Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 14 Juni 2019

ALIRAN PROGRESIFISME DAN PEMBAHASANNYA


A.  Aliran progresifisme
1.    Sejarah Munculnya Aliran Progresifisme
Aliran progresivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang memandang bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan masalah.[1] Aliran Progressivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke XX dan sangat berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan yang didorong oleh terutama aliran naturalisme dan experimentalisme, instrumentalisme, evironmentalisme dan pragmatisme sehingga penyebutan nama progressivisme sering disebut salah satu dari nama-nama aliran tadi. Progressivisme dalam pandangannya selalu berhubungan dengan pengertian "the liberal road to cultural" yakni liberal dimaksudkan sebagai fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, serta ingin mengetahuidan menyelidiki demi pengembangan pengalaman. Progressivisme disebut sebagai naturalisme yang mempunyai pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta ini (bukan kenyataan spiritual dari supernatural).[2]
Naturalisme dapat menjadi materialisme karena memandang jiwa manusia dapat menurun kedudukannya menjadi dan mempunyai hakikat seperti unsur-unsur materi. Dan progressivisme identik dengan experimentalisme berarti aliran ini menyadari dan memperaktekkan bahwa experiment (percobaan ilmiah) adalah alat utama untuk menguji kebenaran suatu teori dan suatu ilmu pengetahuan. Disebut juga dengan instrumentalisme karena aliran ini menganggap bahwa potensi intelegensi manusia (merupakan alat, instrument) sebagai kekuatan utama untuk menghadapi dan memecahkan problem kehidupan manusia.
Dengan sebutan lain yakni environtalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup sebagai medan tempat untuk berjuang menghadapi tantangan dalam hidup baik lingkungan fislk maupun lingkungan sosial. Manusia diuji sejauh mana berinteraksi dengan lingkungan, menghadapi realita dan perubahan. Sedangkan disebut sebajai aliran pragmatisme dan dianggap aliran ini pelaksana terbesar dari progressivisme dan merupakan petunjuk bahwa pelaksanaan pendidikan lebih maju dari sebelumnya. Dari pemikiran yang demikian ini maka tidaklah heran kalau pendidikan progressivisme selalu menekankan akan tumbuh dan  berkembangnya pemikiran dan sikap mental, baik dalam pemecahan masalah maupun kepercayaan kepada diri sendiri bagi peserta didik. Progres atau kemajuan menimbulkan perubahan dan perubahan menghasilkan pembaharuan. Juga kemajuan adalah di dalamnya mengandung nilai dapat mendorong untuk mencapai tujuan. Kemajuan nampak kalau tujuan telah tercapai. Dan nilai dari suatu tujuan tertentu itu dapat menjadi alat jika ingin dipakai untuk mencapai tujuan lain lagi. misalnya faedah kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.[3]
2.    Ciri-ciri Utama
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Berhubung dengan itu progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mem punyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Padahal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti perhatian progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan. Kelompok ini meliputi: Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu Alam.[4]
3.    Pandangan-pandangan Aliran Progresivisme
a.       Pandangan progresivisme tentang pendidikan
Istilah progresivisme dalam bagian ini akan dipakai dalam hubungannya dengan pendidikan, dan menunjukkan sekelompok keyakinan-keyakinan yang tersusun secara harmonis dan sistematis dalam hal mendidik.Keyakinan¬keyakinan yang didasarkan pada sekelompok keyakinan filsafat yang lazim disebut orang pragmatism, instrumentalisme, dan eksperimentalisme.
Progresivisme sebagai filsafat dan progresifisme sebagai pendidikan eras sekali hubungannya dengan kepercayaan yang sangat luas dari John Dewey dalam lapangan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Democracy And Aducation. Disini Dewey memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasanya tentang pendidikan, serta mempraktekkannya disekolah-sekolah yang ia dirikan Menurut Dewey tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikanya lebih mengutamakan bidang studi yang berguna atau langsung bisa dirasakan oleh masyarakat seperti IPA, Sejarah, dan keterampilan.Progresivisme tidak menghendaki adanya mats pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan hams diusahakan terintegrasi dalam unit. Karena suatu perubahan selalu terjadi maka diperlukan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku, tidak menghindar, dari perubahan, tidak terikat le suatu dokrin tertentu, bersifat ingin tabu, toleran, berpandangan luas serfs terbuka.
b.      Pandangan Mengenai Kurikulum
Dewey menyatakan bahwa "thr good school is cocerned with every kind of learning that helps student, young and old, to grow" (2: 124). "sekolah yang baik ialah yang memperhatikan dengan sunguh-sungguh semua jenis belajar (dan bahannya) yang membantu murid, pemuda dan orang dewasa, untuk berkembang."[5]
Sikap progresivisme, yang memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Landasan pikiran ini akan diuraikan serba singkat. Yang dimaksud dengan pengalaman yang edukatif adalah peng alaman apa saja yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiada standar yang universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang "berpusat pada pengalaman".
Selain jenis ini, menurut progresivisme, yang dapat dipandang maju adalah tipe yang disebut "Core Curriculum", ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum.
Core curriculum maupun kurikulum yang bersendikan peng alaman perlu disusun dengan teratur dan terencana. Kualifikasi semacam ini diperlukan agar pendidikan dapat mempunyai proses sesuai dengan tujuan, tidak mudah terkait pada hal-hal yang insidental dan tidak penting. Maka, jelaslah bahwa lingkungan dan penga laman yang diperlukan dan yang dapat menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan ditujukan ke arah yang telah ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan ini di antaranya adalah yang di susun atas dasar teori dan metode proyek, yang telah diciptakan oleh William Heard Kilpatrick.[6]
c.       Pandangan Progressivisme Terhadap Budaya
Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan menifestasinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak kaku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Filsafat progressivisme menganggap bahwa pendidikan telah mampu merubah dan membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kultural dan tantangan zaman, sekaligus menolong manusia menghadapi transisi antara zaman tradisional untuk memasuki zaman modern (progresif).
Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan kuilitas hidup yang semakin terus maju. Kenyataan menunjukkan bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di pohon-pohon atau gua-gua. Hidupnya hanya bergantung dengan alam. Alamlah yang mengendalikan manusia. De ngan sifatnya yang tidak iddle curiousity (rasa keingintahuan yang terus berkembang) makin lama daya rasa, cipta dan karsanya telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna.
4.    Perkembangan Aliran Progressivisme
Meskipun pragmatisme-progressivisme sebagai aliran pikiran baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke 19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh ke belakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Heraclitus (± 544 - ± 484), Socrates (469 - 399), Protagoras (480 - 410), dan Aristoteles mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan terjadinya sikap jiwa yang disebut prag matisme-progressivisme. Heraclitus mengemukakan, bahwa sifat yang terutama dari realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asas perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epistemologi dengan axiologi. la mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan (perbuatan yang baik). la percaya bahwa manusia sanggup melakukan yang baik.
Dalam asas modern - sejak abad ke-16 - Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel dapat disebut sebagai penyumbang-penyumbang pikiran dalam proses terjadinya aliran pragmatisme-progressivisme. Francis Bacon memberikan sumbang an dengan usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus motode experimentil (metode ilmiah dalam pengetahuan alam). Locke dengan ajarannya kebebasan politik. Rousseau dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada di dalam manusia melulu karena kodrat yang baik dari para manusia. Menurut Rousseau manusia lahir sebagai makhluk yang baik. Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan, bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dm penyesuaian yang tak ada hentinya.
Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh pragmatisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Tkinas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada pragmatisme karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemuka kan teori tentang pikiran dan hal berpikir: pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu "bekerja", yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain dari pada membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia dan kedua hal itu tak dapat di pisahkan dari kegiatan intelek (berpikir).[7]
5.    Tokoh Progressivisme
Adapun tokoh Progressivisme ini yang dapat diambil sebagai contoh yaitu John Dewey. Pemikiran Dewey dalam dunia filsafat pendidikan termasuk dalam daftar tokoh aliran progresivisme. Progresivisme pendidikan adalah sebuah aliran filsafat pendidikan yang berorientasi ke depan dan memosisikan peserta didik sebagai salah satu subjek pendidikan yang memiliki bekal atau potensi dalam pengembangan dirinya serta berpotensi untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Progresivisme pendidikan John Dewey berarti teori-teori progresivisme pendidikan yang dikemukakan oleh John Dewey, seorang filsuf Amerika yang pragmatis.
Progresivisme bersifat evolusionistis dan percaya pada anggapan tentang adanya kemampuan manusia untuk mengadakan perubahan. Progresivisme beranggapan bahwa dalam merintis sebuah perubahan ke arah kemajuan, manusia dibantu oleh jiwa dan akalnya. Dalam progresivisme, kurikulum bersifat eksperimental, sedangkan isinya harus mencerminkan pengalaman yang edukatif. Oleh karena pengalaman bisa diperoleh di dalam maupun di luar kelas, maka sekolah harus menghindarkan diri dari sifat-sifat konvensional, yakni pemisahan dikotomis antara problem kelas dengan problem luar kelas. Dengan demikian garis pemisah antara sekolah dan masyarakat atau pendidikan formal dan non formal tidak diperlukan lagi.[8]
Kurikulum pendidikan harus berisi tentang berbagai pengetahuan dan kebenaran. Dewey menegaskan bahwa muatan kurikulum bagi peserta didik tidak boleh terlalu banyak. Dia mengkritik keberadaan sekolah kuno yang terlalu banyak muatan materi yang diberikan kepada peserta didik. Sekolah kuno bertujuan agar para siswa menduduki jabatan intelektual di kemudian hari, sehingga bahan pelajaran menjadi pusat (matter-centris). Hal ini jelas tidak realistis, sebab hanya sedikit saja yang dapat memenuhi tujuan tersebut. Menurut Dewey, materi ajar kepada siswa harus dikurangi dan diganti dengan latihan dan bekerja. Tidak hanya dengan berhitung orang dididik untuk berfikir tetapi juga dengan bekerja, begitu kata Dewey. Materi pada sekolah kuno juga sering terpisah dari realitas sosial, sehingga bersifat text book centris, ini jelas tidak banyak berguna bagi pemecahan persoalan sosial peserta didik. Mestinya, materi pendidikan juga berorientasi pada integrasi antara realitas sosial dengan teori-teori yang ada.
Dewey kemudian merekomendasikan kurikulum pendidikan yang berisi tentang berbagai materi pelajaran yang mempunyai nilai guna dalam hidup atau memberikan impulse bagi peserta didik. Materi ini antara lain terdiri dari manajemen pelaksanaan perusahaan dan industri, IPS dan IPA, materi liberal dan humanistik serta kesenian.[9]
Semuanya diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan melalui proses yang membebaskan.
Pelaksanaan pendidikan Dewey didasarkan pada aspek psikologi dan sosiologi. Dari aspek psikologis, kurikulum pendidikan harus memuat masalah yang diambilkan dari kehidupan anak dalam masyarakatnya sendiri, sejajar dengan perkembangan anak, sehingga pelajaran itu hidup. Misalnya: mengenai makanan, peternakan, pertanian, sejarah, penerangan, dan lain sebagainya. Sementara dari aspek sosiologis, mata pelajaran harus dipusatkan pada masalah yang bernilai fungsional untuk peserta didik. Dengan demikian harus ada kesesuaian antara teori dan praktik; juga tidak boleh terpisah secara dikotomis antara sekolah dan masyarakat.[10] Proses Pendidikan Progresivisme John Dewey Pandangan progresivisme mengenai proses pendidikan atau belajar dalam pendidikan bertumpu pada pandangan mengenai peserta didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Di samping itu, menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi pijakan pengembangan ide-ide proses pendidikan bagi progresivisme. Peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain. Dengan kecerdasan serta sifatnya yang dinamis dan kreatif, peserta didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problem-problem yang ada. Terkait dengan itu, usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam pendidikan. Peserta didik hendaklah dipandang tidak sekadar sebagai makhluk yang berkesatuan jasmani dan ruhani saja, melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan ruhani –terutama kecerdasan- perlu difungsikan secara aktif dalam memanfaatkan lingkungannya secara optimal. Ia perlu mendapat kebebasan dalam mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya. Di sini, agar sekolah dapat berlaku wajar, maka perlu terbuka dan tidak perlu ada dinding pemisah dengan masyarakat. Sekolah merupakan miniatur masyarakat kecil.
Dengan demikian diharapkan bahwa peserta didik dapat menghayati belajar yang edukatif dan bukan mis-edukatif. Yang pertama, belajar edukatif, adalah belajar yang secara bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang konstruktif, yang nilai-nilai dan syarat-syaratnya ditentukan berdasarkan konsepsi yang baik, yang dikehendaki oleh kebudayaan negara atau bangsa. Sementara yang kedua, belajar mis-edukatif, ialah belajar yang ditentukan oleh nilai-nilai yang kurang mendorong ke arah perkembangan yang dinamis, yang mengandung unsur-unsur yang berlawanan. Belajar model kedua bersifat tidak serasi dengan tujuan. Untuk suasana belajar edukatif, bisa dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas, sehingga pendidikan merupakan hidup itu sendiri.
Dewey menentang keberadaan sekolah kuno yang dalam proses pendidikannya terlalu meninggikan posisi guru, sehingga cenderung berperan sangat menentukan terhadap segala sesuatu (teacher-centris). Ini jelas kurang mendidik terhadap kebebasan berfikir siswa, dan yang terjadi adalah model paksaan dari guru kepada siswa. Bagi Dewey, ini tidak perlu terjadi. Guru hanyalah sebagai motivator, fasilitator, pendamping, dan penunjuk bagi minat siswa. Misal, peserta didik berminat terhadap ilmu alam, tetapi malas untuk berhitung, maka tugas guru adalah membimbing dan menunjukkan bahwa untuk bisa memahami ilmu alam, haruslah belajar untuk bisa berhitung, dan begitu seterusnya.
Di sekolah kuno, murid hanya mendengarkan (it is made for listening). Dewey menamai sekolah tradisional dengan sebutan sekolah duduk, sekolah dengar, sekolah percaya, sekolah pasif, juga sekolah buku karena anak dipaksa megambil hal yang telah lengkap dituturkan dan difikirkan dalam buku. Keadaan ini harus diubah, anak harus bekerja sendiri, mengamati, dan berfikir sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya, dan pada akhirnya menarik kesimpulan sendiri. Inilah makna istilah learning by doing yang dikehendaki Dewey dalam do school.
Menurut Dewey, metode pendidikan perlu dilakukan dengan disiplin; tetapi bukan disiplin otoritas, namun disiplin yang berorientasi pada aktivitas peserta didik. Cara yang ditempuh di sini adalah sebagai berikut. 1) Semua paksaan harus dibuang; guru harus bisa membangkitkan kekuatan internal peserta didik sehingga bisa mencapai mastery (ketuntasan). 2) Guru harus intim dengan kecakapan dan minat setiap peserta didik; tidak ada minat universal, yang ada adalah plural, sehinggga beragam dan berbeda, 3) Guru harus bisa menciptakan situasi di kelas, sehingga setiap peserta didik bisa berpartisipasi dalam proses belajar. Dengan demikian, cara mengajar harus diperhatikan oleh guru dan mendapat perhatian peserta didik. Guru harus memperhatikan insting yang dipunyai peserta didik dan guru juga perlu memperhatikan perkembangan jiwa peserta didik. Tujuan Pendidikan Progresivisme John Dewey
Pendidikan bertujuan untuk memberikan nilai-nilai bagi peserta didik sebagai pegangan dalam hidupnya. Dewey memandang bahwa sekolah merupakan lingkungan masyarakat kecil, dan cerminan daripadanya. Ini merupakan bentuk kehati-hatian dalam pengelolaan sekolah terhadap masyarakat. Setidaknya, sekolah jangan hanya sebagai ”menara gading” yang menjulang jauh di atas masyarakat. Keduanya perlu saling berinteraksi secara positif. Pandangan ini perlu dipegang dengan teguh disertai harapan terwujud, meskipun realisasinya tidak semata hasil terjemahan harfiah.[11] Dengan demikian, tujuan pendidikan dalam progresivisme pendidikan Dewey adalah untuk memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dewey menulis bahwa pendidikan itu mengehendaki (dalam tingkatan yang urgen) adanya filsafat pendidikan yang berlandaskan pada filsafat pengalaman. Secara singkat Dewey menyinggung adanya kesatuan rangkaian pengalaman. Kesatuan rangkaian pengalaman ini mempunyai dua aspek penting bagi pendidikan; 1) hubungan kelanjutan di antara individu dan masyarakat, dan 2) hubungan kelanjutan di antara fikiran dan benda. Dalam hal ini, Dewey sejalan dengan Plato, bahwa tidak ada individu atau masyarakat yang lepas antara satu dengan yang lain. Fikiran pun tidak bisa lepas dari aktivitas mental dan pengalaman. Maka pendidikan juga harus bertujuan untuk menghilangkan skat antara ruang kelas dan masyarakat. Dalam artian, ruang pendidikan di kelas merupakan forum untuk mendiskusikan berbagai persoalan di masyarakat.
Dewey juga melihat arti pentingnya bekerja. Bekerja memberikan pengalaman, dan pengalaman memimpin orang untuk berfikir, sehingga orang dapat bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman mempengaruhi pula budi pekerti orang. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman positif merupakan pengalaman yang benar, pengalaman yang berguna dan dapat diterapkan dalam kehidupan. Sementara pengalaman negatif adalah pengalaman yang tidak benar, merugikan, atau menghambat kehidupan dan tidak perlu dipakai lagi.[12] Pengalaman dalam suatu waktu terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan dan sebagai rentetan kejadian. Sebuah pengalaman harus bisa dibuktikan berguna atau tidak; yang tidak berguna harus dibuang.
Dengan begitu, pendidikan bertujuan untuk memberikan hal-hal yang berguna bagi peserta didik berdasar pada pengalaman-pengalaman yang ada. Pengalaman-pengalaman yang tidak membawa guna sebaiknya tidak dipakai lagi. Sekolah harus merupakan sekolah kerja, agar peserta didik selalu aktif dalam permainan dan bekerja. Pendidikan juga bertujuan untuk mencari dan mencari pengetahuan yang benar. The truth is in the making.
Menurut Dewey, pendidikan juga memberikan kesempatan hidup. Hidup itu menyesuaikan diri dengan masyarakat. Kesempatan diberikan dengan jalan berbuat secara individual maupun kelompok untuk mendapatkan pengalaman sebagai suatu modal berharga dalam berfikir kritis secara produktif dan berbuat susila. Sekolah yang dikehendaki Dewey adalah “sekolah kerja”. Masyarakat harus menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan warganya untuk pendidikannya, agar tidak bergantung pada dogma, melainkan berfikir secara bebas, disiplin, obyektif, kreatif, dan dinamis. Bagi Dewey peserta didik memiliki empat (4) insting; yakni insting sosial, membentuk/membangun, menyelidiki, dan kesenian.
Bagi Dewey, pendidikan bahkan merupakan kebutuhan hidup. Pendidikan merupakan suatu transmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Komunikasi adalah proses dari pernyataan empiris dan proses modifikasi watak, sehingga menjadi suatu keadaan pribadi. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap rancangan sosial memiliki bagian penting dari sebuah kelompok, dari yang tertua hingga yang termuda. Sebagai sebuah masyarakat yang sangat kompleks dalam struktur maupun sumber daya, manusia membutuhkan pengajaran formal serta proses pembelajaran. Maka pendidikan bermaksud untuk memberikan kesiapan hidup bagi peserta didiknya agar mudah dalam menjalani hidup.
Dewey menyatakan bahwa pendidikan itu “preparing or getting ready for some future duty or privilege” (mempersiapkan atau mendapat kesiapan untuk banyak tugas atau tanggung jawab di masa mendatang). Lebih lanjut, Dewey menegaskan, “The notion that education is an unfolding from within appears to have more likeness to the conception of growth which has been set forth. Dengan demikian, pemikiran Dewey tentang pendidikan lebih condong kepada suatu konsepsi pendidikan yang harus dibentangkan dari yang tampak dan memiliki banyak kesamaan dengan konsepsi pertumbuhan yang menjadi perlengkapan seterusnya. Progresivisme pendidikan Dewey mengehendaki adanya asas fleksibilitas demi memajukan pendidikan. Untuk tujuan itu, pendidikan harus bersifat demokratis; dan untuk mencapai demokratisasi pendidikan diperlukan modal yang besar, sehingga –bisa dikatakan- Dewey sangat mendukung terhadap program-program kapitalisme demi mewujudkan tatanan yang demokratis, baik dalam lingkup pendidikan maupun tatanan yang lebih luas. Dewey menegaskan:
“We still find a view put forth as to an intrinsic and necessary connection between democracy and capitalism which has a psychological foundation and temper. For it is only because of belief in ascertain theory of human nature that the two are said to be siamese twins, so that attack upon one is threat directed at the life of the other.”


[1] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007). Hlm. 53
[2] Uyoh Sadullah. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandumg: ALFABETA, 2007). Hlm. 141-142
[3] Djumberansyah Indar. Filsafata Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994). Hlm. 131-132
[4] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 28
[5] M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1998) Hlm. 252

[6] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 36
[7] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1975) Hlm. 22-24
[8] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 29.
[9] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 81-82
[10] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 77-78
[11] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan. (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002),  hlm. 61-62.
[12] Soejono. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bagian 1. (Bandung: CV. Ilmu, 1978), hlm. 128-130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar