Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH FIKIH RESPONSIBILITAS; TANGGUNG JAWAB MUSLIM DALAM ISLAM


BAB 1

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan Allah SWT. untuk beribadah kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan kata lain, manusia memiliki tanggungjawab di hadapan Allah SWT., mengenai apa yang dipikirkan atau tidak dipikirkan,atas apa yang dikerjakan atau tidak dikerjakan, tentang apa yang dikatakan atau tidak dikatakansesuai dengan petunjuk dari Allah SWT., yang berasal dari dua hal yang murni dan suci yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Berdasarkan dua hal yang murni dan suci tersebut, seorang manusiamemiliki rasa responsibilitas atas semua tindak-tanduk, tingkah-laku, dan sepak terjangmereka. Karena responsibilitas adalah konsekuensi atas apa yang telah diperintahkan dan dilarang oleh Allah SWT. Nas-nas tersebut menuntun manusia untuk berbuat kebajikan dan memberi keterangan bahwa manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya.
Firman Allah SWT,
Artinya: maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (QS. Al-Hijr 92-93).[1]

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT. akan membuat perhitungan dengan semua amal perbuatan manusia secara cermat, teliti, danadil. Allah SWT. memberitahukan kepada seluruh manusia semua amal perbutannya mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut dalam catatan, diperhitungkan, dan memberi balasan.
Tanggung jawab manusia kepada Allah SWT. baik yang bersifat vertikal maupun horisontal melekat sejak diciptakannya manusia oleh-Nya. Semua tindakan manusia di dunia ini, tentang bagaimana meperlakukan lingkungan, hidup berdampingan dengan sesama manusia, dan kewajiban terhadap Allah sebagai hamba-Nya akan diberikan balasan sebagai konsekuensi atas apa yang telah dilakukan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan fikih responsibilitas?
2.      Apa saja sumber-sumber responsibilitas dalam Islam?
3.      Bagaimana responsibilitas seorang muslim?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Menjelaskan pengertian fikih responsibilitas.
2.      Menyebutkan sumber-sumber responsibilitas dalam Islam.
3.      Menjelaskan responsibilitas seorang muslim.
PEMBAHASAN

Manusia mempunyai tanggung jawab (responsibilitas) di hadapan Allah SWT. atas apa yang telah dilakukannya dan akan mendapat balasan secara adil atas perbuatan tersebut. Itulah bentuk pertanggungjawaban seorang hamba terhadap penciptanya, manusia akan mendapatkan balasan yang baik jika berperilaku sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunah dan mendapat hukuman apabila meninggalkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
Artimya: maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. (QS. al-Zalzalah 7-8).[2]

Balasan yang diberikan Allah SWT. kepada setiap perbuatan manusia adalah merupakan balasan yang paling adil dan sempurna. Oleh karena itu, manusia harus mengerti bahwa kehidupan di dunia ini adalah permulaan dari kehidupan yang kekal selanjutnya. Di tempat yang baik atau berada dalam belenggu siksa pada kehidupan di akhirat kelak merupakan kensekuensi dari apa yang telah dikerjakan di dunia, ada pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan setiap manusia. Untuk itu, mengetahui responsibilitas sebagai seorang muslim adalah penting.
4.      Pengertian Fikih Responsibilitas
1.      Pengertian Fikih
Fikih merupakan ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk hukum Islam.[3]Dengan begitu, fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menjelaskansuatu fenomenasesuai dengan ajaran Islam, yang mencakup tentang soal duniawi, akhirat, lahir, dan batin.
Fikih dikatakan sebagai suatu hukum maka, fikih merupakan peraturan yang dibuat dan disepakati baik tertulis maupun tidak tertlulis yang mengikat perilaku setiap masyarakat.[4]Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Peraturan tersebut merupakan pertimbangan dan keputusan yang ditetapkan oleh orang yang kompeten dalam bidang tersebut, dimaksudkan untuk mengatur pergaulan hidup baik dengan Allah SWT. atau masyarakat, danmenjadi patokan, kaidah, atau ketentuan mengenai peristiwa tertentu.
Zainuddin Ali mengemukakan bahwa kata fikih secara etimologi artinya paham, pengertian, dan pengetahuan,[5] sedangkan fikih menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang sudah terinci.[6] Para Fuqaha mendefinisikan fikih dengan ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshilatau dalil-dalil yang khusus dan terprinci.[7]
Adapun pengertian fikih menurut pendapat dari beberapa tokoh adalah sebagai berikut:[8]
1.    Menurut Shobhi Mahmasanni, fikih berarti ilmu hukum atau syariat, dan orang-orang ahli dalam bidang ilmu ini disebut faqih. Selain itu, fikih juga berarti ilmu untuk mengetahui masalah-masalah hukum secara praktis. Selanjutnya, fikih juga berarti ilmu untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukum far’i (cabang) dari syariat yang diperoleh dari dalil-dalil perincian syariat.
2.    Menurut Abu Ishaq, sebagaimana dikutip oleh Nasaruddin Razak, fikih adalah memahami apa yang tersirat. Kemudian definisi yang dikembangkan dalam ilmu hukum Islam, fikih berarti ilmu tentang hukum Islam yang disimpulkan dengan jalan rasio berdasarkan alasan-alasan yang terperinci.
3.    Menurut Murthada Muthahhari, bahwa menurut terminologi al-Quran dan al-Sunah, fikih ialah pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perintah-perintah dan realitas Islam, dan tidak mempunyai relevansi khusus dengan definisi tertentu. Namun demikian, menurut terminologi ulama, kata ini secara perlahan menjadi secara khusus diaplikasikan pada permasalahan mendalam tentang hukum-hukum Islam.
Selain itu pengertian tentang fikih juga terdapat di dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT.
$tBuršc%x.tbqãZÏB÷sßJø9$#(#rãÏÿYuŠÏ9Zp©ù!$Ÿ24Ÿwöqn=sùtxÿtR`ÏBÈe@ä.7ps%öÏùöNåk÷]ÏiB×pxÿͬ!$sÛ(#qßg¤)xÿtGuŠÏj9ÎûÇ`ƒÏe$!$#(#râÉYãŠÏ9uróOßgtBöqs%#sŒÎ)(#þqãèy_uöNÍköŽs9Î)óOßg¯=yès9šcrâxøtsÇÊËËÈ
Artinya: dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS. al-Taubah 122).[9]

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa fikih adalah pengetahuan yang mendalam tentang agama yang secara terus menerus harus dipelajari, dikaji dan direnungkan, yang ditujukan unutuk kemaslahatan umat dan sebagai acuan dalam merespon suatu fenomena atau masalah.
2.      Pengertian Responsibilitas
Responsibilitas berasal dari bahas inggris responsibilityyangmemiliki beberapa makna.Responsibility diartikan sebagai the state or fact of having a duty to deal with something or of having control over someone, contoh dalam kalimat: women bear children and take responsibility for childcare.[10]Responsibilitas berarti tugas untuk menangani sesuatu atau bertanggung jawab kepada seseorang seperti seorang ibu yang melahirkan anak, maka ibu tersebut memiliki tanggung jawab untuk merawat anaknya.
Responsibility juga diartikan sebagai the state or fact of being accountable or to blame for something, contoh dalam kalimat: the group has claimed responsibility for a string of murders.[11]Responsibilitas berarti kenyataan dimana seseorang bertanggung jawab atau disalahkan atas sesuatu hal seperti suatu kelompok yang disalahkan atas serangkaian pembunuhan.
Responsibility juga diartikan a moral obligation to behave correctly towards or in respect of, contoh dalam kalimat:individuals have a responsibility to control their behaviour.[12]Responsibilitas adalah suatu kewajiban moral untuk berperilaku dengan benar terhadap sesuatu seperti seorang yang memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan perilakunya.
Responsibility juga diartikan sebagai the opportunity or ability to act independently and take decisions without authorization, contoh dalam kalimat:  we expect individuals to take on more responsibility.[13]Responsibilitasadalahkesempatan atau kemampuan untuk bertindak secara independen dan mengambil keputusan tanpa otorisasi seperti seorang individuyang mengambil tanggung jawab lebih atas apa yang telah dilakukannya.
Responsibility juga diartikan a thing which one is required to do as part of a job, role, or legal obligation, contoh dalam kalimat: he will take over the responsibilities of Overseas Director.[14]Responsibilitas adalah hal yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan, peran, atau kewajiban hukum seperti seseorang yang akan mengambil alih tanggung jawab sebagai Menteri Luar Negeri.
Jadi responsibilitas adalah pertanggungjawaban seseorang yang bersifat internal. Maksudnya pertanggungjawaban seseorang terhadap apa yang telah dipilihnya. Contoh, seseorang yang beragama Islam bertanggung jawab memenuhi syarat dan ketentuan untuk menjadi seorang muslim, menjalankan perintah atau larangan dalam agama Islam, dan lain-lain.
3.      Pengertian Fikih Responsibilitas
Fikih responsibilitas berarti responsibilitas dalam Islam terkait dengan individu, jamaah, masyarakat umat, dan amal untuk Islam.[15]Setiap muslim memiliki tanggung jawab atas reponsibilitas Islam ini, mulai dari anak-anak yang belum balig sampai seorang yang sudah mukalaf.
Anak-anak yang belum balig, sebagai seorang individu setidaknya harus paham dan mengerti bahwa dia adalah seorang anak yang harus menghormati ayah dan ibunya, menghormati orang-orang yang lebih tua darinya dan lain-lain. Walaupun seorang anak belum bisa dikenai suatu hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat taklif, seperti matangnya akal dan balig.
Seorang muslim yang mukalaf, maka ia mempunyai pertanggungjawaban atas setiap perkataan dan diamnya, melakukan pekerjaan atau meninggalkan pekerjaan, atas semua kebutuhan Islam selama mampu. Di dalam fikih responsibilitas dibahas tentang balasan, yang balasan tersebut berupa pahala atau siksa yang bergantung kepada amal yang dilakukan seorang manusia sebagai orang yang mukalaf dan memikul tanggung jawab di hadapan Allah SWT. Fikih responsibilitas membahas tentang ikatan responsibilitas dalam Islam dengan balasan pahala atau hukuman, baik di dunia ataupun akhirat.[16]

4.      Objek Ilmu Fikih
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa objek atau bidang kajian ilmu fikih ada dua kategori besar yaitu:[17]
a.       Ibadah: mencakup shalat, puasa, zakat, dan haji.
b.      Adat istiadat: mencakup selain ibadah berupa hukum aplikatif, baik yang berkaitan tentang jinayah atau muamalat, sirah (perjalanan hidup), wasiat, dan warisan.
Sebagian lain membaginya menjadi empat bagaian utama yaitu:
a.       Segala hal tentang ibadah.
b.      Sesuatu yang berhubungan dengan eksistensi seseorang, yaitu aktivitas muamalah seperti jual beli.
c.       Sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan jenis/keturunan berupa aspek tempat berteduh, seperti akad pernikahan dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
d.      Sesuatu yang berkaitan dengan kelangsungan hidup jenis/keturunan yang berkaitan dengan hak-hak sipil atau yang berhubungan dengannya.
Sebagian lagi membuat kategorisasi sebagi berikut:
a.       Ibadah, yaitu sholat, zakat, puasa, haji, dan jihad.
b.      Muamalat; yaitu tukar menukar harta, amanat, pernikahan dan berhubungan dengannya, pendakwaan dan harta peninggalan.
c.       Hukuman, yaitu qishash, hukuman mencuri, zina, qadzah (tuduhan palsu perzinaan), dan murtad (pindah agama dan keluar dari agama Islam).
5.      Sumber-sumber Hukum Fikih
Adapun yang dimaksud dengan sumber fikih adalah dasar yang dijadikan sandaran para fuqaha’ dalam ijtihadnya, sebagai sandaran dalam menggali hukum-hukum syar’i.[18]

a.       Al-Quran
Secara etimologi, Al-Quran merupakan bentuk masdhar dari kata qara’a artinya bacaan, yang dibaca, dilihat, dan ditelaah.[19] Para ulama sepakat bahwa Al-Quran adalah hujjah (konstitusi) yang harus diamalkan, mereka juga sepakat bahwa ia merupakan sumber syariat pertama.
b.      Al-Sunnah
Sunnah menurut bahasa artinya jalan dan kebiasaan. Adapun sunah menurut ulama ushul adalah setiap yang keluar dari baginda rasulullah SAW baik berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan.[20] Sementara secara terminologi, makna sunnah dapat ditinjau dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut:[21]
1)      Menurut ahli hadits, sunnah sama dengan hadits yaitu sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau tentang suatu peristiwa.
2)      Menurut ahli ushul fikih, sunnah ialah semua yang berkaiatan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau terhadap suatu peristiwa.
3)      Menurut ahlu fikih, makna sunnah mengandung dua pengertian, yang pertama sama dengan yang dimaksud ahli ushul fikih. Sedangkan pengertian yang kedua ialah suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa. Dalam pengertian yang kedua ini, sunnah merupakan salah satu dari ahkam at-taklifi yang lima, wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.


c.       Al-Ijma’
Ijma’ secara bahasa memiliki dua makna. Pertama bermakna ketetapan hati terhadap sesuatu. Kedua ijma’ bermakna kesepakatan terhadap sesuatu.[22]
Adapun arti ijma’ menurut istilah ulama ushul adalah kesepakatan para mujtahidin dari kalangan umat Nabi Muhammad SAW setelah baginda Rasulullah wafat pada suatu zaman tertentu terhadap sebuah permasalahan hukum syar’i.[23]
d.      Qiyas
Qiyas secara bahasa artinya qadr (ukuran, bandingan).[24] Menurut Ibnu as-Subki, qiyas adalah “menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya”.
Sedangkan qiyas menurut itilah adalah mengikutkan hukum syar’i suatu masalah yang tidak ada nash-nya dengan permasalahan yang sudah ada nash-nya karena adanya memiliki illat antara keduanya.[25]
Unsur Qiyas ada empat yaitu:
1)      Al-Ashl : sesuatu yang sudah ada hukum tetapnya
2)      Al-Far’i : masalah yang belum ada hukumnya, baik dari Al-Quran, sunnah dan ijma’
3)      Illat : bentuk kemiripan yang mengubungkan antara dasar dengan cabang
4)      Hukum dasar: hukum syar’i bagi masalah yang sudah ada nash-nya
e.       Istihsan
Istihsan secara bahasa artinya menganggap suatu baik. Sedangkan istihsan menurut istilah adalah meninggalkan hukum suatu masalah yang seharusnya ditetapkan karena ada nash yang mirip dengannya disebabkan ada alasan yang lebih kuat untuk meninggalkannya.[26]
f.       Mashlahah Mursalah
Mashalih merupakan bentuk jamak dari Mashlahah yang menurut bahasa berarti manfaat, atau untuk menyebutkan perbuatan yang mengandung manfaat atau kebaikan. Sedangkan menurut istilah adalah setiap makna (nilai) yang diperoleh ketika menghubungkan hukum dengannya atau menetapkan hukumnya berupa mendapat manfaat atau menolak mudarat dari orang lain, dan tidak ada dalil yang mengakui atau menolak keberadaannya.[27]
g.      Al-Urf
Al-Urf (adat istiadat) yaitu suatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akan mereka.
Sumber-sumber hukum fikih yang paling dasar dan utama adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, adapun sumber-sumber yang lainnya merupakan buah pikiran orang-orang yang berkompeten dalam bidang tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berdasar kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.
5.      Sumber-sumber Responsibilitas dalam Islam
1.      Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai Sumber Utama
Senseofresposibility atau perasaan bertanggung jawab harus mempunyai sumber, yaitu sumber tempat manusia mampu mereguk semangat dan memuaskan dahaganya. Kemudian, ia merasakan dan meyakini bahwa apa yang ia perbuat bermanfaat serta memiliki nilai tersendiri.
Adalah mustahil jika Allah SWT. menjadikan manusia, menempatkannya di muka bumi, dan mengutus para rasul kepada mereka dan menurunkan kitab-kitab suci, namun kemudian tidak meminta pertanggungjawaban manusia atas perintah dan larangan-Nya itu. Jika tidak, niscaya Allah SWT. menjadikan manusia di muka bumi untuk kesia-siaan. Dan Allah SWT Mahasuci dari tindakan kesia-siaan dan main-main seperti itu.[28]
Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an Dia tidak menciptakan manusia untuk kesia-siaan.Artinya: maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Maha Tinggi Allah, raja yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) 'Arsy yang mulia. (QS. Al-Mu’minun 115-116).[29]

Manusia diciptakan Allah SWT untuk menyembah-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Dengan mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan itu, manusia akan mendapatkan kebaikan bagi agama dan dunianya. Kemudian ia akan dipertanyakan dan diperhitungkan di hadapan Allah SWT.
Ini adalah hakikat yang sudah jelas, telah diterangkan oleh dalil-dalil syar’i dan rasio. Tidak ada yang mengkritiknya, kecuali mereka yang memeang menentang syariat dan meninggalkan akal mereka yang telah dikaruniakan Allah SWT.
Sumber-sumber yang darinya responsibilitas islam itu tumbuh, atau sumber yang mewajibkan kepada individu muslim untuk memiliki rasa responsibilitas di hadapan Allah SWT. tentang apa yang ia katakan atau tidak katakan, serta apa yang ia kerjakan dan apa yang tidak ia kerjakan, sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Diidentifikasikan berpangkal pada dua sumber, yaitu ai-Qur’an dan al-Sunnah,
Umat Islam yang berilmu, pada seluruh masa, tidak pernah memperselisihkan bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber Islam. Dari keduanya disimpulkan syariat dan darinya pula diketahui yang halal dan haram. Maka, jika ada seseorang yang berpendapat lain dengan hal itu, kemungkinan ia tidak mempunyai ilmu pengetahuan, atau ia adalah orang yang sesat. Sehingga pemikiran orang seperti itu tidak mempunyai nilai bagi umatIslam.
Dari dua sumber pokok ini, tumbuh rasa responsibilitas. Karena responsibilitas adalah hasil dari sikap konsekuen untuk menjalankan seluruh perintah dan larangan. Dan perintah dan larangan itu diketahui melalui al-Qur’an dan al-Sunnah.[30]
2.      Moderasi Syariat Islam
Sumber utama syariat Islam adalah al-Qur’an. Diikuti kemudian oleh al-Sunnah, yang bertugas menjelaskan dan memperinci ayat-ayat umum dalam al-Qur’an.
Allah memberikan keistimewaan tersendiri terhadap al-Qur’an dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang telah diturunkan Allah sebelumnya. Yaitu, Allah berjanji akan terus menjaganya. Keistimewaan ini juga menjadi keistimewaan umat Islam yang memeluk agama penutup ini. Yaitu, memiliki syariat yang terus terjaga keasliannya jauh dari perubahan, penggantian, atau pemalsuan.
Pemeiliharaan Allah akan syariat menjadikan al-Qur’an menjadi sumber responsibilitas yang paling kukuh, maka sifat syariat yang moderat menyebabkan dia berfungsi sebagai sumber yang paling dekat, bahkan paling baik untuk mewujudkan keseimbangan dan keseuaian dengan fitrah manuisa. Syariat Islam memberikan kepada manusia kemampuan untuk menjalankan kehidupan manusiawinya dalam tingkat yang paling tinggi. Inilah yang dimaksud dengan moderasi.
Ketika responsibilitas tumbuh secara sempurna dari syariat maka perasaan responsibilitas ini tentu tumbuh lebih dalam dan kuat. Dan konsekuensi terhadap responsibilitas ini, yaitu dalam segi melaksanakan perintah dan menjahui larangan, akan dilakukan dengan senang hati dan dengan mudah dilaksanakan.
Untukmewujudkan tujuan itu, syariat Islam dijelaskan lebih lanjut dan sesuai dengan pendalaman terhadap al-Qur’an dan ak-Sunnah oleh para ulama.mereka mengatakan bahwamaqasidsyari’ah adalah sebagai berikut:
a.       Memelihara jiwa manusia. Yaitu agar jiwa itu tidak dirampas dan diberikan beban kecuali dengan apa yang disyariaatkan Allah SWT.
b.      Memelihara agama. Yaitu, dengan menyembah Allah SWT. sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah SWT. Tidak ada paksaan dalam beragama. Dan, tidak ada perubahan atas apa yang diturunkan Allah SWT.
c.       Memelihara akal. Yaitu, dengan mengharamkan seluruh yang mengganggu atau menghilangkan akal itu. Seperti khamar dan minuman kears lainnya yang menyembabkan hilangnya akal sementara atau seterusnya.
d.      Memelihara keturunan dan jenis manusia. Yaitu, dengan  mengharamkan perzinaan, homoseksual, dan sebagainya. Karena, zina akan membawa ketercampurnya nasab dan menyebabkan seorang bapak tidak mengakui anak-anaknya. Dengan demikian, hal itu akan menyebabkan terputusnya nasab manusia.
e.       Menjaga harta. Yaitu, dengan mengharamkan mencari mata pencaharian dari usaha yang haram, memberikan hukuman bagi orang yang mencuri atau merampas harta orang lain, serta memberikan batasan kemana harta itu akan dibelanjakan.[31]
Lima tujuan ini dapat mewujudkan seluruh kemaslahatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat kelak. Baik masalah itu berbebtuk primer, sekunder, atau komplementer dalam seluruh bidang kehidupan manusia.
6.      Bagaimana Responsibilitas Seorang Muslim
1.      Responsibilitas Individual
Responsibilitas individu bermakna bahwa manusia bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dan mempertanyakan seluruh kekurangan dalam mengikuti nilai-nilai moral yang dibawa oleh Islam. Reponsibilitas ini seperti yang dijelaskan sebelumnya berkaitan erat dengan balasan di dunia dan akhirat. Dan responsibilitas manusia terhadap dirinya sendiri semakin diperkuat oleh banyak ayat dan hadits.
Adapun ayat yang berkaitan dengan responsibilitas pribadi adalah sebagai berikut
Artinya: bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (QS. Al-Qiyaamah 14-15).

Ini berarti, responsibilitas pribadi tumbuh dari diri manusia itu sendiri dari hati serta nuraninya. Sehingga, ia tidak membutuhkan dorongan lain, seperti polisi dan pengawas karena responsibilitas itu tumbuh langsung dari undang-undang dasar akhlak yang dibawa oleh Islam.[32]
2.      Responsibilitas Sosial
Karakteristik umum responsibilitas sosial ini tercerminkan dalam banyak segi yang berbeda dengan sistem ideologi-ideologi lain, karena ia tumbuh dari syariat Islam. Keutamaan itu menjamin kesahihan, keselamatan, dan mewujudkan kemaslahatan manusia dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat.
Bersikap moderat, seimbang, dan sederhana. Ketiga hal itu adalah unsur yang diperintahkan oleh syariat untuk diwujudkan sebagai konsekuensi responsibilitas ini. Setiap individu muslim dituntut akan hal ini. Sebagaimana firman Allah.
Artinya: dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqan 67).

Arah sosial yang benar dan lurus adalah yang menjadikan keluarga sebagai pusat, titik pertama, dan awal langkah untuk membangun kehidupan sosial yang benar. Yaitu, dengan memberikan tuntunan sistem, hukum, dan etika yang harus diaplikasikan untuk mencapai tujuan-tujuannya, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan sedini mungkin dan mengamankan masa depannya.
Tuntutan islami dalam bidang responsibilitas sosial adalah mencakup kerabat, tetangga, penduduk sekitar, provinsi, dan negara, hingga meluas mencakup seluruh dunia Islam dan lebih luas lagi adalah seluruh umat manusia.[33]
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Fikih responsibilitas berarti responsibilitas dalam Islam terkait dengan individu, jamaah, masyarakat umat, dan amal untuk Islam. Setiap muslim memiliki tanggung jawab atas reponsibilitas Islam ini, mulai dari anak-anak yang belum balig sampai seorang yang sudah mukalaf.
Responsibilitas individu bermakna bahwa manusia bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dan mempertanyakan seluruh kekurangan dalam mengikuti nilai-nilai moral yang dibawa oleh Islam. Reponsibilitas ini seperti yang dijelaskan sebelumnya berkaitan erat dengan balasan di dunia dan akhirat. Dan responsibilitas manusia terhadap dirinya sendiri semakin diperkuat oleh banyak ayat dan hadits.
Karakteristik umum responsibilitas sosial ini tercerminkan dalam banyak segi yang berbeda dengan sistem ideologi-ideologi lain, karena ia tumbuh dari syariat Islam. Keutamaan itu menjamin kesahihan, keselamatan, dan mewujudkan kemaslahatan manusia dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Mahmud,Ali. 2000. Fikih Responsibilitas: Tanggung Jawab Muslim dalam Islam,Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Cet. II; Jakarta: Gema Press.
Abdullah,M. Yatimin. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah.
Definition of Responsibility in English (http:www.oxforddictionaries.com), diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
Hasan Kahlil,Rasyad. 2009, Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah.
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Cet. 1; Surabaya: Kartika, 1997.
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Rahman Dahlan, Abd. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Sahrani,Sohari dan Abdullah, Ru’fah. 2011. Fikih Mu’amalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
T.t. 2012. The Holy Qur’an al-Fatih. Jakarta: PT. Insan Media Pustaka.




[1]The Holy Qur’an al-Fatih(Jakarta: PT. Insan Media Pustaka, 2012), hlm. 267.
[2]The Holy Qur’an…, hlm. 599.
[3] Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia(Cet. 1;Surabaya: Kartika, 1997), hlm. 168.
[4] Kamisa, Kamus Lengkap…, hlm. 232.
[5]Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Mu’amalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 3.
[6] Rasyad Hasan Kahlil. Tarikh Tasyri’ (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 5.
[7]M. Yatimin Abdullah. Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Amzah, 2006), hlm.319.
[8]Abuddin Nata. Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.241
[9]The Holy Qur’an…, hlm. 206.
[10]Definition of Responsibility in English(http:www.oxforddictionaries.com), diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[11]Definition of…, diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[12]Definition of…, diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[13]Definition of…, diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[14]Definition of…, diakses tanggal 02 November 2015 jam 15:39 WIB.
[15] Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas: Tanggung Jawab Muslim dalam Islam,Terj. Abdul Hayyie al-Kattani(Cet. II;Jakarta: Gema Press, 2000), hlm. 12.
[16] Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 12.
[17]Rasyad Hasan Kahlil. Tarikh Tasyri’…, hlm. 7.
[18] Rasyad Hasan Kahlil,Tarikh Tasyri’…, hlm. 138.
[19] Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 115.
[20] Rasyad Hasan Kahlil,Tarikh Tasyri’…, hlm. 149.
[21] Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh…, hlm. 131.
[22] Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh…, hlm. 146.
[23] Rasyad Hasan Kahlil,Tarikh Tasyri’…, hlm. 155.
[24]Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh…, hlm. 161.
[25]Rasyad Hasan Kahlil,Tarikh Tasyri’…, hlm. 159.
[26]Rasyad Hasan Kahlil. Tarikh Tasyri’. Ibid. Hlm. 162
[27]Rasyad Hasan Kahlil. Tarikh Tasyri’(Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 167
[28] Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 19.
[29]The Holy Qur’an…, hlm. 349.
[30] Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 21.
[31] Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 39-40.
[32] Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 78.
[33] Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas…, hlm. 163-164.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar