Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH METODE PENAFSIRAN FAZLUR RAHMAN DALAM MAJOR THEMES OF THE QUR’AN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fazlur Rahman adalah salah seorang tokoh pembaharu/pemikir neo modernis yang begitu akrab dengan dunia Islam bahkan dengan Indonesia, Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini antara lain dapat dirujuk dari kedekatan Fazlurahman dengan Nur Cholish Madjid (Cak Nur), Syafi’i Ma’arif dan Amien Ra’is pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia yang berhubungan langsung dan berguru kepada Rahman, cukup wajar jika pada akhirnya pemikiran Fazlur Rahman menjadi arus utama (mainstream) dan begitu mewarnai aliran pemikiran Islam modern di negeri.  Dalam sitting historis Fazlur Rahman, sangat menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analitis dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas. Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya "membangun suatu pandangan dunia (word view) berdasarkan al-Qur'an". Karena Al Qur’an adalah sumber insipirasi yang tiada pernah kering untuk ditimba mutiara hikmah yang tersimpan di dalamnya.Ia dalam pandangan Abdullah Darraz (1960:111) bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain yang tidak mustahil jika seseorang mempersilahkan orang lain memandangnya, maka orang itu akan melihat jauh lebih banyak dari apa yang orang pertama itu melihatnya. Makna yang tersimpan dalam redaksi kata-katanya tak pernah berhenti pada satu maksud semata. Sebagaimana ungkapan Muhammad Arkoun ( 1988:182-183) yang menyatakan bahwa al qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka ( untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal. Oleh karena itu dalam makalah ini  penulis akan menjelaskan mengenai pendekatan fazlur rahman dalam major themes of the qur’an (tema pokok al-qur’an).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi fazlur rahman dan karya-karya fazlur rahman?
2. Bagaimana gambaran umum fazlur rahman dalam major themes of the Qur’an (Tema pokok al-qur’an?
3. Bagaimana metode Penafsiran Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Quran?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana biografi fazlur rahman dan karya-karya fazlur rahman
2. Untuk mengetahui bagaimana gambaran umum fazlur rahman dalam major themes of the Qur’an (Tema pokok al-qur’an
3. Untuk mengetahui bagaimana metode Penafsiran Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Quran

















BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Fazlur Rahman dan Karya-Karya Fazlur Rahman
1. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir di Hazara, Pakistan, pada tanggal 21 September 1919 M, dia berasal dari keluarga yang alim atau tergolong taat beragama, dengan menganut Madzhab Hanafi seperti pengakuannya sendiri, keluarganya mempraktikkan lbadah sehari-hari secara teratur. Pada usia sepuluh tahun, ia telah menghafal Al-Quran. Ayahnya, Mawlana Syihab ad-Din, adalah seorang alumnus Dar al-Ulum, sekolah menengah terkemuka di Deoband, India. Di sekolah ini, Syihab ad-Din belajar dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Mawlana Mahmud Hasan (w.1920), yang lebih populer dengan Syekh al-Hind, dan seorang Faqih ternama, Mawlana Rasyid Ahmad Bangohi (w.1905).
Meskipun Rahman tidak belajar di Dar al-Ulum, ia menguasai kurikulum Darse Nizami yang ditawarkan lembaga tersebut dalam kajian privat dengan ayahnya. Hal ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam tradisional, dengan perhatian khusus pada fiqih, teologi dealektisatav, ilmu kalam, hadist, tafsir, logika (mantiq) dan filsafat.[1] Ketika anak benua Indo Pakistan masih belum pecah ke dalam dua Negara mereka, di sebuah daerah yang kini terbesar di Barat Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan sederet pemikiran liberalnya seperti Syah Waliyullah, Sir Sayyid Amir Ali dan Muhammad Iqbab, latar belakang ini mempengaruhi Fazlur Rahman menjadi pemikir radikal dan liberal dalam peta pembaharuan Islam.[2]
Pada tahun 1933, Rahman dibawa ke India untuk memasuki sekolah modern. Kemudian ia melanjutkan ke Punjab University, dan lulus menyandang gelar B.A. pada tahun 1940 dalam spesialisasi bahasa Arab. Dua tahun setelah itu, tepatnya tahun 1942 Fazlur Rahman memperoleh gelar Master dalam Sastra Arab dan sedang belajar untuk memperoleh gelar Doktoral Lahore, ia diajak oleh Ab A’la al Maududi bergabung dengan Jemaah Islam dengan syarat mau menghentikan studinya, sebab menurut Maududi semakin banyak Fazlur Rahman belajar, kemampuan-kemampuan praktisnya akan semakin beku. Hal ini tidak menjadikan Fazlur Rahman berubah pendirian tetapi menolak ajakan-ajakan tersebut dan tetap memilih untuk melanjutkan studinya.[3]
Menyadari bahwa mutu pendidikan tinggi Islam di India ketika itu amat rendah, Fazlur Rahman akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Inggris. Keputusan ini termasuk keputusan yang amat berani, sebab pada waktu itu terdapat anggapan bahwa, merupakan hal yang sangat aneh jika seorang muslim pergi belajar Islam ke Eropa dan kalaupun ada yang terlanjur ke sana, maka ia akan amat susah untuk diterima kembali di Negara asalnya, bahkan lebih jauh tindakan berani seperti ini kerap pula mengakibatkan penindasan.[4] keputusan belajar di Eropa didasarkan atas ketidakpuasan terhadap mutu pendidikan Islam di negeri-negeri Islam sendiri.
Pada tahun 1946, ia berangkat ke Oxford University, Inggris. Dalam proses perampungannya di Universitas ini, ia menulis sebuah disertasi tentang psikologi (London: Oxford Uneversity Press, 1952) di bawah bimbingan Prof. Simon Van Den Bergh. Belajar di Oxford University, sebagai lembaga pendidikan yang telah maju di Barat, Rahman berkesempatan mendalami bahasa-bahasa Barat. Jika ditelusuri dari karya-karyanya, tampak bahwa Rahman, setidaknya, menguasai bahasa-bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Arab, Persia, dan Urdu. Penguasaan banyak bahasa ini jelas sangat membantunya dalam upaya menggali dan memperluas wawasan keilmuannya, terutama dalam studi-studi Islam melalui penelusuran literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para Orientalis dalam bahasabahasa yang umumnya Eropa.
Setelah meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dari Oxford University pada 1950, Rahman tidak langsung pulang ke negerinya, Pakistan, yang baru saja merdeka beberapa tahun dan telah memisahkan diri dari India. Rahman agaknya masih cemas akan fenomena masyarakat negerinya saat itu, yang agak sulit menerima seorang Sarjana Keislaman yang terdidik di Barat. Karenanya, beberapa tahun ia memilih mengajar di Eropa yang dimulainya dengan mengajar bahasa Persia dan Filsafat Islam di Durham University, Inggris, pada tahun 1950-1958.[5] Fazlur Rahman mulai memperlihatkan tingkat kesarjanannya yang tinggi dengan menelorkan beberapa karyanya dalam bidang religio filosofis Islam khususnya pandangan-pandangan religio filosofisnya Ibnu Sina yang amat dikaguminya pada saat mengajar di Universitas Durham, ia merampungkan karya orisinilnya, Prophecy in Islam: Philosofy and Ortodoxy[6] namun baru kemudian di terbitkan di London oleh George Allen dan Unwin, Ltd.
Pada tahun 1958, sewaktu ia mengajar di McGill University, Kanada. Buku ini merupakan satu-satunya karya orisinil Fazlur Rahman bahwa selama ini sarjana-sarjana modern yang mengkaji pemikiran-pemikiran religio filosofis Islam kurang memperhatikan terhadap masalah-masalah doktrin kenabian. Selanjutnya, atas berbagai pertimbangan, ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associated Professor pada bidang studi Islam di Institute of Islamic Studies Mc Gill University Montreal, Kanada.
Di awal tahun 60-an, Rahman memulai proyek paling ambisius dalam hidupnya, yang kemudian menjadi titik tolak dalam karirnya. Pakistan, di bawah Jenderal Ayyub Khan, mulai memperbaharui usahanya pada pembentukkan politik dan identitas Negara. Dalam pandangan Khan, salah satu unsur untuk membangun kembali semangat nasional adalah memperkenalkan transformasi politik dan hukum. Transformasi itu diharapkan akan membawa Negara kembali pada khittahnya sebagai Negara dengan visi dan ide Islam. Antusiasme Rahman sendiri terhadap masalah ini bisa di buktikan dari kenyataan bahwa ia meninggalkan karir akademiknya yang bergengsi di Kanada demi tantangan yang menghadang di Pakistan. Pada awal Pembentukan Pusat Lembaga Riset Islam (Central Institute Of Islamic Research), ia semula manjadi profesor tamu, dan kemudian menjadi direktur selama satu periode (1961-1968). Di samping sebagai direktur di lembaga ini, Rahman juga bekerja pada Dewan Penasihat Ideology Islam (Adrisory Couna of Islamic Ideology). Lembaga reseach yang dikelola Fazlur Rahman dibentuk dengan tugas menafsirkan Qur’an dalam term-term (istilah-istilah) rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat yang progresif.[7]
Pada saat itu, posisi penting ini memberinya kesempatan untuk meninjau berlangsungnya pemerintahan dan kekuasaan dari dekat. Bahkan saat-saat itu juga, kata Ibrahim Moosa, menjadi pengalaman paling berharga dalam sejarah hidup seorang Rahman, pada sisi lain, dengan posisi sebagai direktur lembaga riset, Rahman memprakarsai penerbitan Journal of Islamic Studies, yang hingga kini masih terbit secara berkala dan merupakan jurnal ilmiah keagamaan bertaraf Internasional.[8]
Ketika menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangantantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa kini tetap gagasan-gagasan pembaharuan yang dikemukakan Fazlur Rahman selaku direktur Research Islam ataupun sebagai Dewan Penasihat Ideology Islam yang pada waktunya mewakili sudut pandang kalangan modernis, selalu mendapat tantangan keras dari kaum tradisionalis dan fundamentalis ide-ide tentang sunah dan hadist, riba dan bunga bank, zakat, fatwa mengenai kehalalan binatang sembelihan secara mekanis serta lainnya telah menimbulkan kontroversi- kontroversi yang berkepanjangan secara berkala nasional di Pakistan.
Puncak dari tantangan ini meletus ketika dua bab pertama dari karya pertamanya Islam, diterjemahkan kedalam bahasa Urdu dan dipublikasikan pada Jurnal Fikr-u Nazr. Ketegangan ini berlanjut ditambah dengan ketegangan politik antara ulama tradisional dengan pemerintah di bawah pimpinan Ayyub Khan yang dapat digolongkan modernis. Akhirnya pada saatsaat inilah Rahman merasa terpaksa hengkang dari Pakistan.[9] Akhirnya ia memutuskan untuk hijrah ke Chicago dan sejak 1970 menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam berbagai aspek pada Departemen of Near Eastern and Civilization, University of Chicago.[10]
Universitas ini merupakan tempat terakhirnya bekerja, hingga ia wafat. Selama menjadi pengajar di Universitas Chicago, dengan posisi sebagai muslim modern, Rahman telah memberikan banyak kontribusi pada ilmuwan muslim generasinya untuk member kepercayaan diri, baik melalui publikasi, konsultasi, dakwah, pengkaderan ilmuwan muda yang datang dari berbagai negara untuk belajar di bawah asuhannya Ahmad Syafi’i Maarif yang pernah menjadi murid Fazlur Rahman selama empat tahun di Chicago memberi komentar sehubungan dengan kepindahan bekas gurunya itu ke Barat. Bila bumi muslim belum peka terhadap himbauan-himbauan, maka bumi lain yang juga bumi Allah telah menampungnya dan dari sanalah ia menyusun dan merumuskan pikiranpikirannya tentang Islam sejak 1970, dan kesanalah beberapa mahasiswa dari negeri muslim belajar Islam dengannya.[11]
Di Chicago selain mengajar di Universitas tersebut, Rahman juga sering diminta oleh berbagai pusat studi terkemuka di Barat untuk member kuliah atau berpartisipasi dalam seminar-seminar internasional yang berkaitan dengan keislaman.[12]
Fazlur Rahman merupakan guru besar yang dihormati seorang pendeta Yahudi yang juga berguru kepadanya. Ia amat respek terhadap gurunya, yang kemudian berkomentar: "belum pernah saya betemu guru besar dan sebaik ini", meskipun dalam kuliah-kuliahnya tak jarang melakukan kritik pedas terhadap orang Yahudi. Wawasan keilmuan Fazlur Rahman yang luas juga tampak di dalam mata kuliah yang diberikannya, meliputi pemahaman Al- Qur’an, Filsafat Islam, Taswuf, Hukum Islam, kajian-kajian tentang Al- Ghozali, Ibnu Taimiyah, Syah Wali Allah, Iqbal dan lainnya. Fazlur Rahman sangat menguasai Islam historis maupun normatif, ia merupakan sarjana yang berkualitas tinggi dan sekaligus sebagai pemikir Islam yang serius.
The Rocky Feller Memorial Chapel, pernah mengundangnya untuk memberikan ceramah tentang tensi-tensi moral manusia dalam Quran, pada musim semi di tahun 1981, juga diminta pusat studi-studi Yahudi untuk memberikan kuliah masalah sikap Islam terhadap Yudaisme pada Universitas Conneticul di Starrs, demikian juga Universitas PBB pernah mengundangnya uintuk menyampaikan kuliah dalam seminar Perception of Desirable Society, yang diselenggarakan di Bangkok bersama Prof. Sherif Mardin.
Aktifitas Rahman menulis berbagai artikel untuk Jurnal-jurnal ilmiah dan buku-buku suntingan terus dikerjakan, pernah juga menterjemahkan sebuah buku artikel Nanik Kemal, pembaharu Turki dari Bahasa Urdu ke dalam bahasa Inggris, berisi tentang kritik Kemal dan komentar panjangnya terhadap tulisan Ernst Renan. Fazlur Rahman berhasil pula menyelesaikan penulisan buku The Philosophy of Mulla Sadra, yang dalam buku ini berusahamemperkenalkan pemikiran-pemikiran religio filosofis Mulla Sadra, berpijak dari karya monumental itu mengilhami pula untuk menulis sebuah buku Al-Ashfar al-Arbaah sebagai sumbangan besar di bidang kajian perkembangan pemikiran religio filosofis pasca Al-Ghozali. Karya Fazlur Rahman yang kedua dalam periode ini, adalah sebuah buku dengan judul Major Themes of the Qur’an.
Bersama Leonard Bider Fazlur Rahman aktif memimpin sebuah proyek penelitian Islam and Social Change, sebagai hasil penelitian ini tersusunlah sebuah buku yang terbit tahun 1982 dengan judul Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, buku ini pada mulanya berjudul Islamic Education and Modernity, karena ia memang berbicara tentang pendidikan Islam dan perspektif sejarah dengan al-Quran sebagai kriteria penilaian, kemudian oleh penerbit The University of Chicago Press diubah menjadi Islam and Modernity.[13]
Pada tanggal 26 Juli 1988 dalam usianya yang ke-69, Fazlur Rahman menghembuskan nafas yang terakhir di Chicago, Illinois. Kepergian Sarjana Pemikir Neo-Modernis ini merupakan sebuah kehilangan bagi dunia intelektual Islam kontemporer. Rahman meninggalkan karya-karyanya dalam bentuk buku utuh, artikel-artikel dalam jurnal ilmiah dan buku suntingan, karya-karyanya kebanyakan berbahasa Inggris dan hanya sebagian kecil yang berbahasa Urdu.
2. Karya-Karya Fazlur Rahman
Diantara karya-karya intelektualnya yang sempat ditulisnya berupa buku-buku antara lain :
1.      Avicenna’s Psychology (1952)
2.      Prophecy in Islam : Philosophy and Orthodoxy (1958)
3.      Islamic Metodology in History (1965)
4.      Islam (1966)
5.      The Philosophy of Mulla Sadra (1975)
6.      Major Themes of the Quran (1980)
7.      Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual Traditional (1982)
8.      Health and Madicine In Islamic Tradition : Change and Identity (1987).[14]
Sedangkan dalam bentuk artikel ilmiah, tersebar di banyak jurnal baik jurnal lokal (Pakistan) dan internasional, serta yang dimuat dalam buku-buku bermutu dan terkenal. Artikel-artikel yang ditulisnya antara lain :
1.      Some Islamic Issues in the Ayyub Khan
2.      Islam: Challenges and Opportunities
3.      Revival and Reform in Islam: a Study of Islamic Fundamentalism
4.      Islam : Legacy and Contemporary Challenges
5.      Islam in the Contemporary World
6.      Roots of Islamic Neo- Fundamentalism
7.      The Muslim World
8.      The Impact of Modernity on Islam
9.      Islamic Modernism its Scope, Methode an Alternatives
10.  Divine Revelation and the Prophet
11.  Interpreting the Quran
12.  The Quranic Concept of God, the Universe and Man
13.  Some Key Ethical Concept of the Quran.[15]
B. Pendekatan Fazlur Rahman dalam tema pokok al-qur’an
Al qur’an adalah kitab yang sempurna didalamnya memuat berbagai segi hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan diri dan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam disekitarnya. Agaknya tema-tema inilah yang kemudian oleh fazlurrahman digambarkan dalam bukunya dengan lebih memperjelas tema-tema la qur’an itu kedalam 8 (delapan) kategori.
1. Tuhan
Salah satu dari kedelapan tema yang termuat dalam kandungan al qur’an adalah tentang aspek Tuhan. Fazlurrahman mempertanyakan tentang rasionalitas manusia dalam mengakui setidak-tidaknya mempercayai adanya wujud Tuhan.[16] Dalam pandangan beliau sesungguhnya al qur’an tidak “membuktikan” adanya Tuhan akan tetapi “menunjukkan” cara untuk mengenal Tuhan, melalui alam semesta yang ada.[17]
Menurut Fazlur rahman Al-qur’an bukanlah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Tetapi, sebetulnya ia adalah hudan karena itu petunjuk bagi manusia agar bisa menemukan cara untuk mengenal Tuhan. Seperti Alam dengan segala keteraturannya ini tidak mungkin berjalan dengan sendirinya karena ia mempunyai tempat bergantung, dan tempat bergantungnya ini pastinya satu. Tidak ada yang bersekutu dengan-Nya dalam menciptakan alam semesta ini. menurut Al-qur’an orang yang paling keji  adalah orang yang secara formal ataupun aktual menyangkal adanya Tuhan orang-orang Atheis materialis dan orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
2. Manusia Sebagai Individu
Sisi lain kandungan al qur’an adalah manusia sebagai individu, dalam pandangan fazlur rahman asal usul manusia jelas beda dengan mahluk lainnya. Mengingat dalam diri manusia ada unsur ruh yang ditiupkan oleh Allah SWT. Sekalipun demikian ia menyangkal adanya dualisme individual antara jiwa dan raga dalam diri manusia sebagaiman terdapat pada filsafat yunani, agam kristen dan hinduisme.[18]
Fazlur rahman juga menjelaskan hakikat tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini yakni sebagai khalifatullah mengemban amanah Allah SWT sekaligus hambatan dan tantangan yang dihadapinya dalam mengemban misi suci itu. Tantangan terbesar manusia dalah syaitan karena ia melambangkan sifat kepicikan (dlaif) dan kesempitan fikir (قطر ). Al qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dalam bentuk dan konteks yang berbeda. Karena kepicikannya kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gampangnya seperti manusia.[19] Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan yang dalam al qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini dipergunakan juga dalam al QS. Al- Thur (52:27) QS. Al-Mu’min (40:45) QS Al-Insan (76:11.[20]
3. Manusia anggota masyarakat
Selain sebagai individu manusia dalah mahluk sosial, oleh karena itu al qur’an tdak bisa berdiam diri untuk tidak mengatur peri kehidupannya dalam bermasyarakat. Bahwa tujuan diturunkannya al qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang ethis dan egalitarian. hal ini terlihat di dalam celaannya terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidak adilan sosial dalam masyarakat makkah waktu itu. Pada mulanya celaan itu lebih ditujukan kepada dua aspek yang berkaitan dengan pola hidup bermasyarakat yakni aspek politheisme dan ketimpanbgan sosial ekonomi yang menibulkan dan menyebebakna perpecahan diantara manusia.[21]
Pada level sosial politik al qur’an juga ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari orang tua, anak-anak, kakek,nenek dan masyarakat muslim dengan meniadakan rasa kesukuan. Kesetiaan kepada aorang tua ditegaskan dalam QS.Al-Baqarah: 83.[22]
øŒÎ)ur $tRõs{r& t,»sVÏB ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) Ÿw tbrßç7÷ès? žwÎ) ©!$# Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $ZR$|¡ômÎ) ÏŒur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ6»|¡uKø9$#ur (#qä9qè%ur Ĩ$¨Y=Ï9 $YZó¡ãm (#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# §NèO óOçFøŠ©9uqs? žwÎ) WxŠÎ=s% öNà6ZÏiB OçFRr&ur šcqàÊ̍÷èB ÇÑÌÈ

Artinya: Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
Sementara dalam rangka melaksankan urusan pemerintahan al qur’an menyuruh kaum muslim untuk menegakkan syura (lembaga konsultatif) Nabi Muhammad SAW sendiri disuruh untuk memutuskan persoalan-persoalan setelah berkonsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat[23] jika dalam musyawarah terjadi perselisihan dan berakibat peperangan diantara kelompok muslim, al qur’an menyerukan agar diangkat seorang penengah jika salah satu kelompok menolak penengahan ini maka ia harus diperangi.[24] Hal ini tidak berarti pemberontakan tidak diijinkan oleh al qur’an. Semua Nabi sesudah nabi Nuh adalah pemberontak terhadap tata nilai masyarakat yang didalamnya tersebar penyelewengandi atas dunia (fasad fil ardl) yang dapat diartikan sebagai keadaan yang menurus kepad apengabaian hukum secara politis, moral, sosial ketika urusan nasional/ internasional tidak dapat dikendalikan lagi.[25]
4. Kenabian dan Wahyu
Tema lain yang memenuhi isi al qur’an adalah berita-berit atentang Nabi/rasul dan wahyu. Secar aumum dapat diaktakan bahwa semua rosul dibangkitkan adlah semata-mata menganjurkan pad afaham monotheisme bahwa hanya Allah SWt yang Esa dan yang patut disembah, tuhan-tuhan yang lain adalah palsu belaka.[26]
Menurut al qur’an sebagai manusia belaka nabi dianggap wajar jika pernah melakukan kesalahan sehingga ia harus terus menerus berjuang, jika tidak dapat berbuat demikian maka merka itu tidak dapat menjadi teladan bagi manusia yang lain.[27] Minimal nabi tak pernah ingin menjadi nabi/ mempersiapkan dirinya menjadi seorang nabi, jelas sekali bahwa pwngalaman religius yang terjadi secara tak terduga itulah yang mengantarnya menjadi nabi.[28] Predikat kenabian bukan hal yang bagi bagi Nabi Muhammad Saw kadangkal ia dianggap sebgai kahin atau penyair dan tukang sihir[29]. Yang menarik dalam pandangan fazlurrahman adalah ketika ia berpendapat bukan “malaikat”-lah mahluk yang menyampaikan wahyu kepada nabi Muhammad SAW, al qur’an tidak pernah menyatakan penyampai wahyu itu sebagai malaikat tetapi sebagai ruh/utusan spiritual. Allah SWt pernah menurunkan wahyu kepada malaikat akan tetapi dalam konteks yang berbeda sebagai semangat orang islam/mu’min untuk berperang melawan musuh Allah SWT.
Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW tampaknya berhubungan langsung dengan Allah SWT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Nabi-nabi telah memperoleh manfaat dari ruh Allah SWT[30] barangkali yang dimaksud dengan ruh itu adalah kekuatan, kemmapuan /agensi yang berkembang di hati Muhammad SAW dan jika diperlukan ia dapat berubah menjadi operasi wahyu yang actual.[31]
5. Alam Semesta
Sisi lain kandungan al qur’an yang hanya sedikit disinggung adalah proses kejadian alam (kosmolologi/kosmogini) Jika al qur’an hnaya sedikit berbicara tentang kosmologi maka sebaliknya ia seringkali dan berualngkali membuat pernyataan-pernyataan mengenai alam dan fenomena alam yang kadang dikaitkan dengan Allah, dengan manusia atau kadang kedua-duanya. Pernyataan ini membersitkan isyarat tentang kekuasaan dan kebesaran Allah yang tak terhingga dan menyerukan agar manusia beriman kepada-Nya. Alam semesta beserta kekuasaan dan keteraturannya yang tak terjangkau akal ini harus dipandang manusia sebagai pertanda kekuasaan Allah SWT.[32] Informasi tentang proses kejadian alam ternyata pararel dengan apa yang disampaikan wahyu, sebagaimana dibuktikan penulis muslim pada abad pertengahan artinya informasi al qur’an tentang proses kejadian alam semesta adalah ilmiah adanya[33] terakhir sekali bahwa alam semesta itu dalam gambaran al qur’an akan mengalami kehancuran di hari kiamat.[34]
 6. Eskatologi
Bagian menarik lain dari alqur’an adalah persoalan eskatologis (akhirat) yang secara umum menggambarkan kenikmatan pahala surga dan azab neraka. Ide pokok tentang akhiat adalah munculnya kesadaran unik manusia tentang suatu pengalaman yang tidak pernah dialaminya dimasa-masa yang lalu[35] akhirat adalah saat kebenaran dan tujuan akhir kehidupan /akibat jangka panjang dari amal perbuatan manusia diatas dunia ini. Semenatra dunia bukanlah “dunia ini” tetapi ia adalah nilai-nilai yang rendah /keinginan-keinginan rendah yang tampaknya sedemikian menggoda sehingga setiap saat dikejar oleh hampir semua manusia dengan mengurbankan tujuan-tujuan yang lebih mulia dan berjangka panjang[36].
Konsep dasar akhirat sesungguhnya berujud sikap sarkasme al qur’an terhadap pedagang-pedang makkah yang bermegah-megahan dg emas, perak dan barang dagang lainnya.yang ditimbang adalah amal dan bukannya barang-barang tersebut[37]. Hanya saja akhirat ini adalah sebuah ide yang sangat sulit untuk diterima oleh orang-orag mekkah jahiliyyah yang berpandangan sekularisme dengan alasan bahwa nnenek moyang dan leluhur mereka dulunya telah mendengar “kisah-kisah” ini jauh dimasa sebelumnya yang ternyata hal itu hanya khayalan orang-orang zaman dahulu.[38]
Menurut al qur’an akhirat adalah penting dengan alasan pertama, moral dan keadilan adalah kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia yang itu tidak bisa ditegakkan di alam dunia, kedua, tujuan hidup harus diejlaskan dengan seterang-terangnya dan ap[a tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Ketiga, perbantahan perbedaan pendapat dan konflik anttar manusia mestilah diselesaikan dan tempatnya adalah di hari akhirat nanti.
7. Setan dan Kejahatan
Adapun tema berikutnya adalah persoalan syaitan dan kejahatan. Fazlurrahman beranggapan bahwa iblis dan syaitan adalah personifikasi yang diruju’ al qur’an untuk mewakili kekuatan jahat yang ada dimuka bumi ini. Sekalipun demikian personifikasi syaitan sebagai aktor kejahatan masih menimbulkan perdebatan.[39] Perbedaannya adalah bahwa syaitan kemunculannya bersamaan dengan kisah kejadian adam, jadi seusia dengan manusia walaupun sebelumnya telah ada dalam bentuk jin.[40]
Sementara jin/iblis diciptakan sebelum adanya manusia.[41] Al qur’an menggambarkan syaitan sebagai pembangkang perintah Allah SWT dan sebagi tandingan manusia, dan bukannya tandingan Allah SWT karena Allah SWT berada diluar jangkauannya. Jadi secara metafisis syaitan tidak sederajat dengan Tuhan, sebagaimana halnya Ahriman yang merupakan tandingan Yazdan dalam agama Zoroaster.[42]
Dalam pandangan fazlurrahman aktifitas syaitan hanya mampu membingungkan manusia dan memendungi kesadaran-kesadaran batinnya.[43] Syaitan tidak punya kekuatan akan tetapi kelicikan dan kelicinannya dengan menggunakan tipu daya, siasat membujuk dan berkhianat adalah aktifitas sejati syaitan.[44] Jadi kekuatan syaitan bertumpu pada kelemahan manusia. Oleh karena itu yang berbahaya bagi manusia bukanlah faktor syaitan ansich/kekuatan syaitan akan tetapi sikap manusia itu sendiri yang tidak mengerahkan kekuatannya untuk melawan bujukan syaitan.[45]
8. Lahirnya Masyarakat muslim
Bagian terakhir dari tema-tema al qur’an adalah mulai dibangunnya sendi-sendi masyarakat muslim di Madinah. Keseluruhan bab terakhir ini membahas tentang kritik dan sanggahan beliau terhadap pendapat snouck Hurgronye , Theodore Noldekke, dan Friedrich Schwallly yang menyatakan bahwa risalah kenabian Muhammad SAW hanyalah bikinan muhammad belaka, karena muhammad ketika menyampaikan risalah islam tidak mendapat respon positif baik dari kalangan yahudi maupun nasrani. Respon negatif ini kemudian disikapi Nabi dengan menyatakan bahwa islam itu tidak berasal/ menginduk kepada kebesaran Yahudi ataupun Nasrani akan tetapi kepada Nabi Ibrahim. Satyu hal yang dalam pandangan Snouck dan orientalis pada umumnya adalah tindakan apologi belaka.
C. Metode Penafsiran Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Quran
Terdapat beberapa metode penafsiran yang ditawarkan Falur Rahman salah satunya Double Movement (Gerakan Ganda) yang diaplikasikan pada bukunya Islam & Modernity pada tahun 1982[46] dengan elaborasi sebagai berikut :Gerakan pertama, bertolak dari situasi kontemporer menuju ke arah al-Quran diwahyukan, dalam pengertian bahwa perlu dipahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan cara mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Quran tersebut hadir sebagai jawabannya.
Selain itu, terdapat pula metode sosio-historis. Menurut Fazlur Rahman, tanpa suatu kajian yang sistematis, pandangan dunia al-Quran akan sulit untuk dimunculkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode interpretasi sistematis, yakni metode yang mengandaikan perlunya penelusuran sosio-historis serta pembedaan legal spesifik ayat dari ideal moralnya.[47] Jadi sebelum melangkah pada metode Sintetis-Logis perlu dipaparkan secara jelas dan sistematis mengenai keadaan sosio-historisnya.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan melihat kembali sejarah yang melatarbelakangi turunnya ayat. Maka.  Ilmu Asbabu al-Nuzul muthlak dibutuhkan dalam metode ini, sehingga dapat diketahui atas dasar dan motif apa suatu ayat diturunkan. Selain itu, pendekatan historis ini hendaknya diberangi dengan pendekatan sosiologi, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa al-Quran diturunkan.[48] Oleh karena itu, Rahman terkenal sebagai orang yang kritis terhadap data-data historis periwayatan. Hal ini dibuktikan dengan gagasannya tentang hermeneutika hadits-hadits hukum.[49]
Namun, metode ini nampaknya menemui kesulitan manakala dihadapkan dengan persoalan yang bersifat metafisis dan teologis seperti tema-tema yang terdapat pada buku Major Themes of The Quran. Rahman dalam hal ini menegaskan dalam pendahuluannya: “Except for the treatment of a few important Themess like the diversity of religiouscommunities, the possibility and actuality of miracles, and jihād , which all showevolution through the Qur’ān, the procedureused for synthesizing Themess is logical rather than chronological”[50]
Kecuali dalam pembahasan beberapa tema penting, misalnya mengenai keanekaragaman masyarakat-masyarakat agama, serta aktualistas mukjizat-mukjizat, dan jihad-yang kesemuanya menunjukkan evolusi melalui al-Quran- maka prosedur yang kami pergunakan disini untuk mensintesakan berabagai tema tersebut bersifat logis dari pada kronologis[51]
Metode Sintesis-Logis ini merupakan pendekatan yang membahas suatu tema (metafisis-teologis) dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas atau tema-tema yang relevan dengan tema yang dibahas. Aspek keterpaduan wahyu sangat jelas ditekankan.[52] Jika ditinjau dari ilmu tafsir konvensional, pendekatan sintesis logis ini memliki kemiripan dengan metode tafsir Maudhu’i, hanya saja, para mufassir dengan metode Maudhu’i masih tekungkung dengan satu tema yang dibahas. Selain itu, rumusannya masih terkesan menarik otonomi teks kedalam cengkraman tangan mufassir.[53] Oleh karena itu, Rahman dalam konteks ini nampaknya lebih memilih hermeneutika Betti (penganut hermeneutika objektivitas) daripada Gaadamer (penganut hermeneutika subjektivitas).
Salah satu contoh aplikatif metode sintesis logis ini dapat dilihat ketika Rahman membahas manusia sebagai individu[54] Rahman memberikan gambaran awal tentang manusia sebagai ciptaan Allah swt. dengan mengemukakan beberapa ayat yang relevan tentang penciptaannya dari tanah, yaitu (15:26, 28, 33, 6:2, 7:12), yang kemudian diekstrak menjadi air mani, yang ketika masuk dalam rahim maka mengalami proses kreatif, seperti dinyatakan ayat 23:12-14. Kemudian Rahman membedakan penciptaan manusia dengan makhluk lain, bahwa manusia setelah dibentuk, maka Allah swt meniupkan ruh kedalam diri manusia, seperti yang disebutkan ayat 15:29, 38:72, 32:9. dan seterusnya.
Metode tematik ala Rahman sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa ayat-ayat al-Quran saling menafsirkan satu dengan yang lain (Yufassiru Ba’dhuhu Ba’dhan). Dalam penilaian Rahman, Ulama terdahulu tidak berusaha menyatukan makna ayat-ayat al-Quran secara sistematis untuk membangun pandangan dunia al-Quran sehingga mereka dinilai gagal memahami al-Quran secara utuh dan holistic. Menurut Rahman, salah satu upaya memahi al-Quranm secara utuh dan komprehenshif dapat dilakukan dengan menggunakan metode tematik (Sintesis Logis). Menurutnya, alasan penggunaan metode ini antara lain:
1.      Minimnya usaha para mufassir untuk memahami al-Quran sebagai satu kesatuan. Selain itu, kaum muslimin belum pernah secara adil membahas masalah-masalah mendasar mengenai metode penafsiran al-Quran.
2.      Sudut pandang yang berbeda, dengan pemikiran yang dimiliki sebelumnya, dapat berakibat subjektivitas mufassir yang berlebihan. Sehingga metode tematik (Maudhu’i) ini diharapkan mampu mengontrol bias-bias ediologi yang terkesan dipaksakan.[55]



























BAB III
KESIMPULAN
1.      Rahman lahir di Hazara, Pakistan, pada tanggal 21 September 1919 M, dia berasal dari keluarga yang alim atau tergolong taat beragama, dengan menganut Madzhab Hanafi seperti pengakuannya sendiri, keluarganya mempraktikkan lbadah sehari-hari secara teratur. Pada usia sepuluh tahun, ia telah menghafal Al-Quran. Ayahnya, Mawlana Syihab ad-Din, adalah seorang alumnus Dar al-Ulum, sekolah menengah terkemuka di Deoband, India. Di sekolah ini, Syihab ad-Din belajar dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Mawlana Mahmud Hasan (w.1920), yang lebih populer dengan Syekh al-Hind, dan seorang Faqih ternama, Mawlana Rasyid Ahmad Bangohi (w.1905).
2.      Al qur’an adalah kitab yang sempurna didalamnya memuat berbagai segi hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan diri dan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam disekitarnya. Agaknya tema-tema inilah yang kemudian oleh fazlurrahman digambarkan dalam bukunya dengan lebih memperjelas tema-tema la qur’an itu kedalam 8 (delapan) kategori yaitu Tuhan, Manusia sebagai individu, manusia anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, lahirnya masyarakat muslim.
3.      Terdapat beberapa metode penafsiran yang ditawarkan Falur Rahman salah satunya Double Movement (Gerakan Ganda) yang diaplikasikan pada bukunya Islam & Modernity pada tahun 1982dengan elaborasi sebagai berikut :Gerakan pertama, bertolak dari situasi kontemporer menuju ke arah al-Quran diwahyukan, dalam pengertian bahwa perlu dipahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan cara mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Quran tersebut hadir sebagai jawabannya. selain itu, terdapat pula metode sosio-historis. Menurut Fazlur Rahman, tanpa suatu kajian yang sistematis, pandangan dunia al-Quran akan sulit untuk dimunculkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mustaqim, Abdul. 2011. “Epistemologi Tafsir Kontemporer”. Yogyakarta; Lkis Group
Musahadi. 2009. HAM “Hermeneutika Hadits-hadits Hukum” cet I. Semarang: Walisongo Press
Rahman, Fazlur.  1983. Major Themes Of the Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka
Rahman, Fazlur. 1990. Islam dan Tantangan Modernis, Suatu Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan
Rahman, Fazlur. 1984. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka
Rahman, Fazlur. 1990. Metode dan Alternatif neo Modernisme, terj. Taufiq Adnan Amal. Bandung: Mizan
Rahman, Fazlur. 1985. Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka
Sibawaihi. 2007. “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman”. Bandung; Jalasutra
Sibawaihi, 2004. Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman, Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer,  Yogyakarta: Islamika
Tafsir. 1999. Moral Dalam Al-Qur’an, “Kajian terhadap Pemikiran Fazlur Rahman”, Tesis, Pascasarjana IAIN Walisongo. Semarang
ebookbrowse.com/major-Themess-of-quran-fazlur-rahman-pdf-d50853662 (diakses pada: Kamis 15-10-2014, Pukul: 10:01)



[1] Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman, Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer, Islamika, Yogyakarta, 2004, hlm. 49.
[2] Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan Modernis, Suatu Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1990, hlm. 79-80.

[3] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 13.
[4] Sibawaihi, op.cit., hlm. 50.

[5] Ibid, hlm. 51
[6] Fazlur Rahman, op.cit., hlm. 83.

[7] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif neo Modernisme, terj. Taufiq Adnan Amal, Mizan, Bandung, 1990, hlm. 13.
[8] Subawaihi, op.cit., hlm. 52

[9] Ibid, hlm. 53.
[10]  Fazlur Rahman, op.cit, hlm. 16.
[11] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung, 1984, hlm. viii.
[12] Sibawaihi, op.cit, hlm. 54

[13] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, op.cit., hlm. vi.
[14] Sibawaihi, loc.cit.
[15] Drs. Tafsir, M.Ag., Moral Dalam Al-Qur’an, “Kajian terhadap Pemikiran Fazlur Rahman”, Tesis, Pascasarjana IAIN Walisongo, Semarang, 1999, hlm. 116.
[16]  Fazlur Rahman, Major Themes Of the Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1983. Hlm 2
[17] Ibid,.hlm  15
[18] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  26
[19] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  38-41
[20] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  38-41
[21] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  55
[22] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  61
[23] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  63
[24] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  64
[25] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  65
[26] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  65
[27] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  130
[28] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  132
[29] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  136-137
[30] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  139
[31] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  142
[32] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  101
[33] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  105
[34] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  114
[35] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  154
[36] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  157
[37] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  158
[38] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  168
[39] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  178-189
[40] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  181
[41] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  180
[42] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  181
[43] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  182
[44] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  183
[45] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an,…..,hlm  185
[46] Sibawaihi “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman” 2007 (Bandung; Jalasutra). Hlm 34
[47] Ibid.67
[48] Ibid.53
[49] Musahadi HAM “Hermeneutika Hadits-hadits Hukum” 2009 cet I (Semarang; Walisongo Press).111
[50] ebookbrowse.com/major-Themess-of-quran-fazlur-rahman-pdf-d50853662 (diakses pada: Kamis 15-10-2014, Pukul: 10:01)
[51] Fazlur Rahman “Tema Pokok al-Quran”. Op.Cit.ix
[52] Sibawaihi “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman” 2007 (Bandung; Jalasutra). Hlm 68
[53] Sibawaihi “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman” Op.Cit. hlm 70
[54] Fazlur Rahman “Tema Pokok al-Quran”. Op.Cit.. hlm 26

[55] Abdul Mustaqim “Epistemologi Tafsir Kontemporer” 2011 ( Yogyakarta; Lkis Group). Hlm 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar