BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Filsafatdanpikiranmanusiaadalahduahal
yang tidakbisadipisahkan, karenafilsafatbrkaitaneratdengansegalahal yang
dapatdipikirkanolehmanusia.Filsafatberhubungandenganapa yang dipikirkan,
caraberfikir,danprosesberfikir, yang nantinyaakanmenghasilkanbuahhasilpikiran.
FilsafatberasaldaribahasaYunani,
yaituphilosdanshopiayang
berarticintakebijaksanaanataubelajar.Lebihdariitu,
dapatdiartikancintabelajarpadaumumnyahanyaadapadafilsafat.Untukalasantersebut,
makaseringdikatakanbahwafilsafatmerupakanindukatauratuilmupengetahuan.[1]
Dalamilmupengetahuan,
filsafatmempunyaikedudukansentral, danasalataupokok.Karena,
filsafatpadaawalnyamerupakansatu-satunyausahamanusia di
bidangkerohanianuntukmencapaikebenaranpengetahuan.Kemudian, timbullahpenyelidikanmengenaihal-halkhusus
yang
sebelumnyamasukdalamlingkunganfilsafat.Jikapenyelidikantersebutmencapaitingkattinggi,
makacabangpenyelidikanitumelepaskandiridarifilsafat,
menjadicabangilmupengetahuanbaru yang berdirisendiri. Akan tetapi, tidakberartiilmupengetahuanitusamasekalitidakmembutuhkanbantuanfilsafat.[2]
Di
dalamfilsafatterdapatistilahepistemologi yang merupakancabangilmufilsafat, yang
memilikipengertianbagianilmufilsafat yang
berkenaandengandasardanbatas-bataspengetahuan.[3]EpistemologiberasaldaribahasaYunani,
episteme, yang berartipengetahuandanlogos yang
berartiilmu.Istilahepistemilogimunculsekitarabad ke-5
berawaldarikeraguanterhadapkemampuanmanusiamengetahuirealitas,
seberapajauhpengetahuankitamengenaikodratbenar-benarkenyataanobjektif, seberapajauh
pula
merupakansumbangansubjektifmanusia?.Apakahkitamempunyaipengetahuanmengenaikodratsebagaimanaadanya?.Sikapskeptisinilah
yang mengawalimunculnyaepistemologi.[4]Epistemologiilmudiharapkanmampumemberikanalternatifpemecahanpermasalahan
yang dihadapiolehumatmanusia.
Epistimologifenomenologiadalahmerupakananalisisdeskriptifdanintrospektiftentangkedalamandarisemuabentukkesadarandanpengalamanlangsung
yang meliputiinderawi, konseptual, moral, estetisdanreligius.Fenomenologiadalahsuatumetode
yang secarasistematisberpangkalpadapengalamandanmelakukanpengolahan-pengolahanpengertian.[5]
Buahpikiran yang dibangunoleh Edmund
Husserlinilah yang akandibahasdalammakalahini, tentanngpemikiran Edmund Husserl
danbagaimanapengaruhnya.
B.
RumusanMasalah
1.
Bagaimanapemikiranfilsafatfenomenologi
Edmund Husserl?.
2.
Bagaimanapengaruhfilsafatfenomenologiterhadappraktis
(metodologi) keilmuan modern?.
C.
TujuanPembahasan
1.
Untukmenjelaskantentangpemikiranfilsafatfenomenologi
Edmund Husserl.
2.
Untukmenjelaskantentangpengaruhfilsafatfenomenologiterhadappraktis
(metodologi) keilmuan modern.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat
Fenomenologi Edmund Husserl
1.
Biografi dan
Tahapan Pemikiran Edmund Husserl (1859 – 1938)
Edmund Husserl was born of Jewish parents in the Moravian province
of Prossnizts in 1859, the same year in which Bergson and Dewey were born.
After his early education in that province, he went to the University of
Leipzig, where, from 1876 to 1878, he studied physics, astronomy, and
mathematics and found time to attend lectures by the philosopher Wilhelm Wundt.
Husserl continued his studies at the Friederich Wilhelm University in Berlin.
In 1881 he went to the University of Vienna where, in 1883, he earned his Ph.D.
for his dissertation on “Contributions to the Theory of Calculus of
Variations.” From 1884 to 1886, he attended the lectures of Franz Brentano
(1838-1917), who became a most significant influence on Husserl philosophical
development, especially through his lecture on Hume and John Stuart Mill and
his treatment of problem in ethics, psychology, and logic.On Brentano’s advice,
Husserl went to the University oh Halle, where in 1886 he became an assistant
under Carl Stumpf (1848-1936), the eminent psychologist under whose direction
he wrote his first book, philosophy of arithmetic (1891). His logical
investigation appeared in 1900, and the same year he was invited to join the
philosophy faculty at the University of Gottingen. It was here that Husserl spent
16 productive years, authoring a series of books developing his concept of
phenomenology. Because of his Jewish origins, Husserl was forbidden to
participate in academic activities after 1993. Although he was offered a
professorship by the University of Southern California, Husserl declined the
offer, and after several month of suffering, he died of pleurisy at the age of
79 at Freiburg in Breisgau.[6]
Husserl’s philosophy evolved gradually through several phase. His
early interest was in logic and mathematics. Next, he developed and early
version of phenomenology which focused chiefly upon a theory of knowledge.
Then, he moved on to a view of phenomenology as universal foundation for
philosophy and science. Finally he entered a phase in which the conception of
the life world (Levenswelt)became a more dominant theme in his phenomenology.
It is no wonder, then, that Husserl’s philosophy should have had a variety of
influences upon different scholars at various times. For example, Martin
Heidegger, who became Husserl’s assistant at Freiburg in 1920, was familiar
during his student days with Husserl’s work in logic and his earlier writings
in phenomenology. As his assistant from 1920-1923, Heidegger worked closely
with Husserl. Together they prepared an article on phenomenology for the
Encyclopedia Britannica. Heidegger also prepared some of Husserl’s earlier
lectures for publication. Even after Heidegger left in 1923 to become a
professor at Marburg, he continued his close association with Husserl. As time passed,
however, Heidegger found it difficult to share Husserl’s novel developments,
especially those dealing with transcendental phenomenology. In his major work,
Being and Time, Heidegger was critical of Husserl’s method and his distinctive
view of ego. By the time Heidegger succeeded to Husserl’s chair at Freiburg in
the fall of 1928, their relationship began to weaken and eventually came to an
end.[7]
Pemikiran Husserl mengalami modifikasi yang sinambung. Sejarawan
gerakan fenomenologi mencatat perbedaan antara pemikiran-pemikiran Husserl awal
dengan pemikiran-pemikiranya yang terakhir, terutama yang dijumpai dalam
tulisan-tulisannya yang diterbitkan sesudah ia meninggal. Salah satu konsep
Husserl yang terakhir adalah Lebenswelt(life world, dunia hidup, yakni
dunia pengalaman sehari-hari), yang mendapat tempat khusus dalam
tulisan-tulisan para fenomenolog dan eksistensialis kontemporer.
Suatu pendekatan untuk memahami fenomenologi adalah memandangnya
dengan referensi pada masalah filsafat yang paling tua dan paling mendasar:
apakah kaitan antara realitas objektif yang hadir di luar pemikiran dengan
pemikiran yang kita miliki tentang realitas objektif itu?, bagaimana dua dunia
itu, dunia pemikiran dan dunia realitas objektif saling berkaitan?, segenap
filsafat telah berusaha menjawab pertanyaan tersebut.Fenomenologi juga telah
membuat usaha serupa. Keberangkatannya bertolak dari afirmasi-afirmasi: 1)
pemikiran filosofis tidak bisa dimuali kecuali dari fenomena kesadaran. 2)
hanya fenomena yang membukakan pada kita, apa esensi sesuatu itu. Menurut
Husserl, pendekatan yang mungkin untuk mengetahui berbagai hal (fenomena)
adalah mengeksplorasi kesadaran manusia. Jadi, fenomenologi pada prinsipnya
adalah eksplorasi yang sistematik dan penuh atas kesadaran manusia.[8]
Untuk memahami fenomenologi Husserl, orang harus paham istilah noema.Noema
adalah kumpulan semua sifat objek.Noema ini tidak lain hanyalah sebuah
generalisasi ide tentang makna mengenai lapangan segala tindakan. Jadi, dengan
membedakan antara sebuah ekspresi makna dengan rujukannya, seorang menerangkan
penggunaan makna dari ekspresi-ekspresi yang tidak ada rujukannya.Noema
ini memiliki dua komponen: pertama, “objek meaning”yang menyatukan
berbagai macam komponen dari pengalaman kita kepada pengalaman-pengalaman dari
berbagai ciri sebuah objek. Kedua, “the thetic”, yaitu yang membedakan
tidakan-tindakan yang berbeda-beda, misalnya tidakan merasakan sebuah objek
dengan tindakan mengingat atau memikirkannya.Dalam tindakan merasa, noema
tidak dibatasi oleh permukaan-permukaan sensori kita.Tetapi batasan ini tidak
menggiring kepada satu kemungkinan saja.Bisa saja dalam satu situasi kita
merasakan kehadiran manusia, tetapi disaat berikutnya melihat seseorang itu
sebagai sebuah boneka.Hal ini terjadi sesuatu dengan perubahan noema.Perubahan
noema ini terjadi karena perasaan itu tidak dapat diyakini.[9]
Melihat periode perkembangan pemikirannya, maka fenomenologi
Husserl dapat dibagi kepada empat periode: pertama, ia berangkat dari
matematika dan ini disebut periode pra-fenomenologi. Kedua, awal fenomenologi
sebagai korelasi subjektif atas logika murni sebagai tahapan usaha epistimologis
yang terbatas.Ketiga, fenomenologi dianggap sebagai “the first philosophy”.Keempat,
sebagai periode “pengatasan” idealisme.[10]
2.
Karya-karya
Edmund Huserrl
Beberapa karya Husserl yang diterbitkan selama dia hidup adalah:
a.
Fisafat
Aritmatik
b.
Peneyelidikan Logika,
dua jilid (1900-1991)
c.
Ide Mengenai
Fenomenologi Murni dan sebuah filsafat fenomenologis, jilid 1 (1913). Jilid 2
dan 3 terbit tahun 1952
d.
Krisis Ilmu
Pengetahuan Dan Fenimenologi Transendental
Saat meninggal Husserl banyak
meninggalkan manuskrip.Arsip-arsip tersebut kemudian diterbitkan.
a.
Ide Mengenai
Fenomenologi (1950)
b.
Fisafat Pertama
c.
Psikologi
Fenomenologis (1956)
d.
Fenomenologi
Kesadaran Waktu Mengenai Waktu (1966)
e.
Analisis
Sintesis Pasif (1966)
f.
Pengalaman dan
Keputusan
g.
Dunia, Saya,
dan Waktu (1955)[11]
3.
Filsafat
Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata “phainein” yang berarti
memperlihatkan dan “pheinemenon” yang berarti sesuatu yang muncul atau
terlihat, sehingga dapat diartikan “back to the things themselves” atau
kembali kepada benda itu sendiri. Fenomenologi adalah suatu aliran yang
menbicarakan fenomena atau segala sesuatau yang menampakkan diri.[12]
Menurut Orleans, Fenomenologi berupaya mengungkap bagaimana
aksional, situasi sosial dan masyarakat sebagai produk kesadaran manusia.
Fenomenologi beranggapan bahwa masyarakat adalah hasil konstruksi
manusia.Teknik fenomenologi dalam sosiologi lebih dikenal dengan
“pengurungan”.Pendekatan ini melakukan serangkaian investigasi dari makna
konteks dalam pandangan dunia umum, yang semuanya tergantung penafsiran.Reduksi
dari pengurungan fenomena adalah teknik untuk mencapai teori yang bermakna dari
elemen kesadaran.Fenomenologi merupakan analisis deskriptif dan introspektif
tentang kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung yang
meliputi inderawi, konseptual, moral, estetis dan religius.Fenomenologi adalah
suatu metode yang secara sistematis berpangkal pada pengalaman dan melakukan
pengolahan-pengolahan pengertian.[13]
Istilah fenomenalogi diperkenalkan oleh seorang filosof dan
matematikawan berkebangsaan Swiss-Jerman Johaninn Heinrich Lambert dalam
bukunya “NeuesOrganon” yang diterbitkan pada 1764. Lambert mamaknai
istilah Yunani tersebut dengan pengertian “TheSettingforthorArticulationofWhatShowsItself”
(pengaturan atau artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan
istilah ini untuk mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam
upaya mengembangkan teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.[14]
Immanuel Kant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal
menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang imanen (noumena)
dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena). Namun dalam
perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut sebagai
peletak dasar-dasar.
Dalam bukunya “The Phenomenology of The Spirit” yang
diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan
pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan
apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan
pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan
kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang
absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami
melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi
(erschinugnen).Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu
pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau
kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan
manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan
sesuatu yang berbeda.[15]
Edmund Husserl mengajukan konsepsi yang berbeda dengan para
pendahulunya mengenai proses keilmuan. Tugas utama fenomenologi menurut Husserl
adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas
bukan sesuatu yang berbeda pada dirinyalepas dari manusia yang mengamati.
Realitas itu mewujudkan diri atau menurut ungkapan Martin Heideger “sifat
realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.Noumena membutuhkan tempat
tinggal (unterkunft) ruang untuk berada, ruang itu adalah manusia.[16]
Fenomenologi Husserl diawali dengan konsep intensionalitas.Semua
kesadaran merujuk pada satu isi, entah isi itu nyata atau khayalan.Contoh
kasusnya adalah seseorang yang takut pada hantu.Orang yang taku pada hantu
merupakan sebuah kenyataan, tidak peduli apakah kita percaya pada hantu atau
tidak. Demikian juga pada halnya pada seseorang yang percaya bahwa besok akan
terjadi hujan. Kepercayaan orang terhadap kemungkinan kejadian besok hujan
merupakan sebuah kenyataan tidak peduli apakah besok benar-benar hujan atau
tidak.
Husserl menjelaskan bahwa intensionalitas pikiran seseorang tidak
dapat memisahkan kondidi kesadaran dari objek dari kesadaran itu.Keduanya
adalah dua aspek dari fenomena tunggal. Hal ini mengarahkan Husserl untuk
menyimpulkan bahwa kesadaran adalah “ perhatian terhadap objek”. Kondisi
kesadaran oleh mental dan objek yang menjadi perhatian mental itu ada
bersama-sama tanpa harus bersifat “material”. Husserl kemudian sampai pada
tuntutan filsafatnya untuk memahami berbagai cara mental untuk memberikan
“perhatian” terhadap objek.[17]
4.
Metode Filsafat
Fenomenologi
Dalam metode fenomenologinya, Husserl mengkontraskannya dengan kaum
naturalis, terutama pendiriaannya mengenai alam nyata.Ia berkata “saya
menyadari tentang alam yang luasnya tak terbatas dan berada di dalam waktu yang
tak terhingga. Saya temui alam ini secara langsung sebagaimana adanya dan saya
hidup di dalamnya. Melalui penglihatan, peradaban, pendengaran, dan sebagainya,
dan dengan cara sensoris yang berbeda, semua hal lahiriah memang hadir di depan
saya secara sederhana baik secara verbal maupun figuratif, apakah dengan
mencurahkan perhatian terhadap fenomena tersebut atau tidak, misalnya dengan
menyibukkan diri mempertimbangkannya, memikirkannya, merasakannya atau
menghasratinya. Akan tetapi, bagi saya alam ini tidaklah semata-mata alam nyata
beserta hukum-hukumnya, namun dalam pada itu alam memiliki nilai-nilai,
kebaikan-kebaikan, dan nilai praktisnya.Berbagai rupa di alam ini saya temui
dalam keadaan lengkap tidak hanya kualitas yang serasi dengan alam ini sendiri,
tetapi juga sifat-sifat nilainya seperti cantik-jelek, cocok-tidak cocok,
senang susah dan sebagainya.” Menurut Husserl, fakta yang ada di alam nyata ini
semuanya dianggap ilusi atau halusinasi. Eksistensi alam faktual seperti itu
adalah pendirian kaum naturalis dan menjadi tujuan dari ilmu-ilmu kealaman.
Pendirian itu semua harus dilucuti dari kesadaran kita, meskipun ia tetap saja
eksis. Jadi menurut Husserl, kita harus “meragukan” fakta alam ini secara
keseluruhan.Metode pengaruh terhadap alam nyata inilah yang disebut dengan “bracketing”.[18]
Metode yang digunakan untuk mencari yang esensial adalah dengan
membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengai dengan prasangka (presuppositionlessness).Dalam
hubungan ini Husserl menjelaskan “Yang pertama, kita harus menghilangkan dari
tindakan kita semua keyakinan yang kita miliki sampai sekarang, termasuk semua
pengetahuan kita.Biarkan ide itu menuntun semua meditasi kita pada pertama
kalinya menjadi ide Cartesian mengenai suatu ilmu yang akan di kukuhkan secara
radikal dan murni yang pada akhirnya merangkul semua ilmu pengetahuan”.
Husserl dalam hal ini mengajukan metode epoche.Kataepocheberasal
dari bahasa Yunani yang berarti “menunda keputusan” atau “mengkosongkan diri
dari keyakinan tertentu”.Epochebisa berarti juga tanda kurung (breaketing)
terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang tampil,
tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.Dalam hal ini Husserl
mengatakan, bahwa epochemerupakan thesis of the natural standpoint(tesis
tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam
kesadaran adalah benar-brnar natural tanpa dicampuri oleh presuposisi pengamat.
Metode epochemerupakan
langkah pertama untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan lebih
dahulu. Langkah kedua, Husserl menyebutnya dengan eideticvision atau
membuat ide (ideation).Eideticvision ini juga disebut “reduksi”,
yakni menyaring fenomena untuk sampai ke eideos-nya, sampai ke
intisarinya atau yang sejatinya (wesen). Hasil dari proses reduksi ini
disebut wesenchau, artinya sampai pada hakikatnya.[19]
Dalam buku lain disebutkan, untuk memahmi filsafat Husserl, ada
beberapa kata kunci yang perlu diketahui: 1) fenomena adalah realitas esensi
atau dalam fenomena terkandung juga nomena(sesuatu yang berada dibalik
fenomena); 2) pengamatan adalah aktivitas spiritual atau ruhani; 3) kesadaran
adalah sesuatu yang intensional(terbuka dan terarah pada subjek); 4) substansi
adalah kongkret yang menggambarkan isi dan struktur kenyataan dan sekaligus
bisa terjangkau.
Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan Husserl usaha untuk
mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi atau penyaringan yang
terdiri dari:
a.
Reduksi
fenomenologi, harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat
fenomena dalam wujud semuni-murninya.
b.
Reduksi
eiditis, menyaring atau menempatkan dalam tanda kurung sebagai hal bukan eidosatau
intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
c.
Reduksi
transendental, kita sampai pada subjek murni. Semua yang tidak ada hubungannya
dengan kesadaran murni harus dikurungkan. Dari objek itu akhirnya orang sampai
kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Dengan kata lain, metode fenomenologi
itu di tetapkan karena subjeknya sendiri, pada perbuatannya, dan pada kesadaran
yang murni.[20]
B.
Pengaruh
Filsafat Fenomenologi Terhadap Praktis (Metodologi) Keilmuan Modern
Pengaruh
Husserl tidak hanya berlaku dalam aliran fenomenologi, pengaruhnya juga berlaku terhadap filsafat eksistensi
dan neo-thomisme, dan dalam batas-batas tertentu tampak di mana-mana
dalam filsafat dewasa ini. Juga di luar bidang filsafat besar pengaruhnya,
dalam ilmu hukum, ilmu bahasa, serta ilmu kesusastraan, dan khususnya dalam
sosiologi serta psikologi.Pada ajaran Husserl kita dapati kembali dengan sangat
jelas perpalingan dari genesa ke struktur.Bekat ajarannya, “Gesaltpsychologie”
memperoleh bentuknya.Baru pada ajaran Husserl pada usianya yang lebih lanjut
terkuak kembali arti penting historitas.[21] Dengan kata lain zaman kita sekarang ini
dipengaruhi secara pasti oleh filsafat fenomenologi yang dimunculkan oleh
Edmund Husserl.
1.
Fenomenologi
dalam Agama
Agama sebagai sebjek penelitian emperis dan mulai menelitinya
sebagai realita manusia, niscaya menuntut tidak hanya upaya yang
sungguh-sungguh tetapi juga keteguhan hati dan keberanian.Salah satu lapangan
utama yang secara tradisional dianggap “irasional” dibuka tidak hanya terhadap
penelitian filosofis tetapi juga penelitian rasional.[22]
Pendekatan fenomenologi ialah merupakan ilmu filsafat yang termasuk
kedalam kategori bidang epistemologi.Maka dari itu, “filsafat sentiasa bersifat
menyeluruh (kompherensif), Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu
bagan konsepsional yang memadai untuk dunia tempat kita hidup, maupun untuk
diri kita sendiri.dikatakan bahwa ilmu memberi penjelasan tentang kenyataan
yang empiris yang dialami, Filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan
mengenai ilmu itu sendiri, filsafat mencari kebenaran tentang segala sesuatu
dan kebenaran ini harus dinyatakan dalam bentuk yang paling umum.”[23]
Fenomenologi agama merupakan aspek pengalaman keagamaan, dengan
mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam
orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti.Pendekatan ini melihat
agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan
sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya.Fenomenologi
agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit,
dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan
akurat.[24]
Menurut Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan fenomenologi
dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logik, etik, transendental).Hanya saja
kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran
ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan
maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya.Selain itu
menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti metode-metode
ilmu alam (naturalsciences) dan bebas nilai (valuefree), maka
fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (valuebound)
seperti kemanusiaan dan keadilan.[25]
2.
Fenomenologi
dalam Ilmu-ilmu Sosial
dalam kaitannya dengan ilmu sosial, memperbincangkan fenomenologi
tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep labenswelt(dunia
kehidupan). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu
pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru ilmu-ilmu sosial serta untuk
menyelamatkan subjek pengetahuan.Dunia kehidupan dalam konsep Husserl bisa
dipahami kurang lebih, dunia sebagaimana manusia menghayati dalam
spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek.Dunia kehidupan
ini adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur sehari-hari
yang kita alami dan jalani, sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya
secara filosofis.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi
atas sejarah labenswelt tersebut untuk menemukan “endapan makna” yang
merekonstruksi kenyataan sehari-hari.Maka meskipun pemahaman terhadap makna
dilihat dari sudut intensinalitas(kesadaran) individu.Namun “akurasi”
kebenarannya sangat ditentukan (atau mungkin, dijamin) oleh aspek
intersubjektif.Dalam arti, sejauh mana “endapan makna” yang ditemukan itu
benar-benar direkonstruksi dari dunia kehidupan sosial, di mana banyak subjek
sama-sama terlibat dan menghayati.
Dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan berharga dari
fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol, yang
harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya.inti
artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terbisahkan dari proses terciptanya
suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.[26]
3.
Fenomenologi
dalam Praktik Bisnis
Filsafat Husserl tentang fenomenologi pada dasarnya sangat sesuai
dengan keja pikiran seorang praktisi bisnis.Pelaku bisnis biasanya bekerja
berdasarkan hasil pengamatan terhadap lingkungannya yang ditangkap sebagai
fenomena. Fenomena yang ditangkap pelaku bisnis itu sebenarnya sama saja dengan
yang ditangkap oleh seorang yang bukan pelaku bisbis. Yang membedakan adalah
kesadaran subjektif yang dimiliki oleh pelaku bisnis berbeda dari orang yang
bukan pelaku bisnis.Jika pelaku bisnis menangkap suatu fenomena, kesadaran
subjektifnya bekerja memberikan dorongan tertentu yang disebut sebagai intuisi
bisnis. Di sinislah pelaku bisnis menemukan apa yang disebut peluang bisnis.
Kesadaran terhadap peluang bisnis bersifat intuitif, yaitu keyakinan mengenai
adanya peluang untuk melakukan aktivitas bisnis. Proses kesadaran subjektif
semacam ini tidak dimiliki oleh orang lain yang bukan pebisnis, walaupun mereka
mengalami suatu fenomena yang sama.[27]
4.
Fenemenologi
dalam Psikologi
Istilah fenomenologi psikologis merujuk pada fenomenologi sebagai
metode yang diterapkan pada masalah-masalah psikologis atau digunakan pada
penyelidikan taraf psikologis.Dalam konteks ini, fenomenologi psikologis
dibedakan dari fenomenologi filosofis atau fenomenologi transendental yang
seperti kita ketahui, merupakan suatu prosedur filsafat yang diarahkan pada
pencapaian esensi berbagai hal dan pada pengetahuan tentang realitas
pokok.Fenomenologi psikologis adalah suatau prosedur yang lebih terbatas dan spesifik,
yang dirancang untuk mengeksplorasi kesadaran dan pengalaman manusia yang
segera atau langsung.Fenomenologi psikologis bisa juga didefinisikan sebagai
observasi dan deskripsi yang sistematis atas pengalaman individu yang sadar
atas situasi tertentu. Karl Jasper mendefinisikan fenomenologi psikologis
sebagai “deskripsi yang paling lengkap dan cermat mengenai apa yang dialami
oleh orang yang sehat maupun orang yang sakit”. Pengeksplorasian kesadaran
menunjuk baik pada tindakan-tindakan maupun pada isi-isi kesadaran dengan
objek-objek dan makna-maknanya.Data fenomenal yang dieksplorasi mencakup
presepsi-prespsi, perasaan-perasaan, ingatan-ingatan, gambaran-gambaran,
gagasan-gagasan, dan berbagai hal lainya yang hadir dalam kesadaran.Semua data
fenomenal itu diterima dan dideskripsikan sebagaimana adanya, tanpa
pengandaian-pengandaian atau transformasi-transformasi.Pengetahuan yang telah
lewat, corak-corak berfikir, dan penyimpangan-penyimpangan teoritis harus
disingkirkan untuk sementara waktu disimpan dalam tanda kurung agar kita bisa
memandang dunia fenomenal dalam segenap kenyataan dan kemurniannya.Robert
MacLeod menyebut sikap demikian sebagai sikap kesederhanaan yang tertib (an
attitude of disciplined naivete).[28]
5.
Fenomenologi
dalam Penelitian Kualitatif
Fenomenologi sudah sangat lama dijadiakan pendekatan penelitian
pada penelitian berjenis kualitatif karena fenomenologi merupakan
pendekatan penelitian yang
mengidentifikasi pengalaman manusia tentangfenomena-fenomena dalam kehidupan. Dalam
Mengidentifikasi penglaman-pengalamn hidup manusia tersebut, fenomenologi
sebagai suatu pendekatam penelitian yang mengharuskan peneliti untuk
menelitiobjekpenelitian dengan terlibat secara langsung dan dengan waktu yang lama
untuk mengetahui fenomena yang sedang diteliti.Dalam kegiatan peneliti ini,
peneliti harus melepas terlebih dahulu pengalaman-pengalaman pribadinya agar
dapat memahami pengalaman-pengalaman objek yang diteliti.
Penelitaian bedasar pada pendekatan fenomenologi harus melihat
objek penelitian dalam keadaan semurni-murninya. Artinya seorang peneliti
kualitatif yang menggunakan pendekatan fenomenologi melihat suatu peristiwa
tidak secara parsial, lepas dari konteks sosialnya karena suatu fenomena yang
sama dalam situasi yag berbeda akan pula memiliki makna yang berbeda. Untuk itu
dalam mengumpulkan data dari lapangan, seorang peneliti tidak dapat melepas
konteks situasi yang menyertainya.Muhajir menggunakan penenlitian dengan
menggunakanm pendekatan fenomenologi menurut besarnya subjek penelitian dengan
subjek pendukung objek penelitian.Dengan demikian metode penelitian
berlandaskan fenomenologi mengakui adanya empat kebenaran, 1) kebenaran
terindra, 2) Kebenaran empiris, 3) kebenaran logis, 4) kebenaran transendental.[29]
C.
Analisis
Filsafat femomenolagi menyatakan bahwa
sikap, perilaku atau pola hidup manusia bardasarkan pada kenyataan alam yang
berupa fenomena yang ada disekelilingnya, dan dipengaruhi oleh keperibadian di
mana ia bergaul dalam lingkungan tempat hidupnya. Disamping itu, fenoemnologi
menyatakan bahwa pola hidup manusia itu merupakan sesuatu hal tidak terlepas
dari usur-unsur yang sangat mendasar diantaranya “unsur sebab-akibat,
bentuk-bentuk pengetahuan, dan macam-macam pengetahuan”.
Dengan adanya tiga unsur di
atas, maka dalam hal ini, unsur sebab-akibat merupakan unsur yang tidak
terlepas didalam pendekatan fenomenologi, unsur ini sangat berhubungan dengan
dua aspek yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, dan
menyebabkan hasil yang nyata dari kedua tersebut. Dan apabila kedua aspek
tersebut dipisahkan antara satu dengan yang lainnya maka ia tidak akan
menghasilkan karya yang sangat baik. Oleh sebab itu, sesuatu kajadian yang ada
dihadapan kita pasti disebabkan oleh pengaruh dan faktor-faktor yang ada
dilapangan.
Dalam unsur bentuk-bentuk
pengetahuan, dalam unsur ini akal merupakan hal yang sangat mendasar untuk
mengalami, memahami serta berfikir, bahkan dalam hal ini akal mempunyai
cara-cara tertentu untuk memikirkan hal-hal yang ada dilapangan untuk dijadikan
suatu kenyatan.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang dikemukakan
diatas, maka fenomenologi haruslah kembali pada data pemikiran, yakni pada
halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya.Ia akan mengacu pada sistem
pemikiran yang sangat ekslusif, sebagimana pemahaman yang berkembang sebelumnya
dan dengan cara atau metode dalam mendekati permasalahan.
Dengan itu, fenomenologi akan
menemukan hakekat realitas yang akan diperoleh manakala subjek dan kesadaran
manusia menemukan kesadaran yang murni dengan jelas membebaskan diri dari
pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari agar sampai pada gambaran-gambaran
yang esensial atau instuisi esensi. Ini bukan berarti bahwa aspek-aspek
tertentu dari suatu benda tidak dihargai atau ditolak tetapi sedapat mungkin
aspek-aspek tersebut tidak diperhatikan dulu.
Sebagaimana aliran filsafat yang
berkembang sebelumnya, fenomenologi juga bisa digunakan untuk berbagai bidang
ilmu pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, psikologi, dan studi-studi
agama, semua ini menpunyai kesamaan umum dalam hal objek penelitian dan
menanpakan diri dalam kesadaran. Disamping itu, pendekatan studi agama akan
memperbandingkan berbagi macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam
agama untuk mendapatkan kejelasan dalam menelaah kepastiaan.
Dalam surat An-Nahl ayat 78 Allah
berfirman:
yang Artinya:
“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu apapun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani,
agar kamu bersyukur.”
Ayat diatas telah menyatakan bahwa,
sesuatau hal yang terjadi dan nampak oleh pola nalar kita yang ada dihadapan
secara langsung disebabkan karena ada penyebab yang pasti dan dapat diteliti
secara langsung berdasarkan pengalaman dan fakta yang ada dilapangan.Fenomena-fenomena
yang muncul dalam kehidupan sehari-hari kita merupakan suatu keadaan yang harus
kita lihat, dengarkan, dan kita renungkan dengan tujuan agar kita dapat lebih
dekat kepada Allah serta menjadi hamba-Nya yang senantiasa bersyukur.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Edmund
Husserl adalah orang yang
pemikirannyadianggapsebagaidasardarifilsafatfenomenologi, Huserldilahirkandari
orang tuaYahudi di popinsiProssnizts,
Moravia,padatahun1859. Dan meninggaltahun 1938 padausia 79 tahundi
Breisgau, Freiburg Jerman.
Tugasutamafenomenologimenurut
Husserl adalahmenjalinketerkaitanmanusiadenganrealitas.Bagi Husserl, realitasbukansesuatu
yang berbedapadadirinyalepasdarimanusia yang mengamati. Realitasitumewujudkandiriataumenurutungkapan
Martin Heideger “sifatrealitasitumembutuhkankeberadaanmanusia”.Noumenamembutuhkantempattinggal
(unterkunft) ruanguntukberada, ruangituadalahmanusia.
Metode
yang digunakanuntukmencari yang esensialadalahdenganmembiarkanfenomenaituberbicarasendiritanpadibarengaidenganprasangka
(presuppositionlessness).Dalamhubunganini Husserl menjelaskan “Yang
pertama, kitaharusmenghilangkandaritindakankitasemuakeyakinan yang
kitamilikisampaisekarang, termasuksemuapengetahuankita.Biarkan ide
itumenuntunsemuameditasikitapadapertamakalinyamenjadi ide Cartesian
mengenaisuatuilmu yang akan di kukuhkansecararadikaldanmurni yang
padaakhirnyamerangkulsemuailmupengetahuan”.
Pengaruh
Husserl tidakhanyaberlakudalamaliranfenomenologi, pengaruhnyajugaberlakuterhadapfilsafateksistensidanneo-thomisme,
dandalambatas-batastertentutampak di mana-manadalamfilsafatdewasaini. Juga di
luarbidangfilsafatbesarpengaruhnya, dalamilmuhukum, ilmubahasa,
sertailmukesusastraan, dankhususnyadalamsosiologisertapsikologi.Padaajaran
Husserl
kitadapatikembalidengansangatjelasperpalingandarigenesakestruktur.Barupadaajaran
Husserl padausianya yang lebihlanjutterkuakkembaliartipentinghistoritas.Dengan
kata lainzamankitasekaranginidipengaruhisecarapastiolehfilsafatfenomenologi
yang dimunculkanoleh Edmund Husserl.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar,Amsal, 2004, FilsafatIlmu, Jakarta: Rajawali Pers.
Connolly,
Peter, 2009, Aneka PendekatanStudi Agama,Yogyakarta: LkiS.
Delfgaauw, Bernard, 2001, Filsafat
Abad 20, Yogyakarta: PT Tiara WacanaYogya.
Dimyati, Mochammad, 2000, PenelitianKualitatif:
ParadigmaEpistemologi, Pendekatan, MetodedanTerapan, Malang: PPS
UniversitasNegeri Malang.
Djumransjah, 2006, FilsafatPendidikan, Malang: Bayumedia
Publishing.
HenrykMisiak& Virginia Staudt
Sexton, 2005, PsikologiFenomenologi, EksistensialdanHumanitik,
SuatuSurveiHistoris, Bandung: PT. RefikaAditama.
Idrus, Muhammad, 2001, MetodePenelitianIlmuSosialPendekatanKualitatifdanKuantitatif,
Yogyakarta.
Jokosiswanto, 1998, Sistem-sistemFiasafat
Barat, Yogyakarta: PustakaPelajar.
Kamisa, 1997, KamusLengkapBahasa Indonesia, Surabaya:
Kartika.
Kattsoff, Louis O., 2004, PengantarFilsafat, Yogyakata: Tiara
Wacana.
Maksum, Ali, 2010, PengantarFilsafat:
Dari MasaKlasikHinggaPostmodernisme,Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhadjir,Noeng,
1989, MetodologiPenelitianKualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muslih, Mohammad, 2006, FilasafatIlmu,
KajianAtasAsumsiDasarParadigmadanKerangkaTeoriIlmuPengetahuan, Yogyakarta:
Belukar.
Phenomenology
of Religion,Http:wikipidia.org, diakses 22 September
2014 jam 23:11.
Praja, Juhana S., 2005, Aliran-AliranFilsafatdanEtika, Bandung:
Kencana.
Rev. Emeka
C. Ekeke&ChikeEkeopara, 2010, Phenomenological
Approach to The Study of Religion A Historical Perspective, European Journal of
Scientific Research, Vol. 44, No. 2.
Samuel Enoch Stumpf& James
Fieser, 2003, Socrates to Sartre and Beyond A history of Philosophy,
Seventh Edition, New York: McGraw-Hill Companies.
Yuana, Kumara Ari, 2010, The
Gratest Philosophers, 100 TokohFilsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang
MenginspirasiDuniaBisnis, Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Zubaedidkk, Filsafat Barat, 2007,
Dari LogikaBaru Rene Descartes hinggaRevolusiSainsala Thomas Kuhn,Jogjakarta:
Ar-Ruz Media.
[1]Djumransjah, FilsafatPendidikan,
(Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 4.
[2]Djumransjah, FilsafatPendidikan,
(Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 13.
[3]Kamisa, KamusLengkapBahasa
Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1997), hlm. 163.
[4]AmsalBakhtiar, FilsafatIlmu,
(Jakarta: RajawaliPers, 2004), hlm. 149.
[5]MochammadDimyati,
PenelitianKualitatifParadigmaEpistemologi,
Pendekatan,MetodedanTerapan, (Malang: PPS
UniversitasNegeri Malang, 2000), hlm. 70.
[6] Samuel Enoch
Stumpf & James Fieser, Socrates to Sartre and Beyond A history of
Philosophy, Seventh Edition, (New York: McGraw-Hill Companies, 2003), hlm.
445-446.
[7] Samuel Enoch
Stumpf & James Fieser, Socrates to Sartre and Beyond A history of
Philosophy, Seventh Edition, (New York: McGraw-Hill Companies, 2003), hlm.
447.
[8] Henryk Misiak
& Virginia Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan
Humanitik, Suatu Survei Historis, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm.
6.
[9] Zubaedi dkk, Filsafat
Barat, Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn,
(Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2007), hlm. 125-126.
[10]Jokosiswanto, Sistem-sistem
Fiasafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 97.
[11] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010), hlm. 189-190.
[12] Juhana S.
Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika,
(Bandung: Kencana, 2005), hlm. 179.
[13] Mochammad
Dimyati. Penelitian
Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan,Metode dan Terapan, (Malang:
PPS Universitas Negeri Malang. 2000),
hlm. 70.
[14] Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, Phenomenological Approach to The Study of
Religion A Historical Perspective, European Journal of Scientific Research,
Vol. 44, No. 2, 2010, hlm. 267.
[15] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama,,
(Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 110.
[16] Mohammad
Muslih, Filasafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2006), hlm. 128.
[17] Kumara Ari
Yuana, The Gratest Philosophers, 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM –
Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, (Yogyakarta: C.V Andi Offset,
2010), hlm. 288.
[18] Zubaedi dkk, Filsafat
Barat, Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn,
(Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2007), hlm. 127.
[19] Mohammad
Muslih, Filasafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2006), hlm. 128.
[20] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010), hlm. 191-193.
[21] Bernard
Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001),
hlm. 109.
[22]Peter Connolly,
Aneka Pendekatan Stuidi Agama, (Yogyakarta
LkiS, 2002), hlm. 106.
[23] Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakata: Tiara Wacana, 2004), hlm.
l21.
[24]Http:wikipidia.org, phenomenology of religion, diakses 22 September 2014
jam 23:11.
[25]Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 1989), hlm. 183.
[26] Mohammad
Muslih, Filasafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2006), hlm. 130-134.
[27] Kumara Ari
Yuana, The Gratest Philosophers, 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM –
Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, (Yogyakarta: C.V Andi Offset,
2010), hlm. 289.
[28] Henryk Misiak
& Virginia Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan
Humanitik, Suatu Survei Historis, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm.
19-21.
[29] Muhammad
Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Yogyakarta:
Erlangga, 2001), hlm. 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar