Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 12 Juni 2019

BIOGRAFI AL-FARUQI DAN PEMIKIRANNYA


A.    Biografi ismail raji al-faruqi

Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tahun 1921 tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi. Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph) Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936.
Pada tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keIslamannya di jenjang pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajardi McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam. Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini, ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keIslaman di Central Institute of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh oleh tiga orang tersebut, dan wafat seketika.[1]

B.  Pemikiran Ismail Rajil Al-Faruqi Tentang Pendidikan
Dalam relitas, Islamisasi ilmu pengetahuan tida hanya sebatas komsumsi diskursus antar pakar  diberbagai belahan dunia, tetapi telah memasuki fase aplikasi. Sekadar contoh sekarang kita kenal sosiologi Islam, antropologi Islam, polkitik Islam, psikologi Islam, ekonomi Islam dan sebagainya. Ketiga disiplin ilmu terakhir ini sekarang banyak dikembangkan diberbagai perguruan tinggi di Indonesia khususnya perguruan tinggi Islam serti IAIN dan STAIN. Namun perlu diakkui bahwa di antara sederet disiplin diatas secara factual, ekonbomi Islam paling maju (ancok, 1994, 109) dan banyak kita temukan aplikasinya ditengah-tengah maraknya ekonomi kontemporer.[2]
1.     Aspek Kelembagaan
Persoalan mendasar pada aspek kelembagaan ini menyangkut bentuk lembaga yang diinginkan atau diharapkan pascaIslamisasi. Dalam deskripsi yang lebih tegas Islamisasi dalam aspek kelembagaan dimaksud adalah menyatukan dua sysyem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan sekuler (umum). Artinya melakukan modernisasi bagi lembaga pendidikan agama dan Islamisasi pendidikan sekuler. Adanya lembaga pendidikan modern (Barat sekuler), dipandang sebagai kamuflase yang mengatas namakan Islam, dan menjadika Islam sebagai symbol. Mengantisipasi keadaan ini perlu didirikannya pendidikan-pendidikan Islam yang baru sebagai tandingan.
Sepertinya implikasi dari Islamisasi ilmu pengetahuan pada aspek kelembagaan adalah terbentuknya lembaga independent yang mengintegrasikan pengembangan ilmu agama dan umum, artinya apapun nama lembaga tersebut yang terpenting adalah terintegrasinya secara komprehensif antatra system umum dan agama. Meskipun tatanan sistematika keorganisasian lembaga mengadopsi barat namun secara substansi menerapkan system Islam.
Pengintegrasian lembaga tidak hanya terkait dengan masalahg keilmuan, namun secara administrative pengelola lembaga pendidikan tersebut mengacu pad system pada manejeman pendidikan Islam. Suatu bentuk manejaman yang bermoral sesuai dan sejalan dengan visi keIslaman itu sendiri. Dalam hal ini berbagai konsep manejemne bisnis seperti total quality manajeman, brancmark manajamen dan manajamen basic scholl perlu dipertimbangan untuk diterapkan.
Mengamatai implikasi Islamisasi ilmu pengettahuan pada aspek kelembagaan, agaknya terlihat kejelasan bahwa al-faruqi belum mampu menuntaskan gagasan ini. Hal ini belum terlihat adanya lembaga pendidikan yang mereka dirikan sebagai kejewantah dari Islamisasai ilmu pengetanhuan dalam lembvaga perndidikan. Al-faruqi hanya mnerapkan proyek ini pada lembaga penelitian 3T dan lembaga pendiidkan pada pihak lain di Amerika Serikat. Kendati demikian setidaknya ia telah memberikan kontribusi dalam usaha pendirian kajian keIslaman diberbagai Negara muslim dunia. (makalah)
2.     Aspek Kurikulum
Universitas harus memiliki kurikulum inti, karena kurikulum inilah yang menunjukkan esensi universitas. Pengkajian kurikulum ini tidask dapat diserahkan pada satu tim saja, namun membutuhkan ahli-ahli dibidangnya, perbincangan ini harus dimulai sejak awal Islamisasi. Dalam hal ini kurikulum yang telah dikembangkan dibarat tidak boleh diabaikan.
Pengembangan kurikulum dalam Islam dilihat dari kebenaran fundamental  dan yang tidak dapat dirubah dari prinsip atauhit (al-Qur’an dan Sunnah). Meskipun dalam prosesnya kurikulum membolehkan pengadopsian dari buku-buku barat, namun juga memberikan priuoritas utama sebagai sumber yakni al-Qur’an dan Sunnah.[3]
Rumusan kurikulum dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dengan memasukkan segala keilmuan dalam kurikulum. Denga demikian, lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang akyual, responsive dengan tuntutan permasalahna kontemporer. Artinya lembaga akan melahir melulusan  yang revulusiner, berpandangan integrative, pro aktif dan tanggap terhadap masa depan serta tidak dikomistik dalam keilmuan.

3.     Aspek Pendidik
Dalam hal ini para pendidik ditempatka pada posisi sepatutnya, artinya kompetensi yang professional yang mereka meliki dihargai sebgaimana mestinya. Bagi al-faruqi tidak selayaknya para pendidik mengajar dengan prinsip keihlasan, pendidik harus diberiakan honor sesuai dengan keahliannya. Disamping itu tidak selayaknya pendidik tamu dihargai lebih tinggi disbanding dengan pendidik milik sendiri.
Terkait denga pengajar yang memberikan pembelajaran pada tingkat dasar dan lanjutan tidak dibenarkan Islamologi atau misionaris. Artinya harus pendidik yang benar-benar Islam dan memiliki basic keIslaman yang mantap. Disampiung itu,staf-staf pengajar yang diinginkan universitas Islam adalah staf pengajar yang saleh serta memilki visi keIslaman, memilki kemampuan dalam menafsirka beberapa teori berdasarka pendekatan Islami secara menyakinkan serta mampu membimbing mahasisawa secara tepat untuk menemukan pemecahan dan jawaban yang benar.
Denga demikian, harus ada rumusan yang tegas tentang kriterias calon pendidik selain indeks prestasi sebagai parameter kualiatsbin telektaul, penting dialakukan wawasncar aqidah, keimanan dan keagamaan, jiwa dan sikap terhadap jabatan. Criteria ini juga harus ditopang oleh kode etik Islami tentang profesi pendidik. Seoarang pendidik ditunutut memliki kemampuan subtantif, yaitu brupa pengeuasaa dua segi keilmuan, yaitu ilmu agama dan ilmu modern sekaligus. Disamping itu seorang pendidik dituntut untuk mampu menetukan relevansi antara ilmu epengetahuan tersebut dengan ilmu-ilmu agama. Dalam kontek inilah dituntut kejelian seorang pendidik mengingat beraneka ragamnya substansi keilmuan yang ada.
Selain kemampuan substantive pendidik juga dituntu memilki kemapaun non substantive, yaitu berupa multi skill didaktis. Kemampuan ini mencakup keterampilam dalam menggunakan metode dan strategi pembelajaran, pengelolaan atau menajeman pendidikan pengevaluana, dan lain sebagainya. Yang secara keseluruhan bertumpu pada unsure tauhid.
Pada asapek rekruitmen disesuaikan dengan syarat-sayrat seseuai denga yang telah dikemukakan (aspek intelektual dan kapabilitas keagamaan). Artinya hanya calon yang memilki akelayakan akademis dan akapabilitas keagamaan menjadi guru. Selanjutnya pembinaan dimaksudkan untuk meningkatkan kualifikasi profesioanl guru secara terus menerus sesuai dengan tuntutan perubahan. Termasuk dalam masalah ini dalam hal kesejahteraan. Kesemuanya dilakukan dan dibenahio secara terpadu dan sistemik.





[1] Azra, Azyumardi. “Dari Arabisme ke Khilafatisme: Kasus Isma’il al-Faruqi”, dalam Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam. (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm.  95
[2] Tafsir dkk. Moralitas Al-Quran dan Tantangan Modernitas: Telaah atas Pemikiran Fazlur Rahman, Al-Ghazali, dan Isma’il Raji Al-Faruqi. (Yogyakarta-Semarang: Gama Media-PPs IAIN Wali Songo, 2002), hlm. 180-181.

[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejaak Sejarah Pendidikan Era Rosulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.  272

Tidak ada komentar:

Posting Komentar