PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap hal yang
mengherankan atau menantang untuk diselidiki lebih dalam, melahirkan suasana
atau mood yang menjadi isi pemikirannya.Dalam ilmu pengetahuan, setiap ilmu
mempunyai masalahnya sendiri. Yang dipersoalkan filsafat adalah segala sesuatu
tindakan, tiada terkecuali, akan tetapi dalam mempersoalkannya juga terdapat
“keterbatasan”, ialah hanya menyangkut sisi hakikatnya, dasarnya.[1]
Filsafat
berasal dari bahasa Yunani, yaitu philos dan shopia yang berarti cinta
kebijaksanaan atau belajar.Lebih dari itu, dapat diartikan cinta belajar pada
umumnya hanya ada pada filsafat.Untuk alasan tersebut, maka sering dikatakan
bahwa filsafat merupakan induk atau ratu ilmu pengetahuan.[2]
Dalam ilmu
pengetahuan, filsafat mempunyai kedudukan sentral, dan asal atau pokok.Karena,
filsafat pada awalnya merupakan satu-satunya usaha manusia di bidang kerohanian
untuk mencapai kebenaran pengetahuan.Kemudian, timbullah penyelidikan mengenai
hal-hal khusus yang sebelumnya masuk dalam lingkungan filsafat.Jika
penyelidikan tersebut mencapai tingkat tinggi, maka cabang penyelidikan itu
melepaskan diri dari filsafat, menjadi cabang ilmu pengetahuan baru yang
berdiri sendiri. Akan tetapi, tidak berarti ilmu pengetahuan itu sama sekali
tidak membutuhkan bantuan filsafat.[3]
Ilmu merupakan
sesuatau yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan
dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.Dengan
kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti
transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya.Singkatnya
ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Untuk lebih
mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut beberapa definisi tentang
aksiologi, diantaranya:
1.
Aksiologi
berasal dari perkataan axios(Yunani) yang
berarti nilai dan logos yang berarti
teori. Jadi aksilogi adalah “teori tentang nilai”.
2.
Aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh.
3.
Menurut Bramel,
aksiologi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus, yakni etika. Kedua, esthetic
expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
Ketiga, sosio-political life, yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4.
Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan,
aksiologi disamakan dengan Value dan Valuation. Ada tiga bentuk Value dan Valuation.
a.
Nilai digunakan
sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik,
menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi
sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
b.
Nilai sebagai
kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,
seperti nilainya, nilai dia, dan system nilai dia. Kemudian dipakai untuk
apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa
yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.
Nilai juga
digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan
dinilai. Menilai umunya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara
aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang
menilai, ia bisa berarti menghargai atau mengevaluasi.
Dari
definisi-definisi aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahannya
yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.[4]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana relasi
nilai dan ilmu pengetahuan?.
2.
Bagaimana relasi
ilmu dan moral?
3.
Apa tanggung
jawab sosial seorang ilmuan?.
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
menjelaskan relasi antara nilai dan ilmu pengetahuan.
2.
Untuk
menjelaskan relasi ilmu dan moral.
3.
Mengetahui tanggung
jawab sosial seorang ilmuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aksiologi dan Ilmu
Pendidikan
Dengan ilmu
semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan
lebih mudah.Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya
seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain
sebagainya.Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya.
Manusia dapat
menciptakan berbagai bentuk teknologi dengan ilmu.Misalnya, pembuatan bom yang
pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk
hal-hal yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri.Disinilah ilmu
harus diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan
kemanusiaan.Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang
terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Menurut Bahm
(dalam Koento Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam macam
komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas
(activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects).[5]
Ilmu
pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie (1987) mempunyai lima
ciri pokok :
1.
Empiris,
pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan
2.
Sistematis,
berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu
mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur
3.
Objektif,
pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi
4.
Analitis,
pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci
untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu
5.
Verifikatif,
dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.[6]
Sifat ilmiah
dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat yang intinya adalah :
1.
Ilmu harus
mempunyai objek, berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah
persesuaian antara pengetahuan dan objeknya
2.
Ilmu harus
mempunyai metode, berarti untuk mencapai kebenaran yang objektif, ilmu tidak
dapat bekerja tanpa metode yang rapi
3.
Ilmu harus
sistematik, berarti dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan secara
harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur
4.
Ilmu bersifat
universal, berarti kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak bersifat khusus
melainkan berlaku umum.[7].
Tentang tujuan ilmu
pengetahuan, ada beberapa perbedaan antara filosof dengan para ulama. Sebagian
berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang
menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu
pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra dan
lain sebagainya .menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung
berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau
ilmuan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan
manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini. Menurut pendapat
yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau
untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah nanatinya
akan melahirkan teknologi, teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energy,
kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung
menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan
kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.[8]
Aksiologi sebagai
bagian dari filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara
formal baru munculpada pertengahan abad ke-19.Meskipun sejak zaman Yunani kuno
masalah-masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu
khusus dalam hubungannya dengan masalah tertentu, belum berbicara mengenai
secara prinsip.[9]
Untuk lebih
mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut beberapa definisi tentang
aksiologi, diantaranya:
1.
Aksiologi
berasal dari perkataan axios (Yunani)
yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Jadi aksilogi adalah “teori tentang nilai”.
2.
Aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh.
3.
Menurut Bramel,
aksiologi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus, yakni etika. Kedua, esthetic
expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
Ketiga, sosio-political life, yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4.
Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan,
aksiologi disamakan dengan Value dan Valuation. Ada tiga bentuk Value dan Valuation.
a.
Nilai digunakan
sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik,
menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi
sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
b.
Nilai sebagai
kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,
seperti nilainya, nilai dia, dan system nilai dia. Kemudian dipakai untuk
apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa
yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.
Nilai juga
digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan
dinilai. Menilai umunya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara
aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang
menilai, ia bisa berarti menghargai atau mengevaluasi.
Dari
definisi-definisi aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahannya
yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.[10]
Etika adalah
bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku manusia.Semua
perilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian.Jadi, tidak benar suatu
perilaku dikatakan tidak etis dan etis.Lebih tepat suatu perilaku adalah
beretika baik atau beretika tidak baik. Sejalan dengan perkembangan penggunaan
bahasa yang berlaku sekarang, istilah ‘tidak etis’ dan ‘etis tidak baik’
dimaksudkan untuk hal yang sama. Demikian juga ‘etis’ dan ‘etis baik’.
Estetika adalah
bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari
sudut indah dan jelek.[11]
Pokok persoalan
dalam etika keimuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu
hati nurani, kebebasan, dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik(kegunaan).
Hati
nurani disini adalah penghayatab tentang yang baik dan yang buruk yang
dihubungkan dengan perilaku manusia.
Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang
terkait dengan nilai?Ilmu pengetahuan harus terbuka pada kontteksnya, dan
agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan silmu pengetahuan pada
tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah,
agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak
mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada praxis, pada kemudahan-kemudahan
material duniawi. Solusi yang diberikan alqur’an terhadap ilmu pengetahuan yang
terikat dengan nilai-nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan
pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan
alam bukan sebaliknya membawa mudharat.[12]
B.
Ilmu dan Moral
Sejak saat
pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral, ketika Copernicus
(1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa
“bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa
yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbulah interaksi antara ilmu dan
moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara
metafisik ilmu ingin memperlajari alam sebagaimana adanya (netralitas ilmu),
sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada
pernyataan-pernyataan (nilai-nilai), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan
moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisi Galileo pada tahun 1633.Galileo oleh
pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari.[13]
Dalam
perkembangan ilmu, pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah kebutuhan
kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan
manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga penemuan
ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan perang,
memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan
dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu
semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan
kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya
harus menyesuaikan diri dengan ilmu.[14]
Kata moral
dalam bahasa Yunani sama dengan ethos
yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan
pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian,
kadar/mutu, sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral tersebut serta
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu.[15]
Moral merupakan
kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan
nilai-nilai baik dan buruk.Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral
artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata manusia
lainnya.Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.
Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai
moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah
laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia.Apabila yang dilakukan
seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan
dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu
dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk
dari budaya dan agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap,perilaku,
tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu
berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat.[16]
Dihadapkan
dengan masalah moral dalam akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para
ilmuan terbagi kedalam dua golongan pendapat.
1. Ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini para
ilmuan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara
total seperti pada waktu era galileo.
2. Netralitas ilmu terhadap nilai-nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya
haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan ini mendasarkan pendapatnya
pada beberapa hal, yakni:
a. Ilmu secara faktual telah
dipergunakan secara destruktif oleh
manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan
teknologi-teknologi keilmuan.
b. Ilmu telah berkembang dengan pesat
dan makin esoteric hingga kaum
ilmuwan lebih mengetahui tentang akses-akses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalahgunaan.
c. Ilmu telah berkembang sedemikian
rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik
perbuatan sosial.[17]
Berdasarkan
ketiga hal diatas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral
harus ditunjukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau
mengubah hakikat kemanusiaan.
Upaya ini dilakukan
dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal
universal.Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak
cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata.Tinjauan ontologis dan
epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan
dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.
C.
Tanggung Jawab
Sosial Ilmuan
Ilmu merupakan
hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh
masyarakat.Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan
ilmu adalah bersifat sosial. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem
komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang
berjalan secara efektif. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan
saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara
langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai
fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.Fungsinya selaku ilmuwan
tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat.[18]
Dalam hal ini
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi ilmuwan harus memperhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung
jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat
universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk
mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan
eksistensi manusia.[19]
Seorang ilmuwan
pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti.Seorang
ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran
yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara
berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur
dan cermat.Inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia
mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka
keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga
apa yang harusdibayar untuk kekeliruan itu.[20]
Etika keilmuan
merupakan etika normative yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan.Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindari yang buruk ke dalam
perilaku keilmuannya, sehingga menjadi ilmuan yang mempertanggung jawabkan
perilaku ilmiahnya. Etika normative menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari
pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan
dan apa yang harusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan
yang seharusnya terjadi.
Tanggung jawab
lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal
positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki
dampak positif ketika berada ditengah masyarakat.Kadangkala teknologi berdampak
negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu teknologi yang
bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau pandangan-pandangan yang
telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetic (kloning manusia) yang dapat
dianggap bertentangan dengan kodrat manusia atau ajaran agama.Dalam persoalan
ini perlu ada penjelasan lebih lanjut. Bagi seorang ilmuan apabila ada semacam
kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa besar, bersifat terbuka untuk menerima
kritik dan saran. Tugas seorang ilmuan harus menjelaskan hasil penelitiannya
sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.[21]
Dibidang etika,
tanggung jawab eorang ilmuan bukan lagi memberi informasi namun harus memberi
contoh.Dia harus bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat
orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dakalau berani mengakui
kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan
kebenaran secara ilmiah. Ditengah situasi dimana nilai mengalami kegoncangan,
maka seorang ilmuan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilikinya
merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus
dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuan harus
bersikapsebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.[22]
Jadi bila
ilmuan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun
moral, maka salah satu penyangga masyarakat akan bbersiri dengan kukuh.
Berdirinya pilar penyangga keilmuan itu merupakan tanggung jawab sosial seorang
ilmuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Relasi antara nilai dan ilmu pengetahuan bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau
ilmuan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan
manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini.dengan kata lain
ilmu pengetahuan membentuk teknologi untuk mempermudah kelangsungan hidup
manusia tanpa meninggalkan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku.
2. hubungan antara ilmu dan moral adalah
sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan
meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam
bersikap dan bertindak. Mengingat Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh
usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan,
dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam
manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa
ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan
bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya
3. Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat
adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara
penyelesaian permasalahan sosial tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung
jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya
terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena
dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya
selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual
namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Wiramihardja, Sutardjo A.,2009,Pengantar filsafat, Bandung: PT. Refika Aditama
Djumransjah, 2006, Filsafat Pendidikan, Malang:
Bayumedia Publishing
Bakhtiar,Amsal, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali
Pers
Ihsan, Fuad, 2010, Filsafat Ilmu, Jakarta :
Rineka Cipta
Suriasumantri,Jujun S, 2000, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Surajiyo. 2010, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
http://id.wikipedia.org/wiki/moral
[1]Sutardjo
A. Wiramihardja, Pengantar filsafat,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal.10
[2] Djumransjah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2006), hal. 4
[3] Djumransjah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2006), hal. 13
[4]Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004), hal.163-165
[6]Surajiyo,Filsafat Ilmu dan
Perkembangan di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,2009), hal. 59
[8]Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004), hal.173-174
[9]Sutardjo
A. Wiramihardja, Pengantar filsafat,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal.167
[10]Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004), hal.163-165
[11]Sutardjo
A. Wiramihardja, Pengantar filsafat,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal.169
[12]Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004), hal. 173
[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal.
233
[14]Ihsan
Fuad, Filsafat Ilmu,
(Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hal. 273
[16]http://id.wikipedia.org/wiki/moral
[17]Jujun
S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal 235
[18]Jujun
S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal. 237
[19]Surajiyo. Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010). Hal.
148
[20]Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal. 243
[21]Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004), hal. 172
[22]Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal. 224
Tidak ada komentar:
Posting Komentar