Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PENDEKATAN STUDI TASAUF


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek Fiqih, khususnya bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik. Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencaku berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya. Hal ini misalnya terlihat pada salah satu syarat diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya dengan benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan.[1]
Oleh karena itu dalam pembahasan makalah ini akan dipaparkan beberapa pengertian tasawuf, sumber dan perkembangan pemikiran tasawuf, pendekatan utama dalam kajian tasawuf, model-model penelitian tasawuf, persyaratan penelitian tasawuf, tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf dan
B.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian, sumber dan pemikiran Tasawuf serta  bagaimana pendekatan utama dalam kegiatan tasawuf?
2.      Bagaimana model-model penelitian tasawuf, dan apa saja persyaratan penelitian tasawuf serta siapakah tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf?
3.      Bagaimana Peranan dan penerapan Tasawuf dalam Kehidupan Modern?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Agar mengetahui pengertian, sumber dan pemikiran Tasawuf serta  bagaimana pendekatan utama dalam kegiatan tasawuf
2.      Agar mengetahui bagaimana model-model penelitian tasawuf, dan apa saja persyaratan penelitian tasawuf serta siapakah tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf
3.      Agar mengetahui bagaimana peranan dan penerapan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf
Tasawuf dari segi kebahasaan terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya, menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari makkah ke madinah, shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, shopos (bahasa yunani:hikmah) dan suf (kain wol kasar).[2]
Ditinjau dari lima istilah di atas,[3] maka tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan keadaan yang selalu beroreantasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela mengorbankan demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa sesesorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal ynag kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan. Selanjutnya, secara teriminologis tasawuf memiliki tiga sudut pandang pengertian. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya penyucian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki kesadaran akan adanya Tuhan, harus bisa mengarahkan jiwanya serta selalu memusatkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan.[4]
Oleh karena itu, tasawuf adalah aspek ajaran islam yang paling penting, karena peranan tasawuf merupakan jantug atau urat nadi pelaksanaan ajaran Islam. Tasawuf inilah yang merupakan kunci kesempurnaan amaliah dalam ajaran Islam. Memang disamping aspek tasawuf, dalam Islam ada aspek lain yaitu apa yang disebut dengan akidah dan syariah, atau dengan kata lain bahwa yang dimaksud “ Addin” (Agama) adalah terdiri dari Islam, Iman, dan Ihsan, dimana ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan. Untuk mengetahui hukum Islam kita harus lari pada syariat atau fiqih, untuk mengetahui hukum Iman kita harus lari pada ushuludin atau akidah dan untuk mengetahui kesempurnaan Ihsan kita masuk kedalam Tasawuf. Oleh karena itu, Tasawuf ada kalanya membawa orang menjadi sesat dan musrik apabila seseorang bertasawuf tanpa bertauhid dan bersyariat.
Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwanya, dengan melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya yang menyadarkan hanya pada kehidupan kebendaan, disamping juga melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela. Oleh karena itu tasawuf adalah jalan spiritual dan merupakan dimensi batin. Abul ‘Ala Almaududi menyebutkan apa yang berhubungan dengan perbuatan jiwa disebut dengan tasawuf.  
B.     Sumber dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
a)      Sumber Ajaran Tasawuf
Ajaran tasawuf pada dasarnya berkosentrasi pada kehidupan ruhaniyah, mendekatkan diri kepada Tuhan melalui berbagai kegiatan kerohanian seperti pembersihan hati, dzikir, ibadah lainnya serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga mempunyai identitas sendiri di mana orang-orang yang menekuninya tidak menaruh perhatian yang besar pada kehidupan dunia bahkan memutuskan hubungan dengannya. Di samping itu, tasawuf didominasi oleh ajaran-ajaran seperti khauf dan raja’, al-taubah, al-zuhd, al-tawakkul, al- syukr, al-shabr, al-ridha dan lainnya yang tujuan akhirnya fana atau hilang identitas diri dalam kekekalan (baqa) Tuhan dalam mencapai ma’rifah.
Al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya ditemukan sejumlah ayat yang berbicara atau paling tidak berhubungan dengan hal-hal tersebut diatas. Di dalam Al-Qur’an ditemukan perintah beribadah dan berdzikir, diantaranya: “Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.[5]. ”Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”.[6].
Tentang bagaimana seharusnya melihat kehidupan dunia, Al-Qur’an di antaranya menegaskan: “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah orang yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. ”[7]
Di samping itu ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Muhammad setiap bulan Ramadhan bertahannus di Gua Hira untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati serta hakikat kebenaran di tengah-tengah keramaian hidup, ditemukan sejumlah hadits yang memuat ajaran tasawuf, diantaranya adalah hadist yang artinya: ”Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw lalu berkata: Wahai Nabi Allah berwasiatlah kepadaku. Nabi berkata: Bertakwalah kepada Allah karena, itu adalah himpunan setiap kebaikan. Berjihadlah, karena itu kehidupan seorang rubbani muslim, Berdzikirlah, karena itu adalah nur bagimu.”[8] Tentang kwalitas dan kwantitas ibadah Rasulullah, Aisyah r.a pernah berkata:“Sesungguhnya Nabi SAW bangun di tengah malam (untuk melaksanakan shalat) sehingga kedua telapak kakinya menjadi lecet. Saya berkata kepadanya:”Wahai Rasulullah mengapa anda masih berbuat seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang bagimu?” Nabi SAW, lalu menjawab:”Salahkah aku jika ingin menjadi seorang hamba yang selalu bersyukur”.[9]
Ayat–ayat dan hadits-hadits yang dikutip di atas hanya sebahagian dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengemukakan hal-hal kehidupan ruhaniyah yang ditemukan dalam tasawuf. Kehidupan yang didominasi oleh takut dan harap, kezuhudan, berserah diri kepada Tuhan, bersyukur dan ridha serta dekat dengan Allah. Kehidupan seperti inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah sendiri serta para sahabat-sahabatnya, khususnya mereka yang dijuluki ahl al-shuffah. Karena itu, setelah mengutip sejumlah ayat yang berhubungan dengan ajaran-ajaran tasawuf dan menjelaskannya, Muhammad Abdullah asy-Syarkawi mengatakan: “Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa asal mula tasawuf Islam dapat ditemukan semangat ruhaninya dalam Al-Qur’an al-Karim, sebagaimana juga dapat ditemukan dalam sabda dan kehidupan Nabi saw., baik sebelum maupun sesudah diutus menjadi nabi. Awal mula tasawuf Islam juga dapat ditemukan pada masa sahabat Nabi saw beserta para generasi sesudahnya.”[10]
Abu Nashr As-Siraj Al-Thusi mengatakan bahwa ajaran tasawuf pada dasarnya digali dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena amalan para sahabat, menurutnya, tentu saja tidak keluar dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Menurut hemat penulis jika beberapa konsep yang ada di dalam tasawuf seperti taubah, al-zuhd, al-tawakal, al-syukr dan lainnya dirujuk kepada Al-Qur’an, maka jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah sumber utamanya walaupun dalam perkembangannya mungkin dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh asing.
(b) Awal Muncul Tasawuf
Istilah Sufi baru muncul kepermukaan pada abad kedua Hijriyah, sebelum itu Kaum muslimin dalam kurun awal Islam sampai abad pertama Hijriyah belum meneganal istilah tersebut. Namun bentuk amaliah para Sufi itu tentu sudah ada sejak dari awal kelahiran Islam itu di bawa oleh Rasulullah Muhammad saw, bahkan sejak manusia diciptakan.
Sejarah historis ajaran tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw. baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan Rasul, perilaku dan kepribadian Nabi Muhammadlah yang dijadikan tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat konseptual. Tasawuf pada masa Rasulullah saw adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali.
Pada awal perkembangan tasawuf, sekitar abad 1 dan ke-2 H, tasawuf ditandai oleh menonjolnya sifat zuhud. Pada fase inilah muncul zahid muslimyang termasyur di kota- kota seperti Madinah, Kufah, Basra, Balk, dan juga kawasan Mesir. Mereka merupakan gerakan yang menginginkan agar kaum muslim hidup secara sederhana, sebagaimana dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Para ahli sejarah tasawuf menilai bahwa timbulnya gerakan tersebut tidak terlepas dari kondisi kehidupan masyarakat-terutama di kalangan istana Bani Umayyah- yang oleh sahabat dinilai telah menyimpang terlalu jauh dari kehidupan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat besar yang saleh dan sederhana.
Di Madinah, Sa’id bin Musayyab (w. 91 H), murid dan menantu Abu Hurairah ra (salah seorang ahl as-suffah), mencontohkan hidup zuhud kepada para pengikutnya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu kali ia ditawari sejumlah tiga puluh lima ribu dirham uang perak. Ia menolaknya dan beliau memandang para penguasa Bani Umayyah-kata Ibnu Khallikan, penulis biografi tokoh-tokoh Islam klasik- sebagai tiran, sehingga tidak mau membaiat Abdul Malik bin Marwan ketika naik tahta kerajaan.[11]
Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali melembagakan tasawuf dengan cara mendirikan madrasah tasawuf adalah Huzaifah bin Al-Yamani, sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam adalah Hasan Al-Basri (21-110 H) seorang ulama tabi’in, murid pertama dari Huzaifah Al-Yamani beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasawuf. Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama memperaktekkan, berbicara menguraikan maksud tasawuf sebagai pembuka jalan generasi berikutnya.
Tasawuf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, baru muncul pada abad ke II H/XIII M, atau paling tidak dalam bentuk yang lebih jelas pada abad ke III H/X M. Namun, sebagai pengalaman spiritual, tasawuf telah ada sejak adanya manusia, Usianya setua manusia. Semua nabi dan Rasul adalah Sufi, yang tidak lain adalah manusia sempurna ( insan kamil). Nabi Muhammad adalah Sufi terbesar karena beliau adalah manusia sempurna yang paling sempurna.
(c)  Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Untuk melihat lebih jelas bagaimana perkembangan pemikiran tasawuf maka penulis mencoba mengemukakan secara ringkas sejarah perkembangan tasawuf dimulai abad pertama hijriah.
1.   Abad pertama dan kedua Hijriyah
Pada periode ini, tasawuf telah kelihatan dalam bentuknya yang awal. Pada periode ini ada sejumlah orang yang tidak menaruh perhatian kepada kehidupan materi seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. Mereka lebih berkonsentrasi pada kehidupan ibadah untuk mendapat kehidupan yang lebih abadi yaitu akhirat. Jadi pada periode ini, tasawuf masih dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud) Diantara tokoh-tokoh terkemuka pada periode ini adalah: dari kalangan sahabat, diantaranya Salman Al-Farisi, Abu Dzarr Al-Ghifari. Sedangkan dari kalangan tabi’in, diantaranya adalah Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar dan lain-lain .
2.      Abad ketiga dan keempat Hijriyah
Jika pada tahap awal tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian sederhana, maka pada abad ketiga dan keempat hijriah para sufi mulai memperhatikan sisi-sisi teoritis psikologis dalam rangka perbaikan tingkah laku sehingga tasawuf telah menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Pada periode ini, tasawuf mulai berkembang dimana para sufi menaruh perhatian setidaknya kepada tiga hal yaitu jiwa, akhlak dan metafisika. Diantara tokoh-tokoh pada abad ini adalah Ma’ruf al-Kharkhi, Abu Faidh Dzun Nun bin Ibrahim Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami, Junaid al-Baghdadi, Al-Hallaj dan lain-lain.
3.      Abad kelima Hijriyah
Pada periode ini, lahirlah seorang tokoh sufi besar, Al-Ghazali. Dengan tulisan momumentalnya tahafut al-falasifah dan ihya ‘ulum al-din. Al-Ghazali mengajukan kritik- kritik tajam terhadap pelbagai aliran filsafat dan kepercayaan kebathinan dan berupaya keras untuk meluruskan tasawuf dari teori-teori yang ganjil tersebut serta mengembalikannya kepada ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
4.      Abad keenam dan ketujuh Hijriyah
Pada periode ini muncul kembali tokoh-tokoh sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori-teori yang tidak murni dari tasawuf dan juga tidak murni dari filsafat. Kedua-duanya menjadi satu. Tasawuf ini kemudian dikenal dengan tasawuf falsafi. Diantara tokoh-tokoh terkemuka adalah Suhrawardi, Mahyuddin Ibn Arabi, Umar Ibn al-Faridh dan lain-lain.
5.      Abad kedelapan Hijriyah dan seterusnya
Pada abad kedelapan Hijriyah, tasawuf telah mengalami kemunduran. Ini diantaranya karena orang-orang yang berkecimpung dalam bidang tasawuf, kegiatannya sudah terbatas pada komentar-komentar atau meringkas buku-buku tasawuf terdahulu serta menfokuskan perhatian pada aspek-aspek praktek ritual yang lebih berbentuk formalitas sehingga semakin jauh dari subtansi tasawuf. Pada periode ini hampir tidak terdengar lagi perkembangan pemikiran baru dalam tasawuf, meskipun banyak tokoh-tokoh sufi yang mengemukakan pikiran-pikiran mereka tentang tasawuf. Diantaranya adalah Al-Kisani dan Abdul Karim Al-Jilli. Di antara penyebab kemunduran mungkin adalah kebekuan pemikiran serta spritualitas yang kering melanda dunia Islam semenjak masa-masa akhir periode Dinasti Umayyah
C.    Pendekatan Utama Dalam Kajian Tasawuf
Menurut Charles J Adams diantara banyak bidang kajian dalam studi Islam, tasawuf merupakan bidang yang menarik minat pada tahun belakangan. Studi tradisi Islam tidak dapat dilepaskan dari studi tentang mistis yang mungkin juga merupakan aspek yang muncul pada masa awal Islam bahkan pada masa kenabian. Adams menunjukkan beberapa sarjana yang tertarik mengkaji tasawuf, antara lain Annemarie Schimmel, dengan bukunya Mystical Dimensions of Islam. Hal terpenting dari pendapat Adam adalah untuk menstudi tasawuf dapat didekati dengan pendekatan fenonemologi.[12]
Pendekatan fenonemologi adalah pendekatan yang lebih memperhatikan pada pengalaman subjektif, individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap dirinya dan dunianya. Konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.[13]
Sedangkan menurut Harun Nasution, kajian tasawuf dapat dilakukan dengan pendekatan tematik yaitu penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan, zuhud, dan station-station lain, mahabbah, al-ma’rifah, al fana dan al-baqa, al- ittihad, al-hulul dan wahdatul wujud. Pada setiap topik tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran dari setiap topik tersebut dengan data-data yang didasari pada literatur kepustakaan, juga dilengkapi dengan tokoh yang memperkenalkannya. Kajian tasawuf yang dilakukan dengan pendekatan tematik akan terasa lebih menarik karena langsung menuju kepada persoalan tasawuf di bandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Kajian tersebut sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walaupun hanya dalam garis besar saja.[14]
D.    Model-Model  Penelitian  Tasawuf
1.      Model Sayyed Husein Nasr[15]
Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah dia adalah ilmuan muslim ke-6 abad modern  termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf dulu dan sekarang” yang diterjemahkan Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh pustaka firdaus di Jakarta tahun 1985. Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Ia bahkan mengemukakan tingkatan-tingkatan kerohanian manusia dalam dunia tasawuf.
2.      Model Mustafa Zahri[16]
Mutafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul “kunci memahami ilmu tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits. Ia menyajikan tentang kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci mengenal Allah, sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa Allah.
3.       Model Kautsar Azhari Noor.[17]
Kautsar Azhari Noor memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud. Paham ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana yang diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu, dijadikan-Nya alam ini. maka alam ini merupakn cermin bagi Allah. Dikala Ia ingin melihat dirinya, ia melihat kepada alam.
Paham ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawa reinkarnasi, atau paham serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam berbagai ciptanya. Dengan demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham banyak Tuhan. Mereka berpendirian bahwa Tuhan dalam arti zat-Nya tetap satu, namun sifat-Nya banyak. Sifat Tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas atau mutunya, berbeda dengan sifat manusia.
4.      Model Harun Nasution[18]
Harun Nasution merupakan guru besar dalam bidang teologi dan filsafat islam dan juga menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan mistisisme dalam islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena langsung menuju persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walau hanya dalan garis besarnya saja.
5.      Model A. J. Arberry[19]
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya “pasang surut aliran tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, sruktur teori dan amalan tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf. Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas.
E.     Persyaratan Peneliti Tasawuf
Peneliti tasawuf umumnya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan fenomenologis atau verstehen[20]. Jadi, grounded riset. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama pertama ia harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang kedua dia harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu. Dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad kedua hijriah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminology atau bahasa khusus[21] yang hanya bisa dimengerti dalam kaitanya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syariat” bagi para sufi pengertianya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Maka menurut kacamata para sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiria menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jadi, laku bathin tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukan dalam istilah syariat.
 Oleh karena itu, imam al-qusyairi misalnya dalam risalah mengatakan:(Maka setiap syariah yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan syariat tentu tidak ada hasilnya). Syariah dalam pengertian para sufi tidak termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi, akan tetapi apakah hakikat atau tasawuf itu batin syariah? Banyak istilah yang beredar dikalangan para sufi yang perlu diketahui, seperti : maqam, hal, ma’rifat,tarekat, hakikat, hub, wara’, zuhud, tawakal, muraqabah, fana’, baqa’, sakar, zikir, martabat, nur Muhammad, dan lainya[22]. Istilah-istilah itu punya makna khusus yang tidak bisa dimegerti dengan makna bahasa ataupun dengan pengertian dalam syariat. Zikir sufi lain dengan zikir syar’i.
Adapun syarat kedua : peneliti harus mempunyai pandangan yang terang tentang apa tasawuf itu dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam. Hal ini penting karena penelitian bergerak dalam bidang agama, bukan hanya penelitian bidang sosial, dan diabadikan bagi pengembangan agama. Bahwa penelitian agama menilai setiap fakta dari segi kepentingan pengembangan agama dan kemajauan umat beragama. Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja. Tetapi untuk beribadah demi keagungan agama.
Mengenal hakikat tasawuf tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran adanya reotyped ideas yang telah lama direntak para pendukung tasawuf. Terutama rumusan para propagandis penyusun sintesis anatara kasyfu (tasawuf) dan naqli (syariat) seperti al-ghazali. Al-qsyairi dan nsebagainya atau para ulama yang berusaha membelokan pengertian tasawuf dan penghayatan kasyaf kearah’abid semisal ibnu khaldun dengan teorinya. Syariat al-haditsyah atau kearah ahlak (ihsan) seperti ahmad rif’ai dengan pesantren budiahnya. Hamka dengan ide tasawuf moderenya, maka para peneliti yang rindu dengan kebenaran yang cerah, tidak puas dengan pengertian yang kabur,harus berusaha mendobrak jeretan pengertian yang kabur tentang tasawuf diatas.
Peneliti berusaha mencari dan menemukan intisari yang menjadi ide sentral dan ajaran tasawuf. Menurut harun nasution dalam bukunya Filsafat dan mistisme dalam islam intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaraan akan adanya komunikasi dan dialoq (langsung) antara roh manusia dengan tuhan dengan mengasingkan diri dan kontenplasi. Apa dialoq langsung (tatap muka) dengan tuhan didalamnya kontemplasi atau bahkan ittihad semacam ini diajarkan oleh al-quran dan sunnah.? Menurut ibnu khaldun ajaran berkontenplasi (samadi, meditasi) untuk bisa mengalami tatap muka langsung dengan tuhan ini bukan ajaran islam. Hal ini merupakan kaitan tasawuf dengan islam. Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajaranya, adalah fana’ dan kasyaf[23]. Fana dan kasyaf tentu bukan ajaran islam. Maka mengenai definisi yang berkaitan dengan apa hakikat tasawuf atau mistik pada umumnya  adalah ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau tuhan bisa didaptkan melalu meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera.
Dari uraian diatas, maka fana’ dan kasyaf adalah inti ajaran ketasawufan. Tanpa cita fana dan kasyaf tidak aka nada tasawuf. Semua kegiatan , pemikiran, perasaan, filsafat yang dimunculkan para sufi beserta konsep-konsep yang menyimbolkan cita ketasawufan, berkaitan erat langsung atau tidak langsung dengan cita fana dan khasyaf ini. Maka segala definisi tasawuf  yang tidak menonjolkan cita fana dan khasyaf adalah kabur, dan member gambaran yang keliru, tidak jelas tentang tasawuf. Oleh karena itu bagi orang yang melakukan pengamatan dan penelitian dalam dbidang tasawuf, harus berpegang dalam inti cita tasawuf. Tanpa memahami cita inti sufisme, yakni fana dan kasyaf, pengertian akan kabur. Laksana sibuta yang meraba-raba untuk mengenal gajah. Dorongan yang menumbuhkan inti ajaran tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf rindu (hubulllah). Rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatp muka secara intim dengan tuhan. Makrifitulloh yang berarti tatp muka langsung dengan wajah tuhan ini hanya bisa dicapai dengan pengalaman fana’ dan kasyfi.
Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana  dan kasyfi ini, tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi. Cirri fana dan kahsfi adalah pembeda ajaran tasawuf dengan ajaran lainya.
Banyak penulis tentang tasawuf yang hanya menonjolkan aspek tertentu tentang tasawuf, terutama aspek positifnya tentang pengalaman agama. Buku-buku semacam ini tidak memberi pengertian yang utuh tentang tasawuf, tidak banyak manfaat bagi pengamat dalam bidang sufisme, apalagi yang aspeknya negative. Oleh karena itu, untuk mengetahui pengertian  utuh dan persoalan tentang tasawuf, harus mempertimbangan cita inti sufisme, yaitu fana dan khasyaf.
F.     Tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf
Adapun tokoh-tokoh dan karya utama yang termasuk kedalam kajian tasawuf di antaranya:
1)      Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M) Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ia dilahirkan di Thus pada tahun 450 H/1058 M. Karya utamanya adalah Ihya ‘Ulum al- Din, Tahafut al-Falasifah dan Al-Munaiz min al-Dhalal .
2)      Abu Thalib al-Makki (w. 386 H) Abu Thalib al-Makki adalah seorang pengarang kitab shufi terbesar, bernama “Qutul Qulub fi Mu’amalatil Mahbub.[24]
3)      Al-Qusyairi (w. 465 M) Nama lengkapnya adalah ‘abd al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi. Karya utamanya:Risalah al-Qusyairiyah.[25]
4)      Al-Muhasibi (w. 857 M) Nama lengkapnya Abu Abdullah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Karya utamanya adalah Al-Ra’iyah li Ruquq al-Insan.
5)      Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Thai al- Haitami. Dia lahir pada tahun 560 H. Karya utamanya adalah Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam . Di antara ajaran yang terpenting dari Ibn Arabi adalah Wahdatul wujud.
6)      Al-Jilli (w. 1403 M) Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli. Ia lahir tahun 767 H di Jilan. Karya utamanya adalah Al-Insan al-Kamil fi Ma,rifah al-Awakhir wa al-Awail dan kitab Al-Kahf wa Raqim fi Syarh Bismillahi al-Rahman al-Rahim.
7)      Ar-Raniri Nama lengkapnya Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji Al-Hamid Al-Syafi’i Al-Aydarusi al-Raniri. Karya utamanya: Al-Tibyan fi Ma,rifah al-Adyan fi al- Tashawwufh.
8)      Al-Palimbani Nama lengkapnya Abd al-Shamad al-Palembani. Karya utamanya: Al-Urwatul al- Wusqa wa silsilah uli al-Tuqai.
9)      Hamka Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Karya utamanya Tasawuf modern, perkembangan tasawuf dari abad keabad.
G.    Peranan dan penerapan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah Islam. Dan memang ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) di antaranya: “Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya” (Q.S. Asy-syam [91]:9); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr: 28-30). Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah, “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah” (QS. Al An’am: 162).
Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin, Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaklu hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.
Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. 
Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam lading kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.
Manfaat tasawuf bukannya untuk mengembalikan nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi juga bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner.[26]

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah  sehingga jiwa menjadi bersih dan memancarkan Akhlak mulia. Dalam kaitanya ini tasawuf terbagi dalam 3 sudut pandang :
1.      Sudut pandang manusia sebagai mahluk terbatas
2.      Sudut pandang manusia harus berjuang
3.      Sudut pandang manusia sebagai mahluk bertuhan
 Penelitian tasawuf umumnya menggunakan studi kasus dan menggunakan pendekatan fenomenal logis atau verstahen. Maka syaratnya kelak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup banyak. Dan para ahli mempunyai model-model penelitian tasawuf yang berebeda seperti : Sayyed Husein Nasr, Mustafa Zahri, Kautsar Azhari Noor, Hanun Nasution, A.J Arberry dan kesemuanya ahli berbeda satu dengan lainya.
B.  SARAN
Apabila dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan mohon untuk di maafkan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa agar dalam pembuatan makalah berikutnya dapat menjadi lebih baik dan benar. Semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
 
 
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Abudin. 2003.  Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Abuddin Nata, Abudin. 1998.  Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Asy-Syarkawi, Muhammad Abdullah. 2003. Sufisme dan akal, terj. Halid Alkaf. Bandung:Pustaka Hidayah
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban Jilid 4. 2002. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve
Fikry Zuhriyah, Luluk.  Metode dan Pendekatan dalam studi Islam, http://Elfikry.blogspot.com.
http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv
http://asno-dharmasraya.blogspot.com/2011/12/peran-tasawuf-dalam-kehidupan-modern.html
Id.Wikipedia. Org/ wiki/psikologi
M. Jamil, M. 2007. Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Konstektualitas cet 2. Jakarta: Gaung Persada Pers,
Mz, Labib. 2001. Memahami ajaran tasawwuf. Surabaya: Bintang Usaha Jaya
Simuh. 1998.  ahlak tasawuf . Jakarta: PT.Raja Grafindopersada
 

[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal 235
[2]  Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali press, 1998)  hal 10
[3] Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali press, 1998)  hal 70
[4] Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali press, 1998)  hal 16
[5] Q.S. Al-Anbiya : 25
[6] Q.S. Al-Anfal : 45
[7] Q.S Fathir : 5
[8] HR.Bukhari
[9] HR. Bukhari dan Muslim
[10] Muhammad Abdullah asy-Syarkawi, Sufisme dan akal, terj. Halid Alkaf, (Bandung:Pustaka Hidayah,2003), hal 29
[11] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), jilid 4, hal. 146
[12] Luluk Fikry Zuhriyah, Metode dan Pendekatan dalam studi Islam, http://Elfikry.blogspot.com.
[13] Id.Wikipedia. Org/ wiki/psikologi
[14] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Konstektualitas, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007), cet.2, hal 244
[15] Abuddin Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal 17
[16] Abuddin Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal 18
[17] Abuddin Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal 19

[18] Abuddin Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal 19
[19] Abuddin Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal 20
[20] http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv
[21] http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv
[22] Simuh, ahlak tasawuf , (Jakarta: PT.Raja Grafindopersada,1998),hal 11
[23] Simuh, ahlak tasawuf , (Jakarta: PT.Raja Grafindopersada,1998),hal 12
[24] Labib Mz, Memahami ajaran tasawwuf, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001), hal 74
[25] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Konstektualitas, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007), cet.2, hal 84

[26] http://asno-dharmasraya.blogspot.com/2011/12/peran-tasawuf-dalam-kehidupan-modern.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar