A.
Biografi
ismail raji al-faruqi
Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tahun
1921 tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina,
bernama Abdul Huda Al Faruqi. Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat
kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph)
Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936.
Pada
tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of
Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana
muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina
di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat
tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini
ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak
tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan
kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat
pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan
konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi
untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang
cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk
mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil
meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good:
Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan
epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan,
oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keIslamannya di jenjang
pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama
tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai
kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di
School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajardi
McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah
ke Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di
Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam.
Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini,
ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat
Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga
dipercaya sebagai guru besar studi keIslaman di Central Institute of Islamic
Research, Karchi.
Tujuh
Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang tidak
dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois
Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple
AS beserta dua anak mereka dibunuh oleh tiga orang tersebut, dan wafat
seketika.[1]
B. Pemikiran Ismail Rajil Al-Faruqi
Tentang Pendidikan
Dalam
relitas, Islamisasi ilmu pengetahuan tida hanya sebatas komsumsi diskursus
antar pakar diberbagai belahan dunia,
tetapi telah memasuki fase aplikasi. Sekadar contoh sekarang kita kenal
sosiologi Islam, antropologi Islam, polkitik Islam, psikologi Islam, ekonomi
Islam dan sebagainya. Ketiga disiplin ilmu terakhir ini sekarang banyak
dikembangkan diberbagai perguruan tinggi di Indonesia khususnya perguruan
tinggi Islam serti IAIN dan STAIN. Namun perlu diakkui bahwa di antara sederet
disiplin diatas secara factual, ekonbomi Islam paling maju (ancok, 1994, 109)
dan banyak kita temukan aplikasinya ditengah-tengah maraknya ekonomi kontemporer.[2]
1.
Aspek
Kelembagaan
Persoalan mendasar pada aspek kelembagaan ini
menyangkut bentuk lembaga yang diinginkan atau diharapkan pascaIslamisasi.
Dalam deskripsi yang lebih tegas Islamisasi dalam aspek kelembagaan dimaksud
adalah menyatukan dua sysyem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan
sekuler (umum). Artinya melakukan modernisasi bagi lembaga pendidikan agama dan
Islamisasi pendidikan sekuler. Adanya lembaga pendidikan modern (Barat
sekuler), dipandang sebagai kamuflase yang mengatas namakan Islam, dan
menjadika Islam sebagai symbol. Mengantisipasi keadaan ini perlu didirikannya
pendidikan-pendidikan Islam yang baru sebagai tandingan.
Sepertinya implikasi dari Islamisasi ilmu
pengetahuan pada aspek kelembagaan adalah terbentuknya lembaga independent yang
mengintegrasikan pengembangan ilmu agama dan umum, artinya apapun nama lembaga
tersebut yang terpenting adalah terintegrasinya secara komprehensif antatra
system umum dan agama. Meskipun tatanan sistematika keorganisasian lembaga
mengadopsi barat namun secara substansi menerapkan system Islam.
Pengintegrasian lembaga tidak hanya terkait dengan
masalahg keilmuan, namun secara administrative pengelola lembaga pendidikan
tersebut mengacu pad system pada manejeman pendidikan Islam. Suatu bentuk manejaman
yang bermoral sesuai dan sejalan dengan visi keIslaman itu sendiri. Dalam hal
ini berbagai konsep manejemne bisnis seperti total quality manajeman, brancmark
manajamen dan manajamen basic scholl perlu dipertimbangan untuk diterapkan.
Mengamatai implikasi Islamisasi ilmu pengettahuan
pada aspek kelembagaan, agaknya terlihat kejelasan bahwa al-faruqi belum mampu
menuntaskan gagasan ini. Hal ini belum terlihat adanya lembaga pendidikan yang
mereka dirikan sebagai kejewantah dari Islamisasai ilmu pengetanhuan dalam
lembvaga perndidikan. Al-faruqi hanya mnerapkan proyek ini pada lembaga
penelitian 3T dan lembaga pendiidkan pada pihak lain di Amerika Serikat.
Kendati demikian setidaknya ia telah memberikan kontribusi dalam usaha
pendirian kajian keIslaman diberbagai Negara muslim dunia. (makalah)
2.
Aspek
Kurikulum
Universitas harus memiliki kurikulum inti, karena
kurikulum inilah yang menunjukkan esensi universitas. Pengkajian kurikulum ini
tidask dapat diserahkan pada satu tim saja, namun membutuhkan ahli-ahli
dibidangnya, perbincangan ini harus dimulai sejak awal Islamisasi. Dalam hal
ini kurikulum yang telah dikembangkan dibarat tidak boleh diabaikan.
Pengembangan
kurikulum dalam Islam dilihat dari kebenaran fundamental dan yang tidak dapat dirubah dari prinsip
atauhit (al-Qur’an dan Sunnah). Meskipun dalam prosesnya kurikulum membolehkan
pengadopsian dari buku-buku barat, namun juga memberikan priuoritas utama
sebagai sumber yakni al-Qur’an dan Sunnah.[3]
Rumusan kurikulum dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dengan
memasukkan segala keilmuan dalam kurikulum. Denga demikian, lembaga pendidikan
memiliki kurikulum yang akyual, responsive dengan tuntutan permasalahna
kontemporer. Artinya lembaga akan melahir melulusan yang revulusiner, berpandangan integrative, pro
aktif dan tanggap terhadap masa depan serta tidak dikomistik dalam keilmuan.
3.
Aspek
Pendidik
Dalam hal ini para pendidik ditempatka pada posisi
sepatutnya, artinya kompetensi yang professional yang mereka meliki dihargai
sebgaimana mestinya. Bagi al-faruqi tidak selayaknya para pendidik mengajar
dengan prinsip keihlasan, pendidik harus diberiakan honor sesuai dengan
keahliannya. Disamping itu tidak selayaknya pendidik tamu dihargai lebih tinggi
disbanding dengan pendidik milik sendiri.
Terkait denga pengajar yang memberikan pembelajaran
pada tingkat dasar dan lanjutan tidak dibenarkan Islamologi atau misionaris.
Artinya harus pendidik yang benar-benar Islam dan memiliki basic keIslaman yang
mantap. Disampiung itu,staf-staf pengajar yang diinginkan universitas Islam
adalah staf pengajar yang saleh serta memilki visi keIslaman, memilki kemampuan
dalam menafsirka beberapa teori berdasarka pendekatan Islami secara menyakinkan
serta mampu membimbing mahasisawa secara tepat untuk menemukan pemecahan dan
jawaban yang benar.
Denga demikian, harus ada rumusan yang tegas tentang
kriterias calon pendidik selain indeks prestasi sebagai parameter kualiatsbin
telektaul, penting dialakukan wawasncar aqidah, keimanan dan keagamaan, jiwa
dan sikap terhadap jabatan. Criteria ini juga harus ditopang oleh kode etik
Islami tentang profesi pendidik. Seoarang pendidik ditunutut memliki kemampuan
subtantif, yaitu brupa pengeuasaa dua segi keilmuan, yaitu ilmu agama dan ilmu
modern sekaligus. Disamping itu seorang pendidik dituntut untuk mampu menetukan
relevansi antara ilmu epengetahuan tersebut dengan ilmu-ilmu agama. Dalam
kontek inilah dituntut kejelian seorang pendidik mengingat beraneka ragamnya substansi
keilmuan yang ada.
Selain kemampuan substantive pendidik juga dituntu
memilki kemapaun non substantive, yaitu berupa multi skill didaktis. Kemampuan
ini mencakup keterampilam dalam menggunakan metode dan strategi pembelajaran,
pengelolaan atau menajeman pendidikan pengevaluana, dan lain sebagainya. Yang
secara keseluruhan bertumpu pada unsure tauhid.
Pada asapek rekruitmen disesuaikan dengan syarat-sayrat
seseuai denga yang telah dikemukakan (aspek intelektual dan kapabilitas
keagamaan). Artinya hanya calon yang memilki akelayakan akademis dan
akapabilitas keagamaan menjadi guru. Selanjutnya pembinaan dimaksudkan untuk
meningkatkan kualifikasi profesioanl guru secara terus menerus sesuai dengan
tuntutan perubahan. Termasuk dalam masalah ini dalam hal kesejahteraan.
Kesemuanya dilakukan dan dibenahio secara terpadu dan sistemik.
[1]
Azra, Azyumardi. “Dari Arabisme ke Khilafatisme: Kasus Isma’il
al-Faruqi”, dalam Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam. (Jakarta:
Paramadina, 2003), hlm. 95
[2] Tafsir dkk. Moralitas Al-Quran dan Tantangan Modernitas:
Telaah atas Pemikiran Fazlur Rahman, Al-Ghazali, dan Isma’il Raji Al-Faruqi.
(Yogyakarta-Semarang: Gama Media-PPs IAIN Wali Songo, 2002), hlm. 180-181.
[3]
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejaak
Sejarah Pendidikan Era Rosulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009), hlm. 272
Tidak ada komentar:
Posting Komentar