Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH PEMIKIRAN FILSAFAT FENOMENOLOGI EDMUND HUSSERL.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LatarBelakang
Filsafatdanpikiranmanusiaadalahduahal yang tidakbisadipisahkan, karenafilsafatbrkaitaneratdengansegalahal yang dapatdipikirkanolehmanusia.Filsafatberhubungandenganapa yang dipikirkan, caraberfikir,danprosesberfikir, yang nantinyaakanmenghasilkanbuahhasilpikiran.
FilsafatberasaldaribahasaYunani, yaituphilosdanshopiayang berarticintakebijaksanaanataubelajar.Lebihdariitu, dapatdiartikancintabelajarpadaumumnyahanyaadapadafilsafat.Untukalasantersebut, makaseringdikatakanbahwafilsafatmerupakanindukatauratuilmupengetahuan.[1]
Dalamilmupengetahuan, filsafatmempunyaikedudukansentral, danasalataupokok.Karena, filsafatpadaawalnyamerupakansatu-satunyausahamanusia di bidangkerohanianuntukmencapaikebenaranpengetahuan.Kemudian, timbullahpenyelidikanmengenaihal-halkhusus yang sebelumnyamasukdalamlingkunganfilsafat.Jikapenyelidikantersebutmencapaitingkattinggi, makacabangpenyelidikanitumelepaskandiridarifilsafat, menjadicabangilmupengetahuanbaru yang berdirisendiri. Akan tetapi, tidakberartiilmupengetahuanitusamasekalitidakmembutuhkanbantuanfilsafat.[2]
Di dalamfilsafatterdapatistilahepistemologi yang merupakancabangilmufilsafat, yang memilikipengertianbagianilmufilsafat yang berkenaandengandasardanbatas-bataspengetahuan.[3]EpistemologiberasaldaribahasaYunani, episteme, yang berartipengetahuandanlogos yang berartiilmu.Istilahepistemilogimunculsekitarabad ke-5 berawaldarikeraguanterhadapkemampuanmanusiamengetahuirealitas, seberapajauhpengetahuankitamengenaikodratbenar-benarkenyataanobjektif, seberapajauh pula merupakansumbangansubjektifmanusia?.Apakahkitamempunyaipengetahuanmengenaikodratsebagaimanaadanya?.Sikapskeptisinilah yang mengawalimunculnyaepistemologi.[4]Epistemologiilmudiharapkanmampumemberikanalternatifpemecahanpermasalahan yang dihadapiolehumatmanusia.
Epistimologifenomenologiadalahmerupakananalisisdeskriptifdanintrospektiftentangkedalamandarisemuabentukkesadarandanpengalamanlangsung yang meliputiinderawi, konseptual, moral, estetisdanreligius.Fenomenologiadalahsuatumetode yang secarasistematisberpangkalpadapengalamandanmelakukanpengolahan-pengolahanpengertian.[5]
Buahpikiran yang dibangunoleh Edmund Husserlinilah yang akandibahasdalammakalahini, tentanngpemikiran Edmund Husserl danbagaimanapengaruhnya.
B.     RumusanMasalah
1.      Bagaimanapemikiranfilsafatfenomenologi Edmund Husserl?.
2.      Bagaimanapengaruhfilsafatfenomenologiterhadappraktis (metodologi) keilmuan modern?.
C.    TujuanPembahasan
1.      Untukmenjelaskantentangpemikiranfilsafatfenomenologi Edmund Husserl.
2.      Untukmenjelaskantentangpengaruhfilsafatfenomenologiterhadappraktis (metodologi) keilmuan modern.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Filsafat Fenomenologi Edmund Husserl
1.      Biografi dan Tahapan Pemikiran Edmund Husserl (1859 – 1938)
Edmund Husserl was born of Jewish parents in the Moravian province of Prossnizts in 1859, the same year in which Bergson and Dewey were born. After his early education in that province, he went to the University of Leipzig, where, from 1876 to 1878, he studied physics, astronomy, and mathematics and found time to attend lectures by the philosopher Wilhelm Wundt. Husserl continued his studies at the Friederich Wilhelm University in Berlin. In 1881 he went to the University of Vienna where, in 1883, he earned his Ph.D. for his dissertation on “Contributions to the Theory of Calculus of Variations.” From 1884 to 1886, he attended the lectures of Franz Brentano (1838-1917), who became a most significant influence on Husserl philosophical development, especially through his lecture on Hume and John Stuart Mill and his treatment of problem in ethics, psychology, and logic.On Brentano’s advice, Husserl went to the University oh Halle, where in 1886 he became an assistant under Carl Stumpf (1848-1936), the eminent psychologist under whose direction he wrote his first book, philosophy of arithmetic (1891). His logical investigation appeared in 1900, and the same year he was invited to join the philosophy faculty at the University of Gottingen. It was here that Husserl spent 16 productive years, authoring a series of books developing his concept of phenomenology. Because of his Jewish origins, Husserl was forbidden to participate in academic activities after 1993. Although he was offered a professorship by the University of Southern California, Husserl declined the offer, and after several month of suffering, he died of pleurisy at the age of 79 at Freiburg in Breisgau.[6]
Husserl’s philosophy evolved gradually through several phase. His early interest was in logic and mathematics. Next, he developed and early version of phenomenology which focused chiefly upon a theory of knowledge. Then, he moved on to a view of phenomenology as universal foundation for philosophy and science. Finally he entered a phase in which the conception of the life world (Levenswelt)became a more dominant theme in his phenomenology. It is no wonder, then, that Husserl’s philosophy should have had a variety of influences upon different scholars at various times. For example, Martin Heidegger, who became Husserl’s assistant at Freiburg in 1920, was familiar during his student days with Husserl’s work in logic and his earlier writings in phenomenology. As his assistant from 1920-1923, Heidegger worked closely with Husserl. Together they prepared an article on phenomenology for the Encyclopedia Britannica. Heidegger also prepared some of Husserl’s earlier lectures for publication. Even after Heidegger left in 1923 to become a professor at Marburg, he continued his close association with Husserl. As time passed, however, Heidegger found it difficult to share Husserl’s novel developments, especially those dealing with transcendental phenomenology. In his major work, Being and Time, Heidegger was critical of Husserl’s method and his distinctive view of ego. By the time Heidegger succeeded to Husserl’s chair at Freiburg in the fall of 1928, their relationship began to weaken and eventually came to an end.[7]
Pemikiran Husserl mengalami modifikasi yang sinambung. Sejarawan gerakan fenomenologi mencatat perbedaan antara pemikiran-pemikiran Husserl awal dengan pemikiran-pemikiranya yang terakhir, terutama yang dijumpai dalam tulisan-tulisannya yang diterbitkan sesudah ia meninggal. Salah satu konsep Husserl yang terakhir adalah Lebenswelt(life world, dunia hidup, yakni dunia pengalaman sehari-hari), yang mendapat tempat khusus dalam tulisan-tulisan para fenomenolog dan eksistensialis kontemporer.
Suatu pendekatan untuk memahami fenomenologi adalah memandangnya dengan referensi pada masalah filsafat yang paling tua dan paling mendasar: apakah kaitan antara realitas objektif yang hadir di luar pemikiran dengan pemikiran yang kita miliki tentang realitas objektif itu?, bagaimana dua dunia itu, dunia pemikiran dan dunia realitas objektif saling berkaitan?, segenap filsafat telah berusaha menjawab pertanyaan tersebut.Fenomenologi juga telah membuat usaha serupa. Keberangkatannya bertolak dari afirmasi-afirmasi: 1) pemikiran filosofis tidak bisa dimuali kecuali dari fenomena kesadaran. 2) hanya fenomena yang membukakan pada kita, apa esensi sesuatu itu. Menurut Husserl, pendekatan yang mungkin untuk mengetahui berbagai hal (fenomena) adalah mengeksplorasi kesadaran manusia. Jadi, fenomenologi pada prinsipnya adalah eksplorasi yang sistematik dan penuh atas kesadaran manusia.[8]
Untuk memahami fenomenologi Husserl, orang harus paham istilah noema.Noema adalah kumpulan semua sifat objek.Noema ini tidak lain hanyalah sebuah generalisasi ide tentang makna mengenai lapangan segala tindakan. Jadi, dengan membedakan antara sebuah ekspresi makna dengan rujukannya, seorang menerangkan penggunaan makna dari ekspresi-ekspresi yang tidak ada rujukannya.Noema ini memiliki dua komponen: pertama, “objek meaning”yang menyatukan berbagai macam komponen dari pengalaman kita kepada pengalaman-pengalaman dari berbagai ciri sebuah objek. Kedua, “the thetic”, yaitu yang membedakan tidakan-tindakan yang berbeda-beda, misalnya tidakan merasakan sebuah objek dengan tindakan mengingat atau memikirkannya.Dalam tindakan merasa, noema tidak dibatasi oleh permukaan-permukaan sensori kita.Tetapi batasan ini tidak menggiring kepada satu kemungkinan saja.Bisa saja dalam satu situasi kita merasakan kehadiran manusia, tetapi disaat berikutnya melihat seseorang itu sebagai sebuah boneka.Hal ini terjadi sesuatu dengan perubahan noema.Perubahan noema ini terjadi karena perasaan itu tidak dapat diyakini.[9]
Melihat periode perkembangan pemikirannya, maka fenomenologi Husserl dapat dibagi kepada empat periode: pertama, ia berangkat dari matematika dan ini disebut periode pra-fenomenologi. Kedua, awal fenomenologi sebagai korelasi subjektif atas logika murni sebagai tahapan usaha epistimologis yang terbatas.Ketiga, fenomenologi dianggap sebagai “the first philosophy”.Keempat, sebagai periode “pengatasan” idealisme.[10]
2.      Karya-karya Edmund Huserrl
Beberapa karya Husserl yang diterbitkan selama dia hidup adalah:
a.       Fisafat Aritmatik
b.      Peneyelidikan Logika, dua jilid (1900-1991)
c.       Ide Mengenai Fenomenologi Murni dan sebuah filsafat fenomenologis, jilid 1 (1913). Jilid 2 dan 3 terbit tahun 1952
d.      Krisis Ilmu Pengetahuan Dan Fenimenologi Transendental
Saat meninggal Husserl banyak meninggalkan manuskrip.Arsip-arsip tersebut kemudian diterbitkan.
a.       Ide Mengenai Fenomenologi (1950)
b.      Fisafat Pertama
c.       Psikologi Fenomenologis (1956)
d.      Fenomenologi Kesadaran Waktu Mengenai Waktu (1966)
e.       Analisis Sintesis Pasif (1966)
f.       Pengalaman dan Keputusan
g.      Dunia, Saya, dan Waktu (1955)[11]
3.      Filsafat Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata “phainein” yang berarti memperlihatkan dan “pheinemenon” yang berarti sesuatu yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan “back to the things themselves” atau kembali kepada benda itu sendiri. Fenomenologi adalah suatu aliran yang menbicarakan fenomena atau segala sesuatau yang menampakkan diri.[12]
Menurut Orleans,  Fenomenologi berupaya mengungkap bagaimana aksional, situasi sosial dan masyarakat sebagai produk kesadaran manusia. Fenomenologi beranggapan bahwa masyarakat adalah hasil konstruksi manusia.Teknik fenomenologi dalam sosiologi lebih dikenal dengan “pengurungan”.Pendekatan ini melakukan serangkaian investigasi dari makna konteks dalam pandangan dunia umum, yang semuanya tergantung penafsiran.Reduksi dari pengurungan fenomena adalah teknik untuk mencapai teori yang bermakna dari elemen kesadaran.Fenomenologi merupakan analisis deskriptif dan introspektif tentang kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung yang meliputi inderawi, konseptual, moral, estetis dan religius.Fenomenologi adalah suatu metode yang secara sistematis berpangkal pada pengalaman dan melakukan pengolahan-pengolahan pengertian.[13]
Istilah fenomenalogi diperkenalkan oleh seorang filosof dan matematikawan berkebangsaan Swiss-Jerman Johaninn Heinrich Lambert dalam bukunya “NeuesOrganon” yang diterbitkan pada 1764. Lambert mamaknai istilah Yunani tersebut dengan pengertian “TheSettingforthorArticulationofWhatShowsItself” (pengaturan atau artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan istilah ini untuk mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.[14]
Immanuel Kant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang imanen (noumena) dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena). Namun dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut sebagai peletak dasar-dasar.
Dalam bukunya “The Phenomenology of The Spirit” yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen).Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[15]
Edmund Husserl mengajukan konsepsi yang berbeda dengan para pendahulunya mengenai proses keilmuan. Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang berbeda pada dirinyalepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri atau menurut ungkapan Martin Heideger “sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.Noumena membutuhkan tempat tinggal (unterkunft) ruang untuk berada, ruang itu adalah manusia.[16]
Fenomenologi Husserl diawali dengan konsep intensionalitas.Semua kesadaran merujuk pada satu isi, entah isi itu nyata atau khayalan.Contoh kasusnya adalah seseorang yang takut pada hantu.Orang yang taku pada hantu merupakan sebuah kenyataan, tidak peduli apakah kita percaya pada hantu atau tidak. Demikian juga pada halnya pada seseorang yang percaya bahwa besok akan terjadi hujan. Kepercayaan orang terhadap kemungkinan kejadian besok hujan merupakan sebuah kenyataan tidak peduli apakah besok benar-benar hujan atau tidak.
Husserl menjelaskan bahwa intensionalitas pikiran seseorang tidak dapat memisahkan kondidi kesadaran dari objek dari kesadaran itu.Keduanya adalah dua aspek dari fenomena tunggal. Hal ini mengarahkan Husserl untuk menyimpulkan bahwa kesadaran adalah “ perhatian terhadap objek”. Kondisi kesadaran oleh mental dan objek yang menjadi perhatian mental itu ada bersama-sama tanpa harus bersifat “material”. Husserl kemudian sampai pada tuntutan filsafatnya untuk memahami berbagai cara mental untuk memberikan “perhatian” terhadap objek.[17]
4.      Metode Filsafat Fenomenologi
Dalam metode fenomenologinya, Husserl mengkontraskannya dengan kaum naturalis, terutama pendiriaannya mengenai alam nyata.Ia berkata “saya menyadari tentang alam yang luasnya tak terbatas dan berada di dalam waktu yang tak terhingga. Saya temui alam ini secara langsung sebagaimana adanya dan saya hidup di dalamnya. Melalui penglihatan, peradaban, pendengaran, dan sebagainya, dan dengan cara sensoris yang berbeda, semua hal lahiriah memang hadir di depan saya secara sederhana baik secara verbal maupun figuratif, apakah dengan mencurahkan perhatian terhadap fenomena tersebut atau tidak, misalnya dengan menyibukkan diri mempertimbangkannya, memikirkannya, merasakannya atau menghasratinya. Akan tetapi, bagi saya alam ini tidaklah semata-mata alam nyata beserta hukum-hukumnya, namun dalam pada itu alam memiliki nilai-nilai, kebaikan-kebaikan, dan nilai praktisnya.Berbagai rupa di alam ini saya temui dalam keadaan lengkap tidak hanya kualitas yang serasi dengan alam ini sendiri, tetapi juga sifat-sifat nilainya seperti cantik-jelek, cocok-tidak cocok, senang susah dan sebagainya.” Menurut Husserl, fakta yang ada di alam nyata ini semuanya dianggap ilusi atau halusinasi. Eksistensi alam faktual seperti itu adalah pendirian kaum naturalis dan menjadi tujuan dari ilmu-ilmu kealaman. Pendirian itu semua harus dilucuti dari kesadaran kita, meskipun ia tetap saja eksis. Jadi menurut Husserl, kita harus “meragukan” fakta alam ini secara keseluruhan.Metode pengaruh terhadap alam nyata inilah yang disebut dengan “bracketing”.[18]
Metode yang digunakan untuk mencari yang esensial adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengai dengan prasangka (presuppositionlessness).Dalam hubungan ini Husserl menjelaskan “Yang pertama, kita harus menghilangkan dari tindakan kita semua keyakinan yang kita miliki sampai sekarang, termasuk semua pengetahuan kita.Biarkan ide itu menuntun semua meditasi kita pada pertama kalinya menjadi ide Cartesian mengenai suatu ilmu yang akan di kukuhkan secara radikal dan murni yang pada akhirnya merangkul semua ilmu pengetahuan”.
Husserl dalam hal ini mengajukan metode epoche.Kataepocheberasal dari bahasa Yunani yang berarti “menunda keputusan” atau “mengkosongkan diri dari keyakinan tertentu”.Epochebisa berarti juga tanda kurung (breaketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang tampil, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.Dalam hal ini Husserl mengatakan, bahwa epochemerupakan thesis of the natural standpoint(tesis tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-brnar natural tanpa dicampuri oleh presuposisi pengamat.
Metode  epochemerupakan langkah pertama untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu. Langkah kedua, Husserl menyebutnya dengan eideticvision atau membuat ide (ideation).Eideticvision ini juga disebut “reduksi”, yakni menyaring fenomena untuk sampai ke eideos-nya, sampai ke intisarinya atau yang sejatinya (wesen). Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenchau, artinya sampai pada hakikatnya.[19]
Dalam buku lain disebutkan, untuk memahmi filsafat Husserl, ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui: 1) fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung juga nomena(sesuatu yang berada dibalik fenomena); 2) pengamatan adalah aktivitas spiritual atau ruhani; 3) kesadaran adalah sesuatu yang intensional(terbuka dan terarah pada subjek); 4) substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan struktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.
Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan Husserl usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari:
a.       Reduksi fenomenologi, harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semuni-murninya.
b.      Reduksi eiditis, menyaring atau menempatkan dalam tanda kurung sebagai hal bukan eidosatau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
c.       Reduksi transendental, kita sampai pada subjek murni. Semua yang tidak ada hubungannya dengan kesadaran murni harus dikurungkan. Dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Dengan kata lain, metode fenomenologi itu di tetapkan karena subjeknya sendiri, pada perbuatannya, dan pada kesadaran yang murni.[20]
B.     Pengaruh Filsafat Fenomenologi Terhadap Praktis (Metodologi) Keilmuan Modern
Pengaruh Husserl tidak hanya berlaku dalam aliran fenomenologi,  pengaruhnya juga berlaku terhadap filsafat eksistensi dan neo-thomisme, dan dalam batas-batas tertentu tampak di mana-mana dalam filsafat dewasa ini. Juga di luar bidang filsafat besar pengaruhnya, dalam ilmu hukum, ilmu bahasa, serta ilmu kesusastraan, dan khususnya dalam sosiologi serta psikologi.Pada ajaran Husserl kita dapati kembali dengan sangat jelas perpalingan dari genesa ke struktur.Bekat ajarannya, “Gesaltpsychologie” memperoleh bentuknya.Baru pada ajaran Husserl pada usianya yang lebih lanjut terkuak kembali arti penting historitas.[21]  Dengan kata lain zaman kita sekarang ini dipengaruhi secara pasti oleh filsafat fenomenologi yang dimunculkan oleh Edmund Husserl.
1.      Fenomenologi dalam Agama
Agama sebagai sebjek penelitian emperis dan mulai menelitinya sebagai realita manusia, niscaya menuntut tidak hanya upaya yang sungguh-sungguh tetapi juga keteguhan hati dan keberanian.Salah satu lapangan utama yang secara tradisional dianggap “irasional” dibuka tidak hanya terhadap penelitian filosofis tetapi juga penelitian rasional.[22]
Pendekatan fenomenologi ialah merupakan ilmu filsafat yang termasuk kedalam kategori bidang epistemologi.Maka dari itu, “filsafat sentiasa bersifat menyeluruh (kompherensif), Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagan konsepsional yang memadai untuk dunia tempat kita hidup, maupun untuk diri kita sendiri.dikatakan bahwa ilmu memberi penjelasan tentang kenyataan yang empiris yang dialami, Filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan mengenai ilmu itu sendiri, filsafat mencari kebenaran tentang segala sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakan dalam bentuk yang paling umum.”[23]
Fenomenologi agama merupakan aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti.Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya.Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.[24]
Menurut Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logik, etik, transendental).Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya.Selain itu menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti metode-metode ilmu alam (naturalsciences) dan bebas nilai (valuefree), maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (valuebound) seperti kemanusiaan dan keadilan.[25]
2.      Fenomenologi dalam Ilmu-ilmu Sosial
dalam kaitannya dengan ilmu sosial, memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep labenswelt(dunia kehidupan). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.Dunia kehidupan dalam konsep Husserl bisa dipahami kurang lebih, dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek.Dunia kehidupan ini adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur sehari-hari yang kita alami dan jalani, sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah labenswelt tersebut untuk menemukan “endapan makna” yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.Maka meskipun pemahaman terhadap makna dilihat dari sudut intensinalitas(kesadaran) individu.Namun “akurasi” kebenarannya sangat ditentukan (atau mungkin, dijamin) oleh aspek intersubjektif.Dalam arti, sejauh mana “endapan makna” yang ditemukan itu benar-benar direkonstruksi dari dunia kehidupan sosial, di mana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan berharga dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol, yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya.inti artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terbisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.[26]
3.      Fenomenologi dalam Praktik Bisnis
Filsafat Husserl tentang fenomenologi pada dasarnya sangat sesuai dengan keja pikiran seorang praktisi bisnis.Pelaku bisnis biasanya bekerja berdasarkan hasil pengamatan terhadap lingkungannya yang ditangkap sebagai fenomena. Fenomena yang ditangkap pelaku bisnis itu sebenarnya sama saja dengan yang ditangkap oleh seorang yang bukan pelaku bisbis. Yang membedakan adalah kesadaran subjektif yang dimiliki oleh pelaku bisnis berbeda dari orang yang bukan pelaku bisnis.Jika pelaku bisnis menangkap suatu fenomena, kesadaran subjektifnya bekerja memberikan dorongan tertentu yang disebut sebagai intuisi bisnis. Di sinislah pelaku bisnis menemukan apa yang disebut peluang bisnis. Kesadaran terhadap peluang bisnis bersifat intuitif, yaitu keyakinan mengenai adanya peluang untuk melakukan aktivitas bisnis. Proses kesadaran subjektif semacam ini tidak dimiliki oleh orang lain yang bukan pebisnis, walaupun mereka mengalami suatu fenomena yang sama.[27]
4.      Fenemenologi dalam Psikologi
Istilah fenomenologi psikologis merujuk pada fenomenologi sebagai metode yang diterapkan pada masalah-masalah psikologis atau digunakan pada penyelidikan taraf psikologis.Dalam konteks ini, fenomenologi psikologis dibedakan dari fenomenologi filosofis atau fenomenologi transendental yang seperti kita ketahui, merupakan suatu prosedur filsafat yang diarahkan pada pencapaian esensi berbagai hal dan pada pengetahuan tentang realitas pokok.Fenomenologi psikologis adalah suatau prosedur yang lebih terbatas dan spesifik, yang dirancang untuk mengeksplorasi kesadaran dan pengalaman manusia yang segera atau langsung.Fenomenologi psikologis bisa juga didefinisikan sebagai observasi dan deskripsi yang sistematis atas pengalaman individu yang sadar atas situasi tertentu. Karl Jasper mendefinisikan fenomenologi psikologis sebagai “deskripsi yang paling lengkap dan cermat mengenai apa yang dialami oleh orang yang sehat maupun orang yang sakit”. Pengeksplorasian kesadaran menunjuk baik pada tindakan-tindakan maupun pada isi-isi kesadaran dengan objek-objek dan makna-maknanya.Data fenomenal yang dieksplorasi mencakup presepsi-prespsi, perasaan-perasaan, ingatan-ingatan, gambaran-gambaran, gagasan-gagasan, dan berbagai hal lainya yang hadir dalam kesadaran.Semua data fenomenal itu diterima dan dideskripsikan sebagaimana adanya, tanpa pengandaian-pengandaian atau transformasi-transformasi.Pengetahuan yang telah lewat, corak-corak berfikir, dan penyimpangan-penyimpangan teoritis harus disingkirkan untuk sementara waktu disimpan dalam tanda kurung agar kita bisa memandang dunia fenomenal dalam segenap kenyataan dan kemurniannya.Robert MacLeod menyebut sikap demikian sebagai sikap kesederhanaan yang tertib (an attitude of disciplined naivete).[28]
5.      Fenomenologi dalam Penelitian Kualitatif
Fenomenologi sudah sangat lama dijadiakan pendekatan penelitian pada penelitian berjenis kualitatif karena fenomenologi merupakan pendekatan  penelitian yang mengidentifikasi pengalaman manusia tentangfenomena-fenomena dalam kehidupan. Dalam Mengidentifikasi penglaman-pengalamn hidup manusia tersebut, fenomenologi sebagai suatu pendekatam penelitian yang mengharuskan peneliti untuk menelitiobjekpenelitian dengan terlibat secara langsung dan dengan waktu yang lama untuk mengetahui fenomena yang sedang diteliti.Dalam kegiatan peneliti ini, peneliti harus melepas terlebih dahulu pengalaman-pengalaman pribadinya agar dapat memahami pengalaman-pengalaman objek yang diteliti.
Penelitaian bedasar pada pendekatan fenomenologi harus melihat objek penelitian dalam keadaan semurni-murninya. Artinya seorang peneliti kualitatif yang menggunakan pendekatan fenomenologi melihat suatu peristiwa tidak secara parsial, lepas dari konteks sosialnya karena suatu fenomena yang sama dalam situasi yag berbeda akan pula memiliki makna yang berbeda. Untuk itu dalam mengumpulkan data dari lapangan, seorang peneliti tidak dapat melepas konteks situasi yang menyertainya.Muhajir menggunakan penenlitian dengan menggunakanm pendekatan fenomenologi menurut besarnya subjek penelitian dengan subjek pendukung objek penelitian.Dengan demikian metode penelitian berlandaskan fenomenologi mengakui adanya empat kebenaran, 1) kebenaran terindra, 2) Kebenaran empiris, 3) kebenaran logis, 4) kebenaran transendental.[29]
C.    Analisis
Filsafat femomenolagi menyatakan bahwa sikap, perilaku atau pola hidup manusia bardasarkan pada kenyataan alam yang berupa fenomena yang ada disekelilingnya, dan dipengaruhi oleh keperibadian di mana ia bergaul dalam lingkungan tempat hidupnya. Disamping itu, fenoemnologi menyatakan bahwa pola hidup manusia itu merupakan sesuatu hal tidak terlepas dari usur-unsur yang sangat mendasar diantaranya “unsur sebab-akibat, bentuk-bentuk pengetahuan, dan macam-macam pengetahuan”.
Dengan adanya tiga unsur di atas,  maka  dalam hal ini,  unsur sebab-akibat merupakan unsur yang tidak terlepas didalam pendekatan fenomenologi, unsur ini sangat berhubungan dengan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, dan menyebabkan hasil  yang nyata dari  kedua tersebut. Dan apabila kedua aspek tersebut dipisahkan antara satu dengan yang lainnya maka ia tidak akan menghasilkan karya yang sangat baik. Oleh sebab itu, sesuatu kajadian yang ada dihadapan kita pasti disebabkan oleh pengaruh dan faktor-faktor yang ada dilapangan.
Dalam unsur bentuk-bentuk pengetahuan, dalam unsur ini akal merupakan hal yang sangat mendasar untuk mengalami, memahami serta berfikir, bahkan dalam hal ini akal mempunyai cara-cara tertentu untuk memikirkan hal-hal yang ada dilapangan untuk dijadikan suatu kenyatan.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang dikemukakan diatas, maka fenomenologi haruslah kembali pada data pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya.Ia akan mengacu pada sistem pemikiran yang sangat ekslusif, sebagimana pemahaman yang berkembang sebelumnya dan dengan cara atau metode dalam mendekati permasalahan.
Dengan itu, fenomenologi akan menemukan hakekat realitas yang akan diperoleh manakala subjek dan kesadaran manusia menemukan kesadaran yang murni dengan jelas membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari agar sampai pada gambaran-gambaran yang esensial atau instuisi esensi. Ini bukan berarti bahwa aspek-aspek tertentu dari suatu benda tidak dihargai atau ditolak tetapi sedapat mungkin aspek-aspek tersebut tidak diperhatikan dulu.
Sebagaimana aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, fenomenologi juga bisa digunakan untuk berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, psikologi, dan studi-studi agama, semua ini menpunyai kesamaan umum dalam hal objek penelitian dan menanpakan diri dalam kesadaran. Disamping itu, pendekatan studi agama akan memperbandingkan berbagi macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama untuk mendapatkan kejelasan dalam menelaah kepastiaan.
Dalam surat An-Nahl ayat 78 Allah berfirman:
yang Artinya: “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”
Ayat diatas telah menyatakan bahwa, sesuatau hal yang terjadi dan nampak oleh pola nalar kita yang ada dihadapan secara langsung disebabkan karena ada penyebab yang pasti dan dapat diteliti secara langsung berdasarkan pengalaman dan fakta yang ada dilapangan.Fenomena-fenomena yang muncul dalam kehidupan sehari-hari kita merupakan suatu keadaan yang harus kita lihat, dengarkan, dan kita renungkan dengan tujuan agar kita dapat lebih dekat kepada Allah serta menjadi hamba-Nya yang senantiasa bersyukur.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Edmund Husserl adalah orang yang pemikirannyadianggapsebagaidasardarifilsafatfenomenologi, Huserldilahirkandari orang tuaYahudi di popinsiProssnizts,  Moravia,padatahun1859. Dan meninggaltahun 1938 padausia 79 tahundi Breisgau, Freiburg Jerman.
Tugasutamafenomenologimenurut Husserl adalahmenjalinketerkaitanmanusiadenganrealitas.Bagi Husserl, realitasbukansesuatu yang berbedapadadirinyalepasdarimanusia yang mengamati. Realitasitumewujudkandiriataumenurutungkapan Martin Heideger “sifatrealitasitumembutuhkankeberadaanmanusia”.Noumenamembutuhkantempattinggal (unterkunft) ruanguntukberada, ruangituadalahmanusia.
Metode yang digunakanuntukmencari yang esensialadalahdenganmembiarkanfenomenaituberbicarasendiritanpadibarengaidenganprasangka (presuppositionlessness).Dalamhubunganini Husserl menjelaskan “Yang pertama, kitaharusmenghilangkandaritindakankitasemuakeyakinan yang kitamilikisampaisekarang, termasuksemuapengetahuankita.Biarkan ide itumenuntunsemuameditasikitapadapertamakalinyamenjadi ide Cartesian mengenaisuatuilmu yang akan di kukuhkansecararadikaldanmurni yang padaakhirnyamerangkulsemuailmupengetahuan”.
Pengaruh Husserl tidakhanyaberlakudalamaliranfenomenologi,  pengaruhnyajugaberlakuterhadapfilsafateksistensidanneo-thomisme, dandalambatas-batastertentutampak di mana-manadalamfilsafatdewasaini. Juga di luarbidangfilsafatbesarpengaruhnya, dalamilmuhukum, ilmubahasa, sertailmukesusastraan, dankhususnyadalamsosiologisertapsikologi.Padaajaran Husserl kitadapatikembalidengansangatjelasperpalingandarigenesakestruktur.Barupadaajaran Husserl padausianya yang lebihlanjutterkuakkembaliartipentinghistoritas.Dengan kata lainzamankitasekaranginidipengaruhisecarapastiolehfilsafatfenomenologi yang dimunculkanoleh Edmund Husserl.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar,Amsal, 2004, FilsafatIlmu, Jakarta: Rajawali Pers.
Connolly, Peter, 2009, Aneka PendekatanStudi Agama,Yogyakarta: LkiS.
Delfgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, Yogyakarta: PT Tiara WacanaYogya.
Dimyati, Mochammad, 2000, PenelitianKualitatif: ParadigmaEpistemologi, Pendekatan, MetodedanTerapan, Malang: PPS UniversitasNegeri Malang.
Djumransjah, 2006, FilsafatPendidikan, Malang: Bayumedia Publishing.
HenrykMisiak& Virginia Staudt Sexton, 2005, PsikologiFenomenologi, EksistensialdanHumanitik, SuatuSurveiHistoris, Bandung: PT. RefikaAditama.
Idrus, Muhammad, 2001, MetodePenelitianIlmuSosialPendekatanKualitatifdanKuantitatif, Yogyakarta.
Jokosiswanto, 1998, Sistem-sistemFiasafat Barat, Yogyakarta: PustakaPelajar.
Kamisa, 1997, KamusLengkapBahasa Indonesia, Surabaya: Kartika.
Kattsoff, Louis O., 2004, PengantarFilsafat, Yogyakata: Tiara Wacana.
Maksum, Ali, 2010, PengantarFilsafat: Dari MasaKlasikHinggaPostmodernisme,Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhadjir,Noeng, 1989, MetodologiPenelitianKualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muslih, Mohammad, 2006, FilasafatIlmu, KajianAtasAsumsiDasarParadigmadanKerangkaTeoriIlmuPengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Phenomenology of Religion,Http:wikipidia.org, diakses 22 September 2014 jam 23:11.
Praja, Juhana S., 2005, Aliran-AliranFilsafatdanEtika, Bandung: Kencana.
Rev. Emeka C. Ekeke&ChikeEkeopara, 2010, Phenomenological Approach to The Study of Religion A Historical Perspective, European Journal of Scientific Research, Vol. 44, No. 2.
Samuel Enoch Stumpf& James Fieser, 2003, Socrates to Sartre and Beyond A history of Philosophy, Seventh Edition, New York: McGraw-Hill Companies.
Yuana, Kumara Ari, 2010, The Gratest Philosophers, 100 TokohFilsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang MenginspirasiDuniaBisnis, Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Zubaedidkk, Filsafat Barat, 2007, Dari LogikaBaru Rene Descartes hinggaRevolusiSainsala Thomas Kuhn,Jogjakarta: Ar-Ruz Media.




[1]Djumransjah, FilsafatPendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 4.
[2]Djumransjah, FilsafatPendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 13.
[3]Kamisa, KamusLengkapBahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1997), hlm. 163.
[4]AmsalBakhtiar, FilsafatIlmu, (Jakarta: RajawaliPers, 2004), hlm. 149.
[5]MochammadDimyati, PenelitianKualitatifParadigmaEpistemologi, Pendekatan,MetodedanTerapan, (Malang: PPS UniversitasNegeri Malang, 2000), hlm. 70.
[6] Samuel Enoch Stumpf & James Fieser, Socrates to Sartre and Beyond A history of Philosophy, Seventh Edition, (New York: McGraw-Hill Companies, 2003), hlm. 445-446.
[7] Samuel Enoch Stumpf & James Fieser, Socrates to Sartre and Beyond A history of Philosophy, Seventh Edition, (New York: McGraw-Hill Companies, 2003), hlm. 447.
[8] Henryk Misiak & Virginia Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanitik, Suatu Survei Historis, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm. 6.
[9] Zubaedi dkk, Filsafat Barat, Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2007), hlm. 125-126.
[10]Jokosiswanto, Sistem-sistem Fiasafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 97.
[11] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 189-190.
[12] Juhana S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Bandung: Kencana, 2005), hlm. 179.
[13] Mochammad Dimyati. Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan,Metode dan Terapan, (Malang: PPS Universitas Negeri Malang. 2000),  hlm. 70.
[14] Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, Phenomenological Approach to The Study of Religion A Historical Perspective, European Journal of Scientific Research, Vol. 44, No. 2, 2010, hlm. 267.
[15] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama,, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 110.
[16] Mohammad Muslih, Filasafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2006), hlm. 128.
[17] Kumara Ari Yuana, The Gratest Philosophers, 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2010), hlm. 288.
[18] Zubaedi dkk, Filsafat Barat, Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2007), hlm. 127.
[19] Mohammad Muslih, Filasafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2006), hlm. 128.
[20] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 191-193.
[21] Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001), hlm. 109.
[22]Peter Connolly, Aneka Pendekatan Stuidi Agama, (Yogyakarta LkiS, 2002), hlm. 106.
[23] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakata: Tiara Wacana, 2004), hlm. l21.
[24]Http:wikipidia.org, phenomenology of religion, diakses 22 September 2014 jam 23:11.
[25]Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 183.
[26] Mohammad Muslih, Filasafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2006), hlm. 130-134.
[27] Kumara Ari Yuana, The Gratest Philosophers, 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2010), hlm. 289.
[28] Henryk Misiak & Virginia Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanitik, Suatu Survei Historis, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm. 19-21.
[29] Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Yogyakarta: Erlangga, 2001), hlm. 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar