Dalam
pengertian yang asli adab adalah mengundang ke suatu perjamuan. Perjamuan
menyiratkan bahwa tuan rumah adalah seorang yang mulia dan terhormat dan banyak
orang yang hadir. Ini juga berarti bahwa orang-orang yang hadir itu adalah
mereka yang dalam penilaian tuan rumah patut mendapat atas undangan itu.
Berdasarkan ini maka adab berarti juga disiplin terhadap pikiran dan jiwa,
untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan
yang salah, agar terluput dari noda dan cela.
Pendidikan menurut Al-Attas adalah
“penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang ini diebut ta’dib”
al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi
Muhammad SAW. Yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai Manusia
Sempurna atau Manusia Universal. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami
dan dijelaskan dengan baik, sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep ta’adib
adalah konsep paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun
ta’lim. Dia mengatakan, “Struktur konsep ta’adib sudah mencakup unsur-unsur
ilmu, instruksi dan pembinaan yang baik sehingga tidak perlu lagi dikatakan
bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai
konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.”
2. Kurikulum Dan Metode Pendidikan
Metode merupakan
sarana yang bermakna dan faktor yang akan
mengefektifkan pelaksanaan pendidikan. Demikian
pentingnya metode dalam pendidikan Islam, telah menempatkan
faktor ini sebagai faktor yang esensial dalam
pelaksanaan pendidikan.[3]
a.
Persiapan
Spiritual
Abu Sa’id Al-Kharraz , seorang sufi
terkenal abad ke-9 M, mengatakan bahwa salah satu prinsip etika adalah
keikhlasan, disamping kebenaran dan kesabaran. Disamping itu Al-Attas
menekankan kejujuran dan keikhlasan dalam mencari ilmu dan mengajarkan ilmu.
b.
Ketergantungan
Pada Otoritas dan Peranan Guru
Al-Attas mengatakan bahwa otoritas
tertinggi adalah al-Qur’an dan Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para
ilmuwan laki-laki dan perempuan yang mengikuti sunahnya. Peranan guru dianggap
sangat penting. Peserta didik diharapkan tidak tergesa-gesa belajar kepada
sembarang guru.
c.
Peranan
Bahasa
Al-Attas
selalu menganalisis dan menjelaskan konsep dan istilah kunci, serta menekankan
pemakaian bahasa secara benar sehingga makna yang benar mengenai istilah dan
komsep kunci yang termuat didalamnya tifak berubah atau dikacaukan. Mungkin
Al-Attas adalah pemikir pertama di kalangan Muslim yang menyatakan bahwa sarana
utama Islamisasi bangsa Arab pra-Islamadalah melalui Islamisasi bahasa Arab itu
sendiri. Demikian pula de-Islamisasi atau sekulerisasi pemikiran Muslim juga
berlangsung secara efektif melalui aspek linguistik.
d.
Metode
Tauhid
Metode tauhid ini menyelesaikan
problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek objektif dan subjektif
ilmu pengetahuan. Sayangnya apa yang dianggap objektif dianggap lebih nyata dan
karena itu lebih valid daripada yang subjektif.
e.
Pancaindra,
Akal, dan Intuisi
Al-Attas membenarkan adanya
kemampuan psikologis, yang dalam konsepsi Islam mengenai jiwa dan proses
kognitif, kemampuan tersebu diletakkan sesuai dengan peranannya yang tepat.
Sebab Islam mengakui kebenaran pelbagai saluran ilmu pengetahuan , seperti
pancaindra, berita yang benar, akal sehat, dan intuisi yang digabung di dalam
akidah.
f.
Penggunaan Metafora dan Cerita
Ciri metode pendidikan A-Attas yang
lain adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan,
sebuah metode yang juga banyak digunakan dalam al-Qur’an dan hadis. Salah satu
metafora yang sering digunakan adalah metafora papan penunjuk iklan (sign
post). Kajian Al-Attas mengenai muatan pendidikan Islam berangkat dari
pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang
dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek.
Pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual; dan
kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.
3.
Murid dan
Guru Dalam Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas
Peserta
didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru,
sebaliknya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru
terbaik dalam bidang yang ia gemari. Adab guru dan peserta didik dalam filsafat
pendidikan Al-Attas tampaknya diilhami oleh prinsip yang dipertahankan para
ilmuwan Terkenal, khususnya Al-Ghazali. Selain persiapan spiritual, guru dan
peserta didik harus mengamalkan adab, yaitu mendisiplinkan pikiran dan jiwa.
Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus sabar dengan
kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif yang wajar.
Peserta
didik seharusnya tidak menyibukkan diri pada opini yang bermacam-macam.
Sebaliknya, ia meguasai materi sebaik penguasaannya dalam praktik. Tingkat ilmu
seseorang yang bisa dibanggakan adalah yang memuaskan guru. Gurupun seharusnya
tidak menafikan nasihat yang datang dari peserta didik dan harus membiarkannya
berproses sesuai dengan kemammpuannya. Guru juga harus menghargai kemampuan
peserta didik dan mengoreksinya dengan penuh rasa simpati.
[1] Wan Mohd Nor Wan
Daud, 1998. The Educational Philosophy
and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid
Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (
Bandung: Mizan, 2002), hlm. 201
[2]
Wan Mohd Nor Wan Daud,
1998. The Educational Philosophy and
Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy
dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, ( Bandung:
Mizan, 2002), hlm. 208
[3] Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. (Bandung: Angkasa, 2003), hlm 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar