APAKAH
KITA JUGA TERGOLONG ORANG MUNAFIK ???
DISKUSI SLIDE PPG PAI
TANDA ORANG MUNAFIK
Kemunafikan akan nampak
dalam sifat lahiriyah dan tidak nampak pada batinnya. Seperti misalnya
seseorang yang menampakkan dirinya shalih ketika berada di khalayak ramai.
Namun ketika tidak berada di keramaian, ia jauh berbeda. Oleh karena itu Al
Hasan Al Bashri mengatakan,
مِنَ النِّفَاقِ اِخْتِلاَفُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَاخْتِلاَفُ
السِّرِّ وَالعَلاَنِيَّةِ ، وَاخْتِلاَفُ الدُّخُوْلِ وَالخُرُوْجِ
“Di antara tanda
kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang
tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang
keluar.” (Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, 2: 490)
Intinya sebagaimana kata Ibnu
Rajab, kemunafikan ringan adalah adanya perbedaan antara yang nampak dan yang
tersembunyi.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ
عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Di antara tanda munafik ada tiga: jika
berbicara, dusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, ia khianat.”
(HR. Muslim no. 59)
Dalam riwayat lain
disebutkan,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ
أَنَّهُ مُسْلِمٌ
“Tanda munafik itu ada tiga, walaupun
orang tersebut puasa dan mengerjakan shalat, lalu ia mengklaim dirinya muslim.”
(HR. Muslim no. 59)
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ
مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ
فَجَرَ
“Ada empat tanda, jika seseorang
memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah
satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan
perilaku tersebut, yaitu: (1) jika diberi amanat, khianat; (2) jika berbicara,
dusta; (3) jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; (4) jika berselisih, dia
akan berbuat zalim.” (HR. Muslim no. 58)
Adapun tanda-tanda kemunafikan ada
lima:
1.
Jika berbicara, dusta.
Di antara hadits yang
menunjukkan dicelanya perbuatan dusta adalah hadits ‘Abdullah bin Mas’ud. Ibnu
Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى
إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku
jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan
sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa
berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah
sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena
sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan
mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk
berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
(HR. Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)
Asalnya
berbohong itu terlarang dikecualikan dalam tiga hal. Ketika itu berbohong jadi
rukhsoh atau keringanan karena ada maslahat yang besar. Ada hadits yang
menyebutkan hal ini,
أَنَّ
أُمَّهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِى مُعَيْطٍ وَكَانَتْ مِنَ
الْمُهَاجِرَاتِ الأُوَلِ اللاَّتِى بَايَعْنَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ
يَقُولُ « لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا
وَيَنْمِى خَيْرًا ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِى شَىْءٍ
مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ
بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ
زَوْجَهَا.
Ummu Kultsum binti
‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali
yang telah membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa ia
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak
disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia antara pihak yang
berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi
mendamaikan pihak yang berselisih, -pen).”
Ibnu Syihab
berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta
di dalamnya kecuali pada tiga perkara, “Peperangan, mendamaikan yang
berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan
untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no.
2605, lafazh Muslim).
2.
Jika berjanji, tidak menepati.
Ibnu Rajab menyebutkan
bahwa mengingkari janji itu ada dua macam :
a.
Berjanji dan sejak awal sudah berniat untuk tidak menepatinya.
Ini merupakan pengingkaran janji yang paling jahat.
b.
Berjanji, pada awalnya berniat untuk menepati janji tersebut,
lalu di tengah jalan berbalik, lalu mengingkarinya tanpa adanya alasan yang
benar.
Adapun jika
dia berniat untuk memenuhi janji tersebut, tetapi karena alasan tertentu atau
ada hal lainnya yang dapat dibenarkan, maka dia tidak termasuk dalam sifat
tercela ini.
Ada perkataan
dari ‘Ali, namun dalam sanad perkataan ini ada perawi yang majhul,
العِدَةُ
دَينٌ ، ويلٌ لمن وعد ثم أخلف
“Janji adalah utang.
Celakalah orang yang berjanji namun tidak menepati.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
2: 483)
Contoh
sederhananya, kalau janji pada anak kecil (seorang bocah) tetap harus ditepati.
Az Zuhri mengatakan dari Abu Hurairah, ia berkata,
من
قال لِصبيٍّ : تَعَالَ هاك تمراً ، ثم لا يُعطيه شيئاً فهي كذبة
“Siapa yang mengatakan
pada seorang bocah: “Mari sini, ini kurma untukmu”. Kemudian ia tidak
memberinya, maka ia telah berdusta.” Namun riwayat ini, sanadnya terputus
karena Az Zuhriy tidak mendengar dari Abu Hurairah. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
2: 485)
3.
Jika diberi amanat, khianat.
Allah Ta’ala berfirman,
يَأَيّهَا
الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرّسُولَ وَتَخُونُوَاْ
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah
kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang
kalian mengetahui” (QS. Al Anfal : 27).
Jika
seseorang dipercaya untuk memegang suatu amanah, maka dia wajib untuk menjaga
amanah tersebut sebaik mungkin, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنّ
اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدّواْ الأمَانَاتِ إِلَىَ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” (QS. An-Nisaa’:
58).
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ
الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanat pada orang yang
memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu”
(HR. Abu Daud no. 3535, Tirmidzi no. 1264 dann Ahmad 3: 414. Al Hafizh Abu
Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Hadits ini shahih menurut
Syaikh Al Albani lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no.
423).
4.
Jika berselisih, dia akan berbuat zalim”.
Yang dimaksud dengan al-fujuur di
sini adalah keluar dari kebenaran secara sengaja, sehingga dia menjadikan yang
benar menjadi keliru dan yang keliru menjadi benar. Ini yang membawanya kepada
dusta.
Dalam hadits
disebutkan,
إِنَّ
أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dibenci
oleh Allah adalah penantang yang paling keras”. (HR. Bukhari no.
2457 dan Muslim no. 2668)
Jika
seseorang mempunyai kemampuan bersilat lidah pada saat berdebat -baik
perselisihan itu berkenaan dengan masalah agama atau masalah dunia- untuk
mempertahankan kebatilan, dia menyuarakan kepada orang-orang bahwa kebatilan
itu sebagai suatu yang benar, serta menyamarkan yang benar dan menampilkannya
sebagai suatu kebathilan, seperti itu merupakan keharaman yang paling buruk serta
kemunafikan yang paling busuk.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya di antara penjelasan
(al-bayan) itu adalah sihir (yang membawa daya tarik)”. (HR.
Bukhari no. 5767)
5.
Jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi.
Allah ta’ala telah
memerintahkan supaya menepati janji, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala,
وَأَوْفُواْ
بِعَهْدِ اللّهِ إِذَا عَاهَدتّمْ وَلاَ تَنقُضُواْ الأيْمَانَ بَعْدَ
تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah
apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah
meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap
sumpah-sumpah itu)….” (QS. An Nahl: 91).
Dari Ibnu
‘Umar radliyallahu
‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda,
لِكُلِّ
غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلَانٍ
“Bagi setiap pengkhianat memliki
bendera pada hari Kiamat kelak. Lalu dikatakan kepadanya: “Inilah pengkhianat
si Fulan”. (HR. Bukhari no. 3187 dan Muslim no. 1735)
Tanda Munafik juga adalah Beda Lahiriyah dan Batin
Itulah tanda munafik,
beda antara yang lahir dan batin. Oleh karenanya sebagian ulama salaf
mengatakan,
خُشُوْعُ
النِّفَاقِ أَنْ تَرَى الجَسَدَ خَاشِعاً ، وَالقَلْبُ لَيْسَ بِخَاشِعٍ
“Khusyu’nya orang
munafik, jasad terlihat khusyu’. Namun hati tak ada kekhusyu’an.” (Jami’ul
‘Ulum wal Hikam, 2: 490)
Umar pernah
berkhutbah di atas mimbar, lantas ia mengatakan,
إنَّ
أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ المنَافقُ العَلِيْمُ ، قَالُوْا : كَيْفَ
يَكُوْنُ المنَافِقُ عَلِيماً ؟ قَالَ : يَتَكَلَّمُ بِالْحِكْمَةِ ، وَيَعْمَلُ
باِلجَوْر ، أَوْ قَالَ : المنْكَرِ
“Yang aku khawatirkan
pada kalian adalah orang berilmu yang munafik. Para sahabat lantas bertanya:
“Bagaimana bisa ada orang berilmu yang munafik?” Umar menjawab, “Ia berkata
perkataan hikmah, namun sayangnya ia melakukan kemungkaran.” (Idem)
Hudzaifah ditanya
mengenai apa itu munafik, ia menjawab,
الَّذِي
يَصِفُ الإِيْمَانَ وَلاَ يَعْمَلُ بِهِ
“Ia menyifati diri
beriman namun tak ada amalan.” (Idem)
Dari sini,
para ulama menyebutkan bahwa pria yang mengaku muslim namun tidak pernah
terlihat shalat berjama’ah di masjid, dinyatakan sebagai munafik.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata,
وَلَقَدْ
رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ
وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى
يُقَامَ فِى الصَّفِّ
“Aku telah melihat bahwa
orang yang meninggalkan shalat jama’ah hanyalah orang munafik, di mana ia
adalah munafik tulen. Karena bahayanya meninggalkan shalat jama’ah sedemikian
adanya, ada seseorang sampai didatangkan dengan berpegangan pada dua orang
sampai ia bisa masuk dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654).
Bahkan
tetangga masjid yang tak pernah terlihat di masjid, juga disebut munafik.
Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan,
كَفَى
عَلَماً عَلَى النِّفَاقِ أَنْ يَكُوْنَ الرَّجُلُ جَارَ المسْجِد ، لاَ يُرَى
فِيْهِ
“Cukup disebut seseorang
memiliki tanda munafik jika ia adalah tetangga masjid namun tak pernah terlihat
di masjid” (Fathul
Bari karya Ibnu Rajab 5: 458 dan Ma’alimus Sunan 1:
160. Lihat Minhatul ‘Allam, 3: 365).
Alasan Ulama Takut Tertimpa Kemunafikan
Cerita
Hanzhalah dan Abu Bakr berikut ini,
عَنْ حَنْظَلَةَ الأُسَيِّدِىِّ قَالَ –
وَكَانَ مِنْ كُتَّابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ – لَقِيَنِى
أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ قَالَ قُلْتُ نَافَقَ
حَنْظَلَةُ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مَا تَقُولُ قَالَ قُلْتُ نَكُونُ عِنْدَ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ
حَتَّى كَأَنَّا رَأْىَ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ
فَنَسِينَا كَثِيرًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ فَوَاللَّهِ إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ
هَذَا. فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَمَا ذَاكَ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا
رَأْىَ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ
وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ نَسِينَا كَثِيرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا
تَكُونُونَ عِنْدِى وَفِى الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى
فُرُشِكُمْ وَفِى طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً ».
ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Dari Hanzholah Al
Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku,
“Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi
munafik.” Abu Bakr berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?” Aku
menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan
kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan,
kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”
Kemudian aku
dan Abu Bakr pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku
berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu
teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu
benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka
kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun
banyak lupa.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di
tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan
kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka
niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di
jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya
sampai tiga kali. (HR. Muslim no. 2750).
Mereka masih
khawatir diri mereka munafik, padahal keduanya adalah sahabat yang mulia,
bagaimana lagi dengan kita-kita.
Demikianlah
sifat para sahabat, mereka takut tertimpa kemunafikan.
وقال
ابنُ أبي مُلَيْكَة : أَدْرَكْتُ ثَلاَثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله
عليه وسلم – كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ .
“Ibnu Abi Mulaikah
pernah berkata: Aku telah mendapati 30 orang sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, semuanya khawatir pada dirinya tertimpa
kemunafikan.” (HR. Bukhari no. 36)
Ada perkataan dari Imam Ahmad,
وسُئِلَ
الإمامُ أحمد : مَا تَقُوْلُ فِيْمَنْ لاَ يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ النِّفَاق ؟
فقال : وَمَنْ يَأمَنُ عَلَى نَفْسِهِ النِّفَاقَ ؟
Imam Ahmad pernah
ditanya, “Apa yang kau katakana pada orang yang tidak khawatir pada dirinya
kemunafikan?” Beliau menjawab, “Apa ada yang merasa aman dari sifat
kemunafikan?”
Al Hasan Al
Bashri sampai menyebut orang yang Nampak padanya sifat kemunafikan dari sisi
amal (bukan i’tiqod atau keyakinan), maka ia disebut munafik. Sebagaimana ada
perkataan Hudzaifah dalam hal itu. Seperti ada perkataan Asy Sya’bi semisal itu
pula,
مَنْ كَذَبَ ، فَهُوَ مُنَافِقٌ
“Siapa yang
berdusta, maka ia adalah munafik.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
2: 493)
Al Hasan Al Bashri berkata,
مَا
خَافَهُ إِلاَّ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ أَمَنَهُ إلِاَّ مُنَافِقٌ
“Orang yang khawatir
terjatuh pada kemunafikan, itulah orang mukmin. Yang selalu merasa aman dari
kemunafikan, itulah senyatanya munafik.”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
2: 491)
Hanya Allah
yang memberi taufik dan hidayah. Semoga Allah menyelamatkan kita dari
kemunafikan.
Sumber : https://www.rumaysho.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar