FILSAFAT
SAINS ISLAM
MENURUT SM. NAQUIB AL-ATTAS
A. PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan
agama yang berisi semua nilai-nilai kemanusiaan, sosial, budaya bahkan
pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada ayat pertama yang diturunkan oleh Allah
adalah berisi tentang pendidikan. Perkembangan pendidikan di dunia Islam berkembang pesat
dimulai pada masa Abbasiyah dengan
didirikannya Bait al-Hikam sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan.[1]
Menurut
Muzayyin
Arifin, mempelajari filsafat pendidikan
berarti memasuki pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan universal
tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan
saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. [2]
Berbicara mengenai filsafat, yang
perlu diketahui terlebih dahulu bahwa filsafat adalah induk dari segala
disiplin ilmu pengetahuan yang kini berkembang sebagai bahan acuan/ajar,
terutama di kalangan mahasiswa serta pelajar-pelajar meski banyak pendangan
kontradiktif mengenai hal itu. Dikatakan sebagai induk ilmu pengetahuan, karena
salah satu sumber ilmu pengetahuan pada masa pra-disiplin ilmu, pemikiran
secara filsafati menjadi acuan berpikir para pemikir visioner, yang saat ini
disebut sebagai filosof atau filsuf, seperti Plato, Socrates, Aristoteles,
Phytagoras, dan lain sebagainya yang memiliki pemikiran yang tentunya
berbeda-beda. Berpikir secara filsafati atau filosofis tak lepas dengan cara
berpikir yang kini berkembang di sebagian kalangan mahasiswa, yakni
kritis, analis, serta menuntut pemikiran yang visioner. M. Dimyathi juga
menuturkan bahwa kegiatan penalaran secara filosofis dapat dikategorikan
sebagai kegiatan analisis, pemahaman, diskripsi, penilaian, penafsiran,
dan perekaan. [3]
Muzayyin
Arifin juga mengatakan bahwa, dikalangan
umat muslim banyak pemikir dan filosof Islam yang pernah bertengger di zaman
keemasannya di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Sepanyol dari abad ke-7 sampai
abad ke-12 Masehi seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyid, Ibnu
Khaldun dan lain-lain. [4]
Tidak bisa
di pungkiri bahwa para filosof-filosof Islam juga memegang peranan penting di
dalam kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Walaupun filosof Islam tersebut
mempunyai perbedaan spesialisasi ilmu pengetahuan yang tidak semata mata
agamis, namun corak keislamannyalah yang ditonjolkan.
Melihat
pentingnya Islam dalam Ilmu pengetahuan, berikut ini kami suguhkan pandangan
tentang pokok-pokok pemikiran dan studi kritis tentang Pendidikan Islam menurut
Prof. Dr. SM. Naquib Al-Attas
B. Biografi
Prof. Dr. SM. Naquib Al-Attas
Syeh Naquib Al-Attas Lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal
5 September 1931. Ia keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat.
Melalui silsilah/nasab ayahnya, ia termasuk keturunan bangsa Arab, yakni
keturunan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayid.
Sejak usia 5 tahun, ia telah mengenyam pendidikan, ketika ia
di Johor Baru yang bersama saudara ayahnya Encik Ahcmad. Ia juga pernah belajar
di Ngee Neng English Premery School di Johor Baru. Selama 4 tahun ia kembali di
Sukabumi Jawa Barat dan belajar di Madrasah al- Urwatul Wustqa. Setelah itu, ia
kembali ke Johor Baru melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan
seterusnya di English College Johor Baru selama 3 tahun. Setelah itu ia masuk
tentara.
Karir militer al-Attas dimulai di lasykar tertara gabungan
Malaysia-Inggris dengan pangkat perwira kader, kecenderungannya dalam dunia
militer ini membuat dia terpilih untuk mengikuti pendidikan militer di Easton
Hall, Chaster, Inggris dari tahun 1952-1955. Sedangkan pangkat terakhir yang
diraihnya di dunia militer ini adalah letnan.
Walaupun karir al-Attas sangat cemerlang di dunia militer,
namun minat besarnya terhadap ilmu telah mendorongnya untuk meninggalkan dunia
militer ini, dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya terhadap dunia ilmu. Karir
akademiknya, setelah meninggalkan karir militer adalah masuk ke University of Malay,
Singapore 1957-1959.
Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di McGill University
untuk kajian keislaman (Islamic Studies) hingga memperoleh M.A. pada
1963. Selanjutnya dia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya di
School of Oriental and Arfican Studies, Universitas London, yang oleh banyak
kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis. Di universitas ini, dia
menekuni teologi dan metafisika, dan menulis disertasi doktornya tentang “Mistisisme Hamzah
Fansuri”, yang sekarang telah diterbitkan dengan judul The
Mysticism of Hamzah Fansuri (The University of Malay Press, Singapore,
1970).
Setelah tamat dari universitas London, dia kembali ke
almamaternya, University Malay. Di sini dia bekerja sebagai dosen, dan tak lama
kemudian diangkat sebagai Ketua Jurusan Sastra Melayu. Karir akademiknya terus
menanjak dan di lembaga ini dia merancang dasar bahasa Malaysia, kemudian tahun
1970, dia tercatat sebagai salah satu pendiri University Kebangsaan Malaysia.
Dan di universitas yang baru ini, dua tahun kemudian, dia diangkat sebagai
profesor untuk Studi Sastra dan Kebudayaan Melayu, dan kemudian pada 1975, dia
diangkat sebagai dekan fakultas sastra dan kebudayaan Melayu Universitas
tersebut.
Otoritas al-Attas di bidang pemikiran sastra dan kebudayaan,
khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, tidak saja diakui oleh kalangan pemikir
dan ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga kalangan internasional. Ini dapat
dilihat dari sekian banyak penghargaan yang diberikan terhadapnya sehubungan
dengan karir intelektualnya, khususnya dalam filsafat Islam. Diantaranya adalah
pengangkatan sebagai anggota American Philoshopical Assocation, dan penghargaan
sebagai filosof yang telah memberikan sumbangan besar bagi kebudayaan Islam
dari Akademi Falsafah Maharaja Iran. Dan terakhir ia diserahi jabatan oleh
Kementrian Pendidikan dan Olah Raga Malaysia untuk memimpin Institut
Internasional Pemikiran da Tamaddun Islam, yaitu lembaga otonom yang berada
pada Universitas Antar Bangsa, Malaysia.[5]
C. Konsep
Pendidikan Menurut Naquib Al-Attas
Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian
“pendidikan Islam” yang pengistilahan itu diambil dari lafad bahasa Arab
(al-Qur’an) maupun al-sunnah. Misalnya dijumpai kata tarbiyah, ta’lim,
dan ta’dib bahkan ada yang disebut riyadlah. Namun
dalam pembahasan berikut ini akan disajikan konsep pendidikan Islam versi
Naquib al-Attas.
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas
lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta’dib, daripada
istilah-istilah lainnya. Pemilihan istilah ta’dib, merupakan hasil analisa
tersendiri bagi al-Attas dengan menganalisis dari sisi semantik dan kandungan
yang disesuaikan dengan pesan-pesan moralnya.
Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah
mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang
dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus,
1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan
kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang
berarti memberi adab, atau mendidik.[6]
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term di atas,
dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman
adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan
pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti yang
diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan
betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di
dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ (Ismail SM, dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999:
275)[7]
Al-Attas membantah istilah tarbiyah, sebagaimana
yang digunakan oleh beberapa pakar pedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia
berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada
hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih
bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut
terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung
unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan
antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak
pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada
aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga
bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa
dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh
unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di
luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu dipakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini,
al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik,
disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Penekanan pada segi
adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak
disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas
nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni
nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi
kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281).[8]
Pengetahuan dan ilmu yang
tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah
diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan
adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat.
Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang
dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang
mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati.
Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk
dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu. [9]
Menurut al-Attas, pengetahuan
Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism).
Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke
derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang
keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa
untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa
kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral[10]
D. Tujuan Pendidikan Islam
Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan
sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan
manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping,
tujuan pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi
individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang idel tidak terabaikan.
Seperti dalam ucapannya, …karena masyarakat terdiri dari
perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar
diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat
yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu
mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu
tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba
Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi).
Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan
perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan
kualitas keteladanan Nabi Saw.
Dengan harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar
pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan
universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada
ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik,
sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu
upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus
membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat
kumpulan dari individu-individu.
Pada tahun 1970-an perkembangan ilmu
pengetahuan umat Islam mengarah kepada pemikiran Sains. Kajian dalam Sains ini dapat dinilai sebagai manifestasi
dari perkembangan intelektualisme yang berkembang secara global di kawasan
dunia Islam.
Sumber-sumber ilmu menurut Al-Attas adalah sebagai berikut:
1. Indera-indera
lahir dan batin.
Yang
bertentangan dengan filsafat dan sains modern adalah dalam hal sumber dan
metode ilmu. Al-attas memandang bahwa ilmu berasal dari Tuhan dan diperoleh
melalui saluran indera yang sehat. Yang dimaksud dengan indera yang sehat ini
mengacu kepada persepsi dan pengamatan yang mencakup lima indera lahiriyah,
yakni perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat dan pendengar. Adapun
indera batin adalah indera umum (common sence), representasi, estimasi,
ingatan dan pengingatan kembali dan imajinasi.
2. Akal dan
intuisi
Akal berdasar prinsip filosofis
al-Ghazali adalah fitrah instinkif dan cahaya orisinil yang menjadi sarana
manusia dalam memahami realita. Sementara intuisi (wujdan) adalah rasa
batin sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan, akal memperoleh, pengetahuan
yang dicirikan oleh kesadaran akan sebab dan musabab (akibat) suatu keputusan
yang tidak terbatas pada kepekaan indera tertentu dan tidak tertuju pada objek
tertentu pula. [11]
Para
filosuf sependapat bahwa didalan diri manusia terdapat potensi untuk
berpengetahuan karena manusia dibekali dengan alat-alat pengetahuan. Seperti:
indra akal dan hati. Walaupun semua
alat itu kadang bisa menunjukan kebenaran yang benar.[12] Di dalam ajaran islam sendiripun sudah menegaska bahwa
manusia sangat mungkin mendapatkan pengetahuan yang benar. Ini
merujuk pada ayat al-Quran seperti yang terdapat pada Surat al-Baqarah: 31-32.
N=tur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ (#qä9$s% y7oY»ysö6ß w zNù=Ïæ !$uZs9 wÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇÌËÈ
“
dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-Nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakan kepada seluruh Malakiat lalu berfirman: “ sebutkanlah kepada-ku
nama benda-benda itu, jika kamu memang benar. Mereka menjawab: Maha Suci
Engkau, tidak ada yang dapat kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami, sesungguhnyaEngkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha
bijaksana.” (al- Baqarah: 31-32)[13]
Mengenai akal yang sehat (sound reason), kita
memaksudkannya dalam artian tidak hanya terbatas pada unsur-unsur inderawi,
atau pada bagian mental yang secara logis mensistematisasi dan menafsirkan
fakta-fakta pengalaman inderawi atau yang mengubah data pengalaman inderawi
menjadi suatu citra akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses
abstrkasi. Sedangkan intuisi adalah pemahaman langsung akan
kebenaran-kebenaran, menurut Al-Attas intuisi datang pada orang yang
merenungkan secara terus menerus hakikat relitas ini, dan atas kehendak Tuhan
ia akan mendapat intuisi tersebut.[14]
E. Islamisasi
Sains Menurut Naquib Al-Attas
Pengertian
Islamisasi menurut bahasa adalah pengislaman, sehingga Islamisasi Sains
merupakan pengislaman sains. Lebih jauh lagi Al-Attas menerangkan tentang
islamisasi yaitu pembebasan manusia dari unsur magic, mitologi, animisme dan
tradisi kebudayaan kebangsaan serta dari penguasaan sekuler atas akal dan
bahasanya. Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan
hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial dan mitilogis. Jadi
islamisasi ilmu pengetahuan adalah program epistimologi dalam rangka membangun
peradaban Islam. Bukan maslah “labelisasi” seperti islamisasi teknologi, yang
secara peyoratif dipahami sebagai islamisasi pesawat terbang, telekomunikasi
dan sebaginya. Bukan pula islamisasi dalam dalam arti konversi yang terdapat
dalam pengertian Kristenisasi.[15]
Gagasan Islamisasi Sains ini merupakan kelanjutan
dari gagasan Nasr pada tahun 1968 dengan karyanya The
Encounter of Man and Nature, gagasan ini kemudian menjadi bahan
pembicaraan yang penting dalam konfrensi Dunia I tentang Pendidikan Muslim (World
Conference on Muslim Education) di Makkah pada tahun 1977.
Salah satu gagasan dalam
konfrensi tersebut dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas dalam makalahnya yang
berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and Definition and
the Aims of Education, yang kemudian dijadikan salah satu bab dari bukunya
yang berjudul Islam and Secularism.[16]
Dalam bidang filsafat sekitar abad ke-9
M, Islam di Sepanyol telah merintis pembangunannya. Sejak saat itu filsafat dan
ilmu pengetahuan mulai dikembangkan, yakni selama pemerintahan Bani Umayyah
yang ke-5 [17]
Kajian filsafat ini dilanjutkan oleh
penguasa berikutnya yakni Al-Hakam. Beliau mengambil kebijakan untuk mengimpor
karya-karya ilmiah dari timur dalam jumlah besar.
Dengan dukungan politis dari pemerintah,
akhirnya Cordova mampu berdiri sejajar dengan Bagdad sebagai pusat ilmu
pengetahuan di dunia Islam. Sehingga lahirlah para pemikir-pemikir Islam
seperti Abu Bakri muhammad Ibn As-Sayiqh yang lebih dikenal dengan Ibnu Bajah
sebagaimana Alfarabi dan Ibnu Sina, melalui pemikirannya sering mengenbangkan
berbagai permasalahan yang bersifat etis dan eskatologis.
Filsafat
yang berkembang di Islam memang berasal dari pemikiran yunani dan beberapa hal
yang diadopsi dari pemikiran filsafat yang berkembang di Yunani. Namun, adalah
sebuah anggapan yang salah jika ada pandangan yang mengatakan bahwa filsafat
Islam hanya meniru dan dan mencontek semata. Dan ada sebagian pendapat yang
mengatakan bahwa mustahil kalu pemikiran filsafat islam itu hanya Cuma meniru
dari filsafat Yunani, karena semua pemikir muslim berpendapat bahwa sumber ilmu
pengetahuan adalah wahyu dan sebagai landasan teori kenabian yang belum ada
sebelumnya[18]
Pendidikan
menjadi saham terbesar dalam membina kemajuan umat manusia. Pada dasarnya,
Pendidikan Islam patut mendapatkan perhatian yang besar, alasannya adalah
selaintelah meninggalkan peninggalan yang abadi seperti dalam masalah akhlaq,
ilmu pengetahuan,kesenian dan sebagainya, juga meninggalkan peninggalan yang
masih memerlukan pembahasan dalam lapangan teori, sistem-sistem,
metode-metode pendidikan, dan sebagainyayang berpengaruh dalam pembentukan
pemikiran kita[19]
Munculnya
Islamisasi Sains karena Sains yang berkembang di dunia barat saat ini hanya
berdasarkan pada rasio dan panca indera, jauh dari wahyu dan tuntunan Tuhan.
Sehingga walaupun menghasilkan teknologi yang sangat bermanfaat bagi manusia
namun juga menimbulkan bencana yang sangat dasyat. Sebagai contoh teknologi
pesawat terbang sangat membantu manusia dalam transportasi namun dengan
teknologi pesawat terbang pulalah pemboman terjadi dimana-mana.
Pada ide
Islamisasi Sains Al-attas hanya membatasi pada ilmu-ilmu kontemporer, tidak termasuk
ilmu-ilmu sains Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang dibangun oleh para
sarjana (ulama) zaman dahulu. Karena menurut sebagian ulama turast
islami tidak termasuk dalam proses islamisasi sebab ia tidak pernah terpisah
dari Tuhan sebagai hakikat yang sebenarnya dan sumber segala ilmu.
Menurut Al-Attas proses Islamisasi
Sains tidak akan bisa berjalan dengan cara menerima pengetahuan barat sekarang
ini seperti apa adanya dan lalu berharap akan mengislamkannya dengan hanya
mencangkokkan atau transplantasi dengan ilmu-ilmu atau prinsip-prinsip Islam. Hal ini akan mengakibatkan hasil-hasil yang bertentangan yang kesemuanya
tidak bermanfaat.
Islamisasi yang tepat menurut Al-attas adalah merumuskan dan memadukan
unsur-unsur Islam yang esensial serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan
suatu komposisi yang akan merangkum pengetahuan inti itu untuk kemudian
dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam dari tingkat bawah hingga tingkat
atas dalam gradasinya masing-masing yang didesain sedemikian agar sesuai dengan
standar untuk masing-masing tingkat.
Sehubungan dengan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis, menurut
Al-attas setiap cabang harus diserapi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep
kunci islam setelah unsur-unsur dan konsep-konsep kunci asing dibersihkan dari
semua cabangnya. Pembuangan unsur-unsur asing dari semua cabang ilmu tersebut
mengacu terutama pada ilmu-ilmu kemanusiaan, meski juga harus diperhatikan
bahwa dalam ilmu-ilmu alam dan terapan khususnya serta ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan penafsiran fakta-fakta dan perumusan teori, proses
pembuangan juga harus dilakukan.[20]
Islam pernah
mencatat pencapaian sains dan teknologi yang sangat mencengangkan. Masa
keemasan itu ditandai oleh berkembangnya tradisi intelektual dan kuatnya spirit
pencarian-pengembangan sains. Tapi, saat ini dunia Islam tertinggal jauh dari Barat. Data yang menyebutkan bahwa hanya sekitar 55 persen
dari total umat Islam yang melek aksara sangatlah memalukan. Sungguh
ironi bagi dunia Islam yang pernah menjadi
raksasa sains sampai abad pertengahan.[21]
Sejarah
perkembangan sains menunjukkan bahwa sains berasal dari penggabungan dua
tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa Yunani
kuno serta tradisi keahlian atau keterampilan tangan yang berkembang di awal
peradaban manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir. Filsafat
memberikan sumbangan berbagai konsep dan ide terhadap sains sedangkan keahlian
tangan memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam. Sains modern bisa lahir
dari perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descartes yang menyodorkan
logika rasional dan deduksi serta oleh Francis Bacon yang menekankan pentingnya
eksperimen dan observasi. Titik Temu Filsafat dan Sains
1.
Filsafat
dan sains keduanya menggunakan metode berpikir reflektif dalam menghadapi fakta
dunia.
2.
Filsafat
dan sains keduanya menunjukan sikap kritis dan terbuka dan memberikan perhatian
yang tidak berat sebelah terhadap kebenaran.
3.
Filsafat
dan sains keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan tersusun
secara sistematis.
4.
Sains
membantu filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan deskriptif dan faktual
serta esensial bagi pemikiran filsafat.
5.
Sains
mengoreksi filsafat dengan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan
dengan pengetahuan ilmiah.
6.
Filsafat
merangkum pengetahuan yang terpotong, yang menjadikan beraneka macam sains yang
berbada serta menyusun bahan tersebut ke dalam suatu pandangan tentang hidup
dan dunia yang lebih menyeluruh dan terpadu.[22]
Menurut sejarah, Islam
merupakan pelopor berkembanganya Sains di dunia baik itu pelopor research
tentang alam dan pelopor experimental science. Dalam islam sendiri pengembangan
sains telah diperintahkan oleh Allah dalam Q.S.Al-'alaq : 1-5, Q.S.Ali-Imran
: 190-191 dan Q.S.Al-Jatsiyah : 13.Hal ini juga dijelaskan dalam Q.S.Al-Mujaadilah
: 11
… Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[23]
Ayat tersebut
menjelaskan tentang keutamaan Ilmu yang intinya Allah akan meninggikan derajat
orang yang beriman, berilmu dan beramal shalih.[24]
F.
Langkah-Langkah
Dalam Islamisasi
Dalam pandangan
al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu
yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya,
islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama
kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling
berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi
nalar atau pikiran.[25]
Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham
ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara
bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya bahasa yang hidup yang diilhami
Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai tingkat
perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada
perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti
halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi.
Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci
al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan,
tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena
itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan
sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan lengkap
tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk
norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan
bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia
dan sejarah yang dikatakan berkembang.[26]
Lebih lanjut menurut al-Attas,
istilah-istilah Islam merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya
karena kesamaan agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secaramemuaskan. Ketika
diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilah-istilah itu menjadi
kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam
tidak dapatditerjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski
istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad
saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan
agama Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat
itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga
tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.[27]
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang
dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1.
Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan
peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a. Akal diandalkan untuk membimbing
kehidupan manusia.
b. Bersikap dualistik terhadap realitas dan
kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c. Menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d. Membela doktrin humanism (the doctrine of
humanism).
e. Menjadikan drama dan tragedi sebagai
unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus
dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya
dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan
aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa
dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern,
beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan
etika, penafsiran historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya
berkaitan dengan dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut
tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan
ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan
teliti.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta
konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang
relevan.
Al-Attas menyarankan, agar
unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing
tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a. Konsep Agama (ad-din)
b. Konsep Manusia (al-insan)
c. Konsep
Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d. Konsep kearifan (al-hikmah)
e. Konsep keadilan (al-‘adl)
f. Konsep perbuatan yang benar
(al-‘amal)
g. Konsep universitas (kulliyyah
jami’ah).[28]
Namun
yang harus diperhatikan adalah, konsep-konsep tersebut di atas merupakan
manifestasi yang semuanya berada di dalam Kitab suci Al-Qur’an
Alqur’an
memainkan peran sentral dalam menentukan keyakinan, gaya hidup, dan pandangan
umat Muslim. Karena Alqur’an sebagai pijakan dasar semua pengetahuan. Sehingga
Alqur’an selalu menjadi pemisah antara keputusan yang harus dijatuhkan dan
dukungan yang harus diberikan.[29]
Alqur’an tidak bisa dipandang
sebagai buku klasik yang menguraikan filsafat tertentu, namun Alqur,an
menggambarkan dirinya sebagai pedoman bagi manusia. Sumber kekayaan sejarah
intelektual islam adalah munculnya penafsiran yang beragam dan berbeda untuk
ayat-ayat yang ada di dalamnya.
Seluruh
pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman (sains), terdapat dalam al-Qur’an.
(Pendapat ini didukung antara lain oleh al-Ghazali, al-Suyuti, dan Maurice
Bucaile)
Al-Qur’an
hanya sebagai petunjuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. (Pendapat ini
didukung antara lain oleh Ibnu Sina, al-Biruni, dan al-Haitam)[30]
Alquran
memang membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang yang mampu menciptakan
peradaban dan tradisi keilmuan diberbagai bidang. Dari kitab ini jualah,
berbagai produk dan karya telah memenuhi jutaan rak di berbagai perpustakaan,
yang digunakan sebagai literatur di perguruan tinggi di seluruh dunia.[31]
Dari
urain di atas bisa di pahami jika Alquran memang mempunya pengaruh yang sangat
besar terhadap ilmu pengetahuan, dan selalu mengajak kepada umat manusia untuk
berfikir dan berfikir.[32]
Kalangan islam progresif menegaskan bahwa
jalan satu-satunya menuju kemajuan peradaban (sains) islam yaitu dengan
mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini.[33]
Di sisi lain pakar tafsir Indonesia,
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa, pengembangan sumber daya manusia, perlu
dihindari kecenderungan mereduksi dimensi manusia, atau sekedar menjadikan
tujuannya terbatas pada target pembangunan ekonomi. Yang tidah kalah pentingnya
adalah bahwa pengembangan SDM harus mencakup diri manusia sebagai insane abdi
Allah, yang mengandung nilai-nilai etika, estetika dan logika (filsafat) yang
kemudian dimanfaatkan sebagai sumber daya kekhalifahan ( pembangunan dalam
segala aspeknya).[34]
Jika demikian adanya maka, tak perlu
diragukan lagi bahwa islam dengan segala yang ada di dalamya termasuk
kitab-kitabnya bukan semata-mata merupakan agama yang menyangkut persoalan
teologi sebagai pedoman beribadah kepada Tuhan saja tapi juga memuat
nilai-nilai social, moral, keilmuan, etika di dalam kehidupan. [35]
G. Kesimpulan
Dari
beberapa pemikiran para intelektual Islam dan para filsuf-filsuf lainnya,
tentang filsafat, islam, sains yang telah kami uraikan di atas, terlihat jelas
benang merahnya bahwa, islam memegang peranan penting di dalam memberikan
sumbangsih pemikiran terhadap perkembangan peradaban (filsafat, ilmu
pengetahuan) . Hal ini dibuktikan dengan kamajuan filsafat islam sejak abad
ke-7 sampai dengan abad ke-12, yang dicirikan dengan munculnya para
filsuf-filsuf islam seperti Alkindi, Alfarabi , Imam Ghozali, Al faruqi, Ibnu
Sina, dan masih banyak lagi dengan segala keahliaannya masing-masing.
Namun,
yang lebih penting harus kita pahami bahwa, semua filsuf-filsuf Islam tersebut
menempatkan Al-Quran sebagai pijakan dan pondasi yang kuat untuk menjadi ruh di
dalam pemikiran dan karyanya.
H.
Saran
Masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna apa yang kami tawarkan dalam tugas
makalah ini. Sudilah kiranya teman-teman seperjuangan, handai tolan dan Bapak
Dosen pembimbing mata Kuliah Filsafat ilmu untuk memberikan saran, masukan, dan
kritikan untuk menjadi lebih baik. Semoga….!
Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran
Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Ahmad Gaus AF,
Api Islam Nurcholish Madjid, jalan hidup seorang visioner, PT Kompas Media
Nusantara, 2010.
http://hady412.wordpress.com/2011/01/30/islamisasi sains naquib al-attas diakses jumat, 19-9-14
http://inpasonline.com/new/ islamisasi ilmu pengetahuan tinjauan atas pemikiran syed m naquib al-attas dan ismail raji al-faruqi
http://islamsains-tif.blogspot.com/2012/11
hubungan sains dan islam diakses minggu, 21-9-14
http://mcdens13.wordpress.com/2013/02/11/konsep pendidikan islam menurut syed muhammad naquib al-attas diakses tanggal 18-0914
http://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/2013/10/16/ resume menuju pemikiran filsafat oleh muhammad inam esha diakses minggu, 21-9-14
Kementeian Agama
RI, Mushaf Al-Jalalain, Musgaf Al-Qur’an Terjemah Perkata dan Tafsir Jalalain
Perkalimat, Pustaka Kibar Jakarta
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, PT Mizan Pustaka, 2013
Munawar Fuad Noeh, SBY dan Islam, elsaku, Depok, 2004.
Nidhal Guessoum,
Islam dan Sains Modern, Mizan Pustaka, 2011.
Prof
H Muzayyin Arifin, M.Ed, Filsafat Pendidikan Islam,
Prof. Dr. H.
Muhammad Baharun, Buku Pintar Ayat-ayat Al-Qur’an, PT Buana Ilmu Populer, 2014.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan
Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981)
Taufik Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah Alqur’an, PT Pustaka Alvabe, 2013.
[3] http://www.academia.edu/4821475/Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam diakses tanggal 20-09-14
[5]http://mcdens13.wordpress.com/2013/02/11/konsep pendidikan islam menurut syed muhammad naquib al-attas diakses tanggal 18-0914
[6]http://mcdens13.wordpress.com/2013/02/11/konsep pendidikan islam menurut syed muhammad naquib al-attas diakses tanggal 18-0914
[7]http://mcdens13.wordpress.com/2013/02/11/konsep pendidikan islam menurut syed muhammad naquib al-attas diakses tanggal 18-0914
[8]http://inpasonline.com/new/ islamisasi ilmu pengetahuan tinjauan atas pemikiran syed m naquib al-attas dan ismail raji al-faruqi
[10] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme,
Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 195-196
[13] Kementeian Agama RI, Mushaf Al-Jalalain, Musgaf
Al-Qur’an Terjemah Perkata dan Tafsir Jalalain Perkalimat, Pustaka Kibar
Jakarta P.116
[15] http://hady412.wordpress.com/2011/01/30/islamisasi-sains-naquib-al-attas/ diakses jumat, 19-9-14
[16] http://hady412.wordpress.com/2011/01/30/islamisasi-sains-naquib-al-attas/ diakses jumat, 19-9-14
[20] http://hady412.wordpress.com/2011/01/30/islamisasi sains naquib al-attas/
diakses jumat, 19-9-14
[23] Kementeian Agama RI, Mushaf Al-Jalalain,
Musgaf Al-Qur’an Terjemah Perkata dan Tafsir Jalalain Perkalimat, Pustaka Kibar
Jakarta hlm.543
[24] http://islamsains-tif.blogspot.com/2012/11/hubungan sains dan islam kemajuan dan.diakses tanggal 21-9-14
[32] Prof. Dr. H. Muhammad
Baharun, Buku Pintar Ayat-ayat Al-Qur’an, PT Buana Ilmu Populer, 2014. hlm. 259
[33] Ahmad Gaus AF, Api
Islam Nurcholish Madjid, jalan hidup seorang visioner, PT Kompas Media
Nusantara, 2010. hlm, 351
Tidak ada komentar:
Posting Komentar