Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH UTSMAN BIN AFFAN: ANTARA NEPOTISME DAN PROFESIONALITAS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Islam merupakan agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga membawa bangsa Arab dari masa keterbelakangan, bodoh dan lainnya menjadi bangsa yang maju dan terkenal sampai sekarang ini. Pada masa perkembangannya, Islam mengalami beberapa kali pergantian khalifah untuk meneruskan perjuangan menegakkan agama Allah, meskipun ada beberapa tahapan-tahapan pemerintahan yang ada, Islam mengalami kemajuan dan juga mengalami kemunduran. Akan tetapi hal ini tidak menyurutkan Islam berkembang dan dianut oleh banyak manusia di muka bumi ini. Setelah Nabi wafat maka dakwah Islamiyah diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, yaitu sahabat-sahabat Nabi yang di pandang bijaksana, dapat mempimpin jalannya pemerintahan dan mampu memberikan pengarahan terhadap dakwah Islam, meneruskan dakwah Rasulullah untuk menyebarkan agama Allah.
Di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang diangkat menjadi khalifah ada 4 orang, yaitu yang pertama Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan yang terakhir adalah Ali bin Abi Thalib. Setelah sebelumnya telah dibahas mengenahi khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, maka kali ini akan dibahas mengenai khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama.
Pada manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Pada sisi lain Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
Dengan beberapa kebijakan itulah sehingga banyak kalangan yang menilai kepemimpinan khalifah berbau nepotisme yang kemudian berkembang melakukan langkah konspirasi untuk menjatuhkan khalifah Utsman bin Affan, hingga akhirnya sampai pada tahap pembunuhan.

B.     Substansi Kajian

1. Khalifah Utsman bin Affan

Utsman bin Affan (574M – 656M) adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, yang merupakan Khulafa’ur Rasyidin yang ke-3. Nama lengkap beliau adalah Utsman bin Affan Al-Umawi Al-Quraisyi, berasal dari Bani Umayyah. Lahir pada tahun keenam tahun Gajah. Kira-kira lima tahun lebih muda dari Rasullulah SAW. Nama panggilannya Abu Abdullah dan gelarnya Dzun Nurrain (yang punya dua cahaya). Sebab digelari Dzun Nuraian karena Rasulullah menikahkan dua putrinya untuk Utsman yaitu Roqayyah dan Ummu Kultsum.

a.    Nasab dan Keturunan Utsman bin affan
Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin luwa’I bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan.
Abu Amr, Abu Abdullah al Quraisy, al-Umawi  Amirul mukminin Dzun Nurain yang telah berhijrah dua kali dan suami dari dua putri Rasulullah SAW. Ibu beliau bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdusy Syams dan nenekya bernama Ummu Hakim Bidha’ binti Abdul Muthalib paman Rasulullah SAW. Beliau salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberitakan masuk surga dan salah seorang anggota dari enam anggota Syura serta salah seorang dari tiga orang kandidat khalifah dan akhirnya terpilih menjadi khalifah sesuai denga kesepakatan kaum Muhajirin dan Anshar, juga merupakan Khulafaurrasyidin yang ketiga, Imam Mahdiyin yang diperintahkan megikuti jejak mereka.

b.   Ciri-Ciri dan Akhlak Beliau
Beliau adalah seorang yang rupawan, lembut, mempunyai jenggot yang lebat, berperawakan sedang, mempunyai tulang persendian yang besar, berbahu bidang, berambut lebat, bentuk mulut bagus yag berwarna sawo matang. Beliau memiliki akhlak yang mulia, sangat pemalu, dermawan dan terhormat, mendahulukan kebutuhan keluarga dan familinya dengan memberikan perhiasan dunia yang fana. Mungkin beliau bermaksud untuk mendorong mereka agar lebih mendahulukan sesuatu yang kekal dari pada sesuatu yag fana. Sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah terkadang beliau memberikan harta kepada suatu kaum dan tidak memberi kaum yang lain karena khawatir mereka akan dimasukkan oleh Allah ke neraka. Sebagian kaum memprotes beliau karena perlakuan tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Khawarij terhadap Rasulullah SAW atas pembagian harta rampasan perang Hunain.
Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi dermawan. Beliau adalah seorang pedagang kain yang kaya raya. Kekayaan ini beliau belanjakan guna mendapatkan keridhaan Allah, yaitu untuk pembangunan umat dan kemajuan Islam. Beliau memiliki kekayaan ternak lebih banyak dari pada orang arab lainya.[1]
Tidak cukup Utsman Radhiyallahu ‘anhu melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam seperti shalat, puasa, membayar zakat, bahkan beliau menyerahkan segala-galanya untuk menyebarkan Islam, dan menolong kaum muslimin.
Pada zaman Rasul SAW beliau menginfakkan kebanyakan dari hartanya untuk menolong Islam dan kaum muslimin. Di antara hal tersebut, ketika kaum Muhajirin datang ke kota Madinah, tidak ada air tawar (untuk diminum) selain sumur yang dinamakan Rummah, sedangkan waktu itu kaum muslimin tidak memiliki harta. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ”Barang siapa yang membeli sumur Ruumah, akan dijadikan timbanya dengan timba kaum muslimin yang lebih baik darinya di Surga.” Utsman Radhiyallahu‘anhu pun membelinya dari hartanya sendiri.”[2]
Di antaranya juga, pada waktu perang Tabuk, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersiap-siap untuk berangkat perang, mereka kekurangan bekal.Maka beliau bersabda :”Barangsiapa yang memberibekal kepada pasukan (perang Tabuk) yang kesulitan,maka baginya surga”. Ketika Utsman mendengar hal tersebut, beliaupun membekali mereka. Beliau datang dengan membawa seribu dinar lalu beliau tuangkan dipangkuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membolak-balikkannya dengan tangan beliau, seraya mengatakan :”Tidak akan memudharatkan Utsman bin Affan apa yang dia lakukan setelah hari ini”. Beliau mengulang-ngulang berkali-kali.[3]
Di lain itu Utsman memiliki sifat dan perangai yang sangat pemalu. Rasa malunya bertambah pada waktu ia melihat orang. Sifat malunya tersebut membuat orang lain menjadi malu padanya. Bersumber dari Aisyah, yaitu ketika Rasulullah sedang duduk-duduk dan pahanya terbuka, Abu Bakar meminta izin masuk dan diizinkan tanpa merupah posisi nya, ketika Umar datang meminta izin masuk dan diizinkan pula tanpa merubah posisi. Namun ketika Utsman yang masuk Rasul langsung menurunkan pakaiannya. Sesudah mereka semua pergi Aisyah berkata : “Rasulullah, anda mengizinkan Abu Bakar dan Umar masuk dengan keadaan Anda tetap begitu, tetapi sesudah Utsman yang meminta izin Anda menurunkan pakaian Anda. “ Kata Rasulullah kepada Aisyah:
يا عا ئشة, ألانستحي من رجل ولله إنّ الملائكة لتستحي منه
“ Aisyah kita malu bukan kepada seseorang yang malaikat sendiripun malu kepadanya.” Lalu Aisyah berkata: “ Rasulullah, mengapa saya tidak melihat kepedulian anda terhadap Abu Bakar dan Umar seperti kepada Utsman?” Dijawab oleh Rasulullah : “ Utsman orang yang sangat pemalu. Saya kawatir kalau saya mengizinkannya dalam keadaan begitu ia tidak dapat mengutarakan maksudnya.”[4]

c.    Proses Utsman memeluk Islam
Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Masuknya utsman ke dalam Islam berawal dari sebuah suara dalam mimpinya di bawah rindang pohon antara Maan dan Azzarqa yang menyarankan agar beliau segera kembali ke Mekkah sebab orang yang bernama Muhammad telah muncul membawa ajaran baru yang kelak akan merubah dunia sebagai utusan tuhan. Setelah terbangun dari mimpinya beliau bergegas kembali ke Mekkah dan menanyakan hal ihwal ataupun makna yang tersimpan dari kejadian yang menimpanya. Kemudian beliau bertemu dengan Abu Bakar dan mengajaknya untuk mengikuti langkahnya yang lebih dahulu memeluk Islam.
 Lalu menghadaplah keduanya kepada Rasulullah untuk menyatakan keislamannya. Sungguh tak terbilang pengorbanannya terhadap Islam, tak terbatas pada hartanya saja yang selalu dibelanjakan di jalan Allah nyawanya pun teramat sering terancam dengan berbagai pengucilan dan penyiksaan dari kerabat dan pemuka Quraisy ketika mereka tahu keislamannya. Di sisi lain Allah serta rasulnya begitu mencintainya sehingga pernah satu riwayat disebutkan bahwa beliau adalah salah satu penghuni syurga yang akan menemani rasul kelak. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Persilahkanlah dia masuk dan beritakan kabar gembira kepadanya, bahwa dia akan masuk Surga, dengan cobaan yang akan menimpanya”

d.   Istri dan Putra- Putri  Beliau
Beliau menikahi Ruqoyah binti Rasulullah SAW dan dianugrahi seorang anak yag bernama Abdullah dan menjadikannya sebagai kuniyah. Pada masa  jahiliyah beliau bernama Abu ‘Amr. Setelah Ruqoyah wafat, beliau menikahi adiknya yang bernama Ummu Kultsum dan kemudian Ummu Kultsum pun wafat. Ketika Ummu Kultsum wafat, Rasulullah berkata; “Sekiranya kami punya anak perempuan yang ketiga, niscaya aku nikahkan denganmu.”[5] Dari pernikahannya dengan Roqayyah lahirlah anak laki-laki. Tapi tidak sampai besar anaknya meninggal ketika berumur 6 tahun pada tahun 4 Hijriah.
 Kemudian beliau menikahi Fakhitah binti Ghazwan bin Jabir dan dianugrahi seorang anak yang bernama Abdullah al-Ashghar. Lantas beliau menikahi Ummu ‘Amr binti Jundub bin ‘Amr al-Azdyah dan dianugrahi beberapa orang anak yang bernama ‘Amr, Khalid, Aban, Umar dan Maryam. Lalu beliau meikah dengan Fatimah binti al-Walid bin Abdusy Syamsy bi al-Mughirah al-Makhzumiyah dan lahirlah al-Walid, Sa’id da Ummu Utsman. Kemudian menikahi Ummu al-Banin bin ‘Uyainah bin Hish al-Fazariyah dan dianugrahi seorang anak yag bernama Abdul Malik dan dikatakan ‘Utbah. Lantas beliau menikahi Ramlah binti Syaiban bin Rabi’ah bin Abdusy Syamsy bin Abdul Manaf bin Qushay dan lahir beberapa orag anak yang bernama Aisyah, Ummu Aban, Ummu ‘Amr dan Banat Utsman. Lalu beliau menikah dengan a’ilah binti al-Farafishah bin al-Ahwash bin ‘amr bin Tsa’labah bin al-Harits bin Hishn bin Dhamdham bin ‘Ady  bin Junab bin Kalb dan dianugrahi seorang anak yang bernama Maryam dan dikatakan juga dengan ‘Anbasah. Ketika terbunuh beliau memiliki empat orang istri : Na’ilah, Ramlah, Ummul Banin, dan Fakhitah. Dikatakan beliau telah menceraikan Ummul Banin disaat beliau sedang terkepung.

e.    Jihad Utsman bin Affan dan peranannya sebelum menjadi khalifah
Ketika kaum kafir Quraisy melakukan penyiksaan terhadap umat Islam, maka Utsman bin ‘‘Affan diperintahkan untuk berhijrah ke Habsyah (Abyssinia, Ethiopia). Ikut juga bersama beliau sahabat Abu Khudzaifah, Zubair bin Awwam, Abdurahman bin ‘Auf dan lain- lain. Setelah itu datang pula perintah Nabi SAW, supaya beliau hijrah ke Madinah. Maka dengan tidak berfikir panjang lagi beliau tinggalkan harta kekayaan, usaha dagang dan rumah tangga guna memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Beliau Hijrah bersama-sama dengan kaum Muhajirin lainya.
Beliau tidak dapat ikut serta dalam perang Badar karena sibuk mengurusi  putri Rasulullah SAW (istri beliau ) yang sedang sakit. Jadi beliau hanya tinggal di Madinah. Rasulullah SAW memberikan bagian dari harta rampasan dan pahala perang tersebut  kepada beliau dan beliau dianggap ikut serta dalam peperangan. Ketika istri beliau meninggal, Rasulullah SAW menikahkan degan adik istrinya yang bernama Ummu Kultsum yang pada akhirnya juga meninggal ketika masih menjadi istri beliau. Beliau ikut serta dalam peperangan Uhud, Khandaq, perjanjian Hudaibiyah yag pada waktu itu Rasulullah SAW membai’atkan untuk Utsman dengan tangan beliau sendiri.
Pada peristiwa Hudaibiyah, Utsman dikirim oleh Rasullah untuk menemui Abu Sofyan di Mekkah. Utsman diperintahkan Nabi untuk menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah di Ka’bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan untuk memerangi penduduk Mekkah.

Suasana sempat tegang ketika Utsman tak kenjung kembali. Kaum Muslimin sampai membuat Bait Ridhwan, bersiap untuk mati bersama untuk menyelamatkan Utsman. Namun pertumpahan darah akhirnya tidak terjadi. Abu Sofyan lalu mengutus Suhail bin Amir untuk berunding dengan Nabi Muhammad SAW. Hasil perundingan dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah.[6]
Semasa Nabi SAW masih hidup, Utsman pernah dipercaya oleh Nabi untuk menjadi walikota Madinah, semasa dua kali masa jabatan. Pertama pada perang Dzatir Riqa’ dan yang kedua kalinya, saat Nabi SAW sedang melancarkan perang Ghathafahan. Utsman bin Affan adalah seorang ahli ekonomi yang terkenal, tetapi jiwa sosial beliau tinggi. Beliau tidak segan-segan mengeluarkan kekayaanya untuk kepentingan Agama dan Masyarakat umum. Sebagai Contoh:
a.       Utsman bin Affan membeli sumur yang jernih airnya dari seorang Yahudi seharga 200.000 dirham yang kira-kira sama dengan dua setengah kg emas pada waktu itu. Sumur itu beliau wakafkan untuk kepentingan rakyat umum.
b.      Memperluas Masjid Madinah dan membeli tanah disekitarnya.
c.       Beliau mendermakan 1000 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya ekspedisi tersebut.[7]
d.      Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering.[8]
Karena Utsman termasuk salah seorang sahabat Nabi yang pandai tulis baca serta memiliki kecerdasan dan kuat hafalannya, ia ditunjuk oleh Nabi menjadi salah seorang penulis wahyu. Selama pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Utsman merupakan sahabat senior yang dimintai pendapatnya dan pertimbangan-pertimbangannya. Utsman menjadi pejabat yang amat dipercaya yaitu sebagai anggota dewan inti yang selalu diminta pendapatnya tentang masalah-masalah kenegaraan, misalnya masalah pengangkatan Umar. Dalam pemerintahan Umar, Utsman diangkat sebagai sekertaris khalifah.[9] Dengan demikian Utsman mengetahui benar langkah-langkah yang ditempuh Umar bin Khattab dalam memajukan Islam.
Rasulullah SAW pergi menunaikan haji wada’ bersama beliau. Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridho terhadap Utsman bin Affan. Kemudian beliau menemani Abu Bakar dengan baik dan Abu Bakar wafat dalam keadaan ridho terhadap Utsman bin Affan. Beliau menemani Umar dengan baik dan Umar wafat dalam keadaan ridho terhadap Utsman bin Affan, serta menetapkan bahwa beliau adalah salah seorang dari enam orang anggota Syura dan beliau sendiri adalah orang yang paling istimewa di antara anggota lainnya.

2. Proses Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang berlangsung selama 10 tahun, tepatnya ketika beliau sakit dibentuklah dewan musyawarah untuk menentukan pengganti kekhalifahannya yang terdiri dari 6 orang yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalha bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Abdur Rahman bin Auf. Salah seorang putra Umar, Abdullah ditambahkan pada komisi di atas tetapi hanya punya hak pilih dan tidak berhak dipilih.
Dewan tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas pokok menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya indikasi disintegrasi.
Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada yang lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari mereka sebagai pengganti Umar. Tidaklah heran bila dalam sidang terjadi tarik ulur pendapat yang sangat alot, walau pada akhirnya, mereka memutuskan Utsman bin Affan sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab. Di antara kelima calon hanya Tholhah yang sedang tidak berada di Madinah ketika terjadi pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan musyawarah pemilihan Khalifah pengganti Umar. Ia meminta pendapat masing-masing nominasi. Saat itu, Zubair dan Ali mendukung Utsman. Sedangkan Utsman sendiri mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya terhadap Utsman. berkata kepada Utsman ibn ‘Affan disuatu tempat sebagai berikut:
Jika saya tidak memba’yarmu (Utsman) maka siapa yang kau usulkan?Ia (Utsman) berkata “Ali”. Kemudian ia (Abd al-Rahman bin Auf) berkata kepada Ali, jika saya tidak memba’iatmu, maka siapa yang kau usulkan untuk dibai’at? Ali berkata, “Utsman”. Kemudian Abd al-Rahman bin Auf bermusyawarah dengan tokoh-tokoh lainnya, ternyata mayoritas memilih Utsman sebagai khalifah. Memperhatikan percakapan dari dua sahabat tersebut, maka tampaklah bahwa sesungguhnya Utsman dan Ali tidak ambisius menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk menentukan khalifah secara musyawarah.[10]
Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar lainnya. Akhirnya suara mayoritas menghendaki dan mendukung Utsman. Lalu ia dinyatakan resmi sebagai khalifah melalui sumpah, dan baiat seluruh umat Islam. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ali sambil memegang tangannya,”Engkau punya hubungan kerabat dengan Rasulullah dan sebagaimana diketahui, engkau lebih dulu masuk Islam. Demi Allah jika aku memilihmu, engkau mesti berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau mesti patuh dan taat.” Kemudian Ibn Auf menyampaikan hal yang sama kepada lima sahabat lainnya. Setelah itu ia berkata kepada Utsman, “Aku membaiatmu atas nama sunnah Allah dan Rasul-Nya, juga dua khalifah sesudahnya.” Utsman berkata, ”baiklah.”
Abdurrahman langsung membaiatnya saat itu juga diikuti oleh para sahabat dan kaum muslim. Orang kedua yang membaiat Utsman adalah Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian kaum muslim bersepakat menerima Utsman sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab. Haris bin Mudhrab berkata,”Aku berjanji pada masa Umar, kaum Muslim itu tidak merasa ragu bahwa khalifah berikutnya adalah Utsman.”[11]
Pemilihan itu berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik pada awal Muharram 24 H atau 644 M. Ketika Thalhah kembali ke Madinah Utsman memintanya menduduki jabatannya, tetapi Thalhah menolaknya seraya menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan Khalifah Utsman bin Affan berdasarkan suara mayoritas.
 Saif bin Umar meriwayatkan dari Umar bin Syubbah dari ‘Amir asy-Sya’bi bahwa ia berkata, “Dewan Syura bersepakat untuk memilih Utsman bin Affan pada tanggal tiga Muharram tahun dua puluh empat Hijriyah. Ketika itu telah masuk waktu shalat Ashar dan adzan dikumandangkan oleh Shuhaib. Berkumpullah manusia antara adzan dan iqamat, kemudian beliau keluar dan mengimami mereka shalat. Kemudian beliau menambahkan hadiah yang diberikan kepada masyarakat sebanyak seratus, lalu mengutus delegasi keseluruh pelosok. Beliau adalah orang pertama yang melakukan hal tersebut.”
Ibnu Katsir berkata, “Dari konteks yang telah kita sebutkan bahwa bai’at tersebut dilakukan sebelum tergelincirnya matahari dan pembai’atan belum selesai kecuali setelah Zhuhur. Pada waktu itu Shuhaib bertindak sebagai imam shalat Zhuhur di masjid Nabawi. Shalat pertama yang diimami oleh khalifah Utsman bin Affan adalah shalat Ashar, sebagaimana yang telah disebutkan oleh asy-Syabi’I dan lain-lain.
Khutbah pertama beliau dihadapan kaum muslimin, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Saif bin Umar dari Badr bin Utsman dari pamanya berkata, “Ketika dewan syura membai’at Utsman bin Affan, dengan keadaan orang yang paling sedih di antara mereka, beliau keluar dan menaiki mimbar Rasulullah SAW dan memberikan khutbahnya kepada orang banyak. Beliau memulai dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi SAW dan berkata, “Sesungguhnya kalian berada di kampung persinggahan dan sedang berada pada sisa-sisa usia maka segeralah melalukan kebaikan yang mampu kalian lakukan. Kalian telah diberi waktu pagi dan sore. Ketahuilah bahwa dunia dilapisi dengan tipu daya oleh karena itu maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kalian, dan jangan (pula) penipu(setan)memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah. Ambillah pelajaran dari kejadian masa lalu kemudian bersungguh-sungguhlah dan jangan lalai, karena setan tidak pernah lalai terhadap kalian. Mana anak-anak dunia dan temannya yang terpengaruh dengan dunia akan menghabiskan usianya untuk bersenang-senang. Tidaklah mereka jauhi semua itu.
Pada sejarahnya kemudian, tarik ulur perbedaan pendapat tersebut mengandung banyak interpretasi. Misalnya, dikatakan bahwa dalam pemilihan Khalifah Utsman ditemui beberapa kecurangan, dan sebenarnya yang pantas menduduki kursi Khalifah setelah umar adalah Ali bin Abi Thalib. Keberhasilan Utsman bin Affan menjadi Khalifah ditentukan oleh peran lima tokoh yaitu Umar bin Khattab, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Mereka ini masuk Islam secara kolektif atas pengaruh Abu Bakar as-Shiddiq.
Dengan demikian, bila dewan itu dipetakan dapat ditemukan dua kekuatan yang bersaing, yaitu poros Abu Bakar dan Umar yang pro Utsman dengan poros Ali. Kini penganut Syi’ah berpendapat bahwa terbentuknya dewan musyawarah dengan 6 anggota tersebut merupakan “taktik politik” pro Utsman yang ingin agar Utsman menjadi Khalifah. Wacana ini sangat ditentang oleh Abdul Hamid kisyik dengan dasar kesalehan dan kerendahan hati Utsman, juga latar belakang sejarah Utsman yang berjuang demi Islam.
Terpilihnya Utsman sebagai Khalifah ternyata melahirkan perpecahan dikalangan pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari persaingan kesukuan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah yang memang bersaing sejak zaman pra Islam. Oleh karena itu, ketika Utsman terpilih masyarakat menjadi dua golongan, yaitu golongan pengikut Bani Ummayah, pendukung Utsman dan golongan Bani Hasyim pendukung Ali. Perpecahan itu semakin memuncak dipenghujung pemerintahan Utsman, yang menjadi simbol perpecahan kelompok elite yang menyebabkan disintegrasi masyarakat Islam pada masa berikutnya.

3. Kontribusi Utsman bin Affan sebagai Khalifah

a.    Perluasan wilayah
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan oleh pendukung-pendukung pemerintahan yang lama(pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke daerah kekuasaan Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat Persia agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Adapun daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan Islam adalah Khurasan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurosan dan sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku kalah dan meminta damai. Danpada tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil menguasai Khurazan.[12]
Adapun tentang Iskandariyah, bermula dari kedatangan kaisar Konstan II dari Roma Timur atau Bizantium yang menyerang Iskandariyah dengan mendadak, sehingga pasukan Islam tidak dapat menguasai serangan. Panglima Abdullah bin Abi Sarroh yang menjadi wali di daerah tersebut meminta pada Khalifah Utsman untuk mengangkat kembali panglima Amru bin ‘Ash yang telah diberhentikan untuk menangani masalah di Iskandariyah. Abdullah bin Abi Sarroh memandang panglima Amru bin ‘Ash lebih cakap dalam memimpin perang dan namanya sangat disegani oleh pikak lawan. Permohonan tersebut dikabulkan, setelah itu terjadilah perpecahan dan menyebabkan tewasnya panglima di pihak lawan.[13]
Selain itu, Khalifah Utsman bin Affan juga mengutus Salman Robiah Al-Baini untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat menguasai Armenia. Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Zarrah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil menguasai Asia kecil dan Cyprus.
Di masa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian Selatan negeri Nubah, Armenia dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria), Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan. Jadi 6 tahun pertama pemerintahan Utsman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan negeri Cyprus, serta Rhodes dan Trasoxania. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus dan lainnya bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.[14]
b.    Pembangunan Angkatan Laut
Pembangunan angkatan laut bermula dari adanya rencana Khalifah Utsman untuk mengirim pasukan ke Afrika, Mesir, Cyprus dan Konstatinopel Cyprus. Untuk sampai ke daerah tersebut harus melalui lautan. Oleh karena itu atas dasar usul Gubernur di daerah, Utsman pun menyetujui pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan sarana yang memadai.
Pada saat itu, Mu’awiyah, Gubernur di Syiria harus menghadapi serangan-serangan Angkatan Laut Romawi di daerah-daerah pesisir provinsinya. Untuk itu, ia mengajukan permohonan kepada Khalifah Utsman untuk membangun angkatan laut dan dikabulkan oleh Khalifah. Sejak itu Muawiyah berhasil menyerbu Romawi.[15]
Selain itu, Keberangkatan pasukan ke Cyprus yang melalui lautan, juga mendesak ummat Islam agar membangun armada angkatan laut. Pada saat itu, pasukan dipimpin oleh Abdullah bin Qusay Al-Harisy yang ditunjuk sebagai Amirul Bahr atau panglima Angkatan Laut. Istilah ini kemudian diganti menjadi Admiral atau Laksamana.[16] Ketika sampai di Amuria dan Cyprus pasukan Islam mendapat perlawanan yang sengit, tetapi semuanya dapat diatasi hingga sampai di kota Konstatinopel dapat dikuasai pula.
Di samping itu, serangan yang dilakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir melalui laut juga memaksa ummat Islam agar segara mendirikan angkatan laut. Bahkan pada tahun 646 M, bangsa Romawi telah menduduki Alexandria dengan penyerangan dari laut. Penyerangan itu mengakibatkan jatuhya Mesir ke tangan kekuasan bangsa Romawi. Atas perintah Khalifah Utsman, Amr bin Ash dapat mengalahkan bala tentara bangsa Romawi dengan armada laut yang besar pada tahun 651 M di Mesir.
Berawal dari sinilah Khalifah Utsman bin Affan perlu diingat sebagai Khalifah pertama kali yang mempunyai angkatan laut yang cukup tangguh dan dapat membahayakan kekuatan lawan.
c.    Kodifikasi Al-qur’an
Penyebaran Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah, sehingga perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qira‘at dari qari‘ yang sampai pada mereka. Sebagian orang Muslim merasa puas karena perbedaan tersebut disandarkan pada Rasullullah SAW. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak menimbulkan keraguan kepada generasi berikutnya yang tidak secara langsung bertemu Rasullullah.
Ketika terjadi perang di Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat tersebut adalah Hudzaifah bin Aliaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara membaca Al-Qur‘an. Sebagian bacaan itu tercampur dengan kesalahan tetapi masing-masing berbekal dan mempertahankan bacaannya. Bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat hal tersebut beliau melaporkannya kepada Khalifah Utsman. Para sahabat amat khawatir kalau perbedaan tersebut akan membawa perpecahan dan penyimpangan pada kaum muslimin. Mereka sepakat menyalin lembaran pertama yang telah di lakukan oleh Khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh istri Rasulullah, Siti Hafsah dan menyatukan umat Islam dengan satu bacaan yang tetap pada satu huruf.[17]
Selanjutnya Utsman mengirim surat pada Hafsah yang isinya kirimkanlah pada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf dan setelah selesai akan kami kembalikan kepada anda. Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Utsman. Utsman memerintahkan para sahabat yang antara lain: Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Sa‘ad Ibn Al-‘Ash dan Abdurahman Ibnu Harist Ibn Hisyam, untuk menyalin mushhaf yang telah dipinjam. Khalifah Utsman berpesan kepada kaum Quraisy bila anda berbeda pendapat tentang hal Al-Qur‘an maka tulislah dengan ucapan lisan Quraisy karena Al-Qur‘an diturunkan di kaum Quraisy. Setelah mereka menyalin ke dalam beberapa mushhaf Khalifah Utsman mengembalikan lembaran mushhaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushhaf yang yang telah disalinnya ke seluruh daerah dan memerintahkan agar semua bentuk lembaran mushhaf yang lain dibakar.[18]
Al-Mushhaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah Islam supaya disalin kembali dan supaya menjadi pedoman, satu buah disimpan di Madinah untuk Khalifah Utsman sendiri dan mushhaf ini disebut mushhaf Al-Imam dan dikenal dengan mushhaf Utsmani.[19]
Jadi langkah pengumpulan mushhaf ini merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan yakni dengan meneruskan jejak Khalifah pendahulunya untuk menyusun dan mengkodifikasikan ayat-ayat al-Qur an dalam sebuah mushhaf. Karena selama pemerintahan Utsman, banyak sekali bacaan dan versi al-Qur’an diberbagai wilayah kekuasaan Islam yang disesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing. Dengan dibantu oleh Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat yang lain, Khalifah berusaha menghimpun kembali ayat-ayat al-Qur an yang outentik berdasarkan salinan Kitab Suci yang terdapat pada Siti Hafsah, salah seorang isteri Nabi yang telah dicek kembali oleh para ahli dan huffadz dari berbagai kabilah yang sebelumnya telah dikumpulkan.
Keinginan Khalifah Utsman agar kitab al-Qur’an tidak mempunyai banyak versi bacaan dan bentuknya tercapai setelah kitab yang berdasarkan pada dialek masing-masing kabilah semua dibakar, dan yang tersisa hanyalah mushhaf yang telah disesuaikan dengan naskah al-Qur’an aslinya. Hal tersebut sesuai dengan keinginan Nabi Muhammad SAW yang menghendaki adanya penyusunan al-Qur’an secara standar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif pengumpulan mushhaf oleh Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Utsman berbeda. Pengumpulam mushhaf yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dikarenakan adanya kekhawatiran akan hilangnya Al-Qur‘an karena banyak huffadz yang meninggal karena peperangan, sedangkan motif Khalifah Utsman karena banyaknya perbedaan bacaan yang dikhawatirkan timbul perbedaan.
d.   Perluasan Masjid di Tanah Suci
Sebuah jasa besar lainnya dari khalifah Utsman bin Affan adalah pemikiran dan pelaksanaan perluasan masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah dan Masjidil-Haram di Makkah al-Mukarromah.
1)   Perluasan Masjid Nabawi
Dinding masjid Nabawi pada masa Nabi Muhammad berukuran setinggi tegak dan terbuat dari susunan bingkah-bingkah tanah liat yang dikeringkan. Arah kiblat pada masa-masa permulaan menghadap bait-Allah di Yerusslem hingga pintu masuk berada pada penjuru dinding bagian selatan, berjumlah tiga buah pintu. Belakangan arah kiblat dirubah menghadap bait Allah di Makkah hingga pintu-pintu masuk pada dinding selatan itu ditutup.
Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). timbullah perbandingan dengan rumah-rumah ibadat kepunyaan agama-agama lainnya, yang berada di luar Arabia. Terbanding kepada bangunan-bangunan gereja pihak Nasrani dan bangunan-bangunan pihak Keniset pihak Yahudi dan bangunan-bangunan kuil-api pihak Majusi, yang demikian agung dan megah dan mengesankan, maka bangunan masjid Nabawi itu dirasakan amat sederhana sekali, sedangkan tempatnya berada di ibu kota kekuasaan Islam.
Suara-suara perbandingan yang diperdengarkan itu dapat dirasakan oleh khalifah Utsman bin Affan. Ia pun membicarakannya dengan tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan al Shahabi di Madinah al-Munawwarah dan beroleh persetujuan untuk perombakannya.
Pekerjaan besar itu dimulai pada bulan Rabiul-awal tahun 29 H/650 M. Dan barulah selesai pada masa sepuluh bulan kemudian, yaitu pada bulan Muharram tahun 30 H/651M.
Dindingnya terbuat dari batu berukir dengan bertatahkan perak. Tiang-tiangnya terbuat dari batu pualam. Kasau-kasau atap yang berbentuk cembung terbuat dari kayu pinus yang didatangkan dari Lebanon. Gerbang masuk tetap berjumlah enam buah seperti masa khalifah Umar.
Tetapi luasnya kini berukuran 160 hasta x 150 hasta. Rumah-rumah penduduk sekitar masjid yang termasuk daerah perluasan itu, dibeli satu persatunya dengan harga yang layak. Pembiayaannya dikeluarkan dari pendaharaan Bait-al-Mal.
2)   Perluasan Masjidil-Haram
Lapangan thawaf beralaskan jubin sekitar bait-Allah (ka’bah) pada masa sekarang ini maka itulah yang disebut dengan lapangan Masjidil Haram. Pada masa Nabi Muhammad dan masa khlifah Abu Bakar bersifat lapangan terbuka, berbataskan dinding-dinding rumah kubus bertingkat kepunyaan penduduk, dengan lorong-lorong sempit pada berbagai penjuru menuju arah lapangan ka’bah. Lorong sempit yang berhadapan dengan hijar al-aswad maka itulah yang disebut dengan bab bani Syaibah, yakni gerbang bani Syaibah, tempat bagi memulai thawaf. Bangunan yang menghadap Hijr-Ismail pada arah utara maka itulah yang disebut dengan Dar al-Nadwa yakni balai sidang para pembesar Quraisy di kota Makkah. Bekas bangunan Dar al-Nadwa itu pada masa sekarang ini ditandai dengan garisan jubin hitam berbentuk seperempat pada arah utara.
Khalifah Utsman membeli rumah-rumah yang berada sekitar lapangan Masjidil Haram guna perluasannya. Tetapi lapangannya kini bukan sekedar dibatasi dinding, tetapi sekitar lapangan itu dibangun ruangan-ruangan berceruk pada empat penjurunya, dan antara ruangan berceruk dengan ka’bah terletak lapangan terbuka dan itu dikerjakan oleh para ahli bangunan dari Syiria.[20]

4. Masa Pemerintahan

Kasus hukum pertama yang beliau hadapi adalah kasus Ubaidillah bin Umar bin Al-Khaththab. Kasusnya Abu Lu’lu’ah, pembunuh Umar, lantas membunuhnya, kemudian ia juga membunuh seorang Nasrani yang bernama Jufainah dengan pedang. Ia juga membunuh Al-Hurmudzan yang berasal dari Tustar. Dikatakan bahwa mereka berdua adalah penghasut Abu Lu’lu’ah untuk membunuh Umar.
Para pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua periode, yaitu pada periode kemajuan dan periode kemunduran sampai ia terbunuh. Periode I, pemerintahan Utsman membawa kemajuan luar biasa berkait jasa panglima yang ahli dan berkualitas dimana peta Islam sangat luas dan bendera islam berkibar dari perbatasan Aljazair (Barqah Tripoli, Syprus di front al-Maghrib bahkan ada sumber menyatakan sampai ke Tunisia). Di al-Maghribdiutara sampai ke Aleppo dan sebagian Asia kecil, di Timur laut sampai ke Ma wara al-Nahar –Transoxiana, dan di Timur seluruh Persia bahkan sampai diperbatasan Balucistan (sekarang wilayah Pakistan), serta Kabul dan Ghazni. Selain itu ia juga berhasil membetuk armada laut dengan kapalnya yang kokoh dan menghalau serangan-serangan di laut tengah yang dilancarkan oleh tentara Bizantium dengan kemenangan pertama kali di laut dalam sejarah Islam.
Pada periode ke-II, kekuasaannya identik dengan kemunduran dengan kemunduran dengan huruhara dan kekacauan yang luar biasa sampai ia wafat. Sebagian ahli sejarah menilai bahwa Utsman melakukan nepotisme.Ia mengangkat sanak saudaranya dalam jabatan-jabatan strategis yang paling besar dan paling banyak menyebabkan suku-suku dan kabila-kabila lainnya merasakan pahitnya tindakan Utsman tersebut. Para pejabat dan para panglima era Umar hampir semuanya dipecat oleh Utsman, kemudian mengangkat dari keluarga sendiri yang tidak mampu dan tidak cakap sebagai pengganti mereka. Adapun para pejabat Utsman yang berasal dari famili dan keluarga dekat, diantaranya Muawiyah bin Abi sofyan, Gubernur Syam, satu suku dan keluarga dekat Utsman. Oleh karena itu, Utsman diklaim bahwa ia telah melakukan KKN.[21]
Kemajuan Islam yang begitu cepat ternyata membawa benih krisis. Utsman yang mengantikan Khalifah Umar, dapat dikatakan sebagai korban dari benih krisis tersebut. Selama 12 tahun pemerintahannya, 6 tahun di awal pemerintahannya dipenuhi dengan kemajuan dan keberhasilan. Sedangkan pada masa 6 tahun terakhir  pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan merupakan masa penuh dengan pertikaian di antara kaum muslimin, yang merupakan akibat dari ketidak senangan sebagian mereka terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan Utsman soal pemerintahan. Ia menemui kesulitan dalam menghadapi perubahan dan luasnya wilayah Islam. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha-usaha yang dilakukan Utsman selama  masa pemerintahannya telah memberi kemajuan Islam cukup banyak dan berarti.
Pada masa 6 tahun terakhir tersebut, situasi itu benar-benar semakin mencekam, bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemaslahatan ummat disalah fahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Penulisan Al-Qur’an yang diperkirakan sebagai langkah yang efektif malah menjadi menambah permasalahan dan bahkan mengundang kecaman, dan juga Utsman malah dituduh tidak punya otoritas untuk menetapkan edisi Al-Qur’an yang dibakukan itu. Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh. Ada beberapa hal yang mendasari kenapa hal itu terjadi, yaitu pada saat pemerintahan Abu Bakar dan Umar para pejabat senior tidak diperbolehkan keluar dari Madinah. Karena mereka adalah sebagai percontohan bagi pejabat junior, namun aturan itu tidak diterapkan lagi oleh Utsman. Utsman lebih cenderung dan lebih sering berdiskusi dengan pejabat junior yang nota benenya adalah kaum kirabatnya sendiri yang haus akan kekuasaan dan jabatan.[22]
Pada mulanya pemerintahan Khalifah Utsman berjalan lancar. Hanya saja seorang Gubernur Kufah, yang bernama Mughirah bin Syu’bah dipecat oleh Khalifah Utsman dan diganti oleh Sa’ad bin Abi Waqqas, atas dasar wasiat khalifah Umar bin Khattab.
Kemudian beliau memecat pula sebagian pejabat tinggi dan pembesar yang kurang baik, untuk mempermudah pengaturan, lowongan kursi para pejabat dan pembesar itu diisi dan diganti dengan famili-famili beliau yang kredibel (mempunyai kemampuan) dalam bidang tersebut.
Utsman bin Affan dianggap melakukan nepotisme karena beliau mengangkat beberapa orang kerabatnya untuk menduduki jabatan pemerintahan. Utsman bin Affan telah dituduh melakukan politik nepotisme. Istilah “nepotisme” biasa dipakai untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya biasa dipakai istilah “al-Muhabah” yang berasal dari akar kata habba yang menunjukkan beberapa makna antara lain: mantap dan kokoh, biji-bijian dan sifat pendek.[23] Makna yang sepadan dengan nepotisme adalah makna yang ketiga yakni sifat pendek karena hanya membatasi sesuatu hanya kepada keluarga atau rekan-rekannya semata. Dalam kegiatan politik, nepotisme merupakan tindakan yang tidak boleh dilakukan, karena nepotisme tidak sejalan dengan perintah Allah untuk berlaku amanah sebagai pemimpin. Dalam sabda Rasulullah ini beliau menekankan bagaimana memberikan tugas kepada orang yang kompeten dan tidak memberikannya kepada orang yang meminta jabatan tersebut, sekaligus informasi dari Nabi bahwa suatu saat nanti, akan muncul kelompok yang suka melakukan nepotisme, maka pada saat itulah, setiap orang membutuhkan kesabaran agar tetap selamat dunia dan akhirat.
حدثنا محمد بن سنان قال حدثنا فليح ح و حدثني إبراهيم بن المنذر قال حدثنا محمد بن فليح قال حدثني أبي قال حدثني هلال بن علي عن عطاء بن يسار عن أبي هريرة قال بينما النبي صلى الله عليه وسلم في مجلس يحدث القوم جاءه أعرابي فقال متى الساعة فمضى رسول الله صلى الله عليه وسلم يحدث فقال بعض القوم سمع ما قال فكره ما قال وقال بعضهم بل لم يسمع حتى إذا قضى حديثه قال أين أراه السائل عن الساعة قال ها أنا يا رسول الله قال فإذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها قال إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
“…Dari Abu Hurairah, ketika Rasulullah sedang memberikan pengajian dalam suatu majlis, datanglah seorang pedalaman seraya bertanya “Kapan hari kiamat?” akan tetapi Rasulullah tetap melanjutkan pengajiannya, sebagian hadirin berkata bahwa Rasulullah mendengar pertanyaannya akan tetapi tidak suka. Sebagian yang lain berkata bahwa Rasulullah tidak mendengarnya. Setelah Rasulullah selesai pengajian, beliau bertanya “Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Saya wahai Rasulullah, lalu beliau menjawab “Jika amanah sudah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”, orang tersebut bertanya lagi “Bagaimana menyia-nyiakan amanah” Rasulullah menjawab “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat.”[24]
Pada manajemen pemerintahannya, Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagai alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam. Ia termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
2)      Pimpinan Bashrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
3)      Pimpinan Kuffah, Sa’ad bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
4)      Pemimpin Mesir, Amr bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat (dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
5)      Marwan bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.[25]
Selain itu khalifah Utsman juga mengeluarkan kebijakan yang berbeda dengan khalifah sebelumnya. Salah satu kebijakan Utsman pada masa pemerintahannya, yaitu membebaskan para sahabat ke manapun mereka suka. Tindakan ini wajar sesuai dengan watak Utsman yang lemah lembut, tak sampai hati, pemurah, dan toleran. Utsman mungkin juga sedang memikat hati mereka karena kebijakan-kebijakannya tak jarang bertentangan yang para sahabat dipikirkan. Ia mungkin sudah merasa bahwa ia telah mengambil berbagai kebijakan yang tidak mesti diterima oleh para sahabat. Karena itu, adalah penting baginya untuk mengangkat harkat dan martabat mereka. Dengan begitu mereka diharapan untuk tidak melakukan revolusi atau sekedar marah.
Utsman juga telah memberikan kepada orang dekatnya dari Bani Umayyah wewenang untuk mengelolah beberapa kawasan tertentu, sesuatu yang tidak diperkirakan para sahabat sebelumnya. Saat itulah para sahabat mulai terpikat untuk berbondong-bondong keluar ke berbagai kawasan baru Islam. Kontan, mereka terperangah manyaksikan bahwa dunia sangat menyambut kedatangan mereka dan mereka pun bersiap untuk menyambut indahnya dunia.

5. Gelombang Fitnah

Ketika Utsman bin Affan mengganti kedudukan Umar, beliau dianggap mulai menyimpang dari kebijakan-kebijakan khalifah sebelumnya. Sedikit demi sedikit ia mulai menunjuk sanak kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada mereka keistimewaan lain yang menimbulkan protes-protes dan kritikan-kritikan rakyat secara umum.”
Ketika Utsman meninggalkan prinsip keadilan para sahabat yang shaleh menyampaikan protes dengan berbagai cara. Ketika Sa’ad bin Waqqash, sahabat yang termasuk ashbiqun al-Awwlun diganti dengan Walid ibn Uqbah, Abdullah bin Mas’ud keberatan ia tahu Walid sama sekali tidak layak jadi Gubernur, Ibn Mas’ud mengundurkan diri sebagai bendahara ia menyerahkan kunci Baitulmal kepada Walid: “siapa yang mengubah, Allah akan mengubah apa yang ada pada dirinya. Siapa yang mengganti, Allah akan murka kepadanya. Aku melihat sahabatmu (Utsman) telah mengubah dan mengganti, mengapa ia memakzulkan orang yang seperti Sa’ad bin Waqqash dan mengangkat Walid?”[26]
Di tengah kemewahan yang berlimpah seorang sahabat Rasulullah SAW tidak suka melihat itu semua, Abu Dzar al Ghifari adalah orang yang selalu memberi peringatan beliau melihat itu semua sebagai bentuk kelalaian khalifah Utsman bin Affan maka ia memberi peringatan kepada khalifah namun akibat dari itu Abu Dzar al-Ghifari di kirim ke Syam. Beliau tidak ragu-ragu untuk berangkat ke Syam ketika mendengar berita tentang kemewahan yang luar biasa, pendirian istana-istana, gedung-gedung, rumah-rumah, dan kebun-kebun yang dimiliki serta dinikmati oleh para amir di bawah pimpinan Mu’awiyah dan beberapa sahabat lain yang menurut pendapat Abu Dzar tidak diciptakan untuk kesenangan dan kenikmatan dunia yang fana. Di Syam ia mengibarkan panji oposisi yang hampir merobohkan kedudukan Mu’awiyah.
Muawiyah berusaha memenangkan kemarahannya. Sebenarnya, meskipun ia merasakan adanya bahaya dalam kritikan Abu Dzar al-Ghifari terhadapnya, namun sikapnya terhadap Abu Dzar tetap mengagungkan dan menghomatinya.
Ia cukup menulis kepada khalifah sepucuk surat yang berbunyi, “Abu Dzar telah merusak orang-orang di Syam,” maka datang balasan khalifah dengan segera kepadanya, “kirimkanlah dia kepadaku.”
Abu Dzar kembali ke Madinah dan berlangsung percakapan antara dia dan khalifah di mana masing-masing tidak bisa menerima pandangan yang berbeda. Di sini ada dua riwayat sejarah. Yang satu berkata bahwa khalifah memutuskan untuk mengasingkannya ke Rabdzah, sebuah tempat yang jauh dari Madinah. Yang lain berkata bahwa Abu Dzar sendiri yang meminta kepada khalifah agar mengizinkannya keluar menuju Rabdazah, di mana ia menghabiskan sisa hari-hari di situ.[27] Walaupun berbeda pendapat dengan khalifah namun Abu Dzar tetap sangat menghormati khalifah tanpa ada niat mau melakukan pemberontakan segala keputusan khalifah beliau taati.
Sahabat lain yang melakukan kritik terhadap kebijakan beliau adalah Ammar bin Yasir. Ia adalah seorang sahabat besar, kedua orang tuanya mati syahid di kayu siksaan, di mana Quraisy ingin memadamkan cahaya Allah swt dan Ammar ikut merasakan siksaan yang mengerikan itu. Bersama kedua orang tuanya pula Ammar diberitahu Rasul SAW, tentang kabar gembira yang cemerlang ketika mereka sedang mengalami siksaan yaitu. “Bersabarlah keluarga Yasir, karena tempat kalian kelak adalah surga.”
Ammar telah berselisih dengan khalifah mengenai beberapa masalah. Barangkali ia menangani perselisihan itu dengan cara yang mengejutkan khalifah, terutama di akhir pemerintahan Utsman, di mana sebagian gubernur-gubernur Bani Umayyah telah berlebihan dalam kekerasan terhadap para penentang mereka, tanpa membedakan antara sahabat besar yang menyatakan kebenaran dengan orang yang tendensius dan pura-pura. Mungkin perselisihan antara khalifah dan Ammar diputuskan dengan hak-hak persahabatan yang mahal, yang menggabungkan keduanya dari hari-hari kesulitan dan kemenangan. Bahkan tetap begitu kenyataannya kendati makin hari makin meningkat dengan bergejolaknya jiwa-jiwa yang semakin dipanasi oleh peristiwa-peristiwa dan persekongkolan-persekongkolan.
Telah kita lihat khalifah tidak melupakan Ammar ketika ia memilih di antara sahabat-sahabat utama untuk membentuk panitia pencari fakta. Bahwa ia memilih Ammar, kendati oposisi terhadap khalifah dan mengizinkannnya ke Mesir. Tatkala utusan-utusan khalifah datang kecuali Ammar yang tinggal lama di Mesir, dan kebetulan pada waktu itu di sana ada Abdullah bin Saba, maka para pengadu domba mendapat kesempatan untuk menimbulkan kemarahan khalifah terhadap Ammar dengan menganggap bahwa ia bertemu dengan Abdullah bin Saba dan mengikuti omongannya.
Namun perselisihan yang banyak dicampuri kebencian di luar kebiasaanya di mana khalifah mengandalkan tindakan keras adalah perselisihan yang terjadi antara khalifah dan Abdullah bin Mas’ud, sedangkan Abdullah bin Mas’ud adalah seorang sahabat yang cemerlang pengorbanannya, keberaniaan, serta persahabatannya dengan Rasulullah SAW. Perselisihan antara khalifah dan Ibnu Mas’ud menghebat sehingga khalifah menghentikan tunjangannya dari Baitul Maal.[28]
Berbagai cara, bentuk protes yang dilakukan sahabat-sahabat Rasulullah terhadap khalifah, namun tidak ada yang melakukan perlawanan apalagi ingin merusak sistem kekhalifahan semua itu dilakukan agar mereka tidak terlena dalam kemewahan dunia.
Tindakan beliau yang terkesan nepotisme tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas mengundang protes dari orang-orang yang dipecat, di sinilah Abdulah bin Saba’ mengambil peran, maka Abdulah bin Saba’ bersama gerombolannya datang menuntut agar pejabat-pejabat dan para pembesar yang diangkat oleh Khalifah Utsman ini dipecat pula. Usulan-usulan Abdullah bin Saba’ ini ditolak oleh khalifah Utsman.
Pada masa kekhalifan Utsman bin Affan-lah aliran Syiah lahir dan Abdullah Bin Saba’ disebut sebagai pencetus aliran Syi’ah tersebut. Abdullah ibn Saba’ adalah seorang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ia merupakan provokator yang berada di balik pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Ibnu Saba’ melakukan semuanya itu didasarkan motivasi dirinya untuk meruntuhkan dasar-dasar Islam yang telah dipegang teguh oleh umat Islam. Niatnya masuk Islam hanyalah sebagai kedok belaka untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Khalifah Utsman, sehingga muncullah kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam di antaranya adalah Fustat (Kairo), Kufah, Basrah, dan Madinah.
Ia memotori para sahabat untuk membuat gerakan-gerakan pembrontakan, sahabat yang terpancing oleh tipu daya muslihat Abdullah ibn Saba’ adalah: Abu Zar al-Ghiffari, Ammar ibn Yasir`dan Abdullah ibn Mas’ud. Sebenarnya Abdullah ibn Saba’ telah cukup lama menantikan moument ini, dimana situasi ini dapat menghancurkan Islam, yang pertama-tama ia mempropaganda barisan pengikut Ali ibn Thalib.
Waktu itu barisan pengikut Ali selalu dimarjinalkan oleh pejabat-pejabat dari pihak Utsman, isu-isu yang dilancarkan oleh Abdullah ibn Saba’ bagaikan gayung bersambut, dan saat itu lahirlah golongan yang disebut denagn “Mazhab Whisayah”, Mazhab ini mempunyai ideologi bahwa Alilah yang berhak menjadi Khalifah dan dia adalah orang yang mendapat wasiat dari NAbi Muhammad SWA. Dan para penganut mazhab ini sangat memuliakan Ali sebagaimana rasul menjulukinya sebagai “Pintu Ilmu”. Paham tersebut sesuai dengan doktrin dan ideologi yang dibawa oleh Abdullah ibn Saba’ dan ia menambahi paham itu dengan paham-paham yang dibawanya dari Persi yaitu paham “Hak Ilahi”, aliran ini berasal dari Persi yang dibawa ke Yaman tempat kelahiran Abdullah ibn Saba’ fase sebelum datangnya Islam. Menurut paham ini Ali-lah yang berhak sebagai Khalifah tetapi Utsman mengambilnya dengan jalan pemaksaan.[29]
Abdullah bin Saba’ kemudian membuat propoganda yang hebat dalam bentuk semboyan anti Bani Umayah, termasuk Utsman bin Affan. Seterusnya penduduk setempat banyak yang termakan hasutan Abdullah bin Saba’. Sebagai akibatnya, datanglah sejumlah besar (ribuan) penduduk daerah ke Madinah yang menuntut kepada Khalifah, tuntutan dari banyak daerah ini tidak dikabulkan oleh khalifah, kecuali tuntutan dari Mesir, yaitu agar Utsman memecat Gubernur Mesir, Abdullah bin Abi Sarah, dan menggantinya dengan Muhammad bin Abi Bakar.
Karena tuntutan orang mesir itu telah dikabulkan oleh khalifah, maka mereka kembali ke Mesir, tetapi sebelum mereka kembali ke Mesir, mereka bertemu dengan seseorang yang ternyata diketahui membawa surat yang mengatasnamakan Utsman bin Affan. Isinya adalah perintah agar Gubernur Mesir yang lama yaitu Abdulah bin Abi sarah membunuh Gubernur Muhammad Abi Bakar (Gubernur baru) Karena itu, mereka kembali lagi ke Madinah untuk meminta tekad akan membunuh Khalifah karena merasa dipermainkan.
Setelah surat diperiksa, terungkap bahwa yang membuat surat itu adalah Marwan bin Hakam. Tetapi mereka melakukan pengepungan terhadap khalifah dan menuntut dua hal :
1)   Supaya Marwan bin Hakam diqishas (hukuman bunuh karena membunuh orang).
2)   Supaya Khalifah Utsman meletakan jabatan sebagai Khalifah.
Kedua tuntutan yang pertama, karena Marwan baru berencana membunuh dan belum benar-benar membunuh. Sedangkan tuntutan kedua, beliau berpegang pada pesan Rasullulah SAW; “Bahwasanya engkau Utsman akan mengenakan baju kebesaran. Apabila engkau telah mengenakan baju itu, janganlah engkau lepaskan”
Setelah mengetahui bahwa khalifah Utsman tidak mau mengabulkan tuntutan mereka, maka mereka lanjutkan pengepungan atas beliau sampai empat puluh hari. Situasi dari hari kehari semakin memburuk. Rumah beliau dijaga ketat oleh sahabat-sahabat beliau, Ali bin Thalib, Zubair bin Awwam, Muhammad bin Thalhah, Hasan dan Husein bin Ali bin Abu Thalib. Karena kelembutan dan kasih sayangnya, beliau menanggapi pengepung-pengepung itu dengan sabar dan tutur kata yang santun.
Selain faktor dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu Saba’), dalam internal kekhalifahan Utsman bin Affan terdapat konfrontasi lama yang mencuat kembali. Permasalahan tersebut semata-mata berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Sedangkan Utsman sendiri merupakan salah satu anggota dari keluarga besar Bani Umayyah. Pada konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu berada di atas Bani Umayyah terutama pada masalah-masalah perpolitikan orang-orang Quraisy.
Lemahnya karakter kepemimpinan Utsman menjadikan kekuatan dan kekuasaanya semakin terancam. Artinya, pribadi Utsman bin Affan yang sederhana dan berhati lembut membuat para pemberontak lebih leluasa dalam melakukan provokasi dan kerusuhan di wilayah kekuasaan Islam. Sikap sederhana dan lemah lembut dalam ilmu politik sebenarnya kurang relevan diterapkan, apalagi pada saat itu kondisi pemerintahan dalam saat-saat kritis. Dan lagi-lagi pada beberapa kasus, Utsman bin Affan begitu mudah memaafkan orang lain, meskipun pada kenyataannya orang tersebut adalah termasuk kelompok yang memerangi dan sangat tidak suka dengan beliau, demikianlah karakter kepemimpinan beliau.
Sebenarnya Rasulullah ketika beliau masih hidup telah mengabarkan akan adanya fitnah tersebut. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengabarkan kepada beliau dan para sahabat berulang-ulang bahwa akan terjadi fitnah yang akan menimpa Utsman dan para sahabat beliau yang berada diatas kebenaran. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengisyaratkan untuk mengikuti beliau (Utsman) ketika terjadi fitnah.
Diantara yang shohih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umari Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah SAW menyebutkan adanya fitnah. Lalu ada seseorang yang lewat dan Nabi berkata :”Orang yang memakai penutup muka ini akan terbunuh pada saat itu.” Abdullah bin Umar mengatakan :”Aku melihat (orang tersebut) adalah Utsman bin Affan.”[30]
Ka’ab bin Murrah al-Bahziz meriwayatkan kisah yang serupa dengan yang diatas. Beliau telah mendengar Rasulullah SAW menyebutkan tentang fitnah, lalu tiba-tiba Utsman datang dalam keadaan memakai penutup muka dan beliau mengisyaratkan kepada Utsman, seraya berkata :”Orang ini dan para sahabatnya di atas kebenaran dan petunjuk.”
Baik kedua riwayat ini untuk satu kisah atau dua, semuanya mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan akan terbunuhnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu dalam fitnah. Dan riwayat Ka’ab menambahkan bahwa beliau dan parasahabatnya diatas kebenaran ketika terjadinya fitnah ini.
Diantara yang menunjukkkan bahwa Ka’ab ingin mengetahui lebih jelas siapa orang yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka dia pun mendatangi orang tersebut dan memegangi kedua pundaknya ternyata dia adalah Utsman bin Affan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyambutnya. Ka’ab mengatakan: Apakah ini orangnya ? Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam berkata kepadanya : ya.[31]
Diantaranya pula apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairahz, yang demikian itu ketika beliau meminta izin kepada Utsman pada waktu pengepungan (terhadap rumah beliau) untuk berbicara kepada beliau. Ketika beliau mengizinkannya, beliau (Abu Hurairah) berdiri dan memuji Allah kemudian berkata :”Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :”Sesungguhnya kalian akan menemui sepeninggalku fitnah dan perselisihan. Salah seorang mengatakan :Apa yang kita lakukan, ya Rasulullah ? Beliau menjawab, ”Wajib bagi kalian bersama al-Amin dan para sahabat-sahabat beliau”. Dan beliau menunjuk kepada Utsman.[32]
Dan apa yang telah ditentukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang waktu terjadinya fitnah tersebut, seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu ‘alaihiwa Sallam, beliau bersabda :”Poros Islam berputarpada 35 atau 36 atau 37 ......”[33]
Dan Allah berkehendak hal itu terjadi padatahun 35 H dengan dinyalakannya fitnah hingga terbunuhnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu .
Telah diketahui, bahwa khalifah yang terbunuh dalam keadaan bersabar diatas kebenaran dan pasrah untuk dibunuh adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu. Semua tanda-tanda menunjukkan bahwa khalifah yang dimaksud oleh hadits diatas adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu .
Dalam hadits ini ada isyarat besar tentang pentingnya menyelamatkan diri dari fitnah ini, baik secara fisik maupun maknawi. Adapun secara fisik ada pada waktu terjadinya fitnah, dari menggerakkan, mengumpulkan (massa) dan membunuh serta yang lainnya. Adapun secara maknawi, maka terjadi setelah fitnah dengan tenggelam dalam kebatilan serta berbicara tanpa haq. Maka hadits ini umum untuk umat ini, dan bukan khusus bagi yang hidup di zaman fitnah tersebut. Wallahu a’lam.
Diantara hadits-hadits yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang terjadinya pembunuhan terhadap Utsman bin Affan adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam memerintahkan beliau untuk memberi kabar gembira kepada Utsman dengan surga karena musibah yang akan menimpanya.[34]
Dan apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah suatu hari berada diatas gunung Uhud dan bersama beliau Abu Bakar, Umar, Utsman. Maka gunung tersebut bergetar, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :”Tenanglah(engkau) wahai Uhud, tidaklah yang di atasmu melainkan seorang Nabi, shiddiq dan dua orang syahid.”[35]
Nabi dan Shiddiq sudah diketahui, dan tidak tersisa bagi Umar dan Utsman melainkan sifat ketiga yaitu syahid. Inilah persaksian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang amat jelas kepada Utsman Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau akan terbunuh (syahid) di jalan Allah. Dan persaksian ini terulang kembali dalam waktu yang lain dan di gunung yang lain yaitu Hira’.

6. Peristiwa wafatnya Khalifah Utsman bin Affan

Tatkala syubhat-syubhat yang hakikatnya lemah tersebut tidak dapat terbendung maka api kebencian telah menyulut pada hati-hati para pemberontak. Akhirnya, mereka datang ke Madinah dan mengepung rumah Utsman. Mereka meminta agar Utsman meninggalkan kekhalifahannya atau mereka akan membunuhnya.
Namun, Ibnu Umar segera masuk menemui Utsman dan mendorongnya agar ia jangan sampai menanggalkan kekhalifahannya karena berarti itu telah membuat sunah yang jelek, sehingga setiap kali manusia tidak menyenangi pemimpinnya, maka mereka akan mencopot paksa kepemimpinan tersebut. Utsman pun menyadari bahwa inilah fitnah yang sejak jauh-jauh hari telah diberitakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, Utsman hanya bisa bersabar dan menyerahkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akhirnya, orang-orang Khawarij tersebut memanjat rumah Utsman, lalu pedang-pedang mereka mengalirkan darah Utsman yang suci sedang beliau tengah berpuasa dan membaca Kitabullah, hingga tetesan darah pertama tatkala membaca,
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 137)
Di malam hari sebelum Utsman meninggal dunia, ia bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengatakan, “Wahai Utsman, berbukalah bersama kami.” Ia lalu berkata, "Benar, wahai Rasulullah". Rasulullah berkata lagi, "Mereka telah membuatmu lapar, wahai Utsman." Ia menjawab, "Benar, wahai Rasulullah". Rasulullah kembali berkata,"Mereka mengepungmu, wahai Utsman". Ia menjawab, "Benar, wahai Rasulullah". Rasulullah berkata, "Sukakah bila besok kamu berpuasa, lalu berbuka di sisi kami?" Ia menjawab, "Mau, wahai Rasulullah". Ia kemudian bangun dari tidurnya sambil tertawa.
Detik-detik akhir telah datang. Para pengacau mulai menyalakan api di pintu rumah Utsman bin Affan. Para sahabat dan para pemuda kaum muslimin kemudian berdatangan ke rumah Utsman bin Affan, sementara Utsman berteriak dan memanggil mereka, "Aku bersumpah kepada kalian agar kalian kembali ke rumah kalian masing-masing dan tidak menetap kecuali dua orang, yaitu Hasan bin Ali dan Abdullah bin Umar bin Khattab".
Para pengacau mulai mengerahkan daya dan upaya mereka untuk mencoba memasuki rumah Utsman bin Affan. Istri Utsman kemudian mencoba untuk menampakkan rambutnya kepada mereka, dengan harapan jika melihat rambutnya yang terbuka, mereka pun tidak akan masuk. Akan tetapi Utsman bin Affan melarangnya.
Para pengacau kemudian masuk menemui Utsman yang sedang membaca Al-Qur'an dan ketika itu sedang berpuasa. Ia membaca firman Allah SWT dari Surah Al-Baqarah, 
"Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka.Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [QS Al-Baqarah : 137]
Salah seorang pengacau tersebut kemudian masuk dan memukul Utsman bin Affan dengan pedangnya. Pukulan tersebut mengenai tangannya hingga putus. Utsman bin Affan kemudian berkata. "Allahu Akbar! Sesungguhnya, kamu tahu bahwa tangan ini telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah SAW".
Kemudian datanglah Sayyidah Nailah, istrinya, bermaksud untuk membelanya. Tetapi mereka malah memotong jari-jarinya. Kemudian datanglah seorang laki-laki dan memukul Utsman bin Affan dengan potongan besi tepat mengenai bagian atas bahunya. Utsman lantas berkata, "Ya, Allah segala puji bagi-Mu". Utsman kemudian menutup Mushaf Al-Quran yang terlumuri dengan darahnya.Utsman kemudian berkata lagi, "Ya Allah. Wahai Zat yang memiliki kemuliaan, Aku bersaksi kepada-Mu bahwa aku telah bersikap sabar sebagaimana Nabi-Mu telah berwasiat kepadaku".
Utsman bin Affan kemudian terbunuh pada hari Jumat tanggal 18 Dzulhijjah. Ia dikubur di Pekuburan Baqi'. Lalu Ali bin Abi Thalib berdiri di atas makamnya seraya menangis dan berkata. "Aku mohon kepada Allah agar aku dan kamu termasuk dalam golongan yang di firmankan Allah; 
$oYôãttRur$tBÎûNÏdÍrßß¹ô`ÏiB@e@Ïî$ºRºuq÷zÎ)4n?tã9ãßtû,Î#Î7»s)tGBÇÍÐÈ
'Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara'. [QS Al-Hijr : 47]"

7. Bantahan atas Dugaan Nepotisme dalam kepemimpinan Utsman bin Affan

Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman, tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[36] Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah di masing-masing wilayah tersebut.
Selain tentang dugaan nepotisme dalam pengangkatan beberapa kerabatnya, Khalifah Utsman juga dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakam, dan kepada Al Harits bin Al Hakam.
Situasi politik diakhir masa pemerintahan Utsman benar-benar semakin mengkhawatirkan, bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik untuk kamaslahatan umat disalahfahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Misalnya kodifikasi al- Qur’an dengan tujuan supaya tidak terjadi kesimpangsiuran telah mengundang kecaman melebihi dari apa yang tidak diduga.
     Oleh sebab itu lawan-lawan politiknya menuduh Utsman sama sekali tidak punya otoritas untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang ia bukukan. Mereka mendakwa Utsman secara tidak benar telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilikinya. Mereka tidak sadar bahwa kepentingan umat lebih besar ketimbang politik kekuasaan yang didambakannya. Hal ini tidak  cukup hanya kepentingan pribadi dan kelompok, lebih dari itu mereka lakukan dengan suatu konspirasi yang rapi dan terencana.
Untuk memperjelas tuduhan-tuduhan tersebut tidaklah mudah. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif.
Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafet dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran di lautan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab.[37] yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.
Oleh karenanya tuduhan nepotisme terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan hanyalah entrik politik oleh para pesaingnya yang juga memiliki kepentingan kekuasaan, hal tersebut telihat dari adanya reaksi-reaksi mereka yang sengaja mengeruhkan suasana agar pemerintahan dalam keadaan goyang, sembari mencari titik kelemahan yang dimiliki oleh khalifah Utsman bin Affan.                            
Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia. Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui  penunjukan Abdullah Bin Amir.
Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaporkannya kepada pemerintah pusat.
Pada masa pemerintahan khulafaurrasyidin, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Utsman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan.[38] Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir, Utsman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.[39]
Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran.[40]
Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka makna negative.
Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al Khumus yang diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak ditemukan penyelewengan apa pun.  Al Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan Bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak.
Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al kumus kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal.[41] Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah Bin sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Mirwan Bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan ternak tersbut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh jaraknyabelum lagi jika harus mempertimbangkan faktor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al kamus berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan ke Baitulmal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia telah memimpin penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk di antaranya adalah Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.
Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Al Harits Bin Al Hakkam dan Marwan Bin Al Hakkam. Desas-desus tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Al Harits Bin Al Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.[42]
Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya, beliau menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.[43]
Yang perlu kita tegaskan disini bahwa betapapun keras kritik yang dilontarkan kepada Utsman bin ‘Affan karena kebijakannya dalam memilih para gubemur dan pembantunya dari kaum kerabatnya (bani Umayyah), kita harus menyadari bahwa kebijakan tersebut merupakan ijtihad pribadinya.
Dan bersamaan dengan munculnya benih-benih fitnah pada akhir-akhir pemerintahan Utsman bin ‘Affan, muncul pula nama Abdullah bin Saba'. Peranan Ibnu Saba' sangat menonjol dalam mengobarkan api fitnah ini. Abdullah bin Saba' adalah seorang Yahudi berasal dari Yaman. Ia datang ke Mesir pada masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan. Ia menghasut orang untuk membangkang pada Utsman bin ‘Affan dengan dalih mencintai Ali bin Abu Thalib dan keluarga (ahlul bait) Nabi SAW. Dari sini, kita mengetahui bahwa kelahiran perpecahan umat Islam menjadi dua kubu: Sunni dan Syi'ai, dimulai pada periode ini. Perpecahan ini sepenuhnya merupakan buah tangan Abdullah bin Saba'. Belum lagi penyiksaan dan kekejaman yang dialami oleh Ahlul Bait atau Syi'ah di tangan pemerintahan Umawiyah dan lainnya.Yang penting, bagaimanapun kedua peristiwa ini telah masuk ke dalam sejarah, tetapi kita tidak boleh melupakan realitas lainnya.
Jika dikatakan bahwa terdapat perselisiahan antara Utsman bin Affan dengan Ali bin Abi Thalib, hal ini tidaklah benar adanya. Seperti telah kita ketahui bahwa Ali bin Abu Thalib segera membaiat Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah, bahkan menurut kebanyakan ahli sejarah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir,[44] bahwa Ali bin Abu Thalib adalah orang yang pertama membaiat Utsman bin ‘Affan. Kemudian Ali juga membantu Utsman untuk membubarkan orang-orang yang akan melakukan pemberontakan di Madinah[45]. Kita telah mengetahui bagaimana Ali bin Abu Thalib dengan penuh keikhlasan, kecintaan, dan kemauan yang jujur memberikan nasihat kepadanya.
Dengan demikian, Ali bin Abu Thalib merupakan pendukung Utsman bin ‘Affan yang terbaik selama khilafahnya, di samping merupakan pembela terbaiknya tatkala menghadapi cobaan berat. Ia bersikap tegas dan keras dalam memberikan nasihat kepadanya di belakang hari, tidak lain dan tidak bukan, hanyalah karena cinta dan ghirah kepadanya.

C. Penutup

Khulafa ar-Rasyidin yang ketiga Utsman bin Affan memiliki ciri khusus mulai dari kepribadian yang dikenal orang sebagai seorang yang pemalu tapi bukan berarti lemah namun tetap semangat terbukti dengan beberapa prestasi yang dikhususkan dari khalifah sebelumnya maupun sesudahnya, antara lain telihat dari keberanian dalam menjadikan standarisasi bacaan Al Qur`an. Dan tetap melanjutkan perluasan daerah keberbagai tempat yang sebelumnya dikuasai oleh kekuasaan besar yaitu Romawi dan Persia.
Namun semua kebaikan yang dilakukan terkadang masih disalah artikan oleh beberapa kalangan, hal ini tak terlepas dari perseteruan politik dari pihak yang sejak awal pengangkatan khalifah Utsman menginginkan Ali yang seharusnya layak menggantikan Umar. Masih menjadi tanda tanya siapa gerangan dibalik semua makar besar yang berakhir dengan pembunuhan Utsman, banyak kalangan ahli sejarah mengatakan seorang yang dahulunya beragama Yahudi bernama Abdullah bin Saba` yang berada dibalik semua ini.
Dalam pemerintahan khalifah Utsman bin Affan terdapat Isu nepotisme. Namun isu nepotisme Utsman tersebut terbukti tidak benar. Sebab secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya didasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas, masing-masing tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang terjadi  serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Sementara itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak disebabkan faktor stamina dan kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah berusia 70 tahun sehingga kurang leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya tersebut sehingga pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi secara memuaskan.
Fitnah besar yang menimpa khalifah Utsman bin Affan ini sebenarnya pernah dikabarkan oleh Rasulullah SAW semasa beliau masih hidup kepada para sabahat, dan memang terbukti terjadi. Fitnah tersebut berdampak besar, menyebabkan perpecahan dikalangan umat Muslim hingga menyebabkan terbunuhnya Utsman bin Affan. Dibalik itu cobaan besar yang menimpanya Allah telah menjanjikan kepada Utsman bin Affan surga sebagaimana yang kabarkan Rasulullah SAW.
Sejarah Utsman bin Affan sangat banyak meninggalkan tanda tanya, yang dikemudian hari pada pemerintahan khalifah setelahnya menjadi sumber dari fitnah diantara sahabat-sahabat senior. Pelajaran ini sangat berharga mengingat perpecaahan dalam tubuh umat Islam generasi awal tidak lepas dari propaganda-propaganda yang tidak menginginkan uamt Islam tetap dalam kejayaan. Wallahu `Alam bishawab.

DAFTAR PUSTAKA


Amin Abdullah. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Ahmed. Akbar S. 1992. Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
At-Tamimi, Abdurrahman. 2008. Utsman bin Affan. Ebook di  Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma.
Al-Bukhari. Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, kitab al-manaqib, manaqib Utsman bin Affan. Via Al-Maktabah As-Syamilah, Jild.12
Al-Khani. Ahmad. 2008. Ringkasan Bidayah wan-nihayah. Jakarta: Pustaka Azzam
Al Kibii. Zahiru. 1992. At-Tamaamu Al-Wafaai. Beirut: Ad-Darul Fikru al-‘Arabi.
As-sayuthi. Jalaluddin, Tarikh al-khulafa’, via Al-Maktabah As-Syamilah Jil.1
Djamidin.Taufiq.2009. Tragedi Pembunuhan 3 Khalifah. Yogyakarta: Pinus
Dasuki. Hafidz, MA. 2007.  Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan III, IV. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Jaelani. Bisri M. 2007. Ensiklopedi Islam. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Jafariyan.Rasul. 2006. Sejarah Khilafah 11-35 H. Jakarta : Al-Huda
Katsir. Ibnu.2004. Bidayah Wan-Nihayah Khulafa’ur Rasyidin. Jakarta: Darul Haq
Mukti. Ali, dkk.Ensiklopedi Muslim. Jakarta: Departemen Agama
Murad, Musthafa. 2007. Kisah Kehidupan Utsman Ibn Affan. Jakarta: Zaman.
Osman, A. Latif. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. Penerbit Widjaya, Jakarta.
Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Jajamurni
Sou’yb. Joesoef. 1979. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. Jakarta : Bulan Bintang
Zakariya. Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin, Mu’jam Maqayis al-Lughah. Bairut Lebanon: Dar al-Fikr Jilid 2



[1]Zahiru al kibii.At-Tamaamu Al-Wafaai. Beirut: Ad-Darul Fikru al-‘Arabi. 1992,hlm 138
[2]‘Abdurrahman at-Tamimi.  Utsman bin Affan. Ebook di  Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma. 2008.
[3]Ibid.Abdurrahman at-Tamimi.  Hlm 11
[4]Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, kitab al-manaqib, manaqib Utsman bin Affan. Via Al-Maktabah As-Syamilah, Jild.12,hlm.29.
[5]Syalabi.Sejarah dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, hlm 190
[6]Shafiyurrahman, Al-Mubarak Furi, Ar-Rahiq Al-Makhtum, jild.1, hlm.303.Via Al-Maktbah As-Syamilah.
[7] Bisri M Jaelani. Ensiklopedi Islam. Yogyakarta: Panji Pustaka. 2007, hlm 450
[8]Jalaluddin As-sayuthi, Tarikh al-khulafa’, via Al-Maktabah As-Syamilah Jil.1 hlm.60.
[9]Mukti.Ali, dkk. Ensiklopedi Muslim. Jakarta: Departemen Agama., hlm 1267
[10]Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007 hlm.89-9
[11]Musthafa Murad, Kisah Kehidupan Usman Ibn Affan. Jakarta: Zaman. 2007. hlm.51-52
[12]Ibid.Mukti.hlm 1267
[13]Ibid. Mukti. hlm 1268
[14]Syalabi.Sejarah dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, hlm 194
[15]Mukti.Ali, dkk. Ensiklopedi Muslim. Jakarta: Departemen Agama., hlm 1267
[16]IbidMukti.Ali, dkk. hlm 1268
[17] Bisri M Jaelani. Ensiklopedi Islam. Yogyakarta: Panji Pustaka. 2007, hlm 452
[18]Musthafa Murad, Kisah Kehidupan Usman Ibn Affan. Jakarta: Zaman. 2007. hlm.52-55
[19]Ibid, Bisri M Jaelani. hlm 452
[20]Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khalfaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.hlm. 392-396
[21]Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007 hlm 90-91
[22]A.Syalabi. Sejarah Dan Kebudayaan Islam.Cet. 9.(Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997), Hal. 274
[23] Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah (Bairut Lebanon: Dar al-Fikr) Jilid 2 hal. 20
[24]Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ilmi.Jilid 1 hal. 33
[25]Mukti.Ali, dkk. Ensiklopedi Muslim. Jakarta: Departemen Agama., hlm 1268
[26]Jalaluddin Rakhmat. Islam Dan Pluralisme (Cet. II; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 245-246
[27]Khalid Muhammad Khalid. Khulafa ar- Rasul, Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 1995
[28]Ibid. Khalid Muhammad Khalid
[29]A.Syalabi. Sejarah Dan Kebudayaan Islam.Cet. 9.(Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997), Hal. 278
[30]‘Abdurrahman at-Tamimi.  Utsman bin Affan. Ebook di  Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma. 2008. Hlm 12
[31]Ibid.‘Abdurrahman at-Tamimi.  Hlm 13
[32]Ibid. ‘Abdurrahman at-Tamimi. Hlm 14
[33]Ibid.‘Abdurrahman at-Tamimi.  Hlm 14
[34]‘Abdurrahman at-Tamimi.  Utsman bin Affan. Ebook di  Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma. 2008. Hlm 16
[35]Ibid. ‘Abdurrahman at-Tamimi. Hlm 16
[36]A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta. Hal.67
[37]Hafidz Dasuki, MA. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997. Hal. 247
[38]Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim. (PLP2M, Yogyakarta, 1984). Hal. 80
[39]Hafidz Dasuki, MA. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan IV. (PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 143
[40]Hafidz Dasuki, MA. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 169
[41]Ibid, Hafid Dasuki. hlm 169
[42]Joesoef Sou’yb. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. (Bulan Bintang, Jakarta, 1979). Hal. 438-439
[43]Ibid. Joesoef Sou’yb. Ibid. Hal. 438
[44] Ibnu Katsir. Al-Bidayah wan-nihayah. Jakarta: Darul Haq. 2004, hlm 341
[45] Taufiq Djamidin. Tragedi Pembunuhan 3 Khalifah. Yogyakarta: Pinus. 2009, hlm 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar