Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia
dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan
kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi
eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
bahkan juga dimensi global.
1.
Masalah
Sosial
Ada
sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi,
semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu
artinya, perubahan social merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan,
meskipun ada perubahan social yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan
cepat.
Bahkan
salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan fungsi
pendidikan, adalah melakukan inovasi-inovasi sosial, yang maksudnya tidak lain
adalah mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan
sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks.
Kenyataan
menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan
teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan sosial berjalan jauh lebih
cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai
akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol,
tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat.[1]
Dalam
kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan
perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat bahwa
negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan
ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
kedudukannya sebagai negara merdeka. Dengan kata lain, ketidak mampuan
mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan
menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian
harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.
2.
Masalah
Politik
Hubungan
antara politik dan pendidikan tampak demikian erat. Perkembangan
kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para
penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan
untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Menurut
Albernetty dan Combe (1965) dalam Agung Prihantoro (2000), bahwa hubungan
timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek
yaitu: Pembentukan sikap kelompok (group attitude) Aspek pertama yaitu
pembentukan sikap kelompok, dalam arti rakyat Indonesia telah menjadi korban
imperialisme budaya, sehingga mereka cenderung menginginkan sistem pendidikan
secara terpisah, maka dari itu timbul dua sistem yaitu: Sistem keagaman Islam
dan Sistem non keagamaan Islam, Maka lahirlah sekolah Islam, sekolah Kristen
dan lain-lain.[2]
Masalah pengangguran (unemployment) Aspek
kedua masalah pengangguran, dalam arti dalam dunia politik seseorang itu
dipersyaratkan harus mempunyai pendidikan yang cukup tinggi karena hanya publik
yang terdidiklah yang diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan
bangsa.
Sedangkan bagi mereka yang berpendidikan
rendah pengangguranlah baginya Peranan politik kaum cendekiawan (the political
role of the intelligentsia). Aspek ketiga peranan politik kaum cendekiawan,
dalam arti para cendekiawan mempunyai peranan penting dalam politik, karena
merekalah salah satu yang menjalankan roda pemerintahan dan mereka pulalah yang
mempengaruhi maju mundurnya politik dalam suatu Negara.
Karena
yang dinamakan cendekiawan pasti dia adalah orang yang bersal dari kalangan
ilmuan pendidikan yang sangat baik. Sehingga dia bisa berpereb dalam dunia
politik, yang mana proses dan lembaga-lembega pendidikan memiliki banyak
dimensi dan aspek politik. Sedangkan lembaga-lembaga tersebut mempunyai fungsi
penting dalam sistem politik dan terhadap perilaku politik dalam bentuk yang
berbeda-beda.
3.
Masalah
Ekonomi
Dalam rangka mencapai prestasi belajar anak
sudah barang tentu harus ditunjang oleh berbagai sarana dan media belajar
terutama dalam rumah tangga. Namun demikian, pemenuhan kebutuhan belajar anak
harus ditunjang oleh kecukupan dan kemantapan ekonomi keluarga. Ekonomi
keluarga sangat termasuk salah satu faktor keberhasilan dan kegagalan
pendidikan bagi anak.
Menurut
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono bahwa “Faktor biaya merupakan faktor faktor
yang sangat penting karena belajar dan kelangsungannya sangat memerlukan
biaya”. Misalnya untuk membeli alat-alat, uang sekolah dan biaya lainnya. Maka
keluarga yang miskin akan merasa berat untuk mengeluarkan biaya yang
bermacam-macam itu, karena keuangan dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan anak
sehari-hari.[3]
Lebih-lebih keluarga untuk dengan banyak anak,
maka hal ini akan merasa lebih sulit lagi. Keluarga yang miskin juga tidak
dapat menyediakan tempat untuk belajar yang memadai, di mana tempat belajar itu
merupakan salah satu sarana terlaksananya belajar secara efisien dan efektif.
Pembentukan pribadi dan sebagainya.
Upaya
apapun yang dilakukan oleh para pengelola sekolah dalam rangka menciptakan
proses belajar mengajar yang efektif dan efisien jika tidak ditunjang oleh
ekonomi keluarga pihak siswa (orangtua siswa), niscaya upaya itu akan sia-sia.
Misalnya,
lengkapnya media belajar dan sarana mengajar yang dimiliki oleh sebuah sekolah,
akan tetapi sarana belajar siswa di rumah kurang memadai, maka mungkin hanya
proses mengajar saja yang efektif dan efisien, tetapi proses belajar terutama
belajar mandiri di rumah tidak seperti apa yang diharapkan. Paradigma ini
menunjukkan bahwa masalah ekonomi dapat mempengaruhi proses belajar mengajar
siswa baik di sekolah maupun di rumah.
4.
Masalah
Budaya
Salah
satu budaya yang paling sederhana, dapat dilihat pada permasalahan perasaan
malu. Jika dulu perasaan malu dominan dalam kehidupan masyarakat, namun kini
perasaan tersebut semakin menipis dan menguap, sehingga melicinkan mereka untuk
melakukan hal-hal yang semula di pandang kurang bahkan tidak pantas.
Di
antara pengaruh dunia Barat yang tertanam pada bangsa kita, khususnya anak usia
sekolah adalah sebagai berikut: [4]
1. Selebmania
Seleb berarti ternama, kesohor atau figur.
Selebritis berarti orang ternama, kesohor atau yang
dijadikan figur, selebmania berarti pengagung berat tokoh-tokoh ternama
tersebut. Tokoh ternama yang dimaksud adalah artis atau mereka yang terjun di
dunia hiburan baik sebagai penyanyi, bintang film, sinetron, foto model,
peragawati, atau presenter dunia hiburan. Selebmania, kultusme atau kekaguman
yang berlebihan terhadap artis. Sekarang sudah menjadi wabah penyakit baru
dikalangan remaja modern, para remaja dengan tanpa melihat moral artis tetap
saja tergila-gila dengan sosok artis idolanya. Bahkan tak terbatas sampai di
sana, merekapun berlomba meniru artis pujaannya itu.
2. Premium
Call HP memiliki perluang besar untuk berbuat maksiat.
Dan tak dapat
dipungkiri ada juga premium call untuk tujuan positif premium call pada
hakekatnya merupakan salah satu kemudahan yang dihasilkan oleh jaringan
komunikasi pintar (intellegent network) dilingkungan PT melalui premium call
dapat diperoleh berbagai informasi yang mungkin diperlukan masyarakat yaitu
informasi umum/layanan masyarakat, hiburan, bisnis/ekonomi dan informasi
langsung. Kenyataan di lapangan premium call banyak disalah gunakan kini
premium call bukan hanya sebagai alat komunikasi saja.
Tetapi bentuk hand phone kini dianggap sebagai
asesoris untuk pelengkap penampilan sebagai penambah gaya, modis dan trendy,
mereka merasa malu/tidak gaul kalau tidak mempunyai alat tersebut, dan dan
mereka tidak mau ketinggalan zaman sehingga apa pun caranya mereka lakukan
untuk bisa membeli alat tersebut.
3. Diskotik
Diskotik atau Pub
Ini sudah dikenal sejak zaman penjajahan. Tempat ini
sudah dimafhumi sebagai tempat maksiat. Diskotik bukan saja tempat ajojing tapi
juga khalwat, ikhtilat pamer aurat mejeng tak karuan. Bahkan transaksi seks
tempat tersebut dikenal pula sebagai tempat mabuk-mabukan dan transaksi
narkoba.
4. Punk
Club
Ciri khas dari
punk adalah celana jeans sobek-sobek peniti cantel (safety pins) yang
dicantelkan atau di kenakan di telinga, pipi, aksesoris lain seperti swastika,
kalung anjing, dan model rambut spike-top dan mohican. Model rambut spike-top
atau model rambut standar kaum punk sementara model rambut mohican atau biasa
disebut dengan mohawk yaitu model rambut yang menggabungkan gaya spike-top
dengan cukur di bagian belakang dan samping untuk menghasilkan efek bentuk
bulu-bulu yang tinggi, atau sekumpulan krucut.
Kadang-kadang
mereka mengecet rambutnya dengan warna-warna cerah seperti hijau menyala, pink,
ungu dan orange. Punk adalah kelompok remaja radikal yang menentang berbagai
bentuk kemapanan hidup mereka ingin hidup bebas tanpa aturan. Dan danan yang
tidak karuan seperti itu bagi mereka sebuah kemajuan.
Para orang tua
hendaknya dapat membentengi putra-putrinya dengan pondasi moral yang kokoh agar
anak tidak terjerumus dalam kelompok berbahaya ini. Dan sesungguhnya masih amat
sangat banyak budaya-budaya di negara kita ini yang membuat pendidikan menjadi
terabaikan, dan pemakalah tidak mungkin memaparkan semuanya karena ada keterbatasan
dari pemakalah.
5.
Masalah
Globalisasi
Globalisasi
mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya
ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global.[5] Bila
dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti
terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh,
globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan.
Namun
gejala ke arah itu sudah mulai nampak. Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di
Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem)
yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka,
yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat
ISO. Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan
aktual pendidikan.
Permasalahan
globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan.
Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran
paradigma tentang keunggulan suatu negara, dari keunggulan komparatif
(Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara
keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas.[6]
Dalam
konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan
menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan
dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan
bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak
bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat
pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara
kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai
terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada
tingkat sekolah menengah.
Bila
persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi
sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya
“regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada
batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar
internasional.
Pada
jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama
disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian
ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk
memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi
permasalah serius bagi pendidikan nasional.
Globalisasi
memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia
juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena
pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan
harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari
permasalahan pendidikan masa kini.
[1] Muhadjir, Noeng,
Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social:
Suatu Teori Pendidikan. (Yogyakarta: Reka Sarasih, 1987), hlm.28
[2] Agung Prihantoro
dan Fuad Arief, Politik Pendidikan: Kebudayaan,
kekuasaan dan pembebasan, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm 105
[3] Ahmadi dan
Widodo Supriyono, Psikologi pendidikan,
( Jakarta: Rieneka Cipta, 1991), hlm. 87
[4] Kuntowijoyo,
Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2001), hlm 101
[5] Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan
dan Globalisasi. (Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 182
[6] Kuntowijoyo,
Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2001), hlm. 122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar