Dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Standar Pengawas
Sekolah/Madrasah.[1] Diisyaratkan bahwa pengawas
sekolah dituntut untuk menguasai kompetensi supervisi manajerial. Esensi dari
supervisi manajerial adalah berupa kegiatan pemantauan, pembinaan dan
pengawasan terhadap kepala sekolah dan seluruh elemen sekolah lainnya di dalam
mengelola, mengadministrasikan dan melaksanakan seluruh aktivitas sekolah,
sehingga dapat berjalan dengan efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan
sekolah serta memenuhi standar pendidikan nasional.
Merujuk pada tulisan yang
dipublikasan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Depdiknas (2008), di bawah
ini disajikan beberapa metode supervisi manajerial yang dapat dikembangkan oleh
para pengawas sekolah.
1. Monitoring dan Evaluasi
Metode utama yang dilakukan
oleh pengawas satuan pendidikan dalam supervisi manajerial yaitu monitoring dan
evaluasi. Monitoring adalah suatu kegiatan yang ditujukan untuk mengetahui
perkembangan pelaksanaan penyelenggaraan sekolah, apakah sudah sesuai dengan
rencana, program dan/atau standar yang telah ditetapkan, serta menemukan
hambatan-hambatan yang harus diatasi dalam pelaksanaan program. Monitoring
lebih berpusat pada pengontrolan selama program berjalan dan lebih bersifat
klinis.
Melalui monitoring, dapat
diperoleh umpan balik bagi sekolah atau pihak lain yang terkait untuk
menyukseskan ketercapaian tujuan. Aspek-aspek yang dicermati dalam monitoring
adalah hal-hal yang dikembangan dan dijalankan dalam Rencana Pengembangan
Sekolah (RPS). Dalam melakukan monitoring ini tentunya pengawas harus
melengkapi diri de- ngan parangkat atau daftar isian yang memuat seluruh
indikator sekolah yang harus diamati dan dinilai.
Secara tradisional
pelaksanaan pengawasan melibatkan tahapan: (a) menetapkan standar untuk
mengukur prestasi, (b) mengukur prestasi, (c) menganalisis apakah prestasi
memenuhi standar, dan (d) mengambil tindakan apabila prestasi kurang/tidak
memenuhi standar.[2]
Dalam perkembangan terakhir,
kecenderungan pengawasan dalam dunia pendidikan juga mengikuti apa yang
dilakukan pada industri, yaitu dengan menerapakan Total Quality Controll.
Pengawasan ini tentu saja terfokus pada pengendalian mutu dan lebih bersifat
internal. Oleh karena itu pada akhir-akhir ini setiap lembaga pendidikan
umumnya memiliki unit penjaminan mutu. Sedangkan evaluasi ditujukan untuk
mengetahui sejauhmana kesuksesan pelaksanaan penyelenggaraan sekolah atau
sejauhmana keberhasilan yang telah dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Tujuan evaluasi utamanya
adalah untuk (a) mengetahui tingkat keterlaksanaan program, (b) mengetahui
keberhasilan program, (c) mendapatkan bahan/masukan dalam perencanaan tahun
berikutnya, dan (d) memberikan penilaian (judgement) terhadap sekolah.
2. Refleksi dan Focused Group Discussion (Diskusi kelompok terfokus)
Sesuai dengan paradigma baru
manajemen sekolah yaitu pemberdayaan dan partisipasi, maka judgement
keberhasilan atau kegagalan sebuah sekolah dalam melaksanakan program atau
mencapai standar bukan hanya menjadi otoritas pengawas sekolah. Hasil
monitoring yang dilakukan pengawas sekolah hendaknya disampaikan secara terbuka
kepada pihak sekolah, terutama kepala sekolah, wakil kepala sekolah, komite
sekolah dan guru.
Secara bersama-sama pihak
sekolah dapat melakukan refleksi terhadap data yang ada, dan menemukan sendiri
faktor-faktor penghambat serta pendukung yang selama ini mereka rasakan. Forum
untuk ini dapat berbentuk Focused Group Discussion (FGD), yang melibatkan
unsur-unsur stakeholder sekolah. Diskusi kelompok terfokus ini dapat dilakukan
dalam beberapa putaran sesuai dengan kebutuhan.
Tujuan dari FGD adalah untuk
menyatukan pandangan stakeholder mengenai realitas kondisi (kekuatan dan
kelemahan) sekolah, serta menentukan langkah-langkah strategis maupun
operasional yang akan diambil untuk memajukan sekolah. Peran pengawas sekolah
dalam hal ini adalah sebagai fasilitator sekaligus menjadi narasumber apabila
diperlukan, untuk memberikan masukan berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.[3]
3. Metode Delphi
Metode Delphi dapat
digunakan oleh pengawas sekolah dalam membantu pihak sekolah merumuskan visi,
misi dan tujuannya. Sesuai dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah, dalam
merumuskan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) sebuah sekolah harus memiliki
rumusan visi, misi dan tujuan yang jelas dan realistis yang digali dari kondisi
sekolah, peserta didik, potensi daerah, serta pandangan seluruh stakeholder.
Sejauh ini kebanyakan
sekolah merumuskan visidan misi dalam susunan kalimat “yang bagus”, tanpa
dilandasi oleh filosofi dan pendalaman terhadap potensi yang ada. Akibatnya
visi dan misi tersebut tidak realistis, dan tidak memberikan inspirasi kepada
warga sekolah untuk mencapainya.
Metode Delphi merupakan cara
yang efisien untuk melibatkan banyak stakeholder sekolah tanpa memandang
faktor-faktor status yang sering menjadi kendala dalam sebuah diskusi atau
musyawarah. Misalnya sekolah mengadakan pertemuan bersama antara sekolah, dinas
pendidikan, tokoh masyarakat, orang murid dan guru, maka biasanya pembicaraan
hanya didominasi oleh orang-orang tertentu yang percaya diri untuk berbicara
dalam forum. Selebihnya peserta hanya akan menjadi pendengar yang pasif.
Metode Delphi dapat
disampaikan oleh pengawas sekolah kepada kepala sekolah ketika hendak mengambil
keputusan yang melibatkan banyak pihak. Ada beberapa Langkah-langkahnya menurut
metode Delphi yakni sebagai berikut:[4]
a.
Mengidentifikasi individu
atau pihak-pihak yang dianggap memahami persoalan dan hendak dimintai
pendapatnya mengenai pengembangan sekolah;
b.
Masing-masing pihak diminta
mengajukan pendapatnya secara tertulis tanpa disertai nama/identitas;
c.
Mengumpulkan pendapat yang
masuk, dan membuat daftar urutannya sesuai dengan jumlah orang yang berpendapat
sama.
d.
Menyampaikan kembali daftar
rumusan pendapat dari berbagai pihak tersebut untuk diberikan urutan
prioritasnya.
e.
Mengumpulkan kembali urutan
prioritas menurut peserta, dan menyampaikan hasil akhir prioritas keputusan
dari seluruh peserta yang dimintai pendapatnya.
4. Workshop
Workshop atau lokakarya
merupakan salah satu metode yang dapat ditempuh pengawas sekolah dalam
melakukan supervisi manajerial. Metode ini tentunya bersifat kelompok dan dapat
melibatkan beberapa kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan/atau perwakilan
komite sekolah.
Penyelenggaraan workshop ini
tentu disesuaikan dengan tujuan atau urgensinya, dan dapat diselenggarakan
bersama dengan Kelompok Kerja Kepala Sekolah atau organisasi sejenis lainnya.
Sebagai contoh, pengawas sekolah dapat mengambil inisiatif untuk mengadakan
workshop tentang pengembangan KTSP, sistem administrasi, peran serta
masyarakat, sistem penilaian dan sebagainya.
Agar pelaksanaan workshop berjalan efektif, perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Menentukan
materi atau substansi yang akan dibahas dalam workshop. Materi workshop
biasanya terkait dengan sesuatu yang bersifat praktis, walaupun tidak terlepas
dari kajian teori yang diperlukan sebagai acuannya.
b. Menentukan peserta. Peserta workshop hendaknya
mereka yang terkait dengan materi yang dibahas.
c. Menentukan penyaji yang membawakan kertas kerja.
Kriteria penyaji workshop antara lain:
1) Seorang
praktisi yang benar-benar melakukan hal yang dibahas.
2)
Memiliki pemahaman dan libu/bapasan teori yang memadai.
3)
Memiliki kemampuan menulis kertas kerja, disertai contoh-contoh
praktisnya.
4)
Memiliki kemampuan presentasi yang baik.
5)
Memiliki kemampuan untuk memfasilitasi/membimbing peserta.
d. Mengalokasikan waktu yang cukup.
e. Mempersiapkan sarana dan fasilitas yang
memadai.[5]
Dalam pelaksanaan supervisi manajerial, pengawas dapat
menerapkan teknik supervisi individual dan kelompok. Teknik supervisi
individual di sini adalah pelaksanaan supervisi yang diberikan kepada kepala
Sekolah atau personil lainnya yang mempunyai masalah khusus dan bersifat
perorangan.
Teknik supervisi kelompok adalah satu cara
melaksanakan program supervisi yang ditujukan pada dua orang atau lebih.
Kepala-kepala Sekolah yang diduga, sesuai dengan analisis kebutuhan, memiliki
masalah atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan
menjadi satu/bersama-sama. Kemudian kepada mereka diberikan layanan supervisi
sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan yang mereka hadapi.
[1]
Depdiknas. 2007. Pedoman Pelaksanaan
Tugas Guru dan Pengawas: Jakarta, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan
[2] Nanag Fattah,
Sistem Manajemen Mutu pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm 102
[3] Al-amin Muhammad,
Manajemen Pengawas: Teori dan kesaksian, (Jakarta: kalam Indonesia, 206), hlm.
101
[4] Al-amin Muhammad,
Manajemen Pengawas: Teori dan kesaksian, (Jakarta: kalam Indonesia, 206), hlm.
112
[5] Nanag Fattah,
Sistem Manajemen Mutu pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm 107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar