BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam
merupakan agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga membawa
bangsa Arab dari masa keterbelakangan, bodoh dan lainnya menjadi bangsa yang
maju dan terkenal sampai sekarang ini. Pada masa perkembangannya, Islam
mengalami beberapa kali pergantian khalifah untuk meneruskan perjuangan
menegakkan agama Allah, meskipun ada beberapa tahapan-tahapan pemerintahan yang
ada, Islam mengalami kemajuan dan juga mengalami kemunduran. Akan tetapi hal
ini tidak menyurutkan Islam berkembang dan dianut oleh banyak manusia di muka
bumi ini. Setelah Nabi wafat maka dakwah Islamiyah diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, yaitu sahabat-sahabat Nabi
yang di pandang bijaksana, dapat mempimpin jalannya pemerintahan dan mampu
memberikan pengarahan terhadap dakwah Islam, meneruskan
dakwah Rasulullah untuk menyebarkan agama Allah.
Di
antara sahabat-sahabat Rasulullah yang diangkat menjadi khalifah ada 4 orang,
yaitu yang pertama Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan
yang terakhir adalah Ali bin Abi Thalib. Setelah sebelumnya telah dibahas
mengenahi khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, maka kali ini akan dibahas
mengenai khalifah Utsman bin Affan.
Pada
masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman
perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan
ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring
dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama.
Pada manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga
dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian untuk
menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman
tersebut. Pada sisi lain Khalifah dituduh sebagai koruptor
dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta
dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan
bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
Dengan
beberapa kebijakan itulah sehingga banyak kalangan yang menilai kepemimpinan
khalifah berbau nepotisme yang kemudian berkembang melakukan langkah konspirasi
untuk menjatuhkan khalifah Utsman bin Affan, hingga akhirnya sampai pada tahap
pembunuhan.
B. Substansi Kajian
1. Khalifah Utsman bin Affan
Utsman bin Affan (574M – 656M)
adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, yang merupakan Khulafa’ur Rasyidin yang ke-3.
Nama lengkap beliau adalah Utsman bin Affan Al-Umawi Al-Quraisyi, berasal dari
Bani Umayyah. Lahir pada tahun keenam tahun Gajah. Kira-kira lima tahun lebih
muda dari Rasullulah SAW. Nama panggilannya Abu Abdullah dan gelarnya Dzun Nurrain
(yang punya dua cahaya). Sebab digelari Dzun Nuraian karena Rasulullah
menikahkan dua putrinya untuk Utsman yaitu Roqayyah dan Ummu Kultsum.
a. Nasab dan Keturunan Utsman bin affan
Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf
bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin luwa’I bin Ghalib bin Fihr bin
Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar
bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan.
Abu Amr, Abu Abdullah al Quraisy, al-Umawi Amirul mukminin Dzun
Nurain yang telah berhijrah dua kali dan suami dari dua putri Rasulullah SAW.
Ibu beliau bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdusy Syams
dan nenekya bernama Ummu Hakim Bidha’ binti Abdul Muthalib paman Rasulullah SAW.
Beliau salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberitakan masuk surga dan
salah seorang anggota dari enam anggota Syura serta salah seorang dari tiga
orang kandidat khalifah dan akhirnya terpilih menjadi khalifah sesuai denga
kesepakatan kaum Muhajirin dan Anshar, juga merupakan Khulafaurrasyidin yang
ketiga, Imam Mahdiyin yang diperintahkan megikuti jejak mereka.
b.
Ciri-Ciri dan Akhlak
Beliau
Beliau adalah seorang yang rupawan, lembut, mempunyai jenggot yang lebat, berperawakan sedang, mempunyai tulang persendian yang besar, berbahu bidang, berambut lebat, bentuk
mulut bagus yag berwarna sawo matang. Beliau memiliki akhlak yang mulia, sangat pemalu, dermawan dan terhormat, mendahulukan kebutuhan keluarga dan familinya dengan memberikan perhiasan
dunia yang fana. Mungkin beliau bermaksud untuk mendorong mereka agar
lebih mendahulukan sesuatu yang kekal dari pada sesuatu yag fana. Sebagaimana
yang telah dilakukan Rasulullah terkadang beliau memberikan harta kepada suatu
kaum dan tidak memberi kaum yang lain karena khawatir mereka akan dimasukkan
oleh Allah ke neraka. Sebagian kaum memprotes beliau karena perlakuan tersebut
sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Khawarij terhadap Rasulullah SAW
atas pembagian harta rampasan perang Hunain.
Utsman adalah
seorang yang saudagar yang kaya tetapi dermawan. Beliau adalah seorang pedagang
kain yang kaya raya. Kekayaan ini beliau belanjakan guna mendapatkan keridhaan
Allah, yaitu untuk pembangunan umat dan kemajuan Islam. Beliau memiliki
kekayaan ternak lebih banyak dari pada orang arab lainya.[1]
Tidak cukup Utsman Radhiyallahu ‘anhu
melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam seperti shalat, puasa, membayar zakat,
bahkan beliau menyerahkan segala-galanya untuk menyebarkan Islam, dan menolong
kaum muslimin.
Pada zaman Rasul SAW beliau
menginfakkan kebanyakan dari hartanya untuk menolong Islam dan kaum muslimin. Di
antara hal tersebut, ketika kaum Muhajirin datang ke kota Madinah, tidak ada
air tawar (untuk diminum) selain sumur yang dinamakan Rummah, sedangkan waktu
itu kaum muslimin tidak memiliki harta. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda: ”Barang siapa yang membeli sumur Ruumah, akan dijadikan timbanya
dengan timba kaum muslimin yang lebih baik darinya di Surga.” Utsman
Radhiyallahu‘anhu pun membelinya dari hartanya sendiri.”[2]
Di antaranya juga, pada waktu
perang Tabuk, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersiap-siap untuk
berangkat perang, mereka kekurangan bekal.Maka beliau bersabda :”Barangsiapa
yang memberibekal kepada pasukan (perang Tabuk) yang kesulitan,maka baginya
surga”. Ketika Utsman mendengar hal tersebut, beliaupun membekali
mereka. Beliau datang dengan membawa seribu dinar lalu beliau tuangkan
dipangkuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam membolak-balikkannya dengan tangan beliau, seraya mengatakan :”Tidak
akan memudharatkan Utsman bin Affan apa yang dia lakukan setelah hari ini”.
Beliau mengulang-ngulang berkali-kali.[3]
Di lain itu Utsman
memiliki sifat dan perangai yang sangat pemalu. Rasa malunya
bertambah pada waktu ia melihat orang. Sifat malunya tersebut membuat orang
lain menjadi malu padanya. Bersumber dari Aisyah, yaitu ketika Rasulullah
sedang duduk-duduk dan pahanya terbuka, Abu Bakar meminta izin masuk dan
diizinkan tanpa merupah posisi nya, ketika Umar datang meminta izin masuk dan
diizinkan pula tanpa merubah posisi. Namun ketika Utsman yang masuk Rasul
langsung menurunkan pakaiannya. Sesudah mereka semua pergi Aisyah berkata :
“Rasulullah, anda mengizinkan Abu Bakar dan Umar masuk dengan keadaan Anda
tetap begitu, tetapi sesudah Utsman yang meminta izin Anda menurunkan pakaian
Anda. “ Kata Rasulullah kepada Aisyah:
يا عا ئشة, ألانستحي من رجل ولله إنّ الملائكة لتستحي منه
“ Aisyah kita malu bukan
kepada seseorang yang malaikat sendiripun malu kepadanya.” Lalu Aisyah berkata:
“ Rasulullah, mengapa saya tidak melihat kepedulian anda terhadap Abu Bakar dan Umar
seperti kepada Utsman?” Dijawab oleh Rasulullah : “ Utsman orang yang sangat
pemalu. Saya kawatir kalau saya mengizinkannya dalam keadaan begitu ia tidak
dapat mengutarakan maksudnya.”[4]
c. Proses Utsman memeluk Islam
Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Masuknya
utsman ke dalam Islam berawal dari sebuah suara dalam mimpinya di bawah rindang pohon antara
Maan dan Azzarqa yang menyarankan agar beliau segera kembali ke Mekkah sebab
orang yang bernama Muhammad telah muncul membawa ajaran baru yang kelak akan
merubah dunia sebagai utusan tuhan. Setelah terbangun dari mimpinya beliau
bergegas kembali ke Mekkah dan menanyakan hal ihwal ataupun makna yang tersimpan dari kejadian
yang menimpanya. Kemudian beliau bertemu dengan Abu Bakar dan
mengajaknya untuk mengikuti langkahnya yang lebih dahulu memeluk Islam.
Lalu menghadaplah keduanya kepada Rasulullah untuk
menyatakan keislamannya. Sungguh tak terbilang pengorbanannya terhadap Islam,
tak terbatas pada hartanya saja yang selalu dibelanjakan di jalan Allah
nyawanya pun teramat sering terancam dengan berbagai pengucilan dan penyiksaan
dari kerabat dan pemuka Quraisy ketika mereka tahu keislamannya. Di sisi lain
Allah serta rasulnya begitu mencintainya sehingga pernah satu riwayat
disebutkan bahwa beliau adalah salah satu penghuni syurga yang akan menemani
rasul kelak. Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Persilahkanlah dia masuk dan beritakan kabar
gembira kepadanya, bahwa dia akan masuk Surga, dengan cobaan yang akan
menimpanya”
d. Istri dan Putra- Putri Beliau
Beliau menikahi Ruqoyah
binti Rasulullah SAW dan dianugrahi seorang anak yag bernama Abdullah dan
menjadikannya sebagai kuniyah. Pada masa jahiliyah beliau bernama
Abu ‘Amr. Setelah Ruqoyah wafat, beliau menikahi adiknya yang bernama Ummu
Kultsum dan kemudian Ummu Kultsum pun wafat. Ketika Ummu Kultsum wafat,
Rasulullah berkata; “Sekiranya kami punya anak perempuan yang ketiga, niscaya
aku nikahkan denganmu.”[5] Dari pernikahannya dengan Roqayyah lahirlah anak laki-laki. Tapi tidak
sampai besar anaknya meninggal ketika berumur 6 tahun pada tahun 4 Hijriah.
Kemudian beliau menikahi Fakhitah binti
Ghazwan bin Jabir dan dianugrahi seorang anak yang bernama Abdullah al-Ashghar.
Lantas beliau menikahi Ummu ‘Amr binti Jundub bin ‘Amr al-Azdyah dan dianugrahi
beberapa orang anak yang bernama ‘Amr, Khalid, Aban, Umar dan Maryam. Lalu
beliau meikah dengan Fatimah binti al-Walid bin Abdusy Syamsy bi al-Mughirah
al-Makhzumiyah dan lahirlah al-Walid, Sa’id da Ummu Utsman. Kemudian menikahi
Ummu al-Banin bin ‘Uyainah bin Hish al-Fazariyah dan dianugrahi seorang anak
yag bernama Abdul Malik dan dikatakan ‘Utbah. Lantas beliau menikahi Ramlah
binti Syaiban bin Rabi’ah bin Abdusy Syamsy bin Abdul Manaf bin Qushay dan
lahir beberapa orag anak yang bernama Aisyah, Ummu Aban, Ummu ‘Amr dan Banat
Utsman. Lalu beliau menikah dengan a’ilah binti al-Farafishah bin al-Ahwash bin
‘amr bin Tsa’labah bin al-Harits bin Hishn bin Dhamdham bin ‘Ady bin
Junab bin Kalb dan dianugrahi seorang anak yang bernama Maryam dan dikatakan
juga dengan ‘Anbasah. Ketika terbunuh beliau memiliki empat orang istri :
Na’ilah, Ramlah, Ummul Banin, dan Fakhitah. Dikatakan beliau telah menceraikan
Ummul Banin disaat beliau sedang terkepung.
e. Jihad Utsman bin Affan dan peranannya sebelum menjadi khalifah
Ketika kaum kafir Quraisy melakukan
penyiksaan terhadap umat Islam, maka Utsman bin ‘‘Affan diperintahkan untuk
berhijrah ke Habsyah (Abyssinia, Ethiopia). Ikut juga bersama beliau sahabat
Abu Khudzaifah, Zubair bin Awwam, Abdurahman bin ‘Auf dan lain- lain. Setelah
itu datang pula perintah Nabi SAW, supaya beliau hijrah ke Madinah. Maka dengan
tidak berfikir panjang lagi beliau tinggalkan harta kekayaan, usaha dagang dan
rumah tangga guna memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Beliau Hijrah
bersama-sama dengan kaum Muhajirin lainya.
Beliau tidak
dapat ikut serta dalam perang Badar karena sibuk
mengurusi putri Rasulullah SAW (istri beliau ) yang sedang sakit.
Jadi beliau hanya tinggal di Madinah. Rasulullah SAW memberikan bagian dari
harta rampasan dan pahala perang tersebut kepada beliau dan beliau
dianggap ikut serta dalam peperangan. Ketika istri beliau meninggal, Rasulullah
SAW menikahkan degan adik istrinya yang bernama Ummu Kultsum yang pada akhirnya
juga meninggal ketika masih menjadi istri beliau. Beliau ikut serta dalam
peperangan Uhud, Khandaq, perjanjian Hudaibiyah yag pada waktu itu Rasulullah SAW membai’atkan untuk Utsman
dengan tangan beliau sendiri.
Pada peristiwa Hudaibiyah, Utsman
dikirim oleh Rasullah untuk menemui Abu Sofyan di Mekkah. Utsman diperintahkan
Nabi untuk menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah di
Ka’bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan untuk memerangi penduduk Mekkah.
Suasana sempat tegang ketika Utsman
tak kenjung kembali. Kaum Muslimin sampai membuat Bait Ridhwan, bersiap untuk
mati bersama untuk menyelamatkan Utsman. Namun pertumpahan darah akhirnya tidak
terjadi. Abu Sofyan lalu mengutus Suhail bin Amir untuk berunding dengan Nabi
Muhammad SAW. Hasil perundingan dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah.[6]
Semasa Nabi SAW masih hidup, Utsman
pernah dipercaya oleh Nabi untuk menjadi walikota Madinah, semasa dua kali masa
jabatan. Pertama pada perang Dzatir Riqa’ dan yang kedua kalinya, saat Nabi SAW
sedang melancarkan perang Ghathafahan. Utsman bin Affan adalah seorang ahli
ekonomi yang terkenal, tetapi jiwa sosial beliau tinggi. Beliau tidak
segan-segan mengeluarkan kekayaanya untuk kepentingan Agama dan Masyarakat
umum. Sebagai Contoh:
a.
Utsman bin
Affan membeli sumur yang jernih airnya dari seorang Yahudi seharga 200.000
dirham yang kira-kira sama dengan dua setengah kg emas pada waktu itu. Sumur
itu beliau wakafkan untuk kepentingan rakyat umum.
b.
Memperluas
Masjid Madinah dan membeli tanah disekitarnya.
c.
Beliau
mendermakan 1000 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan
pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya ekspedisi
tersebut.[7]
d.
Pada masa
pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut
dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering.[8]
Karena Utsman termasuk salah seorang sahabat Nabi yang pandai tulis baca
serta memiliki kecerdasan dan kuat hafalannya, ia ditunjuk oleh Nabi menjadi
salah seorang penulis
wahyu. Selama pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Utsman merupakan sahabat senior yang
dimintai pendapatnya dan pertimbangan-pertimbangannya. Utsman menjadi pejabat yang amat dipercaya yaitu sebagai anggota dewan inti yang
selalu diminta pendapatnya tentang masalah-masalah kenegaraan, misalnya masalah
pengangkatan Umar. Dalam pemerintahan
Umar, Utsman diangkat sebagai sekertaris khalifah.[9] Dengan demikian Utsman mengetahui
benar langkah-langkah yang ditempuh Umar bin Khattab dalam memajukan Islam.
Rasulullah SAW pergi menunaikan haji wada’ bersama beliau. Rasulullah SAW
wafat dalam keadaan ridho terhadap Utsman bin Affan. Kemudian
beliau menemani Abu Bakar dengan baik dan Abu Bakar wafat dalam keadaan ridho terhadap
Utsman bin Affan. Beliau menemani Umar dengan baik dan Umar wafat dalam keadaan
ridho terhadap Utsman bin Affan, serta menetapkan bahwa beliau adalah salah
seorang dari enam orang anggota Syura dan beliau sendiri adalah orang yang
paling istimewa di antara anggota lainnya.
2. Proses Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah
Pada
masa pemerintahan Umar bin Khattab yang berlangsung selama 10 tahun, tepatnya ketika
beliau sakit dibentuklah dewan musyawarah untuk menentukan pengganti kekhalifahannya yang terdiri dari 6 orang yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalha bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Abdur Rahman bin Auf. Salah seorang putra
Umar, Abdullah ditambahkan pada komisi di atas tetapi hanya punya hak pilih dan
tidak berhak dipilih.
Dewan tersebut dikenal
dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas pokok menentukan siapa yang
layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam memerintah umat Islam.
Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali kesatuan
umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya indikasi disintegrasi.
Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada
yang lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari
mereka sebagai pengganti Umar. Tidaklah heran bila dalam sidang terjadi tarik
ulur pendapat yang sangat alot, walau pada akhirnya, mereka memutuskan Utsman
bin Affan sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab. Di antara kelima
calon hanya Tholhah yang sedang tidak berada di Madinah ketika terjadi
pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan
musyawarah pemilihan Khalifah pengganti Umar. Ia meminta pendapat masing-masing
nominasi. Saat itu, Zubair dan Ali mendukung Utsman. Sedangkan Utsman sendiri
mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya terhadap Utsman. berkata kepada Utsman ibn ‘Affan
disuatu tempat sebagai berikut:
Jika saya
tidak memba’yarmu (Utsman) maka siapa yang kau usulkan?Ia (Utsman) berkata
“Ali”. Kemudian ia (Abd al-Rahman bin Auf) berkata kepada Ali, jika saya tidak
memba’iatmu, maka siapa yang kau usulkan untuk dibai’at? Ali berkata, “Utsman”.
Kemudian Abd al-Rahman bin Auf bermusyawarah dengan tokoh-tokoh lainnya,
ternyata mayoritas memilih Utsman sebagai khalifah. Memperhatikan percakapan
dari dua sahabat tersebut, maka tampaklah bahwa sesungguhnya Utsman dan Ali
tidak ambisius menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk
menentukan khalifah secara musyawarah.[10]
Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar
lainnya. Akhirnya suara mayoritas menghendaki dan mendukung Utsman. Lalu ia
dinyatakan resmi sebagai khalifah melalui sumpah, dan bai’at seluruh umat Islam. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ali
sambil memegang tangannya,”Engkau punya hubungan kerabat dengan Rasulullah dan sebagaimana
diketahui, engkau lebih dulu masuk Islam. Demi Allah jika aku memilihmu,
engkau mesti berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau mesti patuh dan
taat.” Kemudian Ibn Auf menyampaikan hal yang sama kepada lima sahabat lainnya.
Setelah itu ia berkata kepada Utsman, “Aku membaiatmu atas nama sunnah Allah
dan Rasul-Nya, juga dua khalifah sesudahnya.” Utsman berkata, ”baiklah.”
Abdurrahman
langsung membaiatnya saat itu juga diikuti oleh para sahabat dan kaum muslim.
Orang kedua yang membaiat Utsman adalah Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian
kaum muslim bersepakat menerima Utsman sebagai khalifah setelah Umar bin
Khattab. Haris bin Mudhrab berkata,”Aku berjanji pada masa Umar, kaum Muslim
itu tidak merasa ragu bahwa khalifah berikutnya adalah Utsman.”[11]
Pemilihan itu berlangsung
pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik pada awal Muharram 24
H atau 644 M. Ketika Thalhah kembali ke Madinah Utsman memintanya menduduki jabatannya, tetapi Thalhah
menolaknya seraya menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan Khalifah Utsman
bin Affan berdasarkan suara mayoritas.
Saif bin Umar meriwayatkan dari Umar bin Syubbah dari ‘Amir
asy-Sya’bi bahwa ia berkata, “Dewan Syura bersepakat untuk memilih Utsman bin
Affan pada tanggal tiga Muharram tahun dua puluh empat Hijriyah. Ketika itu
telah masuk waktu shalat Ashar dan adzan dikumandangkan oleh Shuhaib.
Berkumpullah manusia antara adzan dan iqamat, kemudian beliau keluar dan
mengimami mereka shalat. Kemudian beliau menambahkan hadiah yang diberikan
kepada masyarakat sebanyak seratus, lalu mengutus delegasi keseluruh pelosok.
Beliau adalah orang pertama yang melakukan hal tersebut.”
Ibnu Katsir berkata, “Dari konteks yang telah kita sebutkan bahwa bai’at
tersebut dilakukan sebelum tergelincirnya matahari dan pembai’atan belum
selesai kecuali setelah Zhuhur. Pada waktu itu Shuhaib bertindak sebagai imam
shalat Zhuhur di masjid Nabawi. Shalat pertama yang diimami oleh khalifah Utsman
bin Affan adalah shalat Ashar, sebagaimana yang telah disebutkan oleh
asy-Syabi’I dan lain-lain.
Khutbah
pertama beliau dihadapan kaum muslimin, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Saif
bin Umar dari Badr bin Utsman dari pamanya berkata, “Ketika dewan syura
membai’at Utsman bin Affan, dengan keadaan orang yang paling sedih di antara
mereka, beliau keluar dan menaiki mimbar Rasulullah SAW dan memberikan
khutbahnya kepada orang banyak. Beliau memulai dengan memuji Allah dan
bershalawat kepada Nabi SAW dan berkata, “Sesungguhnya kalian berada di kampung
persinggahan dan sedang berada pada sisa-sisa usia maka segeralah melalukan
kebaikan yang mampu kalian lakukan. Kalian telah diberi waktu pagi dan sore. Ketahuilah
bahwa dunia dilapisi dengan tipu daya oleh karena itu maka janganlah
sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kalian, dan jangan (pula)
penipu(setan)memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah. Ambillah pelajaran dari
kejadian masa lalu kemudian bersungguh-sungguhlah dan jangan lalai, karena setan
tidak pernah lalai terhadap kalian. Mana anak-anak dunia dan temannya yang
terpengaruh dengan dunia akan menghabiskan usianya untuk bersenang-senang.
Tidaklah mereka jauhi semua itu.
Pada sejarahnya kemudian,
tarik ulur perbedaan pendapat tersebut mengandung banyak interpretasi.
Misalnya, dikatakan bahwa dalam pemilihan Khalifah Utsman ditemui beberapa
kecurangan, dan sebenarnya yang pantas menduduki kursi Khalifah setelah umar
adalah Ali bin Abi Thalib. Keberhasilan Utsman bin Affan menjadi Khalifah ditentukan
oleh peran lima tokoh yaitu Umar bin Khattab, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin
Abi Waqas, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Mereka ini masuk Islam
secara kolektif atas pengaruh Abu Bakar as-Shiddiq.
Dengan demikian, bila
dewan itu dipetakan dapat ditemukan dua kekuatan yang bersaing, yaitu poros Abu
Bakar dan Umar yang pro Utsman dengan poros Ali. Kini penganut Syi’ah
berpendapat bahwa terbentuknya dewan musyawarah dengan 6 anggota tersebut
merupakan “taktik politik” pro Utsman yang ingin agar Utsman menjadi Khalifah.
Wacana ini sangat ditentang oleh Abdul Hamid kisyik dengan dasar kesalehan dan
kerendahan hati Utsman, juga latar belakang sejarah Utsman yang berjuang demi
Islam.
Terpilihnya Utsman
sebagai Khalifah ternyata melahirkan perpecahan dikalangan pemerintahan Islam.
Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari persaingan kesukuan antara bani
Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah yang memang bersaing sejak zaman pra
Islam. Oleh karena itu, ketika Utsman terpilih masyarakat menjadi dua golongan,
yaitu golongan pengikut Bani Ummayah, pendukung Utsman dan golongan Bani Hasyim
pendukung Ali. Perpecahan itu semakin memuncak dipenghujung pemerintahan Utsman,
yang menjadi simbol perpecahan kelompok elite yang menyebabkan disintegrasi
masyarakat Islam pada masa berikutnya.
3. Kontribusi Utsman bin Affan sebagai Khalifah
a.
Perluasan
wilayah
Setelah Khalifah Umar bin
Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang membelot terhadap
pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan oleh pendukung-pendukung
pemerintahan yang lama(pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke daerah kekuasaan
Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh
kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat Persia agar
melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya,
pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus
melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga beberapa kota
besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan Turkistan jatuh menjadi wilayah
kekuasaan Islam.
Adapun daerah-daerah lain
yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan Islam adalah Khurasan dan
Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama Khuzaifah Ibnu
al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurosan dan
sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku
kalah dan meminta damai. Danpada tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil
menguasai Khurazan.[12]
Adapun tentang
Iskandariyah, bermula dari kedatangan kaisar Konstan II dari Roma Timur atau
Bizantium yang menyerang Iskandariyah dengan mendadak, sehingga pasukan Islam
tidak dapat menguasai serangan. Panglima Abdullah bin Abi Sarroh yang menjadi
wali di daerah tersebut meminta pada Khalifah Utsman untuk mengangkat kembali
panglima Amru bin ‘Ash yang telah diberhentikan untuk menangani masalah di
Iskandariyah. Abdullah bin Abi Sarroh memandang panglima Amru bin ‘Ash lebih
cakap dalam memimpin perang dan namanya sangat disegani oleh pikak lawan.
Permohonan tersebut dikabulkan, setelah itu terjadilah perpecahan dan
menyebabkan tewasnya panglima di pihak lawan.[13]
Selain itu, Khalifah Utsman
bin Affan juga mengutus Salman Robiah Al-Baini untuk berdakwah ke Armenia. Ia
berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi yang menentang dan memerangi
terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat menguasai Armenia. Perluasan Islam
memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi
Zarrah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi.
Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil
menguasai Asia kecil dan Cyprus.
Di masa pemerintahan
Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain:
Barqoh, Tripoli Barat, sebagian Selatan negeri Nubah, Armenia dan beberapa
bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu
Daria), negeri Balkh (Baktria), Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan. Jadi 6
tahun pertama pemerintahan Utsman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan
Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai
pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas
pada Asia kecil dan negeri Cyprus, serta Rhodes dan Trasoxania. Atas
perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus dan lainnya
bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa
kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.[14]
b.
Pembangunan
Angkatan Laut
Pembangunan angkatan laut
bermula dari adanya rencana Khalifah Utsman untuk mengirim pasukan ke Afrika,
Mesir, Cyprus dan Konstatinopel Cyprus. Untuk sampai ke daerah tersebut harus
melalui lautan. Oleh karena itu atas dasar usul Gubernur di daerah, Utsman pun
menyetujui pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan sarana
yang memadai.
Pada saat itu, Mu’awiyah,
Gubernur di Syiria harus menghadapi serangan-serangan Angkatan Laut Romawi di
daerah-daerah pesisir provinsinya. Untuk itu, ia mengajukan permohonan kepada
Khalifah Utsman untuk membangun angkatan laut dan dikabulkan oleh Khalifah. Sejak
itu Muawiyah berhasil menyerbu Romawi.[15]
Selain itu, Keberangkatan
pasukan ke Cyprus yang melalui lautan, juga mendesak ummat Islam agar membangun
armada angkatan laut. Pada saat itu, pasukan dipimpin oleh Abdullah bin Qusay
Al-Harisy yang ditunjuk sebagai Amirul Bahr atau panglima Angkatan Laut.
Istilah ini kemudian diganti menjadi Admiral atau Laksamana.[16]
Ketika sampai di Amuria dan Cyprus pasukan Islam mendapat perlawanan yang
sengit, tetapi semuanya dapat diatasi hingga sampai di kota Konstatinopel dapat
dikuasai pula.
Di samping itu, serangan
yang dilakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir melalui laut juga memaksa ummat
Islam agar segara mendirikan angkatan laut. Bahkan pada tahun 646 M, bangsa
Romawi telah menduduki Alexandria dengan penyerangan dari laut. Penyerangan itu
mengakibatkan jatuhya Mesir ke tangan kekuasan bangsa Romawi. Atas perintah
Khalifah Utsman, Amr bin Ash dapat mengalahkan bala tentara bangsa Romawi
dengan armada laut yang besar pada tahun 651 M di Mesir.
Berawal dari sinilah
Khalifah Utsman bin Affan perlu diingat sebagai Khalifah pertama kali yang
mempunyai angkatan laut yang cukup tangguh dan dapat membahayakan kekuatan
lawan.
c.
Kodifikasi
Al-qur’an
Penyebaran Islam
bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah, sehingga perbedaan
bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qira‘at dari qari‘ yang
sampai pada mereka. Sebagian orang Muslim merasa puas karena perbedaan tersebut
disandarkan pada Rasullullah SAW. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak
menimbulkan keraguan kepada generasi berikutnya yang tidak secara langsung
bertemu Rasullullah.
Ketika terjadi perang di
Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang
yang ikut menyerbu kedua tempat tersebut adalah Hudzaifah bin Aliaman. Ia
melihat banyak perbedaan dalam cara membaca Al-Qur‘an. Sebagian bacaan itu
tercampur dengan kesalahan tetapi masing-masing berbekal dan mempertahankan
bacaannya. Bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat hal tersebut beliau
melaporkannya kepada Khalifah Utsman. Para sahabat amat khawatir kalau
perbedaan tersebut akan membawa perpecahan dan penyimpangan pada kaum muslimin.
Mereka sepakat menyalin lembaran pertama yang telah di lakukan oleh Khalifah
Abu Bakar yang disimpan oleh istri Rasulullah, Siti Hafsah dan menyatukan umat
Islam dengan satu bacaan yang tetap pada satu huruf.[17]
Selanjutnya Utsman
mengirim surat pada Hafsah yang isinya kirimkanlah pada kami lembaran-lembaran
yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf dan
setelah selesai akan kami kembalikan kepada anda. Kemudian Hafsah
mengirimkannya kepada Utsman. Utsman memerintahkan para sahabat yang antara
lain: Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Sa‘ad Ibn Al-‘Ash dan Abdurahman
Ibnu Harist Ibn Hisyam, untuk menyalin mushhaf yang telah dipinjam. Khalifah Utsman
berpesan kepada kaum Quraisy bila anda berbeda pendapat tentang hal Al-Qur‘an
maka tulislah dengan ucapan lisan Quraisy karena Al-Qur‘an diturunkan di kaum
Quraisy. Setelah mereka menyalin ke dalam beberapa mushhaf Khalifah Utsman
mengembalikan lembaran mushhaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan
mushhaf yang yang telah disalinnya ke seluruh daerah dan memerintahkan agar
semua bentuk lembaran mushhaf yang lain dibakar.[18]
Al-Mushhaf ditulis lima
buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah Islam supaya disalin kembali dan
supaya menjadi
pedoman, satu buah disimpan di Madinah untuk Khalifah Utsman sendiri dan mushhaf
ini disebut mushhaf Al-Imam dan dikenal dengan mushhaf Utsmani.[19]
Jadi langkah pengumpulan
mushhaf ini merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan Khalifah Utsman
bin Affan yakni dengan meneruskan jejak Khalifah pendahulunya untuk menyusun
dan mengkodifikasikan ayat-ayat al-Qur an dalam sebuah mushhaf. Karena selama
pemerintahan Utsman, banyak sekali bacaan dan versi al-Qur’an diberbagai
wilayah kekuasaan Islam yang disesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing.
Dengan dibantu oleh Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat yang lain, Khalifah
berusaha menghimpun kembali ayat-ayat al-Qur an yang outentik berdasarkan
salinan Kitab Suci yang terdapat pada Siti Hafsah, salah seorang isteri Nabi
yang telah dicek kembali oleh para ahli dan huffadz dari berbagai kabilah yang
sebelumnya telah dikumpulkan.
Keinginan Khalifah Utsman
agar kitab al-Qur’an tidak mempunyai banyak versi bacaan dan bentuknya tercapai
setelah kitab yang berdasarkan pada dialek masing-masing kabilah semua dibakar,
dan yang tersisa hanyalah mushhaf yang telah disesuaikan dengan naskah
al-Qur’an aslinya. Hal tersebut sesuai dengan keinginan Nabi Muhammad SAW yang
menghendaki adanya penyusunan al-Qur’an secara standar.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa motif pengumpulan mushhaf oleh Khalifah Abu Bakar dan
Khalifah Utsman berbeda. Pengumpulam mushhaf yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar dikarenakan adanya kekhawatiran akan hilangnya Al-Qur‘an karena banyak
huffadz yang meninggal karena peperangan, sedangkan motif Khalifah Utsman
karena banyaknya perbedaan bacaan yang dikhawatirkan timbul perbedaan.
d.
Perluasan Masjid di Tanah
Suci
Sebuah jasa besar lainnya
dari khalifah Utsman bin Affan adalah pemikiran dan pelaksanaan perluasan
masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah dan Masjidil-Haram di Makkah
al-Mukarromah.
1)
Perluasan Masjid Nabawi
Dinding masjid Nabawi pada masa Nabi Muhammad berukuran setinggi tegak dan
terbuat dari susunan bingkah-bingkah tanah liat yang dikeringkan. Arah kiblat
pada masa-masa permulaan menghadap bait-Allah di Yerusslem hingga pintu masuk
berada pada penjuru dinding bagian selatan, berjumlah tiga buah pintu.
Belakangan arah kiblat dirubah menghadap bait Allah di
Makkah hingga pintu-pintu masuk pada dinding selatan itu ditutup.
Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). timbullah
perbandingan dengan rumah-rumah ibadat kepunyaan agama-agama lainnya, yang
berada di luar Arabia. Terbanding kepada bangunan-bangunan gereja pihak Nasrani
dan bangunan-bangunan pihak Keniset pihak Yahudi dan bangunan-bangunan kuil-api
pihak Majusi, yang demikian agung dan megah dan mengesankan, maka bangunan
masjid Nabawi itu dirasakan amat sederhana sekali, sedangkan tempatnya berada
di ibu kota kekuasaan Islam.
Suara-suara perbandingan yang diperdengarkan itu dapat dirasakan oleh
khalifah Utsman bin Affan. Ia pun membicarakannya dengan tokoh-tokoh terkemuka
dari kalangan al Shahabi di Madinah al-Munawwarah dan beroleh persetujuan untuk
perombakannya.
Pekerjaan besar itu dimulai pada bulan Rabiul-awal tahun 29 H/650 M. Dan
barulah selesai pada masa sepuluh bulan kemudian, yaitu pada bulan Muharram
tahun 30 H/651M.
Dindingnya terbuat dari batu berukir dengan bertatahkan perak.
Tiang-tiangnya terbuat dari batu pualam. Kasau-kasau atap yang berbentuk
cembung terbuat dari kayu pinus yang didatangkan dari Lebanon. Gerbang masuk
tetap berjumlah enam buah seperti masa khalifah Umar.
Tetapi luasnya kini berukuran 160 hasta x 150 hasta. Rumah-rumah penduduk
sekitar masjid yang termasuk daerah perluasan itu, dibeli satu persatunya
dengan harga yang layak. Pembiayaannya dikeluarkan dari pendaharaan
Bait-al-Mal.
2)
Perluasan Masjidil-Haram
Lapangan thawaf beralaskan jubin sekitar bait-Allah (ka’bah) pada masa
sekarang ini maka itulah yang disebut dengan lapangan Masjidil Haram. Pada masa
Nabi Muhammad dan masa khlifah Abu Bakar bersifat lapangan terbuka, berbataskan
dinding-dinding rumah kubus bertingkat kepunyaan penduduk, dengan lorong-lorong
sempit pada berbagai penjuru menuju arah lapangan ka’bah. Lorong sempit yang
berhadapan dengan hijar al-aswad maka itulah yang disebut dengan bab bani
Syaibah, yakni gerbang bani Syaibah, tempat bagi memulai thawaf. Bangunan yang
menghadap Hijr-Ismail pada arah utara maka itulah yang disebut
dengan Dar al-Nadwa yakni balai sidang para pembesar Quraisy
di kota Makkah. Bekas bangunan Dar al-Nadwa itu pada masa sekarang ini ditandai
dengan garisan jubin hitam berbentuk seperempat pada arah utara.
Khalifah Utsman membeli rumah-rumah yang berada sekitar lapangan Masjidil
Haram guna perluasannya. Tetapi lapangannya kini bukan sekedar dibatasi
dinding, tetapi sekitar lapangan itu dibangun ruangan-ruangan berceruk pada
empat penjurunya, dan antara ruangan berceruk dengan ka’bah terletak lapangan
terbuka dan itu dikerjakan oleh para ahli bangunan dari Syiria.[20]
4. Masa Pemerintahan
Kasus
hukum pertama yang beliau hadapi adalah kasus Ubaidillah bin Umar bin
Al-Khaththab. Kasusnya Abu Lu’lu’ah, pembunuh Umar, lantas membunuhnya,
kemudian ia juga membunuh seorang Nasrani yang bernama Jufainah dengan pedang.
Ia juga membunuh Al-Hurmudzan yang berasal dari Tustar. Dikatakan bahwa mereka
berdua adalah penghasut Abu Lu’lu’ah untuk membunuh Umar.
Para pencatat
sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua periode, yaitu pada
periode kemajuan dan periode kemunduran sampai ia terbunuh. Periode I,
pemerintahan Utsman membawa kemajuan luar biasa berkait jasa panglima yang ahli
dan berkualitas dimana peta Islam sangat luas dan bendera islam berkibar dari
perbatasan Aljazair (Barqah Tripoli, Syprus di front al-Maghrib bahkan
ada sumber menyatakan sampai ke Tunisia). Di al-Maghrib, diutara
sampai ke Aleppo dan sebagian Asia kecil, di Timur laut sampai ke Ma wara
al-Nahar –Transoxiana, dan di Timur seluruh Persia bahkan sampai
diperbatasan Balucistan (sekarang wilayah Pakistan), serta Kabul dan Ghazni.
Selain itu ia juga berhasil membetuk armada laut dengan kapalnya yang kokoh dan
menghalau serangan-serangan di laut tengah yang dilancarkan oleh tentara
Bizantium dengan kemenangan pertama kali di laut dalam sejarah Islam.
Pada periode
ke-II, kekuasaannya identik dengan kemunduran dengan kemunduran dengan huruhara
dan kekacauan yang luar biasa sampai ia wafat. Sebagian ahli sejarah menilai
bahwa Utsman melakukan nepotisme.Ia mengangkat sanak saudaranya dalam
jabatan-jabatan strategis yang paling besar dan paling banyak menyebabkan
suku-suku dan kabila-kabila lainnya merasakan pahitnya tindakan Utsman
tersebut. Para pejabat dan para panglima era Umar hampir semuanya dipecat oleh Utsman,
kemudian mengangkat dari keluarga sendiri yang tidak mampu dan tidak cakap
sebagai pengganti mereka. Adapun para pejabat Utsman yang berasal dari famili
dan keluarga dekat, diantaranya Muawiyah bin Abi sofyan, Gubernur Syam, satu
suku dan keluarga dekat Utsman. Oleh karena itu, Utsman diklaim bahwa ia telah
melakukan KKN.[21]
Kemajuan Islam yang begitu cepat
ternyata membawa benih krisis. Utsman yang mengantikan Khalifah Umar, dapat
dikatakan sebagai korban dari benih krisis tersebut. Selama 12 tahun
pemerintahannya, 6 tahun di awal pemerintahannya dipenuhi dengan kemajuan dan
keberhasilan. Sedangkan pada masa 6 tahun terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan
merupakan masa penuh dengan pertikaian di antara kaum muslimin, yang merupakan
akibat dari ketidak senangan sebagian mereka terhadap
kebijaksanaan-kebijaksanaan Utsman soal pemerintahan. Ia menemui kesulitan
dalam menghadapi perubahan dan luasnya wilayah Islam. Walaupun demikian, tidak
dapat dipungkiri bahwa usaha-usaha yang dilakukan Utsman selama masa pemerintahannya telah memberi kemajuan
Islam cukup banyak dan berarti.
Pada masa 6 tahun terakhir tersebut, situasi
itu benar-benar semakin mencekam, bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik dan
mempunyai alasan kuat untuk kemaslahatan ummat disalah fahami dan melahirkan
perlawanan dari masyarakat. Penulisan Al-Qur’an yang diperkirakan sebagai
langkah yang efektif malah menjadi menambah permasalahan dan bahkan mengundang
kecaman, dan juga Utsman malah dituduh tidak punya otoritas untuk menetapkan
edisi Al-Qur’an yang dibakukan itu. Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman
semakin besar dan menyeluruh. Ada beberapa hal yang mendasari kenapa hal itu
terjadi, yaitu pada saat pemerintahan Abu Bakar dan Umar para pejabat senior
tidak diperbolehkan keluar dari Madinah. Karena mereka adalah sebagai
percontohan bagi pejabat junior, namun aturan itu tidak diterapkan lagi oleh Utsman.
Utsman lebih cenderung dan lebih sering berdiskusi dengan pejabat junior yang
nota benenya adalah kaum kirabatnya sendiri yang haus akan kekuasaan dan
jabatan.[22]
Pada mulanya pemerintahan Khalifah Utsman berjalan lancar. Hanya saja
seorang Gubernur Kufah, yang bernama Mughirah bin Syu’bah dipecat oleh Khalifah
Utsman dan diganti oleh Sa’ad bin Abi Waqqas, atas dasar wasiat khalifah Umar
bin Khattab.
Kemudian beliau memecat pula sebagian pejabat tinggi dan pembesar yang
kurang baik, untuk mempermudah pengaturan, lowongan kursi para pejabat dan
pembesar itu diisi dan diganti dengan famili-famili beliau yang kredibel
(mempunyai kemampuan) dalam bidang tersebut.
Utsman bin Affan dianggap
melakukan nepotisme karena beliau mengangkat beberapa orang kerabatnya untuk
menduduki jabatan pemerintahan. Utsman bin Affan telah
dituduh melakukan politik nepotisme. Istilah “nepotisme” biasa dipakai untuk
menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga
dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya biasa dipakai
istilah “al-Muhabah”
yang berasal dari akar kata habba yang menunjukkan beberapa
makna antara lain: mantap dan kokoh, biji-bijian dan sifat pendek.[23] Makna yang sepadan dengan nepotisme adalah makna yang ketiga yakni
sifat pendek karena hanya membatasi sesuatu hanya kepada keluarga atau
rekan-rekannya semata. Dalam kegiatan politik, nepotisme merupakan tindakan yang tidak
boleh dilakukan, karena nepotisme tidak sejalan dengan perintah Allah untuk
berlaku amanah sebagai pemimpin. Dalam sabda Rasulullah ini beliau menekankan
bagaimana memberikan tugas kepada orang yang kompeten dan tidak memberikannya
kepada orang yang meminta jabatan tersebut, sekaligus informasi dari Nabi bahwa
suatu saat nanti, akan muncul kelompok yang suka melakukan nepotisme, maka pada
saat itulah, setiap orang membutuhkan kesabaran agar tetap selamat dunia dan
akhirat.
حدثنا محمد بن سنان قال حدثنا فليح ح و حدثني
إبراهيم بن المنذر قال حدثنا محمد بن فليح قال حدثني أبي قال حدثني هلال بن علي عن
عطاء بن يسار عن أبي هريرة قال بينما النبي صلى الله عليه وسلم في مجلس يحدث القوم
جاءه أعرابي فقال متى الساعة فمضى رسول الله صلى الله عليه وسلم يحدث فقال بعض
القوم سمع ما قال فكره ما قال وقال بعضهم بل لم يسمع حتى إذا قضى حديثه قال أين
أراه السائل عن الساعة قال ها أنا يا رسول الله قال فإذا ضيعت الأمانة فانتظر
الساعة قال كيف إضاعتها قال إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
“…Dari
Abu Hurairah, ketika Rasulullah sedang memberikan pengajian dalam suatu majlis,
datanglah seorang pedalaman seraya bertanya “Kapan hari kiamat?” akan tetapi
Rasulullah tetap melanjutkan pengajiannya, sebagian hadirin berkata bahwa Rasulullah
mendengar pertanyaannya akan tetapi tidak suka. Sebagian yang lain berkata
bahwa Rasulullah tidak mendengarnya. Setelah Rasulullah selesai pengajian,
beliau bertanya “Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Saya wahai
Rasulullah, lalu beliau menjawab “Jika amanah sudah disia-siakan, maka
tunggulah hari kiamat”, orang tersebut bertanya lagi “Bagaimana menyia-nyiakan
amanah” Rasulullah menjawab “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat.”[24]
Pada manajemen pemerintahannya,
Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik
strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah
terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun
daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagai alasan motif
nepotisme tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Muawiyah bin
Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam. Ia termasuk Shahabat Nabi,
keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
2)
Pimpinan
Bashrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir,
sepupu Utsman.
3)
Pimpinan
Kuffah, Sa’ad bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid bin ‘Uqbah, saudara tiri
Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan
baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id
sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
4)
Pemimpin
Mesir, Amr bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad bin Abu Sarah, yang
masih merupakan saudara seangkat (dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau
bahkan saudara sepupu) Utsman.
5)
Marwan bin
Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.[25]
Selain itu
khalifah Utsman juga mengeluarkan kebijakan yang berbeda dengan khalifah
sebelumnya. Salah satu kebijakan Utsman pada masa pemerintahannya, yaitu
membebaskan para sahabat ke manapun mereka suka. Tindakan ini wajar sesuai
dengan watak Utsman yang lemah lembut, tak sampai hati, pemurah, dan toleran. Utsman
mungkin juga sedang memikat hati mereka karena kebijakan-kebijakannya tak
jarang bertentangan yang para sahabat dipikirkan. Ia mungkin sudah merasa bahwa
ia telah mengambil berbagai kebijakan yang tidak mesti diterima oleh para
sahabat. Karena itu, adalah penting baginya untuk mengangkat harkat dan
martabat mereka. Dengan begitu mereka diharapan untuk tidak melakukan revolusi
atau sekedar marah.
Utsman juga
telah memberikan kepada orang dekatnya dari Bani Umayyah wewenang untuk
mengelolah beberapa kawasan tertentu, sesuatu yang tidak diperkirakan para
sahabat sebelumnya. Saat itulah para sahabat mulai terpikat untuk
berbondong-bondong keluar ke berbagai kawasan baru Islam. Kontan, mereka
terperangah manyaksikan bahwa dunia sangat menyambut kedatangan mereka dan
mereka pun bersiap untuk menyambut indahnya dunia.
5. Gelombang Fitnah
Ketika Utsman
bin Affan mengganti kedudukan Umar, beliau dianggap mulai menyimpang dari
kebijakan-kebijakan khalifah sebelumnya. Sedikit demi sedikit ia mulai menunjuk
sanak kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada
mereka keistimewaan lain yang menimbulkan protes-protes dan kritikan-kritikan
rakyat secara umum.”
Ketika Utsman
meninggalkan prinsip keadilan para sahabat yang shaleh menyampaikan protes
dengan berbagai cara. Ketika Sa’ad bin Waqqash, sahabat yang termasuk ashbiqun
al-Awwlun diganti dengan Walid ibn Uqbah, Abdullah bin Mas’ud keberatan ia tahu
Walid sama sekali tidak layak jadi Gubernur, Ibn Mas’ud mengundurkan diri
sebagai bendahara ia menyerahkan kunci Baitulmal kepada Walid: “siapa yang
mengubah, Allah akan mengubah apa yang ada pada dirinya. Siapa yang mengganti,
Allah akan murka kepadanya. Aku melihat sahabatmu (Utsman) telah mengubah dan
mengganti, mengapa ia memakzulkan orang yang seperti Sa’ad bin Waqqash dan
mengangkat Walid?”[26]
Di tengah
kemewahan yang berlimpah seorang sahabat Rasulullah SAW tidak suka melihat itu
semua, Abu Dzar al Ghifari adalah orang yang selalu memberi peringatan beliau
melihat itu semua sebagai bentuk kelalaian khalifah Utsman bin Affan maka ia
memberi peringatan kepada khalifah namun akibat dari itu Abu Dzar al-Ghifari di
kirim ke Syam. Beliau tidak ragu-ragu untuk berangkat ke Syam ketika mendengar
berita tentang kemewahan yang luar biasa, pendirian istana-istana,
gedung-gedung, rumah-rumah, dan kebun-kebun yang dimiliki serta dinikmati oleh
para amir di bawah pimpinan Mu’awiyah dan beberapa sahabat lain yang menurut
pendapat Abu Dzar tidak diciptakan untuk kesenangan dan kenikmatan dunia yang
fana. Di Syam ia mengibarkan panji oposisi yang hampir merobohkan kedudukan
Mu’awiyah.
Muawiyah
berusaha memenangkan kemarahannya. Sebenarnya, meskipun ia merasakan adanya
bahaya dalam kritikan Abu Dzar al-Ghifari terhadapnya, namun sikapnya terhadap
Abu Dzar tetap mengagungkan dan menghomatinya.
Ia cukup
menulis kepada khalifah sepucuk surat yang berbunyi, “Abu Dzar telah merusak
orang-orang di Syam,” maka datang balasan khalifah dengan segera kepadanya,
“kirimkanlah dia kepadaku.”
Abu Dzar
kembali ke Madinah dan berlangsung percakapan antara dia dan khalifah di mana
masing-masing tidak bisa menerima pandangan yang berbeda. Di sini ada dua
riwayat sejarah. Yang satu berkata bahwa khalifah memutuskan untuk
mengasingkannya ke Rabdzah, sebuah tempat yang jauh dari Madinah. Yang lain
berkata bahwa Abu Dzar sendiri yang meminta kepada khalifah agar mengizinkannya
keluar menuju Rabdazah, di mana ia menghabiskan sisa hari-hari di situ.[27]
Walaupun berbeda pendapat dengan khalifah namun Abu Dzar tetap sangat
menghormati khalifah tanpa ada niat mau melakukan pemberontakan segala
keputusan khalifah beliau taati.
Sahabat lain
yang melakukan kritik terhadap kebijakan beliau adalah Ammar bin Yasir. Ia
adalah seorang sahabat besar, kedua orang tuanya mati syahid di kayu siksaan,
di mana Quraisy ingin memadamkan cahaya Allah swt dan Ammar ikut merasakan
siksaan yang mengerikan itu. Bersama kedua orang tuanya pula Ammar diberitahu
Rasul SAW, tentang kabar gembira yang cemerlang ketika mereka sedang mengalami
siksaan yaitu. “Bersabarlah keluarga Yasir, karena tempat kalian kelak adalah
surga.”
Ammar telah
berselisih dengan khalifah mengenai beberapa masalah. Barangkali ia menangani
perselisihan itu dengan cara yang mengejutkan khalifah, terutama di akhir
pemerintahan Utsman, di mana sebagian gubernur-gubernur Bani Umayyah telah
berlebihan dalam kekerasan terhadap para penentang mereka, tanpa membedakan
antara sahabat besar yang menyatakan kebenaran dengan orang yang tendensius dan
pura-pura. Mungkin perselisihan antara khalifah dan Ammar diputuskan dengan
hak-hak persahabatan yang mahal, yang menggabungkan keduanya dari hari-hari
kesulitan dan kemenangan. Bahkan tetap begitu kenyataannya kendati makin hari
makin meningkat dengan bergejolaknya jiwa-jiwa yang semakin dipanasi oleh
peristiwa-peristiwa dan persekongkolan-persekongkolan.
Telah kita
lihat khalifah tidak melupakan Ammar ketika ia memilih di antara
sahabat-sahabat utama untuk membentuk panitia pencari fakta. Bahwa ia memilih
Ammar, kendati oposisi terhadap khalifah dan mengizinkannnya ke Mesir. Tatkala
utusan-utusan khalifah datang kecuali Ammar yang tinggal lama di Mesir, dan
kebetulan pada waktu itu di sana ada Abdullah bin Saba, maka para pengadu domba
mendapat kesempatan untuk menimbulkan kemarahan khalifah terhadap Ammar dengan
menganggap bahwa ia bertemu dengan Abdullah bin Saba dan mengikuti omongannya.
Namun perselisihan
yang banyak dicampuri kebencian di luar kebiasaanya di mana khalifah
mengandalkan tindakan keras adalah perselisihan yang terjadi antara khalifah
dan Abdullah bin Mas’ud, sedangkan Abdullah bin Mas’ud adalah seorang sahabat
yang cemerlang pengorbanannya, keberaniaan, serta persahabatannya dengan
Rasulullah SAW. Perselisihan antara khalifah dan Ibnu Mas’ud menghebat sehingga
khalifah menghentikan tunjangannya dari Baitul Maal.[28]
Berbagai cara,
bentuk protes yang dilakukan sahabat-sahabat Rasulullah terhadap khalifah,
namun tidak ada yang melakukan perlawanan apalagi ingin merusak sistem
kekhalifahan semua itu dilakukan agar mereka tidak terlena dalam kemewahan
dunia.
Tindakan beliau yang terkesan nepotisme tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan
di atas mengundang protes dari orang-orang yang dipecat, di sinilah Abdulah bin Saba’
mengambil peran, maka Abdulah bin Saba’ bersama gerombolannya datang menuntut agar pejabat-pejabat dan para pembesar yang diangkat oleh Khalifah
Utsman ini dipecat pula. Usulan-usulan Abdullah bin Saba’ ini ditolak oleh
khalifah Utsman.
Pada masa kekhalifan Utsman bin Affan-lah aliran Syiah lahir dan Abdullah
Bin Saba’ disebut sebagai pencetus aliran Syi’ah tersebut. Abdullah ibn Saba’ adalah
seorang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ia merupakan provokator yang berada
di balik pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Ibnu Saba’ melakukan
semuanya itu didasarkan motivasi dirinya untuk meruntuhkan dasar-dasar Islam
yang telah dipegang teguh oleh umat Islam. Niatnya masuk Islam hanyalah sebagai
kedok belaka untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Khalifah Utsman, sehingga
muncullah kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam di
antaranya adalah Fustat (Kairo), Kufah, Basrah, dan Madinah.
Ia memotori para sahabat untuk membuat gerakan-gerakan pembrontakan,
sahabat yang terpancing oleh tipu daya muslihat Abdullah ibn Saba’ adalah: Abu
Zar al-Ghiffari, Ammar ibn Yasir`dan Abdullah ibn Mas’ud. Sebenarnya Abdullah ibn Saba’ telah
cukup lama menantikan moument ini, dimana situasi ini dapat menghancurkan
Islam, yang pertama-tama ia mempropaganda barisan pengikut Ali ibn Thalib.
Waktu itu barisan pengikut Ali selalu
dimarjinalkan oleh pejabat-pejabat dari pihak Utsman, isu-isu yang dilancarkan
oleh Abdullah ibn Saba’ bagaikan gayung bersambut, dan saat itu lahirlah
golongan yang disebut denagn “Mazhab Whisayah”, Mazhab ini mempunyai ideologi
bahwa Alilah yang berhak menjadi Khalifah dan dia adalah orang yang mendapat
wasiat dari NAbi Muhammad SWA. Dan para penganut mazhab ini sangat memuliakan
Ali sebagaimana rasul menjulukinya sebagai “Pintu Ilmu”. Paham tersebut sesuai
dengan doktrin dan ideologi yang dibawa oleh Abdullah ibn Saba’ dan ia
menambahi paham itu dengan paham-paham yang dibawanya dari Persi yaitu paham
“Hak Ilahi”, aliran ini berasal dari Persi yang dibawa ke Yaman tempat
kelahiran Abdullah ibn Saba’ fase sebelum datangnya Islam. Menurut paham ini
Ali-lah yang berhak sebagai Khalifah tetapi Utsman mengambilnya dengan jalan
pemaksaan.[29]
Abdullah bin Saba’ kemudian membuat propoganda yang hebat dalam bentuk
semboyan anti Bani Umayah, termasuk Utsman bin Affan. Seterusnya penduduk
setempat banyak yang termakan hasutan Abdullah bin Saba’. Sebagai akibatnya,
datanglah sejumlah besar (ribuan) penduduk daerah ke Madinah yang menuntut
kepada Khalifah, tuntutan dari banyak daerah ini tidak dikabulkan oleh
khalifah, kecuali tuntutan dari Mesir, yaitu agar Utsman memecat Gubernur
Mesir, Abdullah bin Abi Sarah, dan menggantinya dengan Muhammad bin Abi Bakar.
Karena tuntutan orang mesir itu telah dikabulkan oleh khalifah, maka mereka
kembali ke Mesir, tetapi sebelum mereka kembali ke Mesir, mereka bertemu dengan
seseorang yang ternyata diketahui membawa surat yang mengatasnamakan Utsman bin
Affan. Isinya adalah perintah agar Gubernur Mesir yang lama yaitu Abdulah bin
Abi sarah membunuh Gubernur Muhammad Abi Bakar (Gubernur baru) Karena itu,
mereka kembali lagi ke Madinah untuk meminta tekad akan membunuh Khalifah
karena merasa dipermainkan.
Setelah surat
diperiksa, terungkap bahwa yang membuat surat itu adalah Marwan bin Hakam.
Tetapi mereka melakukan pengepungan terhadap khalifah dan menuntut dua hal :
1)
Supaya Marwan
bin Hakam diqishas (hukuman bunuh karena membunuh orang).
2)
Supaya
Khalifah Utsman meletakan jabatan sebagai Khalifah.
Kedua tuntutan
yang pertama, karena Marwan baru berencana membunuh dan belum benar-benar membunuh.
Sedangkan tuntutan kedua, beliau berpegang pada pesan Rasullulah SAW; “Bahwasanya
engkau Utsman akan mengenakan baju kebesaran. Apabila engkau telah mengenakan
baju itu, janganlah engkau lepaskan”
Setelah
mengetahui bahwa khalifah Utsman tidak mau mengabulkan tuntutan mereka, maka
mereka lanjutkan pengepungan atas beliau sampai empat puluh hari. Situasi dari
hari kehari semakin memburuk. Rumah beliau dijaga ketat oleh sahabat-sahabat
beliau, Ali bin Thalib, Zubair bin Awwam, Muhammad bin Thalhah, Hasan dan
Husein bin Ali bin Abu Thalib. Karena kelembutan dan kasih sayangnya, beliau
menanggapi pengepung-pengepung itu dengan sabar dan tutur kata yang santun.
Selain faktor
dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu Saba’), dalam internal kekhalifahan Utsman
bin Affan terdapat konfrontasi lama yang mencuat kembali. Permasalahan tersebut
semata-mata berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Sedangkan
Utsman sendiri merupakan salah satu anggota dari keluarga besar Bani Umayyah. Pada
konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu berada di atas Bani Umayyah
terutama pada masalah-masalah perpolitikan orang-orang Quraisy.
Lemahnya
karakter kepemimpinan Utsman menjadikan kekuatan dan kekuasaanya semakin
terancam. Artinya, pribadi Utsman bin Affan yang sederhana dan berhati lembut
membuat para pemberontak lebih leluasa dalam melakukan provokasi dan kerusuhan
di wilayah kekuasaan Islam. Sikap sederhana dan lemah lembut dalam ilmu politik
sebenarnya kurang relevan diterapkan, apalagi pada saat itu kondisi
pemerintahan dalam saat-saat kritis. Dan lagi-lagi pada beberapa kasus, Utsman
bin Affan begitu mudah memaafkan orang lain, meskipun pada kenyataannya orang
tersebut adalah termasuk kelompok yang memerangi dan sangat tidak suka dengan
beliau, demikianlah karakter kepemimpinan beliau.
Sebenarnya Rasulullah ketika beliau
masih hidup telah mengabarkan akan adanya fitnah tersebut. Dan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam telah mengabarkan kepada beliau dan para sahabat
berulang-ulang bahwa akan terjadi fitnah yang akan menimpa Utsman dan para
sahabat beliau yang berada diatas kebenaran. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam mengisyaratkan untuk mengikuti beliau (Utsman) ketika terjadi fitnah.
Diantara yang shohih dari beliau
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Umari Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah SAW
menyebutkan adanya fitnah. Lalu ada seseorang yang lewat dan Nabi berkata :”Orang
yang memakai penutup muka ini akan terbunuh pada saat itu.” Abdullah bin Umar mengatakan
:”Aku melihat (orang tersebut) adalah Utsman bin Affan.”[30]
Ka’ab bin Murrah al-Bahziz meriwayatkan
kisah yang serupa dengan yang diatas. Beliau telah mendengar Rasulullah SAW
menyebutkan tentang fitnah, lalu tiba-tiba Utsman datang dalam keadaan memakai penutup
muka dan beliau mengisyaratkan kepada Utsman, seraya berkata :”Orang ini dan
para sahabatnya di atas kebenaran dan petunjuk.”
Baik kedua riwayat ini untuk satu
kisah atau dua, semuanya mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
menjelaskan akan terbunuhnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu dalam fitnah. Dan
riwayat Ka’ab menambahkan bahwa beliau dan parasahabatnya diatas kebenaran
ketika terjadinya fitnah ini.
Diantara yang menunjukkkan bahwa
Ka’ab ingin mengetahui lebih jelas siapa orang yang dimaksud oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka dia pun mendatangi orang tersebut dan
memegangi kedua pundaknya ternyata dia adalah Utsman bin Affan. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam menyambutnya. Ka’ab mengatakan: Apakah ini orangnya ? Nabi
Shallallahu‘alaihi wa Sallam berkata kepadanya : ya.[31]
Diantaranya pula apa yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairahz, yang demikian itu ketika beliau meminta izin
kepada Utsman pada waktu pengepungan (terhadap rumah beliau) untuk berbicara kepada
beliau. Ketika beliau mengizinkannya, beliau (Abu Hurairah) berdiri dan memuji
Allah kemudian berkata :”Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda
:”Sesungguhnya kalian akan menemui sepeninggalku fitnah dan perselisihan. Salah
seorang mengatakan :Apa yang kita lakukan, ya Rasulullah ? Beliau menjawab, ”Wajib
bagi kalian bersama al-Amin dan para sahabat-sahabat beliau”. Dan beliau
menunjuk kepada Utsman.[32]
Dan apa yang telah ditentukan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang waktu terjadinya fitnah tersebut, seperti
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu ‘alaihiwa
Sallam, beliau bersabda :”Poros Islam berputarpada 35 atau 36 atau 37
......”[33]
Dan Allah berkehendak hal itu terjadi
padatahun 35 H dengan dinyalakannya fitnah hingga terbunuhnya Utsman
Radhiyallahu ‘anhu .
Telah diketahui, bahwa khalifah
yang terbunuh dalam keadaan bersabar diatas kebenaran dan pasrah untuk dibunuh
adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu. Semua tanda-tanda menunjukkan bahwa
khalifah yang dimaksud oleh hadits diatas adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu
‘anhu .
Dalam hadits ini ada isyarat besar
tentang pentingnya menyelamatkan diri dari fitnah ini, baik secara fisik maupun
maknawi. Adapun secara fisik ada pada waktu terjadinya fitnah, dari menggerakkan,
mengumpulkan (massa) dan membunuh serta yang lainnya. Adapun secara maknawi,
maka terjadi setelah fitnah dengan tenggelam dalam kebatilan serta berbicara
tanpa haq. Maka hadits ini umum untuk umat ini, dan bukan khusus bagi yang
hidup di zaman fitnah tersebut. Wallahu a’lam.
Diantara hadits-hadits yang telah
dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang terjadinya pembunuhan
terhadap Utsman bin Affan adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari
Radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam memerintahkan
beliau untuk memberi kabar gembira kepada Utsman dengan surga karena musibah
yang akan menimpanya.[34]
Dan apa yang diriwayatkan oleh Anas
bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah
suatu hari berada diatas gunung Uhud dan bersama beliau Abu Bakar, Umar, Utsman.
Maka gunung tersebut bergetar, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda
:”Tenanglah(engkau) wahai Uhud, tidaklah yang di atasmu melainkan seorang Nabi,
shiddiq dan dua orang syahid.”[35]
Nabi dan Shiddiq sudah diketahui,
dan tidak tersisa bagi Umar dan Utsman melainkan sifat ketiga yaitu syahid.
Inilah persaksian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang amat jelas kepada
Utsman Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau akan terbunuh (syahid) di jalan Allah.
Dan persaksian ini terulang kembali dalam waktu yang lain dan di gunung yang lain
yaitu Hira’.
6. Peristiwa wafatnya Khalifah Utsman bin Affan
Tatkala syubhat-syubhat yang hakikatnya lemah
tersebut tidak dapat terbendung maka api kebencian telah menyulut pada
hati-hati para pemberontak. Akhirnya, mereka datang ke Madinah dan mengepung
rumah Utsman. Mereka meminta agar Utsman meninggalkan kekhalifahannya atau
mereka akan membunuhnya.
Namun, Ibnu Umar segera masuk menemui Utsman dan mendorongnya agar ia
jangan sampai menanggalkan kekhalifahannya karena berarti itu telah membuat
sunah yang jelek, sehingga setiap kali manusia tidak menyenangi pemimpinnya,
maka mereka akan mencopot paksa kepemimpinan tersebut. Utsman pun menyadari
bahwa inilah fitnah yang sejak jauh-jauh hari telah diberitakan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, Utsman hanya bisa
bersabar dan menyerahkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akhirnya, orang-orang Khawarij tersebut memanjat rumah Utsman, lalu
pedang-pedang mereka mengalirkan darah Utsman yang suci sedang beliau tengah
berpuasa dan membaca Kitabullah, hingga
tetesan darah pertama tatkala membaca,
فَسَيَكْفِيكَهُمُ
اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 137)
Di malam hari sebelum Utsman meninggal dunia, ia bermimpi bertemu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau
mengatakan, “Wahai Utsman, berbukalah bersama kami.” Ia lalu berkata, "Benar, wahai
Rasulullah". Rasulullah berkata lagi, "Mereka
telah membuatmu lapar, wahai Utsman." Ia
menjawab, "Benar, wahai Rasulullah". Rasulullah kembali
berkata,"Mereka mengepungmu, wahai Utsman". Ia menjawab, "Benar,
wahai Rasulullah". Rasulullah berkata, "Sukakah
bila besok kamu berpuasa, lalu berbuka di sisi kami?" Ia menjawab, "Mau,
wahai Rasulullah". Ia kemudian bangun dari tidurnya sambil tertawa.
Detik-detik
akhir telah datang. Para pengacau mulai menyalakan api di pintu rumah Utsman
bin Affan. Para sahabat dan para pemuda kaum muslimin kemudian berdatangan ke
rumah Utsman bin Affan, sementara Utsman berteriak dan memanggil mereka,
"Aku bersumpah kepada kalian agar kalian kembali ke rumah kalian
masing-masing dan tidak menetap kecuali dua orang, yaitu Hasan bin Ali dan Abdullah bin Umar bin
Khattab".
Para pengacau
mulai mengerahkan daya dan upaya mereka untuk mencoba memasuki rumah Utsman bin
Affan. Istri Utsman kemudian mencoba untuk menampakkan rambutnya kepada mereka,
dengan harapan jika melihat rambutnya yang terbuka, mereka pun tidak akan
masuk. Akan tetapi Utsman bin Affan melarangnya.
Para pengacau
kemudian masuk menemui Utsman yang sedang membaca Al-Qur'an dan ketika itu
sedang berpuasa. Ia membaca firman Allah SWT dari Surah Al-Baqarah,
"Maka
Allah akan memelihara kamu dari mereka.Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui". [QS Al-Baqarah
: 137]
Salah seorang
pengacau tersebut kemudian masuk dan memukul Utsman bin Affan dengan pedangnya.
Pukulan tersebut mengenai tangannya hingga putus. Utsman bin Affan kemudian
berkata. "Allahu Akbar!
Sesungguhnya, kamu tahu bahwa tangan ini telah menuliskan wahyu untuk
Rasulullah SAW".
Kemudian
datanglah Sayyidah Nailah, istrinya,
bermaksud untuk membelanya. Tetapi mereka malah memotong jari-jarinya. Kemudian
datanglah seorang laki-laki dan memukul Utsman bin Affan dengan potongan besi
tepat mengenai bagian atas bahunya. Utsman lantas berkata, "Ya, Allah segala
puji bagi-Mu". Utsman kemudian menutup Mushaf
Al-Quran yang terlumuri dengan
darahnya.Utsman kemudian berkata lagi, "Ya
Allah. Wahai Zat yang memiliki kemuliaan, Aku bersaksi kepada-Mu bahwa aku
telah bersikap sabar sebagaimana Nabi-Mu telah berwasiat kepadaku".
Utsman bin
Affan kemudian terbunuh pada hari Jumat
tanggal 18 Dzulhijjah. Ia dikubur di Pekuburan Baqi'. Lalu Ali bin Abi Thalib berdiri
di atas makamnya seraya menangis dan berkata. "Aku mohon kepada Allah agar
aku dan kamu termasuk dalam golongan yang di firmankan Allah;
$oYôãt“tRur$tB’ÎûNÏdÍ‘r߉߹ô`ÏiB@e@Ïî$ºRºuq÷zÎ)4’n?tã9‘ãß™tû,Î#Î7»s)tG•BÇÍÐÈ
'Dan Kami
lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka
merasa bersaudara'. [QS Al-Hijr :
47]"
7. Bantahan atas Dugaan Nepotisme dalam kepemimpinan Utsman bin Affan
Beberapa
penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut
bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan
Utsman, tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh
salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali
negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya
melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[36]
Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian
juga tanggungjawab dakwah di masing-masing wilayah tersebut.
Selain tentang
dugaan nepotisme dalam pengangkatan beberapa kerabatnya, Khalifah Utsman juga
dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus
(seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah,
kepada Mirwan bin Al Hakam, dan kepada Al Harits bin Al Hakam.
Situasi politik diakhir
masa pemerintahan Utsman benar-benar semakin mengkhawatirkan, bahkan
usaha-usaha yang bertujuan baik untuk kamaslahatan umat disalahfahami dan
melahirkan perlawanan dari masyarakat. Misalnya kodifikasi al- Qur’an dengan
tujuan supaya tidak terjadi kesimpangsiuran telah mengundang kecaman melebihi
dari apa yang tidak diduga.
Oleh sebab itu lawan-lawan politiknya menuduh Utsman sama sekali tidak punya
otoritas untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang ia bukukan. Mereka mendakwa Utsman
secara tidak benar telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak
dimilikinya. Mereka tidak sadar bahwa kepentingan umat lebih besar ketimbang
politik kekuasaan yang didambakannya. Hal ini tidak cukup hanya
kepentingan pribadi dan kelompok, lebih dari itu mereka lakukan dengan suatu
konspirasi yang rapi dan terencana.
Untuk memperjelas tuduhan-tuduhan tersebut
tidaklah mudah. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data
dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan
Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang
dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu lebih
banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif.
Dakwah
Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan
perkembangan signifikan melanjutkan estafet dakwah pada masa khalifah
sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan
Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia
Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan
(Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk
armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara
Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara
Islam dalam pertempuran di lautan.
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi
pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah
dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab.[37] yang
telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar
Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam
berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah
adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa
khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas
tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat
sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah
dianggap ringan.
Oleh
karenanya tuduhan nepotisme terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan hanyalah
entrik politik oleh para pesaingnya yang juga memiliki kepentingan kekuasaan,
hal tersebut telihat dari adanya reaksi-reaksi mereka yang sengaja mengeruhkan
suasana agar pemerintahan dalam keadaan goyang, sembari mencari titik kelemahan
yang dimiliki oleh khalifah Utsman bin
Affan.
Selanjutnya
penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir,
sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses
pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat
Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat
Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara
bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan
penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman
menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal
menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang
memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan
pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi
wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir
sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah
tersebut. Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam
penaklukan beberapa daerah Persia. Dengan demikian
nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah Bin
Amir.
Sementara
itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa
kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar
Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya,
Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah
gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu
kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaporkannya kepada
pemerintah pusat.
Pada
masa pemerintahan khulafaurrasyidin,
setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap
terkait dan berada dibawah koordinasi bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah
saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas
peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa
tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan
sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin
Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman.
Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan
kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru
kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan
rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya
bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur
kembali diserahkan kepada khalifah. Utsman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id
Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai
gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front
utara, Azarbaijan.[38] Namun
terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah
Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian
Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur
Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai
peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna
negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan
di Mesir, Utsman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku
gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil
dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan
bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah
Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi
jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah
tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan
kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya.
Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai
gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang
disukai rakyat sehingga menuai
protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang
beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.[39]
Salah
satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin
Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan
ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang
dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas
sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup
disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui
kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran.[40]
Utsman
dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan
serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian
pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang
harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka makna
negative.
Selain
itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al Khumus
yang diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Bin Sa’ad
Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat
dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak
ditemukan penyelewengan apa pun. Al Khumus yang dimaksud
berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al
khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan Bin Al
Hakkam dengan harga yang tidak layak.
Duduk
persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al kumus
kepada Abdullah bin Sa’ad
bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang)
dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang sedangkan 1/5-nya
atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal.[41] Perlu
diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai
benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000
dinar. Abdullah Bin sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu
senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu
kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan
hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah
yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Mirwan Bin Hakkam
dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan
hewan ternak tersbut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al
khumus berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang
cukup jauh jaraknyabelum lagi jika harus mempertimbangkan faktor keamanan dan
kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al kamus
berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan ke Baitulmal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin
Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan
perang sebab dia telah memimpin penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana
telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara
yang mengikuti perang, termasuk di antaranya adalah Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah. Dengan demikian
sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang
berlaku.
Kemudian
khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham
dari Baitul Mal kepada Al Harits Bin Al Hakkam dan Marwan Bin Al Hakkam.
Desas-desus tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka. Duduk persoalan
sebenarnya adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri
Al Harits Bin Al Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari
harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah
menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam
disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000
dirham.[42]
Dengan
demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan
praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan
khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya, beliau menyatakan sebuah
bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi
sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang
seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan
sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ?
Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk
kendaraan pada setiap musim haji”.[43]
Yang perlu kita tegaskan disini bahwa betapapun keras kritik yang
dilontarkan kepada Utsman bin ‘Affan karena kebijakannya dalam memilih para
gubemur dan pembantunya dari kaum kerabatnya (bani Umayyah), kita harus
menyadari bahwa kebijakan tersebut merupakan ijtihad pribadinya.
Dan bersamaan dengan munculnya benih-benih fitnah pada akhir-akhir
pemerintahan Utsman bin ‘Affan, muncul pula nama Abdullah bin Saba'. Peranan
Ibnu Saba' sangat menonjol dalam mengobarkan api fitnah ini. Abdullah bin Saba'
adalah seorang Yahudi berasal dari Yaman. Ia datang ke Mesir pada masa
pemerintahan Utsman bin ‘Affan. Ia menghasut orang untuk membangkang pada Utsman
bin ‘Affan dengan dalih mencintai Ali bin Abu Thalib dan keluarga (ahlul bait)
Nabi SAW. Dari sini, kita mengetahui bahwa kelahiran perpecahan umat Islam
menjadi dua kubu: Sunni dan Syi'ai, dimulai pada periode ini. Perpecahan ini
sepenuhnya merupakan buah tangan Abdullah bin Saba'. Belum lagi penyiksaan dan
kekejaman yang dialami oleh Ahlul Bait atau Syi'ah di tangan pemerintahan
Umawiyah dan lainnya.Yang penting, bagaimanapun kedua peristiwa ini telah masuk
ke dalam sejarah, tetapi kita tidak boleh melupakan realitas lainnya.
Jika dikatakan bahwa terdapat perselisiahan antara Utsman bin Affan
dengan Ali bin Abi Thalib, hal ini tidaklah benar adanya. Seperti telah kita
ketahui bahwa Ali bin Abu Thalib segera membaiat Utsman bin ‘Affan sebagai
khalifah, bahkan menurut kebanyakan ahli sejarah, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Katsir,[44]
bahwa Ali bin Abu Thalib adalah orang yang pertama membaiat Utsman bin ‘Affan.
Kemudian Ali juga membantu Utsman untuk membubarkan orang-orang yang akan melakukan
pemberontakan di Madinah[45].
Kita telah mengetahui bagaimana Ali bin Abu Thalib dengan penuh keikhlasan,
kecintaan, dan kemauan yang jujur memberikan nasihat kepadanya.
Dengan demikian, Ali bin Abu Thalib merupakan pendukung Utsman bin
‘Affan yang terbaik selama khilafahnya, di samping merupakan pembela terbaiknya
tatkala menghadapi cobaan berat. Ia bersikap tegas dan keras dalam memberikan
nasihat kepadanya di belakang hari, tidak lain dan tidak bukan, hanyalah karena
cinta dan ghirah kepadanya.
C. Penutup
Khulafa
ar-Rasyidin yang ketiga Utsman bin Affan memiliki ciri khusus mulai dari kepribadian
yang dikenal orang sebagai seorang yang pemalu tapi bukan berarti lemah namun
tetap semangat terbukti dengan beberapa prestasi yang dikhususkan dari khalifah
sebelumnya maupun sesudahnya, antara lain telihat dari keberanian dalam
menjadikan standarisasi bacaan Al Qur`an. Dan tetap melanjutkan perluasan
daerah keberbagai tempat yang sebelumnya dikuasai oleh kekuasaan besar yaitu
Romawi dan Persia.
Namun semua
kebaikan yang dilakukan terkadang masih disalah artikan oleh beberapa kalangan,
hal ini tak terlepas dari perseteruan politik dari pihak yang sejak awal
pengangkatan khalifah Utsman menginginkan Ali yang seharusnya layak
menggantikan Umar. Masih menjadi tanda tanya siapa gerangan dibalik semua makar
besar yang berakhir dengan pembunuhan Utsman, banyak kalangan ahli sejarah
mengatakan seorang yang dahulunya beragama Yahudi bernama Abdullah bin Saba`
yang berada dibalik semua ini.
Dalam pemerintahan khalifah Utsman bin Affan terdapat Isu nepotisme. Namun isu nepotisme Utsman tersebut terbukti tidak benar. Sebab secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya
jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya didasarkan
kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota
keluarga tersebut adalah mayoritas, masing-masing tindakan Utsman telah
memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang
terjadi serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Sementara
itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak disebabkan faktor stamina dan
kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah berusia 70 tahun
sehingga kurang leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya tersebut sehingga
pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi secara
memuaskan.
Fitnah besar yang menimpa khalifah Utsman bin Affan
ini sebenarnya pernah dikabarkan oleh Rasulullah SAW semasa beliau masih hidup
kepada para sabahat, dan memang terbukti terjadi. Fitnah
tersebut berdampak besar, menyebabkan perpecahan dikalangan umat
Muslim hingga menyebabkan terbunuhnya Utsman bin Affan. Dibalik itu cobaan
besar yang menimpanya Allah telah menjanjikan kepada Utsman bin Affan surga
sebagaimana yang kabarkan Rasulullah SAW.
Sejarah Utsman
bin Affan sangat banyak meninggalkan tanda tanya, yang dikemudian hari pada pemerintahan
khalifah setelahnya menjadi sumber dari fitnah diantara sahabat-sahabat senior.
Pelajaran ini sangat berharga mengingat perpecaahan dalam tubuh umat Islam generasi
awal tidak lepas dari propaganda-propaganda yang tidak menginginkan uamt Islam
tetap dalam kejayaan. Wallahu `Alam bishawab.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Ahmed. Akbar
S. 1992. Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
At-Tamimi,
Abdurrahman. 2008. Utsman bin Affan. Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma.
Al-Bukhari.
Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, kitab al-manaqib, manaqib Utsman bin
Affan. Via Al-Maktabah As-Syamilah, Jild.12
Al-Khani.
Ahmad. 2008. Ringkasan Bidayah wan-nihayah. Jakarta: Pustaka Azzam
Al Kibii.
Zahiru. 1992. At-Tamaamu Al-Wafaai. Beirut: Ad-Darul Fikru al-‘Arabi.
As-sayuthi.
Jalaluddin, Tarikh al-khulafa’, via Al-Maktabah As-Syamilah Jil.1
Djamidin.Taufiq.2009.
Tragedi Pembunuhan 3 Khalifah. Yogyakarta: Pinus
Dasuki. Hafidz, MA. 2007. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan III, IV. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Jaelani. Bisri
M. 2007. Ensiklopedi Islam. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Jafariyan.Rasul.
2006. Sejarah Khilafah 11-35 H. Jakarta : Al-Huda
Katsir. Ibnu.2004.
Bidayah Wan-Nihayah Khulafa’ur Rasyidin. Jakarta: Darul Haq
Mukti. Ali,
dkk.Ensiklopedi Muslim. Jakarta: Departemen Agama
Murad, Musthafa. 2007. Kisah Kehidupan Utsman Ibn Affan.
Jakarta: Zaman.
Osman, A.
Latif. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. Penerbit Widjaya, Jakarta.
Syalabi. Sejarah
dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Jajamurni
Sou’yb. Joesoef. 1979. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. Jakarta : Bulan Bintang
Zakariya. Abu
al-Husain Ahmad bin Faris bin, Mu’jam Maqayis al-Lughah. Bairut
Lebanon: Dar al-Fikr Jilid 2
[1]Zahiru al kibii.At-Tamaamu Al-Wafaai. Beirut:
Ad-Darul Fikru al-‘Arabi. 1992,hlm 138
[2]‘Abdurrahman at-Tamimi. Utsman bin Affan. Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma. 2008.
[4]Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, kitab al-manaqib, manaqib Utsman bin Affan. Via Al-Maktabah
As-Syamilah, Jild.12,hlm.29.
[5]Syalabi.Sejarah dan Peradaban Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Husna, hlm 190
[6]Shafiyurrahman, Al-Mubarak Furi, Ar-Rahiq
Al-Makhtum, jild.1, hlm.303.Via Al-Maktbah As-Syamilah.
[7] Bisri M Jaelani. Ensiklopedi Islam.
Yogyakarta: Panji Pustaka. 2007, hlm 450
[8]Jalaluddin As-sayuthi, Tarikh al-khulafa’, via
Al-Maktabah As-Syamilah Jil.1 hlm.60.
[9]Mukti.Ali, dkk. Ensiklopedi Muslim. Jakarta:
Departemen Agama., hlm 1267
[10]Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007
hlm.89-9
[14]Syalabi.Sejarah dan Peradaban Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Husna, hlm 194
[15]Mukti.Ali, dkk. Ensiklopedi Muslim. Jakarta:
Departemen Agama., hlm 1267
[17] Bisri M Jaelani. Ensiklopedi Islam.
Yogyakarta: Panji Pustaka. 2007, hlm 452
[21]Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007 hlm
90-91
[23] Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam
Maqayis al-Lughah (Bairut Lebanon: Dar al-Fikr) Jilid 2 hal. 20
[25]Mukti.Ali, dkk. Ensiklopedi Muslim. Jakarta:
Departemen Agama., hlm 1268
[26]Jalaluddin Rakhmat. Islam Dan Pluralisme
(Cet. II; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 245-246
[27]Khalid Muhammad Khalid. Khulafa ar- Rasul,
Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 1995
[30]‘Abdurrahman at-Tamimi. Utsman bin Affan. Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma. 2008. Hlm 12
[34]‘Abdurrahman at-Tamimi. Utsman bin Affan. Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma. 2008. Hlm 16
[36]A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam.
Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta. Hal.67
[37]Hafidz
Dasuki, MA. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997. Hal. 247
[38]Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah
Muslim. (PLP2M, Yogyakarta, 1984). Hal. 80
[39]Hafidz
Dasuki, MA. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan IV. (PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 143
[40]Hafidz
Dasuki, MA. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 169
[42]Joesoef
Sou’yb. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. (Bulan Bintang, Jakarta,
1979). Hal. 438-439
[44] Ibnu Katsir. Al-Bidayah wan-nihayah.
Jakarta: Darul Haq. 2004, hlm 341
[45] Taufiq Djamidin. Tragedi Pembunuhan 3
Khalifah. Yogyakarta: Pinus. 2009, hlm 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar