Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 14 Juni 2019

ALIRAN ESSENSIALISME


A.  Aliran Essensialisme
Kata esensialisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua kata, yaitu “esensi” yang berarti “hakikat, inti, dasar” dan ditambahkan menjadi “esensial” yang berarti “sangat perinsip, sangat berpengaruh, sangat perlu”.[1]
Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu. Menurut Esensialisme, yang esensial tersebut harus diwariskan kepada generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu karenaitu Esensialisme tergolong tradisionalisme.[2]
1.    Sejarah Lahirnya Aliran Essensialisme
Essensialisme adalah aliran filsafat pendidikan yang memandang bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai[3], kebudayaan yang telah ada sejak peradaban umat manusia, yang mempunyai kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.[4]
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme, yaitu yang tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan ke 14 Masehi. Pada zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama dizaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadapa tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia.
Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930 dengan beberapa orang pelopornya seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut dengan “the essensialist committee for the advancement of American Education” sementara Bagley sebagai pelopor esensialsme adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Colombia University. Bagley yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah mentransmiskan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.[5]
Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral anak muda. Setelah perang dunia ke-2, kritik terhadap pendidikan progresiv telah tersebar luas dan tampak merujuk pada kesimpulan : sekolah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan warisan-warisan intelektual dan sosial. Esensialisme, yang memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara yang sistematis dan berdisiplin. Aliran ini populer pada tahun 1930 an dengan populernya Wiliam Bagley (1874-1946).[6]
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progresivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika progresivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas.[7]
Dengan demikian Renaissans adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikiran esensialisme. Aliran esensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan progressivisme yang materialistik, yang serba bebas.
2.    Teori Pendidikan Esensialisme
Esensialisme mengharapkan agar pendidikan dan landasan-landasannya mengacu pada nilai-nilai yang esensial.[8] Dalam hal ini menurut esensialisme pendidikan harus mengacu pada nilai-nilai yang sudah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah berlaku secara turun-temurun dari zaman ke zaman.
Adapun beberapa pandangan esensialisme yang berkaitan dengan pendidikan yaitu sebagai berikut:
  1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan esensialisme adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terakumulasi, serta telah bertahan sepanjang waktu untuk diketahui oleh semua orang.[9] Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur pendidikan yang inti (esensial), pendidikan diarahkan mencapai suatu tujuan yang mempunyai standart akademik yang tinggi, serta pengembangan intelek atau kecerdasan.
  1. Kurikulum
Menurut aliran esensialisme kurikulum pendidikan lebih diarahkan pada fakta-fakta (nilai-nilai), kurikulum pendidikan esensialisme berpusat pada mata pelajaran.[10] Dalam hal ini ditingkat sekolah dasar misalnya, kurikulum lebih ditekankan pada beberapa kemampuan dasar, diantaranya yaitu kemampuan menulis, membaca dan berhitung. Sementara itu dijenjang sekolah menengah penekanannya sudah lebih diperluas, misalnya sudah mencakup sains, bahasa, sastra dan sebagainya.
Dalam hal ini menurut pandangan esensialisme kurikulum yang diterapkan dalam sebuah proses belajar menganjar lebih menekankan pada penguasaan berbagai fakta dan pengetahuan dasar merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi kelanjutan suatu proses pembelajaran dan dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum. Dengan kata lain penguasaan fakta dan konsep dasar disiplin yang esensial merupakan suatu keharusan. 
  1. Metode pendidikan
Dalam pandangan esensialisme, metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar lebih tergantung pada inisiatif dan kreatifitas pengajar (guru), sehingga dalam hal ini sangat tergantung pada penguasaan guru terhadap berbagai metode pendidikan dan juga kemampuan guru dalam menyesuaikan antara berbagai pertimbangan dalam menerapkan suatu metode  sehingga bisa berjalan secara efektif.
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered), umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan dan mereka harus dipaksa belajar. Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
  1. Pelajar
Dalam pandangan esensialisme sekolah bertanggung jawab untuk memberikan pengajaran yang logis atau terpercaya kepada peserta didik, sekolah berwenang untuk mengevaluasi belajar siswa.[11] Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa siswa adalah mahluk rasional dalam kekuasaan (pengaruh) fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yang diasah melakukan latihan-latihan intelek atau berfikir, siswa kesekolah adalah untuk belajar bukan untuk mengatur pelajaran sesuai dengan keinginannya. Dalam hal ini sangat jelas dalam pandangan esensialisme bahwa pelajar harus diarahkan sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dakui dan tercantum dalam kurikulum, bukan didasarkan pada keinginannya.
  1. Pengajar
Menurut pandangan aliran filsafat esensialisme, dalam proses belajar mengajar posisi guru adalah sebagai berikut:
1)   Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan menguasai kegiatan-kegiatan di kelas.
2)   Guru berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan yang hendak ditanamkan kepada peserta didik.
Dengan kata lain dalam pandangan esensialisme dalam proses belajar menganjar pengajar (guru) mempunyai peranan yang sangat dominan dibanding dengan peran siswa, hal ini tidak terlepas dari pandangan mereka tentang kurikulum dan juga tentang siswa dimana siswa harus diarahkan sesuai dengan kurikulum yang sesuai dengan nilai-nilai yang sudah teruji dan tahan lama, sehingga guru mempunyai peranan yang begitu dominan dalam jalannya proses belajar menganjar.

Aliran esensialisme, dengan bercokol dari filsafat-filsafat sebelumnya, dapat memenuhi nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang korelatif sejak empat abad ke  belakang, sejak zaman Renaisance sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme awal. Sedangkan puncak dari gagasan ini adalah pada pertengahan abad ke-19,[12]dengan munculnya tokoh-tokoh utama yang berperan menyebarkan aliran esensialisme.
3.    Tokoh-Tokoh Esensialisme Tokoh utama esensialisme pada permulaan awal munculnya adalah
a.       Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak. George Santayana, dengan memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).[13]
b.      Desiderius Erasmus (Abad 15-16), humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat. Dia berpandangan bahwa kurikulum disekolah harus bersifat humanistis serta bersifat internasional sehingga bisa menyentuh semua lapisan masyarakat termasuk kaum aristokrat maupun kaum menengah.[14]
c.       Johan Amos Comenius (1592-1670), adalah seorang yang memiliki pandangan realis dan dogmatis. Yang mengemukakan bahwa salah satu peranan utama pendidikan adalah membentuk manusia yang ideal yaitu yang sesuai dengan keinginan dan kehendak Tuhan. Hal ini dikarenakan menurutnya pada dasarnya dunia adalah dinamis dan bertujuan. Atau bisa dikatakan Johann Amos comenius adalah orang yang mempunyai pandangan yang dogmatis dan idealis yang bertentangan dengan pandangan progressif. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan [15]
d.      John Locke (1632-1704), berpandangan bahwa pendidikan idealnya selalu dekat dengan realitas kehidupan, bahkan sebagai perwujudan dari gagasannya tersebut John Locke mempunya sekolah kerja yang diperuntukkan bagi golongan anak-anak kurang mampu (miskin).
e.       Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), sebagai seorang tokoh yang berpandangan naturalis Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga  pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan bahwa manusia juga mempunyai transendental langsung dengan Tuhan.
f.        Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai tokoh yang berpandangan kosmis-sintesis dengan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap  pendidikan, Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berprestasi kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
g.      Johann Friederich Herbert (1776-1841), sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang  berpandangan kritis, Herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai  pengajaran yang mendidik. Bahwa tujuan pendidikan adalah upaya untuk mewujudkan kserasian (kesinergian) jiwa seseorang dengan kebijaksanaan Tuhan atau dengan kata lain adanya penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Pengajaran merupakan proses untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu mewujudkan manusia yang ideal yang sesuai dengan hukum-hukum kesusilaan dan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh Tuhan.[16]
h.      William T. Harris (1835-1909), tokoh dari Amerika yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel dengan berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Tugas pendidikan  baginya adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti[17] dan didasarkan pada kesatuan spiritual berdasarkan kesatuan yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun  penyesuaian diri kepada masyarakat.[18]
Filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)   Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2)   Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
3)   Kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4)   Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.[19]
4.    Pandangan-pandangan[20] Aliran Esensialisme
a.    Pandangan relita (ontologi)
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
Kurikulum sekolah  bagi esenisalisme semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan keagungan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola idealisme, realisme dan sebagainya. Adapun uraian mengenai realisme dan idealisme ialah:
1)      Realisme yang mendukung esensialisme yang disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tcmpat manusia di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisika dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jalan khusus. Dengan demikian berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkan menurut hukum alam di antaranya daya tarik bumi. Sedangkan oleh ilmu-ilmu lain dikembangkanlah teori mekanisme, dan dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab akibat, tarikan dan tekanan mesin yang sangat besar.
2)      ldealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Maksudnya adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semestaini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah nyata. Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis.
b.    Pandangan tentang pengetahuan (Epistimologi)
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistimologi esensialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari relita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, makna manusia pasti mengetahui dalam tingkat kualitas apa rasionya manpu  memikirkan kesemestaan itu.dan berdasarkan kualitas itulah manusia memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam bidang-bidang: ilmu alam, biologi, sosial, estetika, dan agama.

c.    Pandangan tentang nilai (aksiologi)
Nilai, seperti hanyalah pengetahuan  berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai terganung dari pandangan yang timbul dari relisme dan idealisme.Menurut realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konsepsuil terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau lanjutnya akan tergantung pula dari sikap subyek.Menurut idealisme, sesuatu yang nampak pada dunia temporal itu belum tentu mempunyai nilai bagi manusia. Sebb nilai itu berakar pada hal-hal yang temporal saja seperti halnya awan putih  pada pagi hari masih tampak, tetapi siang atau sore hari sudah hilang.
5.    Kelebihan dan Kelemahan Aliran Esensialisme:[21]
Kelebihan:
a.    Esensialisme membantu untuk mengembalikan subject matter ke dalam proses pendidikan, namun tidak mendukung perenialisme bahwa subject matter yang benar adalah realitas abadi yang disajikan dalam buku-buku besar dari peradaban barat. Great Book tersebut dapat digunakan namun bukan untuk mereka sendiri melainkan untuk dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada pada dewasa ini.
b.    Esensialis berpendapat bahwa perubahan merupaka suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupan sosial. Mereka mengakui evolusi manusia dalam sejarah, namun evolusi itu harus terjadi sebagai hasil desakan masyarakat secara terus-menerus. Perubahan terjadi sebagai kemampuan imtelegensi manusia yang mampu mengenal kebutuhan untuk mengadakan amandemen cara-cara bertindak,organisasi,dan fungsisosial.
Kelemahan:
a.    Menurut esensialis, sekolah tidak boleh mempengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini mengakibatkan adanya orientasi yang terikat tradisi pada pendidikan sekolah yang akan mengindoktrinasi siswa dan mengenyampingkan kemungkinan perubahan.
b.    Para pemikir esensialis pada umumnya tidak memiliki kesatuan garis karena mereka berpedoman pada filsafat yang berbeda. Beberapa pemikir esensialis bahkan memandang seni dan ilmu sastra sebagai embel-embel dan merasa bahwa pelajaran IPA dan teknik serta kejuruan yang sukar adalah hal-hal yang benar-benar penting yang diperlukan siswa agar dapat memberi kontribusi pada masyarakat.
c.    Peran guru sangat dominan sebagai seorang yang menguasai lapangan, dan merupakan model yang sangat baik untuk digugu dan ditiru. Guru merupakan orang yang menguasai pengetahuan dan kelas dibawah pengaruh dan pengawasan guru. Jadi, inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada siswa.



[1] Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia,( Jakarta: Pustaka Agung Harapan), 2012, hlm. 162
[2]Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), hlm.14.
[3] Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany (terj: Hasan Langgulung),  Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Hlm. 14
[4] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[5]Djumransyah, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Bayumedia, 2004), hlm.183.
[6] Djumransyah, Filsafat Pendidikan, hlm. 184.
[7]Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2008), hlm.102-103.
[8] Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan,Banda. (Aceh: Yayasan Pena). Hlm. 70
[9] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Aggota IKAPI, 2007). Hlm. 161
[10] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Aggota IKAPI, 2007). Hlm. 162
[11] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Aggota IKAPI, 2007). Hlm. 165
[12] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Arruz Media, 2010), Cet. III, hlm. 100
[13] Wahyudi. Aliran Esensialisme. Dalam http://wahyudisy.blogspot.com
[14] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[15] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[16] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[17] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982), Hlm. 38-40
[18] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[19]Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1986), Hlm. 96.
[20] Parasetya,  Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia,  2002). Hlm. 85 
[21] Makalah Filsafat Pendidikan. Dalam http://adanfa.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar