Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 14 Juni 2019

ALIRAN PERENIALISME DAN BAHASANNYA


A.  Aliran Perenialisme
Perenialisme  diambil  dari kata  perennial, yang dalam  Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time”– abadi atau kekal.[1] Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman moderen telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau”  regresive road to culture. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada  kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhan nya. [2]
1.    Sejarah Perkembangan Aliran perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialis menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural.[3]
Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Peradaban-kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dari abad keabad.[4]
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
2.    Tokoh Aliran Perenialisme
Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja  Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme. Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya.
Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan  memaham’i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.  Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya.
3.    Prinsip-prinsip Pendidikan Perennialisme
Dibidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi  oleh tokoh tokohnya salah satunya yaitu Thomas Aquinas. St. Thomas Aquinas dianggap sebagai filosof skolastik terbesar. Dalam semua institusi pendidikan Katolik yang mengajarkan filsafat, sistemnya diajarkan sebagai satu-satunya sistem yang benar, ini sudah menjadi aturan baku yang ditetapkan oleh Leo XIII pada tahun 1879. Oleh karena itu, St. Thomas Aquinas tidak hanya penting dalam sejarah, tetapi pengaruhnya tetap hidup seperti Plato, Aristoteles, Kant dan Hegel.[5] Dalam banyak hal, St. Thomas Aquinas lebih dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles. Ia memberi tempat khusus atas pemikiran Aristotelian dalam tradisi Kristen dengan memberikan penghargaan yang relatif tinggi terhadap dunia alamiah dan pengetahuan manusia.[6] St. Thomas Aquinas memadukan sistem alam Aristoteles yang komprehensif dengan teologi dan etika Kristen dan menetapkan kerangka konseptual yang tetap tak terbantahkan selama abad pertengahan.[7]
Karya terpenting St. Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, ditulis selama tahun 1259-1264.[8] Adapun target ajaran Summa Contra Gentiles adalah kecenderungan naturalistik yang dilihatnya dengan jelas terdapat pada filsuf-filsuf Arab tertentu.[9] Menurutnya, tidak ada pertentangan antara rasio, akal budi dengan wahyu Tuhan. Sebuah aliran yang disandarkan padanya adalah Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besar ilmu pengetahuan berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.[10]
Pendidikan menurut St. Thomas Aquinas adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. St. Thomas Aquinas meyakini bahwa manusia mempunyai pembawaan baik. Kejahatan adalah tidak disengaja, bukan esensi dan mempunyai sebab aksidental yang baik.[11] Menurutnya, tujuan pendidikan adalah mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas aktif dan nyata.[12] Dalam hal ini guru memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada.
St. Thomas Aquinas mempunyai pengaruh besar terhadap gagasan-gagasan psikologi yang muncul dari doktrin mengenai kemauan bebas (free will).  Menurut St. Thomas Aquinas, setiap manusia dikuasai oleh jiwa yang baka, dan jiwa itu bukan dari dunia fana.  Pada hakekatnya, jiwa tersebut berada dalam dunia fana, tetapi bukan  milik dunia ini.  Itulah sebabnya, jiwa tidak tunduk pada hukum alam atau terbatas pada hukum sebab-akibat.  Bila demikian, maka keyakinan bahwa kita bebas menentukan perilaku kita masing-masing dan mengadakan pilihan yang konkrit sebagai manusia, memang merupakan suatu kenyataan.  Bila kemauan bebas merupakan suatu kenyataan, maka itu berarti mengerikan dan menyenangkan.  Mengerikan karena kita memikul beban berat pada bahu kita.  Pada akhirnya kita bertangungjawab atas setiap pilihan dan tindakan. Dan menyenangkan karena kita bukan robot atau benda.  Will atau kemauan diartikan sebagai kemampuan mental yang memungkinkan individu dapat menentukan pilihan secara sadar.[13]
Pola pikir filosofis St. Thomas Aquinas tampak dalam dua hal, yaitu metode skolastik dan analisa falsafatinya. Skolastik menjadi ciri khas sistem pendidikan di universitas-universitas Abad Pertengahan, yaitu para biarawan-rohaniwan mengelola dan membina lembaga-lembaga pendidikan. Pada zaman Aquinas tidak ada sistem atau ajaran filsafat yang baku dan seragam. Pengajar di pelbagai sekolah bebas mengekspresikan sudut pandangnya sendiri. Namun masih ada unsur-unsur tertentu yang mempersatukan ciri khas sekolah-sekolah. Unsur-unsur tersebut adalah Lectio (kuliah) dan disputatio (debat dialektis). [14]
Metode pembelajarannya dinamai disputatio, yakni metode yang meliputi debat dialektis tentang masalah-masalah yang ditemukan dalam teks. Pengajar menemui para mahasiswa untuk menentukan dan mempertimbangkan argumentasi “pro” dan “kontra” dan merumuskan ke dalam jawaban yang sistematis atas pertanyaan yang diperdebatkan pada saat disputatio. Suasana disputatio ini melatih sikap kritis yang sehat, dan cara berpikir yang otonom. [15]
St. Thomas Aquinas, filsuf sekaligus teolog, melengkapi pandangan Agustinus yang didasari oleh gagasan Plato dan terutama Neo-Platonisme, untuk memahami secara rasional pelbagai iman Kristiani. Sebagai misal, Agustinus berusaha membuat sintesa antara filsafat Yunani (Platonisme dan Neo-Platonisme) sebagai batu tumpuan pertama untuk menuju pengajaran kristianitas. Sedangkan St. Thomas Aquinas menggunakan filsafat Yunani (Aristoteles) sebagai dasar filsafat untuk meluruskan iman Kristiani. Dia melihat keberadaan Tuhan, yang dapat menjembatani kebenaran yang dicapai oleh iman maupun akal budi. Maksudnya, di satu pihak keberadaan Tuhan dapat diterima dalam iman, di pihak lain dapat dimengerti atas dasar argumen masuk akal. Jadi semua kebenaran adalah masuk akal, karena berasal dari Tuhan sebagai Being yang rasional.
Salah satu karya Aquinas yang menunjukkan bahwa tidak adanya pemisahan antara teologi dan filsafat adalah Summa Theologiae (1265-1273). Buku ini disusun berdasarkan metode disputatio skolastik, yaitu sebuah metode berpikir yang keseluruhannya terdiri atas quaestiones (pertanyaan-pertanyaan) dan articuli. Topik pembahasan selalu dianalisa dan dirinci dalam beberapa bagian. Setiap bagian dari topik itu selalu dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan. Aquinas mengemukakan jawaban-jawaban atas setiap pertanyaan. Sumber-sumber jawaban berasal dari Kitab Suci dan filsuf-filsuf sebelumnya; filsuf-filsuf pra-Sokratik, kalangan Bapa-Bapa Gereja purba, para filsuf Islam, serta filsuf Yahudi. Jawaban-jawaban tersebut ditanggapi lewat kritik. Sesudah itu, Aquinas memberikan pendapatnya sendiri sebagai jawaban akhir atas pertanyaan yang bersangkutan.[16] St. Thomas Aquinas bersifat sintetis-deduktif. Menjalankan metode ini berarti bertitik tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya, ditarik kesimpulan-kesimpulan.
4.    Pandangan-pandangan aliran perenialisme
a.    Pandangan tentang realita (ontologis)
Peremialisme memandang bahwa realita itu bersifat universal dan ada dimana saja, juga sama disetiap waktu. Inilah jaminan yang dapat dipenuhi dengan jalan mengerti wujud harmoni bentuk-bentuk realita, meskipun tersembunyi dalam satu wujut materi atau pristiwa-pristiwa yang berubah, atau pun didalam ide-de yang bereang.[17]
Relitas bersumber dan berujan akhir kepada relitas supranatural/tuhan (asas supernatural). Relitas mempunyai watak bertujuan (asas teleologis). Substansi realitas adalah bentuk dan materi (hylemorphisme).  Dalam pengalaman, kita menemukan individual ting.  Contohnya, batu,  rumput, orang, sapi, dalam bentuk, ukuran, warna dan aktivitas tertentu. Didalam individual ting tersebut, kita menemukan hal-hal yang kebetulan (accident). Contohnya, batu yang kasar atau  halus, sapi yang gemuk, orang berbakat olahraga. Akan tetapi, di dalam realitas  tersebut terdapat sifat asasi sebagai identitasnya (esensi), yaitu wujud suatu realita yang embedakan dia dari jenis yang lainnya. Contohnya, orang atau Ahmad  adalah mahluk berfikir. Esensi tersebut membedakan Ahmad sebangai manusia dari benda-benda, tumbuhan dan hewan. Inilah yang universal dimana pun ada dan sama disetiap waktu.
Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individuIl, esensi, aksiden dan substansi. Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual disini adalah benda sebagaimana  nampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu.
Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya partikular dan uni versal, material dan spiritual.
b.    Pandangan tentang pengetahuan (Epistimologi)
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian.
lni berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi  dari sesuatu.   Kepercayaan terhadap kebenaran itu  akan terlindung apabila segala  sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan itu merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang  tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Seperti pada prinsip-prinsip yang di kemukakan oleh Aristoteles diatas.
c.    Pandangan tentang nilai (Aksiologi)
Pandangan tentang hakikat nilai menurut perenialisme adalah pandangan mengenai hal-hal yang bersifat spiritual. Hal yang absolut atau ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan oleh karna itu nilai selalu bersifat teologis.Menurut  perenialisme, hakikat manusia  juga  menentukan hakikat perbuatannya, sedangkan hakikat manusia pertama-tama tergantung pada jiwanya.
Jadi persoalan nilai berarti juga persoalan spiritual. Hakikat manusia adalah emansipasi (pancaran) yang potensial lang yang berasal dari dan dipimpin oleh  Tuhan, dan atas dasar inilah tujuan baik buruk itu dilakukan. Berarti dasar-dasar yang didukung haruslah teologis.[18]
d.   Pandangan tentang pendidikan
1)   Pendidikan
Perenialisme memandang edukation as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut.
Sejalan dengan hal diatas, perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat  universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai  suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
2)   Tujuan pendidikan
Bagi perenialist  bahwa nilai-nilai kebenaran  bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
3)   Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan  elite itelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam kehidupan. Sekolah bago perenialist merupakan peraturan-peraturan yang  artificial  dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.
4)   Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat  subject centered  berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran haris bersifat  uniform,  universal dan abadi, selain itu materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
5)   Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam  the great books  dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
6)   Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “mirid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi  self-discovery,  dan ia melakukan  moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang propesional yang  qualifietdan superior dibandingkan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge.



[1] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hlm. 27
[2] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hlm. 28
[3] Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), Hlm. 151.
[4] Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), Hlm. 151.
[5] Bertrand Russell. 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar ). Cet. 2. Hlm. 598
[6] Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmoderisme. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. Hlm. 110
[7] Suhar. Filsafat Umum. (Jakarta: Persada Press, 2009). Hlm. 122
[8] Bertrand Russell. 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar ). Cet. 2. Hlm. 600
[9] Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmoderisme. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. Hlm. 100
[10] Kukuh Silautama. 2009. Aliran Perenialisme dalam Pendidikan. http://kukuhsilautama.wordpress.com
[11] Bertrand Russell. 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar ). Cet. 2. Hlm. 606
[12] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hlm. 29
[13] Anonim Aquinas (Thomas Aquinas). http://psiko-edu.blogspot.com
[14] Davies, Brian. 1993.  The Thought of Thomas Aquinas.  Oxford : Clarendon Press. Hlm. 6
[15] Davies, Brian. 1993.  The Thought of Thomas Aquinas.  Oxford : Clarendon Press. Hlm. 10
[16]Etienne Gilson. 1948. The Philosophy of St. Thomas Aquinas. New York: Dorset Press. Hlm 37-38.
[17] Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: PENA, 2009). Hlm. 72
[18] Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: PENA, 2009). Hlm. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar