Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH FILSAFAT SAINS ISLAM MENURUT SM. NAQUIB AL-ATTAS


FILSAFAT SAINS ISLAM
MENURUT  SM. NAQUIB AL-ATTAS

A.  PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan agama yang berisi semua nilai-nilai kemanusiaan, sosial, budaya bahkan pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada ayat pertama yang diturunkan oleh Allah adalah berisi tentang pendidikan. Perkembangan pendidikan di dunia Islam berkembang pesat dimulai pada masa Abbasiyah dengan didirikannya Bait al-Hikam sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.[1]
Menurut Muzayyin Arifin, mempelajari filsafat pendidikan berarti memasuki pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan universal tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. [2]
Berbicara mengenai filsafat, yang perlu diketahui terlebih dahulu bahwa filsafat adalah induk dari segala disiplin ilmu pengetahuan yang kini berkembang sebagai bahan acuan/ajar, terutama di kalangan mahasiswa serta pelajar-pelajar meski banyak pendangan kontradiktif mengenai hal itu. Dikatakan sebagai induk ilmu pengetahuan, karena salah satu sumber ilmu pengetahuan pada masa pra-disiplin ilmu, pemikiran secara filsafati menjadi acuan berpikir para pemikir visioner, yang saat ini disebut sebagai filosof atau filsuf, seperti Plato, Socrates, Aristoteles, Phytagoras, dan lain sebagainya yang memiliki pemikiran yang tentunya berbeda-beda. Berpikir secara filsafati atau filosofis tak lepas dengan cara berpikir yang kini berkembang di sebagian kalangan mahasiswa, yakni kritis, analis, serta menuntut pemikiran yang visioner. M. Dimyathi juga menuturkan bahwa kegiatan penalaran secara filosofis dapat dikategorikan sebagai kegiatan analisis, pemahaman, diskripsi, penilaian, penafsiran, dan perekaan. [3]
            Muzayyin Arifin juga mengatakan bahwa, dikalangan umat muslim banyak pemikir dan filosof Islam yang pernah bertengger di zaman keemasannya di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Sepanyol dari abad ke-7 sampai abad ke-12 Masehi seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyid, Ibnu Khaldun dan lain-lain. [4]
            Tidak bisa di pungkiri bahwa para filosof-filosof Islam juga memegang peranan penting di dalam kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Walaupun filosof Islam tersebut mempunyai perbedaan spesialisasi ilmu pengetahuan yang tidak semata mata agamis, namun corak keislamannyalah yang ditonjolkan.
            Melihat pentingnya Islam dalam Ilmu pengetahuan, berikut ini kami suguhkan pandangan tentang pokok-pokok pemikiran dan studi kritis tentang Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. SM. Naquib Al-Attas

B.  Biografi Prof. Dr. SM. Naquib Al-Attas

Syeh Naquib Al-Attas Lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Ia keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Melalui silsilah/nasab ayahnya, ia termasuk keturunan bangsa Arab, yakni keturunan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayid.
Sejak usia 5 tahun, ia telah mengenyam pendidikan, ketika ia di Johor Baru yang bersama saudara ayahnya Encik Ahcmad. Ia juga pernah belajar di Ngee Neng English Premery School di Johor Baru. Selama 4 tahun ia kembali di Sukabumi Jawa Barat dan belajar di Madrasah al- Urwatul Wustqa. Setelah itu, ia kembali ke Johor Baru melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru selama 3 tahun. Setelah itu ia masuk tentara.
Karir militer al-Attas dimulai di lasykar tertara gabungan Malaysia-Inggris dengan pangkat perwira kader, kecenderungannya dalam dunia militer ini membuat dia terpilih untuk mengikuti pendidikan militer di Easton Hall, Chaster, Inggris dari tahun 1952-1955. Sedangkan pangkat terakhir yang diraihnya di dunia militer ini adalah letnan.
Walaupun karir al-Attas sangat cemerlang di dunia militer, namun minat besarnya terhadap ilmu telah mendorongnya untuk meninggalkan dunia militer ini, dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya terhadap dunia ilmu. Karir akademiknya, setelah meninggalkan karir militer adalah masuk ke University of Malay, Singapore 1957-1959.
Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di McGill University untuk kajian keislaman (Islamic Studies) hingga memperoleh M.A. pada 1963. Selanjutnya dia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya di School of Oriental and Arfican Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis. Di universitas ini, dia menekuni teologi dan metafisika, dan menulis disertasi doktornya tentang “Mistisisme Hamzah Fansuri”, yang sekarang telah diterbitkan dengan judul The Mysticism of Hamzah Fansuri (The University of Malay Press, Singapore, 1970).
Setelah tamat dari universitas London, dia kembali ke almamaternya, University Malay. Di sini dia bekerja sebagai dosen, dan tak lama kemudian diangkat sebagai Ketua Jurusan Sastra Melayu. Karir akademiknya terus menanjak dan di lembaga ini dia merancang dasar bahasa Malaysia, kemudian tahun 1970, dia tercatat sebagai salah satu pendiri University Kebangsaan Malaysia. Dan di universitas yang baru ini, dua tahun kemudian, dia diangkat sebagai profesor untuk Studi Sastra dan Kebudayaan Melayu, dan kemudian pada 1975, dia diangkat sebagai dekan fakultas sastra dan kebudayaan Melayu Universitas tersebut.
Otoritas al-Attas di bidang pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, tidak saja diakui oleh kalangan pemikir dan ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga kalangan internasional. Ini dapat dilihat dari sekian banyak penghargaan yang diberikan terhadapnya sehubungan dengan karir intelektualnya, khususnya dalam filsafat Islam. Diantaranya adalah pengangkatan sebagai anggota American Philoshopical Assocation, dan penghargaan sebagai filosof yang telah memberikan sumbangan besar bagi kebudayaan Islam dari Akademi Falsafah Maharaja Iran. Dan terakhir ia diserahi jabatan oleh Kementrian Pendidikan dan Olah Raga Malaysia untuk memimpin Institut Internasional Pemikiran da Tamaddun Islam, yaitu lembaga otonom yang berada pada Universitas Antar Bangsa, Malaysia.[5]

C.  Konsep Pendidikan Menurut Naquib Al-Attas

Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian “pendidikan Islam” yang pengistilahan itu diambil dari lafad bahasa Arab (al-Qur’an) maupun al-sunnah. Misalnya dijumpai kata tarbiyahta’lim, dan ta’dib bahkan ada yang disebut riyadlah. Namun dalam pembahasan berikut ini akan disajikan konsep pendidikan Islam versi Naquib al-Attas.
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta’dib, daripada istilah-istilah lainnya. Pemilihan istilah ta’dib, merupakan hasil analisa tersendiri bagi al-Attas dengan menganalisis dari sisi semantik dan kandungan yang disesuaikan dengan pesan-pesan moralnya.
Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.[6]
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ (Ismail SM, dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999: 275)[7]
Al-Attas membantah istilah tarbiyah, sebagaimana yang digunakan oleh beberapa pakar pedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu dipakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik, disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281).[8]
            Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu. [9]
            Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral[10]

D.      Tujuan Pendidikan Islam

Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping, tujuan pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang idel tidak terabaikan. Seperti dalam ucapannya, …karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
Dengan harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat kumpulan dari individu-individu.
            Pada tahun 1970-an perkembangan ilmu pengetahuan umat Islam mengarah kepada pemikiran Sains. Kajian dalam Sains ini dapat dinilai sebagai manifestasi dari perkembangan intelektualisme yang berkembang secara global di kawasan dunia Islam.

Sumber-sumber ilmu menurut Al-Attas adalah sebagai berikut:
1.    Indera-indera lahir dan batin.
Yang bertentangan dengan filsafat dan sains modern adalah dalam hal sumber dan metode ilmu. Al-attas memandang bahwa ilmu berasal dari Tuhan dan diperoleh melalui saluran indera yang sehat. Yang dimaksud dengan indera yang sehat ini mengacu kepada persepsi dan pengamatan yang mencakup lima indera lahiriyah, yakni perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat dan pendengar. Adapun indera batin adalah indera umum (common sence), representasi, estimasi, ingatan dan pengingatan kembali dan imajinasi.
2.    Akal dan intuisi
Akal berdasar prinsip filosofis al-Ghazali adalah fitrah instinkif dan cahaya orisinil yang menjadi sarana manusia dalam memahami realita. Sementara intuisi (wujdan) adalah rasa batin sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan, akal memperoleh, pengetahuan yang dicirikan oleh kesadaran akan sebab dan musabab (akibat) suatu keputusan yang tidak terbatas pada kepekaan indera tertentu dan tidak tertuju pada objek tertentu pula. [11]
Para filosuf sependapat bahwa didalan diri manusia terdapat potensi untuk berpengetahuan karena manusia dibekali dengan alat-alat pengetahuan. Seperti: indra akal dan hati. Walaupun semua alat itu kadang bisa menunjukan kebenaran yang benar.[12] Di dalam ajaran islam sendiripun sudah menegaska bahwa manusia sangat mungkin mendapatkan pengetahuan yang benar. Ini merujuk pada ayat al-Quran seperti yang terdapat pada Surat al-Baqarah: 31-32.
N=tur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ (#qä9$s% y7oY»ysö6ß Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ
“ dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-Nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada seluruh Malakiat lalu berfirman: “ sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu, jika kamu memang benar. Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang dapat kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnyaEngkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” (al- Baqarah: 31-32)[13]

Mengenai akal yang sehat (sound reason), kita memaksudkannya dalam artian tidak hanya terbatas pada unsur-unsur inderawi, atau pada bagian mental yang secara logis mensistematisasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman inderawi atau yang mengubah data pengalaman inderawi menjadi suatu citra akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses abstrkasi. Sedangkan intuisi adalah pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran, menurut Al-Attas intuisi datang pada orang yang merenungkan secara terus menerus hakikat relitas ini, dan atas kehendak Tuhan ia akan mendapat intuisi tersebut.[14]


E.   Islamisasi Sains Menurut Naquib Al-Attas

Pengertian Islamisasi menurut bahasa adalah pengislaman, sehingga Islamisasi Sains merupakan pengislaman sains. Lebih jauh lagi Al-Attas menerangkan tentang islamisasi yaitu pembebasan manusia dari unsur magic, mitologi, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan serta dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya. Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial dan mitilogis. Jadi islamisasi ilmu pengetahuan adalah program epistimologi dalam rangka membangun peradaban Islam. Bukan maslah “labelisasi” seperti islamisasi teknologi, yang secara peyoratif dipahami sebagai islamisasi pesawat terbang, telekomunikasi dan sebaginya. Bukan pula islamisasi dalam dalam arti konversi yang terdapat dalam pengertian Kristenisasi.[15]
Gagasan Islamisasi Sains ini merupakan kelanjutan dari gagasan Nasr pada tahun 1968 dengan karyanya The Encounter of Man and Nature, gagasan ini kemudian menjadi bahan pembicaraan yang penting dalam konfrensi Dunia I tentang Pendidikan Muslim (World Conference on Muslim Education) di Makkah pada tahun 1977.
Salah satu gagasan dalam konfrensi tersebut dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas dalam makalahnya yang berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and Definition and the Aims of Education, yang kemudian dijadikan salah satu bab dari bukunya yang berjudul Islam and Secularism.[16]
Dalam bidang filsafat sekitar abad ke-9 M, Islam di Sepanyol telah merintis pembangunannya. Sejak saat itu filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan, yakni selama pemerintahan Bani Umayyah yang ke-5 [17]
Kajian filsafat ini dilanjutkan oleh penguasa berikutnya yakni Al-Hakam. Beliau mengambil kebijakan untuk mengimpor karya-karya ilmiah dari timur dalam jumlah besar.
Dengan dukungan politis dari pemerintah, akhirnya Cordova mampu berdiri sejajar dengan Bagdad sebagai pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Sehingga lahirlah para pemikir-pemikir Islam seperti Abu Bakri muhammad Ibn As-Sayiqh yang lebih dikenal dengan Ibnu Bajah sebagaimana Alfarabi dan Ibnu Sina, melalui pemikirannya sering mengenbangkan berbagai permasalahan yang bersifat etis dan eskatologis.
Filsafat yang berkembang di Islam memang berasal dari pemikiran yunani dan beberapa hal yang diadopsi dari pemikiran filsafat yang berkembang di Yunani. Namun, adalah sebuah anggapan yang salah jika ada pandangan yang mengatakan bahwa filsafat Islam hanya meniru dan dan mencontek semata. Dan ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa mustahil kalu pemikiran filsafat islam itu hanya Cuma meniru dari filsafat Yunani, karena semua pemikir muslim berpendapat bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu dan sebagai landasan teori kenabian yang belum ada sebelumnya[18]
Pendidikan menjadi saham terbesar dalam membina kemajuan umat manusia. Pada dasarnya, Pendidikan Islam patut mendapatkan perhatian yang besar, alasannya adalah selaintelah meninggalkan peninggalan yang abadi seperti dalam masalah akhlaq, ilmu pengetahuan,kesenian dan sebagainya, juga meninggalkan peninggalan yang masih memerlukan pembahasan dalam lapangan teori, sistem-sistem, metode-metode pendidikan, dan sebagainyayang berpengaruh dalam pembentukan pemikiran kita[19]
Munculnya Islamisasi Sains karena Sains yang berkembang di dunia barat saat ini hanya berdasarkan pada rasio dan panca indera, jauh dari wahyu dan tuntunan Tuhan. Sehingga walaupun menghasilkan teknologi yang sangat bermanfaat bagi manusia namun juga menimbulkan bencana yang sangat dasyat. Sebagai contoh teknologi pesawat terbang sangat membantu manusia dalam transportasi namun dengan teknologi pesawat terbang pulalah pemboman terjadi dimana-mana.
Pada ide Islamisasi Sains Al-attas hanya membatasi pada ilmu-ilmu kontemporer, tidak termasuk ilmu-ilmu sains Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang dibangun oleh para sarjana (ulama) zaman dahulu. Karena menurut sebagian ulama turast islami tidak termasuk dalam proses islamisasi sebab ia tidak pernah terpisah dari Tuhan sebagai hakikat yang sebenarnya dan sumber segala ilmu.
Menurut Al-Attas proses Islamisasi Sains tidak akan bisa berjalan dengan cara menerima pengetahuan barat sekarang ini seperti apa adanya dan lalu berharap akan mengislamkannya dengan hanya mencangkokkan atau transplantasi dengan ilmu-ilmu atau prinsip-prinsip Islam. Hal ini akan mengakibatkan hasil-hasil yang bertentangan yang kesemuanya tidak bermanfaat.
Islamisasi yang tepat menurut Al-attas adalah merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang esensial serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan suatu komposisi yang akan merangkum pengetahuan inti itu untuk kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam dari tingkat bawah hingga tingkat atas dalam gradasinya masing-masing yang didesain sedemikian agar sesuai dengan standar untuk masing-masing tingkat.
Sehubungan dengan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis, menurut Al-attas setiap cabang harus diserapi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci islam setelah unsur-unsur dan konsep-konsep kunci asing dibersihkan dari semua cabangnya. Pembuangan unsur-unsur asing dari semua cabang ilmu tersebut mengacu terutama pada ilmu-ilmu kemanusiaan, meski juga harus diperhatikan bahwa dalam ilmu-ilmu alam dan terapan khususnya serta ilmu-ilmu yang berhubungan dengan penafsiran fakta-fakta dan perumusan teori, proses pembuangan juga harus dilakukan.[20]
Islam pernah mencatat pencapaian sains dan teknologi yang sangat mencengangkan. Masa keemasan itu ditandai oleh berkembangnya tradisi intelektual dan kuatnya spirit pencarian-pengembangan sains. Tapi, saat ini dunia Islam tertinggal jauh dari Barat. Data yang menyebutkan bahwa hanya sekitar 55 persen dari total umat Islam yang melek aksara sangatlah memalukan. Sungguh ironi bagi dunia Islam yang pernah menjadi raksasa sains sampai abad pertengahan.[21]
Sejarah perkembangan sains menunjukkan bahwa sains berasal dari penggabungan dua tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa Yunani kuno serta tradisi keahlian atau keterampilan tangan yang berkembang di awal peradaban manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir. Filsafat memberikan sumbangan berbagai konsep dan ide terhadap sains sedangkan keahlian tangan memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam. Sains modern bisa lahir dari perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descartes yang menyodorkan logika rasional dan deduksi serta oleh Francis Bacon yang menekankan pentingnya eksperimen dan observasi. Titik Temu Filsafat dan Sains
1.      Filsafat dan sains keduanya menggunakan metode berpikir reflektif dalam menghadapi fakta dunia.
2.      Filsafat dan sains keduanya menunjukan sikap kritis dan terbuka dan memberikan perhatian yang tidak berat sebelah terhadap kebenaran.
3.      Filsafat dan sains keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis.
4.      Sains membantu filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan deskriptif dan faktual serta esensial bagi pemikiran filsafat.
5.      Sains mengoreksi filsafat dengan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan dengan pengetahuan ilmiah.
6.      Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong, yang menjadikan beraneka macam sains yang berbada serta menyusun bahan tersebut ke dalam suatu pandangan tentang hidup dan dunia yang lebih menyeluruh dan terpadu.[22]

Menurut sejarah, Islam merupakan pelopor berkembanganya Sains di dunia baik itu pelopor research tentang alam dan pelopor experimental science. Dalam islam sendiri pengembangan sains telah diperintahkan oleh Allah dalam Q.S.Al-'alaq : 1-5, Q.S.Ali-Imran : 190-191 dan Q.S.Al-Jatsiyah : 13.Hal ini juga dijelaskan dalam Q.S.Al-Mujaadilah : 11
… Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[23]
Ayat tersebut menjelaskan tentang keutamaan Ilmu yang intinya Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman, berilmu dan beramal shalih.[24]

F.       Langkah-Langkah Dalam Islamisasi

Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran.[25]
 Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi. Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.[26]
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secaramemuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak dapatditerjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.[27]
 Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1.    Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat.  Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a.    Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b.   Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c.   Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d.   Membela doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e.   Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2.  Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.
 Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.   Konsep Agama (ad-din)
b.   Konsep Manusia (al-insan)
c.    Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.    Konsep kearifan (al-hikmah)
e.    Konsep keadilan (al-‘adl)
f.     Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g.    Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).[28]
       Namun yang harus diperhatikan adalah, konsep-konsep tersebut di atas merupakan manifestasi yang semuanya berada di dalam Kitab suci Al-Qur’an
            Alqur’an memainkan peran sentral dalam menentukan keyakinan, gaya hidup, dan pandangan umat Muslim. Karena Alqur’an sebagai pijakan dasar semua pengetahuan. Sehingga Alqur’an selalu menjadi pemisah antara keputusan yang harus dijatuhkan dan dukungan yang harus diberikan.[29]
            Alqur’an tidak bisa dipandang sebagai buku klasik yang menguraikan filsafat tertentu, namun Alqur,an menggambarkan dirinya sebagai pedoman bagi manusia. Sumber kekayaan sejarah intelektual islam adalah munculnya penafsiran yang beragam dan berbeda untuk ayat-ayat yang ada di dalamnya.
Seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman (sains), terdapat dalam al-Qur’an. (Pendapat ini didukung antara lain oleh al-Ghazali, al-Suyuti, dan Maurice Bucaile)
Al-Qur’an hanya sebagai petunjuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. (Pendapat ini didukung antara lain oleh Ibnu Sina, al-Biruni, dan al-Haitam)[30]
Alquran memang membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang yang mampu menciptakan peradaban dan tradisi keilmuan diberbagai bidang. Dari kitab ini jualah, berbagai produk dan karya telah memenuhi jutaan rak di berbagai perpustakaan, yang digunakan sebagai literatur di perguruan tinggi di seluruh dunia.[31]
            Dari urain di atas bisa di pahami jika Alquran memang mempunya pengaruh yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan, dan selalu mengajak kepada umat manusia untuk berfikir dan berfikir.[32]
             Kalangan islam progresif menegaskan bahwa jalan satu-satunya menuju kemajuan peradaban (sains) islam yaitu dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini.[33]
            Di sisi lain pakar tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa, pengembangan sumber daya manusia, perlu dihindari kecenderungan mereduksi dimensi manusia, atau sekedar menjadikan tujuannya terbatas pada target pembangunan ekonomi. Yang tidah kalah pentingnya adalah bahwa pengembangan SDM harus mencakup diri manusia sebagai insane abdi Allah, yang mengandung nilai-nilai etika, estetika dan logika (filsafat) yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber daya kekhalifahan ( pembangunan dalam segala aspeknya).[34]
            Jika demikian adanya maka, tak perlu diragukan lagi bahwa islam dengan segala yang ada di dalamya termasuk kitab-kitabnya bukan semata-mata merupakan agama yang menyangkut persoalan teologi sebagai pedoman beribadah kepada Tuhan saja tapi juga memuat nilai-nilai social, moral, keilmuan, etika di dalam kehidupan. [35]
G. Kesimpulan

Dari beberapa pemikiran para intelektual Islam dan para filsuf-filsuf lainnya, tentang filsafat, islam, sains yang telah kami uraikan di atas, terlihat jelas benang merahnya bahwa, islam memegang peranan penting di dalam memberikan sumbangsih pemikiran terhadap perkembangan peradaban (filsafat, ilmu pengetahuan) . Hal ini dibuktikan dengan kamajuan filsafat islam sejak abad ke-7 sampai dengan abad ke-12, yang dicirikan dengan munculnya para filsuf-filsuf islam seperti Alkindi, Alfarabi , Imam Ghozali, Al faruqi, Ibnu Sina, dan masih banyak lagi dengan segala keahliaannya masing-masing.
Namun, yang lebih penting harus kita pahami bahwa, semua filsuf-filsuf Islam tersebut menempatkan Al-Quran sebagai pijakan dan pondasi yang kuat untuk menjadi ruh di dalam pemikiran dan karyanya.

H.      Saran
Masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna apa yang kami tawarkan dalam tugas makalah ini. Sudilah kiranya teman-teman seperjuangan, handai tolan dan Bapak Dosen pembimbing mata Kuliah Filsafat ilmu untuk memberikan saran, masukan, dan kritikan untuk menjadi lebih baik. Semoga….!



Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, jalan hidup seorang visioner, PT Kompas Media Nusantara, 2010.
http://hady412.wordpress.com/2011/01/30/islamisasi sains naquib al-attas diakses jumat, 19-9-14
http://inpasonline.com/new/ islamisasi ilmu pengetahuan tinjauan atas pemikiran syed m naquib al-attas dan  ismail raji al-faruqi
http://mcdens13.wordpress.com/2013/02/11/konsep pendidikan islam menurut syed muhammad naquib al-attas diakses tanggal 18-0914
http://parapemikir.com  diakses tanggal 18-8-14
http://sainsfilislam.wordpress.com/ diakses tanggal 18-9-14
Kementeian Agama RI, Mushaf Al-Jalalain, Musgaf Al-Qur’an Terjemah Perkata dan Tafsir Jalalain Perkalimat, Pustaka Kibar Jakarta
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, PT Mizan Pustaka, 2013
Munawar Fuad Noeh, SBY dan Islam, elsaku, Depok, 2004. 
Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern, Mizan Pustaka, 2011.
Prof H Muzayyin Arifin, M.Ed, Filsafat Pendidikan Islam,
Prof. Dr. H. Muhammad Baharun, Buku Pintar Ayat-ayat Al-Qur’an, PT Buana Ilmu Populer, 2014.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981)
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alqur’an, PT Pustaka Alvabe, 2013.



[1] http://hady412.wordpress.com/2011/01/30/islamisasi sains naquib al-attas diakses jumat, 19-9-14
[2] Prof H Muzayyin Arifin, M.Ed, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 1
[4] Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam. hlm.9
[5]http://mcdens13.wordpress.com/2013/02/11/konsep pendidikan islam menurut syed muhammad naquib al-attas diakses tanggal 18-0914
[6]http://mcdens13.wordpress.com/2013/02/11/konsep pendidikan islam menurut syed muhammad naquib al-attas diakses tanggal 18-0914
[7]http://mcdens13.wordpress.com/2013/02/11/konsep pendidikan islam menurut syed muhammad naquib al-attas diakses tanggal 18-0914
[8]http://inpasonline.com/new/ islamisasi ilmu pengetahuan tinjauan atas pemikiran syed m naquib al-attas dan  ismail raji al-faruqi
[9] Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 338
[10] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 195-196
[13] Kementeian Agama RI, Mushaf Al-Jalalain, Musgaf Al-Qur’an Terjemah Perkata dan Tafsir Jalalain Perkalimat, Pustaka Kibar Jakarta P.116
[17] Dedi Supriyadi, M.Ag, Sejarah Peradaban islam, hlm. 120
[21] http://sainsfilislam.wordpress.com/ diakses tanggal 18-9-14
[22] http://parapemikir.com  diakses tanggal 18-8-14
[23] Kementeian Agama RI, Mushaf Al-Jalalain, Musgaf Al-Qur’an Terjemah Perkata dan Tafsir Jalalain Perkalimat, Pustaka Kibar Jakarta hlm.543
[27] Abdullah Ahmad Na’im, dkk Pemikiran Islam Kontemporer, hlm. 341
[29] Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern, Mizan Pustaka, 2011. hlm. 107
[31] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alqur’an, PT Pustaka Alvabe, 2013, hlm. ix
[32] Prof. Dr. H. Muhammad Baharun, Buku Pintar Ayat-ayat Al-Qur’an, PT Buana Ilmu Populer, 2014. hlm. 259
[33] Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, jalan hidup seorang visioner, PT Kompas Media Nusantara, 2010. hlm, 351
[34] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, PT Mizan Pustaka, 2013, hlm. 299
[35] Munawar Fuad Noeh, SBY dan Islam, elsaku, Depok, 2004.  hlm. 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar