Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 12 Juni 2019

AL-ATTAS DAN PEMIKIRANNYA


A.    Biografi Naquib Al-Attas

Nama lengkap Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas. Beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Pada waktu itu Indonesia berada dibawah kolonialisme Belanda.
Bila dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak,baik pihak ayah maupun pihak ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.
Pada usia lima tahun, Syed Muhammad Naquib dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Hang (1936-1941). Pada masa pendidikan Jepang, dia kembali ke Jawa  untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-‘Urwatu Al-Wutsqa, Sukabumi (1941-1945). Setelah Perang Dunia II pada 1946, Syed Muhammad Naquib kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di Bukit Zahra School kemudian di English College (1946-1951).
Setelah itu, beliau mengikuti pendidikan militer, pertama di Erron Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Millitary Academy, Sandhurst, Inggris. Selain mengikuti  pendidikan militer, Al-Attas juga sering pergi ke Negara-negara Eropa lainnya (terutama Spanyol) dan Afrika Utara untuk mengunjungi tempat-tempat yang terkenal dengan tradisi intelektual, seni, dan gaya bangunan keislamannya. Setelah tamat dai Sandhurst, Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor resimen tentara kerajaan Malaya. Al-Attas mendapatkan gelar M.A. pada 1962 dari Universitas McGill, Montreal. Sedangkan gelar Ph.D. diperoleh dari Universitas London 1965.[1]

B.     Pemikiran Naquib Al-Attas Tentang Pendidikan Islam

Syed  Muhammad  Naquib  al-Attas  adalah  salah  seorang  cendekiawan  dan filsuf muslim dari Malaysia yang menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah dan literatur. Kepakarannya dalam bidang-bidang tersebut tidak diragukan lagi dan sudah diakui oleh  berbagai  kalangan  intelektual. Berikut  merupakan  sebagian  dari pemikiran-pemikiran yang beliau gagas.[2]
1.     Makna dan Tujuan Pendidikan
Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemayarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk system pemerintahan demokratis, oligarkis maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.
Ada  tiga  istilah  yang  dianggap  memiliki  arti  yang  dekat  dan  tepat  dengan makna pendidikan. Ketiga istilah itu adalah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang masing-masing  memiliki  karakteristik  makna  disamping  mempunyai  kesesuaian  dalam pengertian pendidikan Islam.
a.    Makna tarbiyah dalam rangka pendidikan Islam
Menurut Najib Khalid  al-Amir  ada  lima  sisi  dari  pengertian  tarbiyah  secara berkesinambungan  yang  satu  sama  lain  berbeda  sesuai 
dengan  pembentukannya yaitu:
1)      Tarbiyah  adalah menyampaikan  sesuatu  untuk mencapai  kesempurnaan. Bentuk  penyampaian  satu  dengan  yang  lain  berbeda  sesuai  dengan  cara pembentukannya.
2)      Tarbiyah adalah menentukan tujuan melalui persiapan sesuai dengan batas kemampuan untuk mencapai kesempurnaan.
3)      Tarbiyah adalah sesuatu yang dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit oleh seorang pendidik (murabbi).
4)      Tarbiyah  dilakukan  secara  berkesinambungan.  Artinya  tahapan-tahapan sejalan  dengan  kehidupan,  tidak  berhenti  pada  batas  tertentu,  terhitung dari buaian sampai liang lahat.
5)      Tarbiyah  adalah  tujuan  terpenting dalam kehidupan baik  secara  individu maupun keseluruhan.
b.      Makna ta’lim dalam rangka pendidikan Islam
Adapun al ta’lim secara etimologis berasal dari kata kerja “allama” yang berarti mengajar. Jadi makna ta’lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa arab dinyatakan Tarbiyah wa ta’lim berarti “pendidikan  dan  pengajaran”. Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “al tarbiyah al Islamiyah”.
c.       Makna ta’dib dalam rangka pendidikan Islam
Adapun ta’dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “addaba” yang berarti memberi adab mendidik (Yunus, 1972: 37). Istilah ini dalam kaitan dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib merupakan istilah ynag dianggap tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan menambahkan adab pada manusia.
Dalam bukunya yang lain, beliau menyebutkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menghasilkan manusia-manusia yang baik. Orang yang baik disini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.” Maka, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab.
Dalam pengertian yang asli adab adalah mengundang ke suatu perjamuan. Perjamuan menyiratkan bahwa tuan rumah adalah seorang yang mulia dan terhormat dan banyak orang yang hadir. Ini juga berarti bahwa orang-orang yang hadir itu adalah mereka yang dalam penilaian tuan rumah patut mendapat atas undangan itu. Berdasarkan ini maka adab berarti juga disiplin terhadap pikiran dan jiwa, untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan yang salah, agar terluput dari noda dan cela.
Pendidikan menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang ini diebut ta’dib” al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad SAW. Yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep ta’adib adalah konsep paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim. Dia mengatakan, “Struktur konsep ta’adib sudah mencakup unsur-unsur ilmu, instruksi dan pembinaan yang baik sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.”
2.    Kurikulum Dan Metode Pendidikan
Metode  merupakan  sarana  yang  bermakna  dan  faktor  yang  akan mengefektifkan  pelaksanaan  pendidikan.  Demikian  pentingnya  metode dalam pendidikan  Islam,  telah menempatkan  faktor  ini  sebagai  faktor yang esensial dalam pelaksanaan  pendidikan.[3]
a.      Persiapan Spiritual
Abu Sa’id Al-Kharraz , seorang sufi terkenal abad ke-9 M, mengatakan bahwa salah satu prinsip etika adalah keikhlasan, disamping kebenaran dan kesabaran. Disamping itu Al-Attas menekankan kejujuran dan keikhlasan dalam mencari ilmu dan mengajarkan ilmu.
b.      Ketergantungan Pada Otoritas dan Peranan Guru
Al-Attas mengatakan bahwa otoritas tertinggi adalah al-Qur’an dan Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para ilmuwan laki-laki dan perempuan yang mengikuti sunahnya. Peranan guru dianggap sangat penting. Peserta didik diharapkan tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru.
c.       Peranan Bahasa
Al-Attas selalu menganalisis dan menjelaskan konsep dan istilah kunci, serta menekankan pemakaian bahasa secara benar sehingga makna yang benar mengenai istilah dan komsep kunci yang termuat didalamnya tifak berubah atau dikacaukan. Mungkin Al-Attas adalah pemikir pertama di kalangan Muslim yang menyatakan bahwa sarana utama Islamisasi bangsa Arab pra-Islamadalah melalui Islamisasi bahasa Arab itu sendiri. Demikian pula de-Islamisasi atau sekulerisasi pemikiran Muslim juga berlangsung secara efektif melalui aspek linguistik.

d.      Metode Tauhid
Metode tauhid ini menyelesaikan problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek objektif dan subjektif ilmu pengetahuan. Sayangnya apa yang dianggap objektif dianggap lebih nyata dan karena itu lebih valid daripada yang subjektif.
e.       Pancaindra, Akal, dan Intuisi
Al-Attas membenarkan adanya kemampuan psikologis, yang dalam konsepsi Islam mengenai jiwa dan proses kognitif, kemampuan tersebu diletakkan sesuai dengan peranannya yang tepat. Sebab Islam mengakui kebenaran pelbagai saluran ilmu pengetahuan , seperti pancaindra, berita yang benar, akal sehat, dan intuisi yang digabung di dalam akidah.
f.        Penggunaan Metafora dan Cerita
Ciri metode pendidikan A-Attas yang lain adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan, sebuah metode yang juga banyak digunakan dalam al-Qur’an dan hadis. Salah satu metafora yang sering digunakan adalah metafora papan penunjuk iklan (sign post). Kajian Al-Attas mengenai muatan pendidikan Islam berangkat dari pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.
3.   Murid dan Guru Dalam Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas
Peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru, sebaliknya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru terbaik dalam bidang yang ia gemari. Adab guru dan peserta didik dalam filsafat pendidikan Al-Attas tampaknya diilhami oleh prinsip yang dipertahankan para ilmuwan Terkenal, khususnya Al-Ghazali. Selain persiapan spiritual, guru dan peserta didik harus mengamalkan adab, yaitu mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus sabar dengan kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif yang wajar.
Peserta didik seharusnya tidak menyibukkan diri pada opini yang bermacam-macam. Sebaliknya, ia meguasai materi sebaik penguasaannya dalam praktik. Tingkat ilmu seseorang yang bisa dibanggakan adalah yang memuaskan guru. Gurupun seharusnya tidak menafikan nasihat yang datang dari peserta didik dan harus membiarkannya berproses sesuai dengan kemammpuannya. Guru juga harus menghargai kemampuan peserta didik  dan mengoreksinya dengan penuh rasa simpati.



[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, 1998. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, ( Bandung: Mizan, 2002), hlm. 201
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, 1998. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, ( Bandung: Mizan, 2002), hlm. 208
[3] Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. (Bandung: Angkasa, 2003), hlm 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar