Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH AXIOLOGI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap hal yang mengherankan atau menantang untuk diselidiki lebih dalam, melahirkan suasana atau mood yang menjadi isi pemikirannya.Dalam ilmu pengetahuan, setiap ilmu mempunyai masalahnya sendiri. Yang dipersoalkan filsafat adalah segala sesuatu tindakan, tiada terkecuali, akan tetapi dalam mempersoalkannya juga terdapat “keterbatasan”, ialah hanya menyangkut sisi hakikatnya, dasarnya.[1]
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philos dan shopia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar.Lebih dari itu, dapat diartikan cinta belajar pada umumnya hanya ada pada filsafat.Untuk alasan tersebut, maka sering dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ratu ilmu pengetahuan.[2]
Dalam ilmu pengetahuan, filsafat mempunyai kedudukan sentral, dan asal atau pokok.Karena, filsafat pada awalnya merupakan satu-satunya usaha manusia di bidang kerohanian untuk mencapai kebenaran pengetahuan.Kemudian, timbullah penyelidikan mengenai hal-hal khusus yang sebelumnya masuk dalam lingkungan filsafat.Jika penyelidikan tersebut mencapai tingkat tinggi, maka cabang penyelidikan itu melepaskan diri dari filsafat, menjadi cabang ilmu pengetahuan baru yang berdiri sendiri. Akan tetapi, tidak berarti ilmu pengetahuan itu sama sekali tidak membutuhkan bantuan filsafat.[3]
Ilmu merupakan sesuatau yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya.Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya:
1.      Aksiologi berasal dari perkataan axios(Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksilogi adalah “teori tentang nilai”.
2.      Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3.      Menurut Bramel, aksiologi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4.      Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value dan Valuation. Ada tiga bentuk Value dan Valuation.
a.       Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
b.      Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan system nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.       Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umunya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai atau mengevaluasi.
Dari definisi-definisi aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahannya yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.[4]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana relasi nilai dan ilmu pengetahuan?.
2.      Bagaimana relasi ilmu dan moral?
3.      Apa tanggung jawab sosial seorang ilmuan?.
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk menjelaskan relasi antara nilai dan ilmu pengetahuan.
2.      Untuk menjelaskan relasi ilmu dan moral.
3.      Mengetahui tanggung jawab sosial seorang ilmuan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aksiologi dan Ilmu Pendidikan
Dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya.Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi dengan ilmu.Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri.Disinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan.Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Menurut Bahm (dalam Koento Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects).[5]
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie (1987) mempunyai lima ciri pokok :
1.      Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan
2.      Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur
3.      Objektif, pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi
4.      Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu
5.      Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.[6]
Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat  yang intinya adalah :
1.      Ilmu harus mempunyai objek, berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya
2.      Ilmu harus mempunyai metode, berarti untuk mencapai kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi
3.      Ilmu harus sistematik, berarti dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur
4.      Ilmu bersifat universal, berarti kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak bersifat khusus melainkan berlaku umum.[7].
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra dan lain sebagainya .menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah nanatinya akan melahirkan teknologi, teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energy, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.[8]
Aksiologi sebagai bagian dari filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara formal baru munculpada pertengahan abad ke-19.Meskipun sejak zaman Yunani kuno masalah-masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu khusus dalam hubungannya dengan masalah tertentu, belum berbicara mengenai secara prinsip.[9]
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya:
1.      Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksilogi adalah “teori tentang nilai”.
2.      Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3.      Menurut Bramel, aksiologi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4.      Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value dan Valuation. Ada tiga bentuk Value dan Valuation.
a.       Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
b.      Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan system nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.       Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umunya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai atau mengevaluasi.
Dari definisi-definisi aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahannya yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.[10]
Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku manusia.Semua perilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian.Jadi, tidak benar suatu perilaku dikatakan tidak etis dan etis.Lebih tepat suatu perilaku adalah beretika baik atau beretika tidak baik. Sejalan dengan perkembangan penggunaan bahasa yang berlaku sekarang, istilah ‘tidak etis’ dan ‘etis tidak baik’ dimaksudkan untuk hal yang sama. Demikian juga ‘etis’ dan ‘etis baik’.
Estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.[11]
Pokok persoalan dalam etika keimuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan, dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik(kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatab tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terkait dengan nilai?Ilmu pengetahuan harus terbuka pada kontteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan silmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan alqur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai-nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.[12]
B.     Ilmu dan Moral
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral, ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbulah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin memperlajari alam sebagaimana adanya (netralitas ilmu), sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisi Galileo pada tahun 1633.Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.[13]
Dalam perkembangan ilmu, pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu.[14]
Kata moral dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu.[15]
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata manusia lainnya.Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia.Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap,perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat.[16]
Dihadapkan dengan masalah moral dalam akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuan terbagi kedalam dua golongan pendapat.
1.      Ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini para ilmuan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era galileo.
2.      Netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
a.       Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
b.      Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang akses-akses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
c.       Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.[17]
Berdasarkan ketiga hal diatas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditunjukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Upaya ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata.Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.


C.    Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat.Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan secara efektif. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.[18]
Dalam hal ini dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi ilmuwan harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.[19]
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti.Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat.Inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harusdibayar untuk kekeliruan itu.[20]
Etika keilmuan merupakan etika normative yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan.Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya, sehingga menjadi ilmuan yang mempertanggung jawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normative menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang harusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif ketika berada ditengah masyarakat.Kadangkala teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu teknologi yang bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetic (kloning manusia) yang dapat dianggap bertentangan dengan kodrat manusia atau ajaran agama.Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih lanjut. Bagi seorang ilmuan apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa besar, bersifat terbuka untuk menerima kritik dan saran. Tugas seorang ilmuan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.[21]
Dibidang etika, tanggung jawab eorang ilmuan bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh.Dia harus bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dakalau berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Ditengah situasi dimana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuan harus bersikapsebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.[22]
Jadi bila ilmuan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun moral, maka salah satu penyangga masyarakat akan bbersiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan itu merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuan.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Relasi antara nilai dan ilmu pengetahuan bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini.dengan kata lain ilmu pengetahuan membentuk teknologi untuk mempermudah kelangsungan hidup manusia tanpa meninggalkan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku.
2.      hubungan antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman  pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan bertindak. Mengingat Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,   menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya
3.      Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Wiramihardja, Sutardjo A.,2009,Pengantar filsafat, Bandung: PT. Refika Aditama
Djumransjah, 2006, Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing
Bakhtiar,Amsal, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali Pers
Ihsan, Fuad, 2010, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta
Suriasumantri,Jujun S, 2000, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Surajiyo. 2010, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
http://id.wikipedia.org/wiki/moral



[1]Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar filsafat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal.10
[2] Djumransjah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hal. 4
[3] Djumransjah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hal. 13
[4]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal.163-165
[5]Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal.111-112
[6]Surajiyo,Filsafat Ilmu dan Perkembangan di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,2009), hal. 59
[7]Ihsan Fuad,Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal.115-116
[8]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal.173-174
[9]Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar filsafat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal.167
[10]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal.163-165
[11]Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar filsafat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal.169
[12]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 173
[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal. 233
[14]Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hal. 273
[15]Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal.271
[16]http://id.wikipedia.org/wiki/moral
[17]Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal 235
[18]Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal. 237
[19]Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010). Hal. 148
[20]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal. 243
[21]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 172
[22]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal. 224

Tidak ada komentar:

Posting Komentar