BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia diciptakan
Allah SWT. untuk beribadah kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi
semua larangan-Nya. Dengan kata lain, manusia memiliki tanggungjawab di hadapan
Allah SWT., mengenai apa yang dipikirkan atau tidak dipikirkan,atas apa yang
dikerjakan atau tidak dikerjakan, tentang apa yang dikatakan atau tidak
dikatakansesuai dengan petunjuk dari Allah SWT., yang berasal dari dua hal yang
murni dan suci yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Berdasarkan dua hal
yang murni dan suci tersebut, seorang manusiamemiliki rasa responsibilitas atas
semua tindak-tanduk, tingkah-laku, dan sepak terjangmereka. Karena
responsibilitas adalah konsekuensi atas apa yang telah diperintahkan dan
dilarang oleh Allah SWT. Nas-nas tersebut menuntun manusia untuk berbuat
kebajikan dan memberi keterangan bahwa manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh
amal perbuatannya.
Firman Allah SWT,
Artinya: maka demi
Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang telah mereka
kerjakan dahulu. (QS. Al-Hijr 92-93).[1]
Ayat tersebut
menjelaskan bahwa Allah SWT. akan membuat perhitungan dengan semua amal
perbuatan manusia secara cermat, teliti, danadil. Allah SWT. memberitahukan kepada
seluruh manusia semua amal perbutannya mulai dari ujung kaki sampai ujung
rambut dalam catatan, diperhitungkan, dan memberi balasan.
Tanggung jawab manusia kepada
Allah SWT. baik yang bersifat vertikal maupun horisontal melekat sejak
diciptakannya manusia oleh-Nya. Semua tindakan manusia di dunia ini, tentang
bagaimana meperlakukan lingkungan, hidup berdampingan dengan sesama manusia,
dan kewajiban terhadap Allah sebagai hamba-Nya akan diberikan balasan sebagai
konsekuensi atas apa yang telah dilakukan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan fikih responsibilitas?
2.
Apa saja sumber-sumber responsibilitas dalam
Islam?
3.
Bagaimana responsibilitas seorang muslim?
1.
Menjelaskan pengertian fikih responsibilitas.
2.
Menyebutkan sumber-sumber responsibilitas dalam
Islam.
3.
Menjelaskan responsibilitas seorang muslim.
PEMBAHASAN
Manusia mempunyai tanggung jawab
(responsibilitas) di hadapan Allah SWT. atas apa yang telah dilakukannya dan
akan mendapat balasan secara adil atas perbuatan tersebut. Itulah bentuk
pertanggungjawaban seorang hamba terhadap penciptanya, manusia akan mendapatkan
balasan yang baik jika berperilaku sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunah dan mendapat
hukuman apabila meninggalkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
Artimya: maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan
seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.Dan barang siapa
mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.
(QS. al-Zalzalah 7-8).[2]
Balasan yang diberikan Allah SWT.
kepada setiap perbuatan manusia adalah merupakan balasan yang paling adil dan
sempurna. Oleh karena itu, manusia harus mengerti bahwa kehidupan di dunia ini
adalah permulaan dari kehidupan yang kekal selanjutnya. Di tempat yang baik
atau berada dalam belenggu siksa pada kehidupan di akhirat kelak merupakan
kensekuensi dari apa yang telah dikerjakan di dunia, ada pertanggungjawaban
atas apa yang telah dilakukan setiap manusia. Untuk itu, mengetahui
responsibilitas sebagai seorang muslim adalah penting.
4. Pengertian
Fikih Responsibilitas
1.
Pengertian Fikih
Fikih merupakan ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk hukum Islam.[3]Dengan
begitu, fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menjelaskansuatu
fenomenasesuai dengan ajaran Islam, yang mencakup tentang soal duniawi,
akhirat, lahir, dan batin.
Fikih dikatakan sebagai suatu hukum maka, fikih merupakan peraturan yang
dibuat dan disepakati baik tertulis maupun tidak tertlulis yang mengikat
perilaku setiap masyarakat.[4]Peraturan
atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa
atau pemerintah. Peraturan tersebut merupakan pertimbangan dan keputusan yang
ditetapkan oleh orang yang kompeten dalam bidang tersebut, dimaksudkan untuk
mengatur pergaulan hidup baik dengan Allah SWT. atau masyarakat, danmenjadi
patokan, kaidah, atau ketentuan mengenai peristiwa tertentu.
Zainuddin Ali
mengemukakan bahwa kata fikih secara etimologi artinya paham, pengertian, dan
pengetahuan,[5]
sedangkan fikih menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syara’
yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang sudah terinci.[6]
Para Fuqaha mendefinisikan fikih dengan ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshilatau dalil-dalil yang khusus
dan terprinci.[7]
Adapun
pengertian fikih menurut pendapat dari beberapa tokoh adalah sebagai berikut:[8]
1.
Menurut Shobhi Mahmasanni, fikih berarti ilmu hukum atau
syariat, dan orang-orang ahli dalam bidang ilmu ini disebut faqih. Selain itu,
fikih juga berarti ilmu untuk mengetahui masalah-masalah hukum secara praktis.
Selanjutnya, fikih juga berarti ilmu untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukum
far’i (cabang) dari syariat yang diperoleh dari dalil-dalil perincian
syariat.
2.
Menurut Abu Ishaq, sebagaimana dikutip oleh Nasaruddin Razak,
fikih adalah memahami apa yang tersirat. Kemudian definisi yang dikembangkan
dalam ilmu hukum Islam, fikih berarti ilmu tentang hukum Islam yang disimpulkan
dengan jalan rasio berdasarkan alasan-alasan yang terperinci.
3.
Menurut Murthada Muthahhari, bahwa menurut terminologi
al-Quran dan al-Sunah, fikih ialah pengetahuan yang luas dan mendalam tentang
perintah-perintah dan realitas Islam, dan tidak mempunyai relevansi khusus
dengan definisi tertentu. Namun demikian, menurut terminologi ulama, kata ini
secara perlahan menjadi secara khusus diaplikasikan pada permasalahan mendalam
tentang hukum-hukum Islam.
Selain itu
pengertian tentang fikih juga terdapat di dalam al-Qur’an, sebagaimana firman
Allah SWT.
$tBurc%x.tbqãZÏB÷sßJø9$#(#rãÏÿYuÏ9Zp©ù!$24wöqn=sùtxÿtR`ÏBÈe@ä.7ps%öÏùöNåk÷]ÏiB×pxÿͬ!$sÛ(#qßg¤)xÿtGuÏj9ÎûÇ`Ïe$!$#(#râÉYãÏ9uróOßgtBöqs%#sÎ)(#þqãèy_uöNÍkös9Î)óOßg¯=yès9crâxøtsÇÊËËÈ
Artinya: dan tidak sepatutnya orang-orang
mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap
golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar
mereka dapat menjaga dirinya. (QS. al-Taubah 122).[9]
Dalam ayat ini
dijelaskan bahwa fikih adalah pengetahuan yang mendalam tentang agama yang
secara terus menerus harus dipelajari, dikaji dan direnungkan, yang ditujukan
unutuk kemaslahatan umat dan sebagai acuan dalam merespon suatu fenomena atau
masalah.
2.
Pengertian Responsibilitas
Responsibilitas berasal dari bahas inggris responsibilityyangmemiliki
beberapa makna.Responsibility diartikan sebagai the state or fact of
having a duty to deal with something or of having control over someone,
contoh dalam kalimat: women bear children and take responsibility for
childcare.[10]Responsibilitas
berarti tugas untuk menangani sesuatu atau bertanggung jawab kepada seseorang
seperti seorang ibu yang melahirkan anak, maka ibu tersebut memiliki tanggung
jawab untuk merawat anaknya.
Responsibility juga diartikan sebagai the state or fact of
being accountable or to blame for something, contoh dalam kalimat: the
group has claimed responsibility for a string of murders.[11]Responsibilitas
berarti kenyataan dimana seseorang bertanggung jawab atau disalahkan atas
sesuatu hal seperti suatu kelompok yang disalahkan atas serangkaian pembunuhan.
Responsibility juga diartikan a moral obligation to behave
correctly towards or in respect of, contoh dalam kalimat:individuals
have a responsibility to control their behaviour.[12]Responsibilitas
adalah suatu kewajiban moral untuk berperilaku dengan benar terhadap sesuatu
seperti seorang yang memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan perilakunya.
Responsibility juga diartikan sebagai the opportunity or
ability to act independently and take decisions without authorization, contoh
dalam kalimat: we expect individuals
to take on more responsibility.[13]Responsibilitasadalahkesempatan
atau kemampuan untuk bertindak secara independen dan mengambil keputusan tanpa
otorisasi seperti seorang individuyang mengambil tanggung jawab lebih atas apa
yang telah dilakukannya.
Responsibility juga diartikan a thing which one is required to
do as part of a job, role, or legal obligation, contoh dalam kalimat: he
will take over the responsibilities of Overseas Director.[14]Responsibilitas
adalah hal yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan, peran, atau kewajiban
hukum seperti seseorang yang akan mengambil alih tanggung jawab sebagai Menteri
Luar Negeri.
Jadi responsibilitas adalah pertanggungjawaban seseorang yang bersifat internal. Maksudnya pertanggungjawaban seseorang
terhadap apa yang telah dipilihnya. Contoh, seseorang yang beragama Islam
bertanggung jawab memenuhi syarat dan ketentuan untuk menjadi seorang muslim,
menjalankan perintah atau larangan dalam agama Islam, dan lain-lain.
3.
Pengertian Fikih Responsibilitas
Fikih responsibilitas berarti responsibilitas dalam Islam terkait dengan
individu, jamaah, masyarakat umat, dan amal untuk Islam.[15]Setiap
muslim memiliki tanggung jawab atas reponsibilitas Islam ini, mulai dari
anak-anak yang belum balig sampai seorang yang sudah mukalaf.
Anak-anak yang belum balig, sebagai seorang individu setidaknya harus
paham dan mengerti bahwa dia adalah seorang anak yang harus menghormati ayah
dan ibunya, menghormati orang-orang yang lebih tua darinya dan lain-lain.
Walaupun seorang anak belum bisa dikenai suatu hukum karena tidak memenuhi
syarat-syarat taklif, seperti matangnya akal dan balig.
Seorang muslim yang mukalaf, maka ia mempunyai pertanggungjawaban atas
setiap perkataan dan diamnya, melakukan pekerjaan atau meninggalkan pekerjaan,
atas semua kebutuhan Islam selama mampu. Di dalam fikih responsibilitas dibahas
tentang balasan, yang balasan tersebut berupa pahala atau siksa yang bergantung
kepada amal yang dilakukan seorang manusia sebagai orang yang mukalaf dan
memikul tanggung jawab di hadapan Allah SWT. Fikih responsibilitas membahas
tentang ikatan responsibilitas dalam Islam dengan balasan pahala atau hukuman,
baik di dunia ataupun akhirat.[16]
4.
Objek Ilmu Fikih
Sebagian fuqaha berpendapat
bahwa objek atau bidang kajian ilmu fikih ada dua kategori besar yaitu:[17]
a.
Ibadah: mencakup shalat, puasa, zakat, dan haji.
b.
Adat istiadat: mencakup selain ibadah berupa hukum aplikatif,
baik yang berkaitan tentang jinayah atau muamalat, sirah (perjalanan hidup),
wasiat, dan warisan.
Sebagian lain membaginya
menjadi empat bagaian utama yaitu:
a.
Segala hal tentang ibadah.
b.
Sesuatu yang berhubungan dengan eksistensi seseorang, yaitu
aktivitas muamalah seperti jual beli.
c.
Sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan jenis/keturunan
berupa aspek tempat berteduh, seperti akad pernikahan dan hal-hal yang
berhubungan dengannya.
d.
Sesuatu yang berkaitan dengan kelangsungan hidup
jenis/keturunan yang berkaitan dengan hak-hak sipil atau yang berhubungan
dengannya.
Sebagian lagi membuat
kategorisasi sebagi berikut:
a.
Ibadah, yaitu sholat, zakat, puasa, haji, dan jihad.
b.
Muamalat; yaitu tukar menukar harta, amanat, pernikahan dan berhubungan
dengannya, pendakwaan dan harta peninggalan.
c.
Hukuman, yaitu qishash, hukuman mencuri, zina, qadzah
(tuduhan palsu perzinaan), dan murtad (pindah agama dan keluar dari agama
Islam).
5.
Sumber-sumber Hukum Fikih
Adapun yang dimaksud dengan
sumber fikih adalah dasar yang dijadikan sandaran para fuqaha’ dalam
ijtihadnya, sebagai sandaran dalam menggali hukum-hukum syar’i.[18]
a. Al-Quran
Secara etimologi, Al-Quran
merupakan bentuk masdhar dari kata qara’a
artinya bacaan, yang dibaca, dilihat, dan ditelaah.[19]
Para ulama sepakat bahwa Al-Quran adalah hujjah (konstitusi) yang harus
diamalkan, mereka juga sepakat bahwa ia merupakan sumber syariat pertama.
b. Al-Sunnah
Sunnah menurut bahasa
artinya jalan dan kebiasaan. Adapun sunah menurut ulama ushul adalah setiap yang
keluar dari baginda rasulullah SAW baik berupa ucapan, perbuatan, atau
pengakuan.[20]
Sementara secara terminologi, makna sunnah dapat ditinjau dari tiga disiplin
ilmu sebagai berikut:[21]
1)
Menurut ahli hadits, sunnah sama dengan hadits yaitu sesuatu
yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan, maupun sikap
beliau tentang suatu peristiwa.
2)
Menurut ahli ushul fikih, sunnah ialah semua yang berkaiatan
dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW baik perkataan,
perbuatan, maupun sikap beliau terhadap suatu peristiwa.
3)
Menurut ahlu fikih, makna sunnah mengandung dua pengertian,
yang pertama sama dengan yang dimaksud ahli ushul fikih. Sedangkan pengertian
yang kedua ialah suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi
jika ditinggalkan tidak berdosa. Dalam pengertian yang kedua ini, sunnah
merupakan salah satu dari ahkam
at-taklifi yang lima, wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
c. Al-Ijma’
Ijma’ secara bahasa memiliki
dua makna. Pertama bermakna ketetapan hati terhadap sesuatu. Kedua ijma’
bermakna kesepakatan terhadap sesuatu.[22]
Adapun arti ijma’ menurut
istilah ulama ushul adalah kesepakatan para mujtahidin dari kalangan umat Nabi
Muhammad SAW setelah baginda Rasulullah wafat pada suatu zaman tertentu
terhadap sebuah permasalahan hukum syar’i.[23]
d. Qiyas
Qiyas secara bahasa artinya qadr (ukuran, bandingan).[24]
Menurut Ibnu as-Subki, qiyas adalah “menyamakan hukum sesuatu dengan hukum
sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang
menyamakan hukumnya”.
Sedangkan qiyas menurut
itilah adalah mengikutkan hukum syar’i suatu masalah yang tidak ada nash-nya
dengan permasalahan yang sudah ada nash-nya karena adanya memiliki illat antara
keduanya.[25]
Unsur Qiyas ada empat yaitu:
1) Al-Ashl : sesuatu yang sudah ada hukum tetapnya
2) Al-Far’i : masalah yang belum ada hukumnya, baik dari Al-Quran, sunnah
dan ijma’
3) Illat : bentuk kemiripan yang mengubungkan antara dasar dengan cabang
4) Hukum dasar: hukum syar’i
bagi masalah yang sudah ada nash-nya
e. Istihsan
Istihsan secara bahasa
artinya menganggap suatu baik. Sedangkan istihsan menurut istilah adalah meninggalkan
hukum suatu masalah yang seharusnya ditetapkan karena ada nash yang mirip
dengannya disebabkan ada alasan yang lebih kuat untuk meninggalkannya.[26]
f. Mashlahah Mursalah
Mashalih merupakan bentuk
jamak dari Mashlahah yang menurut bahasa berarti manfaat, atau untuk
menyebutkan perbuatan yang mengandung manfaat atau kebaikan. Sedangkan menurut
istilah adalah setiap makna (nilai) yang diperoleh ketika menghubungkan hukum
dengannya atau menetapkan hukumnya berupa mendapat manfaat atau menolak mudarat
dari orang lain, dan tidak ada dalil yang mengakui atau menolak keberadaannya.[27]
g. Al-Urf
Al-Urf (adat istiadat) yaitu
suatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau perbuatan
yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akan
mereka.
Sumber-sumber
hukum fikih yang paling dasar dan utama adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, adapun
sumber-sumber yang lainnya merupakan buah pikiran orang-orang yang berkompeten
dalam bidang tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berdasar
kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.
5. Sumber-sumber
Responsibilitas dalam Islam
1.
Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai Sumber
Utama
Senseofresposibility atau perasaan bertanggung jawab harus
mempunyai sumber, yaitu sumber tempat manusia mampu mereguk semangat dan
memuaskan dahaganya. Kemudian, ia merasakan dan meyakini bahwa apa yang ia
perbuat bermanfaat serta memiliki nilai tersendiri.
Adalah mustahil jika Allah SWT. menjadikan manusia, menempatkannya di
muka bumi, dan mengutus para rasul kepada mereka dan menurunkan kitab-kitab
suci, namun kemudian tidak meminta pertanggungjawaban manusia atas perintah dan
larangan-Nya itu. Jika tidak, niscaya Allah SWT. menjadikan manusia di muka
bumi untuk kesia-siaan. Dan Allah SWT Mahasuci dari tindakan kesia-siaan dan
main-main seperti itu.[28]
Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an Dia tidak menciptakan manusia untuk
kesia-siaan.Artinya: maka
apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Maha Tinggi
Allah, raja yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai)
'Arsy yang mulia. (QS. Al-Mu’minun 115-116).[29]
Manusia
diciptakan Allah SWT untuk menyembah-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan
meninggalkan seluruh larangan-Nya. Dengan mengerjakan perintah dan meninggalkan
larangan itu, manusia akan mendapatkan kebaikan bagi agama dan dunianya.
Kemudian ia akan dipertanyakan dan diperhitungkan di hadapan Allah SWT.
Ini adalah hakikat yang sudah jelas, telah diterangkan oleh dalil-dalil
syar’i dan rasio. Tidak ada yang mengkritiknya, kecuali mereka yang memeang
menentang syariat dan meninggalkan akal mereka yang telah dikaruniakan Allah
SWT.
Sumber-sumber yang darinya responsibilitas islam itu tumbuh, atau sumber
yang mewajibkan kepada individu muslim untuk memiliki rasa responsibilitas di
hadapan Allah SWT. tentang apa yang ia katakan atau tidak katakan, serta apa
yang ia kerjakan dan apa yang tidak ia kerjakan, sesuai dengan perintah dan
larangan Allah SWT. Diidentifikasikan berpangkal pada dua sumber, yaitu
ai-Qur’an dan al-Sunnah,
Umat Islam yang berilmu, pada seluruh masa, tidak pernah memperselisihkan
bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber Islam. Dari keduanya disimpulkan
syariat dan darinya pula diketahui yang halal dan haram. Maka, jika ada
seseorang yang berpendapat lain dengan hal itu, kemungkinan ia tidak mempunyai
ilmu pengetahuan, atau ia adalah orang yang sesat. Sehingga pemikiran orang
seperti itu tidak mempunyai nilai bagi umatIslam.
Dari dua sumber pokok ini, tumbuh rasa responsibilitas. Karena
responsibilitas adalah hasil dari sikap konsekuen untuk menjalankan seluruh
perintah dan larangan. Dan perintah dan larangan itu diketahui melalui
al-Qur’an dan al-Sunnah.[30]
2.
Moderasi Syariat Islam
Sumber utama syariat Islam adalah al-Qur’an. Diikuti kemudian oleh
al-Sunnah, yang bertugas menjelaskan dan memperinci ayat-ayat umum dalam
al-Qur’an.
Allah memberikan keistimewaan tersendiri terhadap al-Qur’an dibandingkan
dengan kitab-kitab lain yang telah diturunkan Allah sebelumnya. Yaitu, Allah
berjanji akan terus menjaganya. Keistimewaan ini juga menjadi keistimewaan umat
Islam yang memeluk agama penutup ini. Yaitu, memiliki syariat yang terus
terjaga keasliannya jauh dari perubahan, penggantian, atau pemalsuan.
Pemeiliharaan Allah akan syariat menjadikan al-Qur’an menjadi sumber
responsibilitas yang paling kukuh, maka sifat syariat yang moderat menyebabkan
dia berfungsi sebagai sumber yang paling dekat, bahkan paling baik untuk
mewujudkan keseimbangan dan keseuaian dengan fitrah manuisa. Syariat Islam
memberikan kepada manusia kemampuan untuk menjalankan kehidupan manusiawinya
dalam tingkat yang paling tinggi. Inilah yang dimaksud dengan moderasi.
Ketika responsibilitas tumbuh secara sempurna dari syariat maka perasaan
responsibilitas ini tentu tumbuh lebih dalam dan kuat. Dan konsekuensi terhadap
responsibilitas ini, yaitu dalam segi melaksanakan perintah dan menjahui
larangan, akan dilakukan dengan senang hati dan dengan mudah dilaksanakan.
Untukmewujudkan tujuan itu, syariat Islam dijelaskan lebih lanjut dan
sesuai dengan pendalaman terhadap al-Qur’an dan ak-Sunnah oleh para
ulama.mereka mengatakan bahwamaqasidsyari’ah adalah sebagai berikut:
a. Memelihara
jiwa manusia. Yaitu agar jiwa itu tidak dirampas dan diberikan beban kecuali
dengan apa yang disyariaatkan Allah SWT.
b. Memelihara
agama. Yaitu, dengan menyembah Allah SWT. sesuai dengan apa yang disyariatkan
Allah SWT. Tidak ada paksaan dalam beragama. Dan, tidak ada perubahan atas apa
yang diturunkan Allah SWT.
c. Memelihara
akal. Yaitu, dengan mengharamkan seluruh yang mengganggu atau menghilangkan
akal itu. Seperti khamar dan minuman kears lainnya yang menyembabkan
hilangnya akal sementara atau seterusnya.
d. Memelihara
keturunan dan jenis manusia. Yaitu, dengan
mengharamkan perzinaan, homoseksual, dan sebagainya. Karena, zina akan
membawa ketercampurnya nasab dan menyebabkan seorang bapak tidak mengakui
anak-anaknya. Dengan demikian, hal itu akan menyebabkan terputusnya nasab
manusia.
e. Menjaga
harta. Yaitu, dengan mengharamkan mencari mata pencaharian dari usaha yang
haram, memberikan hukuman bagi orang yang mencuri atau merampas harta orang
lain, serta memberikan batasan kemana harta itu akan dibelanjakan.[31]
Lima tujuan ini dapat mewujudkan seluruh kemaslahatan manusia dalam
kehidupannya di dunia dan akhirat kelak. Baik masalah itu berbebtuk primer,
sekunder, atau komplementer dalam seluruh bidang kehidupan manusia.
6. Bagaimana
Responsibilitas Seorang Muslim
1.
Responsibilitas Individual
Responsibilitas individu bermakna bahwa manusia bertanggung jawab kepada
dirinya sendiri dan mempertanyakan seluruh kekurangan dalam mengikuti
nilai-nilai moral yang dibawa oleh Islam. Reponsibilitas ini seperti yang
dijelaskan sebelumnya berkaitan erat dengan balasan di dunia dan akhirat. Dan
responsibilitas manusia terhadap dirinya sendiri semakin diperkuat oleh banyak
ayat dan hadits.
Adapun ayat yang berkaitan dengan responsibilitas pribadi adalah sebagai
berikut
Artinya: bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri.
Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (QS. Al-Qiyaamah 14-15).
Ini berarti, responsibilitas pribadi tumbuh dari diri manusia itu sendiri
dari hati serta nuraninya. Sehingga, ia tidak membutuhkan dorongan lain,
seperti polisi dan pengawas karena responsibilitas itu tumbuh langsung dari
undang-undang dasar akhlak yang dibawa oleh Islam.[32]
2.
Responsibilitas Sosial
Karakteristik umum responsibilitas sosial ini tercerminkan dalam banyak
segi yang berbeda dengan sistem ideologi-ideologi lain, karena ia tumbuh dari
syariat Islam. Keutamaan itu menjamin kesahihan, keselamatan, dan mewujudkan
kemaslahatan manusia dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat.
Bersikap moderat, seimbang, dan sederhana. Ketiga hal itu adalah unsur
yang diperintahkan oleh syariat untuk diwujudkan sebagai konsekuensi
responsibilitas ini. Setiap individu muslim dituntut akan hal ini. Sebagaimana
firman Allah.
Artinya: dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian. (QS. Al-Furqan 67).
Arah sosial yang benar dan lurus adalah yang menjadikan keluarga sebagai
pusat, titik pertama, dan awal langkah untuk membangun kehidupan sosial yang
benar. Yaitu, dengan memberikan tuntunan sistem, hukum, dan etika yang harus
diaplikasikan untuk mencapai tujuan-tujuannya, sehingga dapat menciptakan
kesejahteraan sedini mungkin dan mengamankan masa depannya.
Tuntutan
islami dalam bidang responsibilitas sosial adalah mencakup kerabat, tetangga,
penduduk sekitar, provinsi, dan negara, hingga meluas mencakup seluruh dunia
Islam dan lebih luas lagi adalah seluruh umat manusia.[33]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fikih responsibilitas
berarti responsibilitas dalam Islam terkait dengan individu, jamaah, masyarakat
umat, dan amal untuk Islam. Setiap muslim memiliki tanggung jawab atas
reponsibilitas Islam ini, mulai dari anak-anak yang belum balig sampai seorang
yang sudah mukalaf.
Responsibilitas
individu bermakna bahwa manusia bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dan
mempertanyakan seluruh kekurangan dalam mengikuti nilai-nilai moral yang dibawa
oleh Islam. Reponsibilitas ini seperti yang dijelaskan sebelumnya berkaitan
erat dengan balasan di dunia dan akhirat. Dan responsibilitas manusia terhadap
dirinya sendiri semakin diperkuat oleh banyak ayat dan hadits.
Karakteristik umum
responsibilitas sosial ini tercerminkan dalam banyak segi yang berbeda dengan
sistem ideologi-ideologi lain, karena ia tumbuh dari syariat Islam. Keutamaan
itu menjamin kesahihan, keselamatan, dan mewujudkan kemaslahatan manusia dalam
kehidupan mereka di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Mahmud,Ali.
2000. Fikih Responsibilitas: Tanggung Jawab Muslim dalam Islam,Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani. Cet. II; Jakarta: Gema Press.
Abdullah,M. Yatimin. 2006.
Studi Islam Kontemporer. Jakarta:
Amzah.
Definition of
Responsibility in English (http:www.oxforddictionaries.com), diakses tanggal 02 November 2015 jam
15:39 WIB.
Hasan Kahlil,Rasyad. 2009,
Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah.
Kamisa, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia. Cet. 1; Surabaya: Kartika, 1997.
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Rahman Dahlan, Abd. 2010.
Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Sahrani,Sohari dan
Abdullah, Ru’fah. 2011. Fikih Mu’amalah. Bogor:
Ghalia Indonesia.
T.t. 2012. The Holy
Qur’an al-Fatih. Jakarta: PT. Insan Media Pustaka.
[1]The
Holy Qur’an al-Fatih(Jakarta: PT. Insan Media Pustaka, 2012), hlm. 267.
[2]The
Holy Qur’an…, hlm. 599.
[3]
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia(Cet. 1;Surabaya: Kartika, 1997),
hlm. 168.
[4]
Kamisa, Kamus Lengkap…, hlm. 232.
[5]Sohari
Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Mu’amalah
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 3.
[6]
Rasyad Hasan Kahlil. Tarikh Tasyri’ (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 5.
[7]M.
Yatimin Abdullah. Studi Islam Kontemporer
(Jakarta: Amzah, 2006), hlm.319.
[8]Abuddin
Nata. Studi Islam Kontemporer (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm.241
[9]The
Holy Qur’an…, hlm. 206.
[10]Definition
of Responsibility in English(http:www.oxforddictionaries.com), diakses
tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[11]Definition
of…, diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[12]Definition
of…, diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[13]Definition
of…, diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[14]Definition
of…, diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[15]
Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas: Tanggung Jawab Muslim dalam
Islam,Terj. Abdul Hayyie al-Kattani(Cet. II;Jakarta: Gema Press, 2000),
hlm. 12.
[16]
Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 12.
[17]Rasyad
Hasan Kahlil. Tarikh Tasyri’…, hlm.
7.
[18]
Rasyad Hasan Kahlil,Tarikh Tasyri’…,
hlm. 138.
[19]
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh (Jakarta:
Amzah, 2010), hlm. 115.
[20]
Rasyad Hasan Kahlil,Tarikh Tasyri’…,
hlm. 149.
[21]
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh…, hlm.
131.
[22]
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh…, hlm.
146.
[23]
Rasyad Hasan Kahlil,Tarikh Tasyri’…, hlm.
155.
[24]Abd.
Rahman Dahlan,Ushul Fiqh…, hlm. 161.
[25]Rasyad
Hasan Kahlil,Tarikh Tasyri’…, hlm.
159.
[26]Rasyad
Hasan Kahlil. Tarikh Tasyri’. Ibid.
Hlm. 162
[27]Rasyad
Hasan Kahlil. Tarikh Tasyri’(Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 167
[28]
Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 19.
[29]The
Holy Qur’an…, hlm. 349.
[30]
Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 21.
[31]
Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 39-40.
[32]
Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 78.
[33]
Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 163-164.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar